Amanda mengajak Naraya ke rumah sakit. Ia harus memastikan jika temannya itu masih perawan. Amanda adalah teman satu-satunya Naraya, yang selalu baik dan mendukung gadis itu.
"Man, ih ... nggak perlu periksa." Naraya mencoba mencegah Amanda yang terus menariknya masuk untuk mendaftar. Jujur saja Naraya malu kalau sampai ditanya-tanya soal kapan dirinya berhubungan intim dan dengan siapa.
"Apanya yang nggak perlu? Tentu perlu! Kamu nggak boleh bantah!" kekeh Amanda. "Aku tuh nggak bisa bayangin, Ra. Gimana kalau tiba-tiba kamu ada calon suami, terus mempertanyakan keperawananmu, aku ikut sedih kalau kamu tuh nggak diterima karena udah nggak perawan," ujar Amanda asal bicara karena cemas.
Naraya menghela napas berat, bisa-bisanya temannya itu berpikir sampai disitu.
"Man, Manda, bentar!" Tiba-tiba Naraya meminta berhenti dan pura-pura menengok arloji yang dikenakan.
"Ada apa?" tanya Amanda.
"Wah, aku telat. Aku kerja dulu, besok saja periksanya." Naraya melepas tangan Amanda yang memegang pergelangan tangan, sebelum gadis itu berlari seraya melambaikan tangan.
"Ra, Nara!" teriak Amanda kesal, sudah menduga kalau Naraya akan kabur.
Naraya sendiri belum siap jika mengetahui dirinya sudah tidur bersama seorang pria, terlebih dengan orang asing. Naraya mencoba mengelak dengan apa yang terjadi pada dirinya, memilih melupakan dan menganggap jika semua itu hanya mimpi belaka.
***
Siang hari. Kalandra tak bisa tenang setelah kehilangan Naraya. Ia yakin jika itu adalah Anira, gadis yang dulu pernah diangkat keluarga oleh orangtuanya. Kalandra melihat tanda lahir di belakang telinga Naraya, tanda lahir yang juga dimiliki oleh Anira.
Saat mengikuti rapat di hotel tempatnya menginap, Kalandra terlihat tak fokus sama sekali. Dirinya bertanya-tanya di mana Naraya tinggal, ia hanya ingin memastikan sesuatu dari gadis itu. Hal yang membuat Kalandra membenci Naraya selama sepuluh tahun terakhir.
"Di mana kamu, Nira?" Kalandra bertanya-tanya dalam hati.
Matanya tak bisa fokus meski telinga mendengarkan penjelasan dari tim yang bekerja untuk perusahaan ayahnya. Ruang yang digunakan rapat berada di dekat kolam renang milik hotel, hanya terhalang oleh dinding kaca, di mana orang yang di dalam bisa melihat keluar.
Hingga Kalandra melihat Naraya berpakaian seragam hotel. Gadis itu membawa nampan berisi minuman.
"Itu dia!" Kalandra tiba-tiba menegakkan badan, membuat beberapa orang karyawannya terkejut dan menatap padanya.
"Apa ada masalah, Pak?" tanya salah satu karyawan Kalandra.
Kalandra berdeham, ekor matanya tertuju pada Naraya yang sedang menyuguhkan minuman kepada pelanggan yang ada di dekat kolam.
"Saya ada urusan bentar, rapatnya kita tunda besok. Permisi." Kalandra langsung pergi begitu saja, membuat karyawannya keheranan.
Kalandra buru-buru keluar dari ruangan dan berjalan menuju samping hotel tempat kolam renang berada. Ia takkan menyiakan kesempatan bertemu dan meminta penjelasan pada Naraya.
"Aku benar-benar takkan melepasmu, Nira."
Naraya menyuguhkan minuman pada pelanggan, gadis itu terus mengulas senyum ramah untuk memberi kesan sopan.
"Silahkan," ucap gadis itu ramah.
Naraya meninggalkan meja pengunjung setelah menyuguhkan minuman. Naraya berjalan sambil melamun, memikirkan serta mencoba mengingat kejadian semalam.
"Pria itu menginap di sini, bagaimana kalau melihatku lagi? Apa yang harus aku lakukan?" Naraya memikirkan pria yang tidur satu ranjang dengannya.
"Lalu, mereka. Apa mantan bosku itu tidak melapor ke pihak hotel, secara aku memukul hingga berdarah," batin Naraya dengan perasaan was-was.
Sampai siang ini manager hotel tak memanggil untuk menyidak dirinya, Naraya hanya berharap kalau mantan bosnya itu masih punya malu untuk melaporkan dirinya ke pihak hotel.
Naraya hanya takut jika terkena masalah, tapi juga tak mau dilecehkan seperti itu. Dia baru saja bekerja di hotel itu selama dua bulan, jika sampai dipecat, maka Naraya harus mencari pekerjaan lain. Dirinya lelah pindah pekerjaan, entah kenapa selalu ada masalah yang menghampiri, di mana pun dia bekerja.
Saat Naraya masih melamunkan masalah yang menimpa, tiba-tiba saja ada seorang pengunjung yang menyenggol lengannya. Naraya limbung hingga kakinya terpeleset, membuatnya jatuh ke air.
"Tidak, to--" Naraya ketakutan dan panik, gadis itu tenggelam begitu saja di kolam.
"Aku takut tenggelam." Dalam hati, Naraya merasa begitu takut. Dia seperti berhenti bernapas, dadanya terasa sesak dan kepalanya begitu pusing.
"Adakah yang akan menolongku?"
Kalandra berjalan cepat menuju kolam renang. Saat sampai di sana, ia menatap Naraya yang sedang berjalan seraya melamun. Hingga Kalandra melihat seseorang berjalan cepat dan sengaja menyenggol Naraya, membuat gadis itu akhirnya tercebur ke kolam.Kalandra yang paham betul jika Naraya trauma dengan tenggelam, langsung melepas jas dan melompat ke air. Ia bisa melihat Naraya yang memejamkan mata dan semakin turun hingga ke dasar kolam. Kalandra pun meraih tangan Naraya, sebelum kemudian membawa gadis itu naik."Siapa dia?" Naraya bertanya-tanya dalam hati. Terkejut juga senang karena ada yang menolongnya.Kalandra membawa Naraya ke permukaan air dan membantu naik ke tepian kolam. Banyak orang yang menyaksikan Kalandra melompat untuk menolong Naraya.Naraya langsung terbatuk dengan posisi menunduk ketika sudah berada di tepian kolam. Gadis itu basah kuyup dan mencoba meraup udara sebanyak-banyaknya karen
"Al, turunkan!" perintah Naraya."Masih mau berbohong? Setelah ini mau kabur! Jangan harap!" Kalandra tak mau menurunkan Naraya, karena jelas dia tak akan membiarkan gadis itu pergi.Beberapa pengunjung hotel dan karyawan melongo melihat Kalandra yang memanggul tubuh Naraya, membuat beberapa orang beranggapan negatif."Pak, maaf--" Seorang karyawan ingin bicara tapi langsung dipotong cepat oleh Kalandra."Jika pihak hotel merasa dirugikan, aku akan membayarnya!" Kalandra memiliki sifat dingin dan otoriter, membuat lawan bicaranya akan langsung menunduk."Al, aku tidak akan lari. Jadi turunkan aku," pinta Naraya lagi kini dengan nada pelan."Tidak akan!" kekeh Kalandra.Naraya menelan saliva, hanya tak menyangka jika Kalandra yang dikenalnya dulu sudah berubah. Ia akhirnya hanya bisa pasrah saat dibawa ke kamar Kalandra. Naraya semakin ter
Naraya mendorong dada Kalandra, hingga pemuda itu melepas pagutan bibir mereka. Ia kehabisan napas karena Kalandra terus mengulum bibirnya tanpa jeda. "Al! Kenapa kamu jadi begini?" Naraya menatap Kalandra, hanya tak menyangka jika pemuda itu sekarang kasar dan terkesan begitu egois. Dada Naraya terlihat naik turun tak beraturan, tatapan memancarkan kekecewaan akan sikap pemuda itu. "Ini karena kamu! Siapa yang membohongi? Siapa yang berjanji akan kembali? Siapa yang melupakan begitu saja?" Kalandra kembali meluapkan emosi. Ia sampai memukul kasur tepat samping Naraya duduk. Naraya mencoba mengatur emosi, hingga dirinya menyadari jika semuanya memang salahnya. Ia sendiri tak ingin, tapi ada beberapa hal yang tak bisa dikatakan untuk menjelaskan. "Aku minta maaf, Al. Aku tahu jika salah, aku harap kamu mau mengerti," ucap Naraya membujuk, gadis itu berbicara dengan pelan
Nayla menatap seorang pemuda yang duduk berhadapan dengannya. Ia bersedekap dan memasang wajah tidak senang."Kenapa dia baik-baik saja?" tanya Nayla pada Prams—kekasihnya."Ah, jangan tanya dulu. Aku cukup pusing karena ulahnya," gerutu Prams yang tak langsung menanggapi pertanyaan Nayla."Apa susahnya, sih? Aku benar-benar muak melihat wajahnya yang sok polos! Kenapa Ibu sangat mempertahankannya? Kenapa dia tidak dibiarkan saja dulu?" Nayla menggerutu, selama ini dia memang sangat membenci Naraya.Nayla hanya merasa kasih sayang ibunya terbagi. Ia merasa kesal karena sering dibandingkan dengan Naraya."Tadi aku mencoba menjatuhkannya ke kolam, tapi sepertinya ada pengunjung yang menolong," ujar Prams.Saat Naraya tengah melamun, ternyata Prams dengan sengaja menyembunyikan wajah ketika berjalan, sebelum kemudian dengan sengaja menyenggol Naraya
Naraya benar-benar pusing menghadapi Kalandra. Pemuda itu sangat otoriter dan keras kepala, bertolak belakang dengan Kalandra saat masih SMA.Kini bukan hanya tak boleh bekerja, tapi bahkan manager hotel dipanggil ke kamar pemuda itu. Siapa sangka jika keluarga Kalandra memiliki beberapa saham atas hotel itu."Al, kamu tidak perlu melakukan ini," bisik Naraya merasa canggung. Ia sampai melirik dan tersenyum ke arah managernya, sebelum menatap Kalandra dengan mulut komat-kamit."Harus! Kalau aku bilang kamu tak boleh kerja. Ya, nggak kerja! Kalau kamu membantah, aku bertindak!" Kalandra lagi-lagi mengeluarkan sifat otoriternya.Naraya terkejut dengan mulut menganga. Benar-benar tak habis pikir dengan cara Kalandra bertindak."Mulai sekarang Anira, maksudku Naraya tak aku izinkan bekerja, apa pun alasannya. Jika kamu meminta dia bekerja, maka aku akan pastikan kamu pecat!" ancam Ka
Kalandra terlihat mondar-mandir di dekat pintu, tentu saja pemuda itu sedang cemas karena Naraya belum juga sampai di apartemen yang mereka sewa satu hari yang lalu. Ia khawatir jika gadis itu berbohong dan kabur lagi darinya."Awas saja kalau kamu berani kabur, aku akan mencarimu dan mengikatmu kalau perlu!" geram Kalandra. Pemuda itu benar-benar sudah terobsesi pada Naraya, hingga membuatnya bersikap posesif dan otoriter.Baru saja menggerutu, Kalandra menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, melihat Naraya yang baru saja datang."Kenapa baru datang?" tanya Kalandra yang tak sabaran ingin tahu alasan Naraya."Aku bangun kesiangan, Al," jawab gadis itu menatap Kalandra yang sudah memasang wajah kesal.Kalandra sedikit melihat ada tatapan berbeda dari Naraya, membuat pria itu akhirnya menurunkan ego."Aku lapar, sudah memesan makanan tapi menunggumu data
Naraya duduk di sebuah restoran, ini adalah pertama kalinya dia menjadi seorang pengunjung dan bukannya pelayan. Selama tinggal bersama Sofi, Naraya memang tak pernah lagi menginjakkan kaki di restoran bintang lima, selain saat dirinya bekerja.Naraya duduk seraya menikmati segelas jus dengan camilan. Ia sedang menunggu Kalandra yang menghadiri rapat, sebenarnya pemuda itu meminta Naraya ikut ke ruangan tempat rapat diadakan, tapi Naraya menolak dengan alasan akan bosan dan mengantuk. Ia berjanji takkan pergi dari restoran, serta menunggu pemuda itu selesai, hingga pada akhirnya Kalandra tak memaksanya ikut."Ra!" Suara Amanda terdengar dari kejauhan. Gadis manis sahabat karib Naraya itu melambaikan tangan, sebelum kemudian berjalan menghampiri meja Naraya.Naraya membalas lambaian tangan Amanda, lantas meminta temannya itu duduk begitu sampai."Tumben kamu ngajak ketemu di restoran bintang lima. Apa
Amanda pergi ke rumah sakit untuk bekerja setelah bicara dengan Naraya. Gadis itu sudah berganti seragam perawat dan kini berjalan ke tempat praktek ortopedi karena Amanda bekerja sebagai asisten di sana.“Man, katanya dokter ortopedi kita ganti, ya?” tanya salah satu teman Amanda yang mensejajari langkah teman Naraya itu.“Benar, katanya datang hari ini,” jawab Amanda. “Semoga kita tak mendapat dokter yang tua seperti sebelumnya,” seloroh Amanda yang diakhiri tawa kecil.Teman Amanda ikut tertawa, sebelum kemudian masuk ke ruang praktek ortopedi untuk menyiapkan perlengkapan praktek. Beberapa saat kemudian, kepala rumah sakit masuk dengan seorang dokter muda, Amanda dan temannya melongo melihat dokter yang masuk ke ruangan itu.“Apa yang bersama kepala rumah sakit adalah dokter kita?” tanya teman Amanda berbisik.“Aku harap b
“Aku mau gendong bayinya.” Amanda yang baru saja datang, mengambil alih bayi yang berada di gendongan Nayla.“Dia tampan sekali,” ujar Amanda saat menggendong bayi itu.“Cantik, dia itu cewek.” Nayla meralat karena yang digendong Amanda adalah Abigail.Amanda terlihat bingung, bukankah Naraya bilang hamil anak kembar laki-laki, kenapa jadi perempuan.“Jadi, anak kembarnya Na itu sebenarnya cewek dan cowok.” Nayla kembali menjelaskan.“Wah … ternyata mereka sepasang,” gumam Amanda penuh pengaguman.Naraya sudah bisa duduk, Kalandra menemaninya dengan duduk di ranjang samping Naraya dan jemarin mereka saling bertautan.Ayres dikuasi Milea dan Evangeline karena bayi laki-laki itu sangat menggemaskan.“Man, kamu juga cepetan hamil ya, ga usah nunda-nunda apalagi pakai kontrasepsi. Mama ‘kan juga mau punya cucu seperti ini,” ucap Milea yang merasa iri karena Evangeline sudah mendahuluinya mendapatkan cucu, sedangkan dulu saja dia duluan yang mendapatkan anak.Wajah Amanda merona mendengar
“Aku mau gendong.” Nayla begitu bersemangat saat perawat mengantar bayi kembar Naraya ke ruang inap sang kakak.Naraya sudah dipindah ke ruang inap dan akan diobservasi karena kelelahan dan banyak kehilangan cairan tubuh.Naraya hanya tersenyum melihat sang adik yang sangat bersemangat. Tubuhnya masih lemah sehingga tidak mau berebut bayinya dengan Nayla atau Evangeline.Nayla menggendong satu bayi dan Evangeline menggendong bayi satunya, cukup adil karena mereka tidak perlu berebut dan menanti giliran untuk menggendong.“Akan kalian kasih nama siapa?” tanya Devan yang berdiri di samping Evangeline, telunjuk tampak menusuk pipi bayi laki-laki yang terlihat begitu menggemaskan.“Ayres Rajendra dan Abigail Rajendra,” jawab Kalandra. Dia sebenarnya menyiapkan dua nama laki-laki, karena bayi satunya perempuan, membuat Kalandra mencari nama dadakan.“Tunggu, kenapa Abigail? Itu nama cewek.” Protes Nayla sambil menimang bayi perempuan Naraya.“Yang kamu gendong itu perempuan, Nay.” Kalandra
“Kepala bayinya sudah terlihat, apa Ibu siap menyambut mereka?” tanya dokter yang sejak awal memang menangani kehamilan Naraya. Mengajak bicara agar Naraya tidak tegang karena harus berusaha mengeluarkan dua bayi.Naraya tidak mampu berkata-kata, perutnya benar-benar sudah terasa sakit hingga membuatnya hanya menganggukkan kepala.Kalandra setia berada di samping Naraya. Dia menggenggam telapak tangan istriya itu sambil terus menatap ke wajah sang istri. Dia bisa melihat bagaimana Naraya kesakitan bahkan menangis karena akan melahirkan, membuatnya benar-benar tidak tega hingga sesekali mengecup kening Naraya.“Kamu pasti bisa, kamu kuat demi anak kita,” bisik Kalandra memberi semangat.Naraya menggenggam erat telapak tangan Kalandra, sesekali terlihat mengatur napas karena kontraksi yang sudah tidak tertahankan.“Saat kontraksinya terasa kuat, Ibu bisa mulai mengejan,” ujar dokter memberikan aba-aba.Kening sudah bermanik di seluruh wajah Naraya, bahkan kulit wajah pun kini sudah beru
Naraya terlihat gelisah dan tidak bisa tidur malam itu. Pinggangnya terasa panas dan perutnya mulas berulang kali. Dia hendak bergerak ke kanan dan kiri, tapi kesusahan karena perut yang mengganjal.“Ra, kamu tidak bisa tidur lagi?” tanya Kalandra yang bisa merasakan pergerakan Naraya di atas tempat tidur.“Iya, Al. Pinggangku sakit,” ucap Naraya sambil meringis menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya.Kalandra meminta Naraya untuk berbaring dengan posisi miring menghadap ke arahnya, lalu dia mengusap-usap pinggang istrinya itu.“Bagaimana?” tanya Kalandra. Biasanya jika diusap seperti itu, Naraya akan merasa nyaman.“Masih sakit,” rengek Naraya.“Aku ingin bangun,” ucap Naraya berusaha bangun.Kalandra buru-buru bangun, kemudian membantu Naraya untuk duduk. Dia cemas karena tidak biasanya Naraya mengeluh sampai seperti itu.Naraya mengangsurkan kaki perlahan ke lantai, hingga saat kedua kaki menapak di lantai, Naraya merasakan sesuatu pecah dan kini di paha mengalir air sampai menet
“Aku juga awalnya malu, Man. Tapi kemudian aku berpikir, untuk apa malu, entah sekarang atau esok, aku tetap harus melakukannya, tidak mungkin mengecewakannya.”Ucapan Naraya terngiang di telinga, Amanda kini sedang di kamar mandi dan baru saja membersihkan diri setelah acara resepsi selesai sekitar empat jam yang lalu. Dia berada di kamar mandi kamar Kenan, terlihat bingung karena ini adalah malam pertama mereka di sana.“Bagaimana jika Kenan terlanjut tidak menginginkan karena aku menundanya beberapa kali?” Amanda bertanya-tanya sendiri karena bingung harus bagaimana.Kenan terlalu baik dengan menyetujui untuk menunda melakukan hubungan suami-istri, tapi Amanda sendiri tidak tahu apakah benar Kenan ikhlas atau hanya terpaksa.Amanda menoleh ke belakang di mana ada lingerie yang disiapkannya tapi belum dikenakan. Haruskah dia menggoda Kenan, agar suaminya itu tahu kalau dia sekarang sudah siap.“Baiklah, kamu wanita modern dan tidak takut akan hal itu, Man.” Amanda menyemangati diri
Hari itu Naraya hanya duduk menanti acara resepsi pernikahan Amanda dan Kenan dimulai. Dia tidak bisa membantu banyak hal karena kondisinya yang sudah hamil besar.Orang-orang berlalu-lalang menyiapkan diri untuk berangkat menuju rumah Kenan. Amanda sudah didandani begitu cantik dengan gaun yang tidak terlalu mewah tapi begitu indah.“Kita siap berangkat sekarang,” kata Kalandra saat menghampiri istrinya.Naraya mengangguk, kemudian berusaha berdiri meski agak kesusahan. Kalandra pun dengan sigap memegang pundak dan lengan Naraya, membantu istrinya itu berdiri dengan tegap.“Terima kasih,” ucap Naraya setelah sudah berdiri dengan benar.“Ra, apa kamu sakit?” tanya Kalandra karena wajah Naraya terlihat pucat. Kalandra takut jika istrinya kecapean.Naraya menangkup kedua pipi saat mendengar pertanyaan Kalandra, dia sudah menggunakan make up tipis, apa mungkin masih terlihat pucat.“Aku baik-baik saja, mungkin karena semalam kurang tidur akibat mereka terus menendang,” jawab Naraya sambi
Hari pernikahan Kenan dan Amanda pun tiba, mereka menikah tiga bulan setelah acara lamaran berlangsung. Mereka melakukan akad di rumah Amanda, tapi sepakat mengadakan pesta di rumah Kenan karena Milea yang meminta dan disetujui oleh keluarga Amanda.Naraya sendiri senang karena pesta diadakan di rumah Milea, sehingga dia tidak harus bepergian ke luar kota dalam kondisi hamil besar. Usia kandungan Naraya kini sudah memasuki usia delapan bulan, dan ukuran perutnya pun begitu besar karena bagi kembarnya.“Untung kalian menikah di sini, jadi aku tidak kerepotan pergi ke luar kota,” ucap Naraya saat mendatangi kamar Amanda.Amanda dan keluarganya diberi tempat di rumah Evangeline agar memudahkan mereka saat pergi ke rumah Kenan.Amanda langsung berlutut di depan Naraya yang sedang duduk, lantas mengusap-usap lembut permukaan perut temannya itu.“Aunty ‘kan baik, jadi ga mau nyusahin kalian,” ucap Amanda dengan tangan mengelus perut Naraya.Usai bicara demikian, terasa gerakan bergeser di p
Kalandra berbaring berbantal paha Naraya, dengan posisi miring dia menghadap ke perut sang istri dan terlihat sesekali menciumnya manja.“Apa mereka lapar atau menginginkan sesuatu?” tanya Kalandra sambil mengusap perut Naraya lagi.“Mereka sudah makan banyak tadi, jadi ga mau apa-apa lagi,” jawab Naraya sambil mengusap rambut suaminya.Kalandra kembali mencium perut Naraya, sebelum kemudian bangun dan mencium bibir istrinya itu.“Sekarang papinya yang menginginkan sesuatu,” ujar Kalandra dengan senyum menggoda.“Mau apa?” tanya Naraya dengan dahi berkerut halus.“Mau nengokin mereka,” jawab Kalandra tanpa basa-basi.Naraya terkesiap tapi kemudian terlihat malu karena ternyata suaminya meminta jatah. Kalandra memang tidak pernah meminta saat usia kandungannya masih di trimester pertama, itu karena larangan dari dokter agar kondisi jalan rahimnya tidak terbuka karena berhubungan intim. Namun, dokter mengizinkan jika berhubungan setelah masuk di trimester kedua.“Boleh, tapi jangan buat
Hari itu Naraya dan yang lainnya pergi untuk ikut dalam acara lamaran yang akan dilakukan Kenan. Setelah beberapa bulan berpacaran, akhirnya Kenan memantapkan hati untuk melamar Amanda.Semua orang singgah di hotel sebelum acara lamaran yang akan dilakukan esok hari, sedangkan Naraya meminta izin tinggal di rumah Amanda karena melepas rindu dengan temannya itu.“Perutmu besar sekali, Na? Bukankah kamu bilang baru lima bulan?” tanya Amanda keheranan.“Aku lupa bilang kalau mereka kembar,” ujar Naraya saat melihat temannya terheran-heran melihat perutnya yang besar.“Kembar?” Amanda seolah tidak percaya jika Naraya akan memiliki bayi kembar.Naraya mengangguk-angguk, sebelum kemudian berbisik, “Mereka laki-laki.”Amanda semakin tidak percaya karena Naraya bisa seberuntung itu. Dia menyentuh perut Naraya yang besar, penasaran sedang apa bayi kembar Naraya sekarang.Saat tangan Amanda sedang menyentuh dan mengusap lembut, tiba-tiba terasa gerakan dari dalam sana.“Mereka bergerak.” Amanda