Di kota lain.
"Ke, Mama dengar Al sudah pulang. Apa kamu tidak ingin menemuinya dulu? Kenapa kamu malah ingin bekerja di luar kota?" tanya Milea—tante Kalandra, menatap sang putra yang bernama Kenan.
Kenan dan Kalandra dulu tumbuh bersama sejak mereka bayi, karena keduanya lahir hanya berselang beberapa hari. Namun, beberapa tahun lalu hubungan Kenan dan Kalandra tiba-tiba berubah dan saling menjauh. Bahkan keduanya tak lagi bertegur sapa atau hanya bicara seperti biasa, hingga Kalandra tiba-tiba memutuskan melanjutkan studi ke luar negeri.
Kenan—adik sepupu Kalandra, terdiam mendengar pertanyaan ibunya. Ia tersenyum getir dan memilih menghabiskan makanan yang tersaji di piring.
"Ke, sebenarnya ada masalah apa dengan kalian? Bukankah kalian dulu sangat dekat, bahkan banyak yang mengatakan kalian seperti saudara kembar, lantas kenapa sekarang jadi begini?" tanya Milea menyelidik, karena selama sepuluh tahun ini hubungan kedua pemuda itu sangat buruk.
"Tidak ada apa-apa, kami bersikap biasa, kenapa Mama sangat cemas?" Kenan akhirnya membalas ucapan Milea, menatap sang mama dengan senyum hangat.
Berbanding terbalik dengan Kalandra yang dingin dan keras, Kenan tumbuh menjadi pemuda yang ramah dan hangat.
"Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa kalian saling menjauh? Bahkan saat Kalandra pulang dari luar negeri, kamu malah pindah kerja ke kota lain." Jordan—ayah Kenan, angkat bicara tentang hubungan Kenan dan Kalandra.
Kenan mengulas senyum, kemudian berkata, "Mungkin hanya kebetulan, Pa. Lagipula aku juga dipindah tugas dadakan. Mana tahu kalau bertepatan dengan Al yang baru balik."
Jordan dan Milea bertukar pandangan, sebelum kembali menatap sang putra.
"Kalian jangan cemas, aku dan Al benar-benar tak memiliki masalah. Nanti ada waktunya kami akan bersama seperti dulu," ujar Kenan kemudian.
***
Setelah sarapan, Kenan kembali ke kamar karena dirinya harus mempersiapkan pakaian dan barang yang akan dibawanya pergi ke kota tempat bertugas. Kenan memang memilih menjadi seorang dokter spesialis ortopedi, entah apa yang dipikirkan pemuda itu sehingga memilih menjadi dokter ketimbang mengurus bisnis sang ayah.
Kenan membuka laci meja kecil yang ada di samping ranjang, sebuah kotak berukuran persegi tergeletak di sana. Ia mengambil dan membukanya, sebuah kalung dengan liontin berinisal A terdapat di sana.
Kenan mengingat kejadian sepuluh tahun lalu, kejadian setelah dirinya dan Kalandra bertengkar.
Sepuluh tahun yang lalu, kamar Kenan.
"Kamu benar-benar menyukainya?" tanya Ica—kakak Kenan.
Kenan sangat terkejut mendengar suara sang kakak, kala itu sedang menatap kalung yang baru saja dibelinya dan ingin diberikan ke seseorang.
"Apa kamu tidak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk?" Kenan tampak kesal, lantas memasukkan kalung itu ke kotak sebelum menyimpan di laci.
Ica duduk di tepian ranjang, menatap adik yang baru saja berumur 16 tahun.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Ke. Kamu beneran suka sama dia?" tanya Ica mengulang pertanyaan.
"Siapa yang bilang?" Kenan mencoba mengelak dari pertanyaan sang kakak.
"Tuh, bukti. Inisial A memangnya siapa? Mana mungkin kamu kasih ke aku," ujar Ica yang memang sebenarnya memiliki nama Angel.
Kenan terdiam, tak bisa membohongi sang kakak yang lebih berpengalaman.
"Aku cuma bingung," ucap Kenan yang pada akhirnya merujuk pada jawaban atas pertanyaan sang kakak.
"Bingung kenapa? Kamu tahu kalau dia hanya saudara angkat kita, memangnya kenapa kalau kamu suka?" tanya Ica yang seakan mendukung perasaan Kenan.
"Bukan begitu," sangkal Kenan, membuat Ica mengerutkan dahi. "Sepertinya Al juga menyukainya, aku tidak ingin egois dengan langsung mengatakan jika menyukainya. Aku masih menjaga perasaan Al."
Ica cukup terkejut mendengar pengakuan sang adik, menyukai gadis yang sama memang akan menjadi masalah bagi ikatan persaudaraan dua pemuda itu, tapi perasaan juga tak bisa dibohongi.
"Ya, pastikan pelan-pelan. Aku bangga karena kamu masih memikirkan perasaan Al dan tak bertindak gegabah."
Kenan mendengkus kasar setelah selesai mengingat tentang niat awal dulu membeli kalung itu. Ia pun memilih kembali menyimpan barang itu dan melanjutkan aktivitas berkemasnya.
"Ada sebuah kesalahpahaman di antara kami, meski aku tahu jika salah, tapi aku tak bisa mengucapkan maaf, karena sebenarnya hatiku berkata benar tentang tuduhannya."
Amanda mengajak Naraya ke rumah sakit. Ia harus memastikan jika temannya itu masih perawan. Amanda adalah teman satu-satunya Naraya, yang selalu baik dan mendukung gadis itu."Man, ih ... nggak perlu periksa." Naraya mencoba mencegah Amanda yang terus menariknya masuk untuk mendaftar. Jujur saja Naraya malu kalau sampai ditanya-tanya soal kapan dirinya berhubungan intim dan dengan siapa."Apanya yang nggak perlu? Tentu perlu! Kamu nggak boleh bantah!" kekeh Amanda. "Aku tuh nggak bisa bayangin, Ra. Gimana kalau tiba-tiba kamu ada calon suami, terus mempertanyakan keperawananmu, aku ikut sedih kalau kamu tuh nggak diterima karena udah nggak perawan," ujar Amanda asal bicara karena cemas.Naraya menghela napas berat, bisa-bisanya temannya itu berpikir sampai disitu."Man, Manda, bentar!" Tiba-tiba Naraya meminta berhenti dan pura-pura menengok arloji yang dikenakan."Ada apa?" tany
Kalandra berjalan cepat menuju kolam renang. Saat sampai di sana, ia menatap Naraya yang sedang berjalan seraya melamun. Hingga Kalandra melihat seseorang berjalan cepat dan sengaja menyenggol Naraya, membuat gadis itu akhirnya tercebur ke kolam.Kalandra yang paham betul jika Naraya trauma dengan tenggelam, langsung melepas jas dan melompat ke air. Ia bisa melihat Naraya yang memejamkan mata dan semakin turun hingga ke dasar kolam. Kalandra pun meraih tangan Naraya, sebelum kemudian membawa gadis itu naik."Siapa dia?" Naraya bertanya-tanya dalam hati. Terkejut juga senang karena ada yang menolongnya.Kalandra membawa Naraya ke permukaan air dan membantu naik ke tepian kolam. Banyak orang yang menyaksikan Kalandra melompat untuk menolong Naraya.Naraya langsung terbatuk dengan posisi menunduk ketika sudah berada di tepian kolam. Gadis itu basah kuyup dan mencoba meraup udara sebanyak-banyaknya karen
"Al, turunkan!" perintah Naraya."Masih mau berbohong? Setelah ini mau kabur! Jangan harap!" Kalandra tak mau menurunkan Naraya, karena jelas dia tak akan membiarkan gadis itu pergi.Beberapa pengunjung hotel dan karyawan melongo melihat Kalandra yang memanggul tubuh Naraya, membuat beberapa orang beranggapan negatif."Pak, maaf--" Seorang karyawan ingin bicara tapi langsung dipotong cepat oleh Kalandra."Jika pihak hotel merasa dirugikan, aku akan membayarnya!" Kalandra memiliki sifat dingin dan otoriter, membuat lawan bicaranya akan langsung menunduk."Al, aku tidak akan lari. Jadi turunkan aku," pinta Naraya lagi kini dengan nada pelan."Tidak akan!" kekeh Kalandra.Naraya menelan saliva, hanya tak menyangka jika Kalandra yang dikenalnya dulu sudah berubah. Ia akhirnya hanya bisa pasrah saat dibawa ke kamar Kalandra. Naraya semakin ter
Naraya mendorong dada Kalandra, hingga pemuda itu melepas pagutan bibir mereka. Ia kehabisan napas karena Kalandra terus mengulum bibirnya tanpa jeda. "Al! Kenapa kamu jadi begini?" Naraya menatap Kalandra, hanya tak menyangka jika pemuda itu sekarang kasar dan terkesan begitu egois. Dada Naraya terlihat naik turun tak beraturan, tatapan memancarkan kekecewaan akan sikap pemuda itu. "Ini karena kamu! Siapa yang membohongi? Siapa yang berjanji akan kembali? Siapa yang melupakan begitu saja?" Kalandra kembali meluapkan emosi. Ia sampai memukul kasur tepat samping Naraya duduk. Naraya mencoba mengatur emosi, hingga dirinya menyadari jika semuanya memang salahnya. Ia sendiri tak ingin, tapi ada beberapa hal yang tak bisa dikatakan untuk menjelaskan. "Aku minta maaf, Al. Aku tahu jika salah, aku harap kamu mau mengerti," ucap Naraya membujuk, gadis itu berbicara dengan pelan
Nayla menatap seorang pemuda yang duduk berhadapan dengannya. Ia bersedekap dan memasang wajah tidak senang."Kenapa dia baik-baik saja?" tanya Nayla pada Prams—kekasihnya."Ah, jangan tanya dulu. Aku cukup pusing karena ulahnya," gerutu Prams yang tak langsung menanggapi pertanyaan Nayla."Apa susahnya, sih? Aku benar-benar muak melihat wajahnya yang sok polos! Kenapa Ibu sangat mempertahankannya? Kenapa dia tidak dibiarkan saja dulu?" Nayla menggerutu, selama ini dia memang sangat membenci Naraya.Nayla hanya merasa kasih sayang ibunya terbagi. Ia merasa kesal karena sering dibandingkan dengan Naraya."Tadi aku mencoba menjatuhkannya ke kolam, tapi sepertinya ada pengunjung yang menolong," ujar Prams.Saat Naraya tengah melamun, ternyata Prams dengan sengaja menyembunyikan wajah ketika berjalan, sebelum kemudian dengan sengaja menyenggol Naraya
Naraya benar-benar pusing menghadapi Kalandra. Pemuda itu sangat otoriter dan keras kepala, bertolak belakang dengan Kalandra saat masih SMA.Kini bukan hanya tak boleh bekerja, tapi bahkan manager hotel dipanggil ke kamar pemuda itu. Siapa sangka jika keluarga Kalandra memiliki beberapa saham atas hotel itu."Al, kamu tidak perlu melakukan ini," bisik Naraya merasa canggung. Ia sampai melirik dan tersenyum ke arah managernya, sebelum menatap Kalandra dengan mulut komat-kamit."Harus! Kalau aku bilang kamu tak boleh kerja. Ya, nggak kerja! Kalau kamu membantah, aku bertindak!" Kalandra lagi-lagi mengeluarkan sifat otoriternya.Naraya terkejut dengan mulut menganga. Benar-benar tak habis pikir dengan cara Kalandra bertindak."Mulai sekarang Anira, maksudku Naraya tak aku izinkan bekerja, apa pun alasannya. Jika kamu meminta dia bekerja, maka aku akan pastikan kamu pecat!" ancam Ka
Kalandra terlihat mondar-mandir di dekat pintu, tentu saja pemuda itu sedang cemas karena Naraya belum juga sampai di apartemen yang mereka sewa satu hari yang lalu. Ia khawatir jika gadis itu berbohong dan kabur lagi darinya."Awas saja kalau kamu berani kabur, aku akan mencarimu dan mengikatmu kalau perlu!" geram Kalandra. Pemuda itu benar-benar sudah terobsesi pada Naraya, hingga membuatnya bersikap posesif dan otoriter.Baru saja menggerutu, Kalandra menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, melihat Naraya yang baru saja datang."Kenapa baru datang?" tanya Kalandra yang tak sabaran ingin tahu alasan Naraya."Aku bangun kesiangan, Al," jawab gadis itu menatap Kalandra yang sudah memasang wajah kesal.Kalandra sedikit melihat ada tatapan berbeda dari Naraya, membuat pria itu akhirnya menurunkan ego."Aku lapar, sudah memesan makanan tapi menunggumu data
Naraya duduk di sebuah restoran, ini adalah pertama kalinya dia menjadi seorang pengunjung dan bukannya pelayan. Selama tinggal bersama Sofi, Naraya memang tak pernah lagi menginjakkan kaki di restoran bintang lima, selain saat dirinya bekerja.Naraya duduk seraya menikmati segelas jus dengan camilan. Ia sedang menunggu Kalandra yang menghadiri rapat, sebenarnya pemuda itu meminta Naraya ikut ke ruangan tempat rapat diadakan, tapi Naraya menolak dengan alasan akan bosan dan mengantuk. Ia berjanji takkan pergi dari restoran, serta menunggu pemuda itu selesai, hingga pada akhirnya Kalandra tak memaksanya ikut."Ra!" Suara Amanda terdengar dari kejauhan. Gadis manis sahabat karib Naraya itu melambaikan tangan, sebelum kemudian berjalan menghampiri meja Naraya.Naraya membalas lambaian tangan Amanda, lantas meminta temannya itu duduk begitu sampai."Tumben kamu ngajak ketemu di restoran bintang lima. Apa
“Aku mau gendong bayinya.” Amanda yang baru saja datang, mengambil alih bayi yang berada di gendongan Nayla.“Dia tampan sekali,” ujar Amanda saat menggendong bayi itu.“Cantik, dia itu cewek.” Nayla meralat karena yang digendong Amanda adalah Abigail.Amanda terlihat bingung, bukankah Naraya bilang hamil anak kembar laki-laki, kenapa jadi perempuan.“Jadi, anak kembarnya Na itu sebenarnya cewek dan cowok.” Nayla kembali menjelaskan.“Wah … ternyata mereka sepasang,” gumam Amanda penuh pengaguman.Naraya sudah bisa duduk, Kalandra menemaninya dengan duduk di ranjang samping Naraya dan jemarin mereka saling bertautan.Ayres dikuasi Milea dan Evangeline karena bayi laki-laki itu sangat menggemaskan.“Man, kamu juga cepetan hamil ya, ga usah nunda-nunda apalagi pakai kontrasepsi. Mama ‘kan juga mau punya cucu seperti ini,” ucap Milea yang merasa iri karena Evangeline sudah mendahuluinya mendapatkan cucu, sedangkan dulu saja dia duluan yang mendapatkan anak.Wajah Amanda merona mendengar
“Aku mau gendong.” Nayla begitu bersemangat saat perawat mengantar bayi kembar Naraya ke ruang inap sang kakak.Naraya sudah dipindah ke ruang inap dan akan diobservasi karena kelelahan dan banyak kehilangan cairan tubuh.Naraya hanya tersenyum melihat sang adik yang sangat bersemangat. Tubuhnya masih lemah sehingga tidak mau berebut bayinya dengan Nayla atau Evangeline.Nayla menggendong satu bayi dan Evangeline menggendong bayi satunya, cukup adil karena mereka tidak perlu berebut dan menanti giliran untuk menggendong.“Akan kalian kasih nama siapa?” tanya Devan yang berdiri di samping Evangeline, telunjuk tampak menusuk pipi bayi laki-laki yang terlihat begitu menggemaskan.“Ayres Rajendra dan Abigail Rajendra,” jawab Kalandra. Dia sebenarnya menyiapkan dua nama laki-laki, karena bayi satunya perempuan, membuat Kalandra mencari nama dadakan.“Tunggu, kenapa Abigail? Itu nama cewek.” Protes Nayla sambil menimang bayi perempuan Naraya.“Yang kamu gendong itu perempuan, Nay.” Kalandra
“Kepala bayinya sudah terlihat, apa Ibu siap menyambut mereka?” tanya dokter yang sejak awal memang menangani kehamilan Naraya. Mengajak bicara agar Naraya tidak tegang karena harus berusaha mengeluarkan dua bayi.Naraya tidak mampu berkata-kata, perutnya benar-benar sudah terasa sakit hingga membuatnya hanya menganggukkan kepala.Kalandra setia berada di samping Naraya. Dia menggenggam telapak tangan istriya itu sambil terus menatap ke wajah sang istri. Dia bisa melihat bagaimana Naraya kesakitan bahkan menangis karena akan melahirkan, membuatnya benar-benar tidak tega hingga sesekali mengecup kening Naraya.“Kamu pasti bisa, kamu kuat demi anak kita,” bisik Kalandra memberi semangat.Naraya menggenggam erat telapak tangan Kalandra, sesekali terlihat mengatur napas karena kontraksi yang sudah tidak tertahankan.“Saat kontraksinya terasa kuat, Ibu bisa mulai mengejan,” ujar dokter memberikan aba-aba.Kening sudah bermanik di seluruh wajah Naraya, bahkan kulit wajah pun kini sudah beru
Naraya terlihat gelisah dan tidak bisa tidur malam itu. Pinggangnya terasa panas dan perutnya mulas berulang kali. Dia hendak bergerak ke kanan dan kiri, tapi kesusahan karena perut yang mengganjal.“Ra, kamu tidak bisa tidur lagi?” tanya Kalandra yang bisa merasakan pergerakan Naraya di atas tempat tidur.“Iya, Al. Pinggangku sakit,” ucap Naraya sambil meringis menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya.Kalandra meminta Naraya untuk berbaring dengan posisi miring menghadap ke arahnya, lalu dia mengusap-usap pinggang istrinya itu.“Bagaimana?” tanya Kalandra. Biasanya jika diusap seperti itu, Naraya akan merasa nyaman.“Masih sakit,” rengek Naraya.“Aku ingin bangun,” ucap Naraya berusaha bangun.Kalandra buru-buru bangun, kemudian membantu Naraya untuk duduk. Dia cemas karena tidak biasanya Naraya mengeluh sampai seperti itu.Naraya mengangsurkan kaki perlahan ke lantai, hingga saat kedua kaki menapak di lantai, Naraya merasakan sesuatu pecah dan kini di paha mengalir air sampai menet
“Aku juga awalnya malu, Man. Tapi kemudian aku berpikir, untuk apa malu, entah sekarang atau esok, aku tetap harus melakukannya, tidak mungkin mengecewakannya.”Ucapan Naraya terngiang di telinga, Amanda kini sedang di kamar mandi dan baru saja membersihkan diri setelah acara resepsi selesai sekitar empat jam yang lalu. Dia berada di kamar mandi kamar Kenan, terlihat bingung karena ini adalah malam pertama mereka di sana.“Bagaimana jika Kenan terlanjut tidak menginginkan karena aku menundanya beberapa kali?” Amanda bertanya-tanya sendiri karena bingung harus bagaimana.Kenan terlalu baik dengan menyetujui untuk menunda melakukan hubungan suami-istri, tapi Amanda sendiri tidak tahu apakah benar Kenan ikhlas atau hanya terpaksa.Amanda menoleh ke belakang di mana ada lingerie yang disiapkannya tapi belum dikenakan. Haruskah dia menggoda Kenan, agar suaminya itu tahu kalau dia sekarang sudah siap.“Baiklah, kamu wanita modern dan tidak takut akan hal itu, Man.” Amanda menyemangati diri
Hari itu Naraya hanya duduk menanti acara resepsi pernikahan Amanda dan Kenan dimulai. Dia tidak bisa membantu banyak hal karena kondisinya yang sudah hamil besar.Orang-orang berlalu-lalang menyiapkan diri untuk berangkat menuju rumah Kenan. Amanda sudah didandani begitu cantik dengan gaun yang tidak terlalu mewah tapi begitu indah.“Kita siap berangkat sekarang,” kata Kalandra saat menghampiri istrinya.Naraya mengangguk, kemudian berusaha berdiri meski agak kesusahan. Kalandra pun dengan sigap memegang pundak dan lengan Naraya, membantu istrinya itu berdiri dengan tegap.“Terima kasih,” ucap Naraya setelah sudah berdiri dengan benar.“Ra, apa kamu sakit?” tanya Kalandra karena wajah Naraya terlihat pucat. Kalandra takut jika istrinya kecapean.Naraya menangkup kedua pipi saat mendengar pertanyaan Kalandra, dia sudah menggunakan make up tipis, apa mungkin masih terlihat pucat.“Aku baik-baik saja, mungkin karena semalam kurang tidur akibat mereka terus menendang,” jawab Naraya sambi
Hari pernikahan Kenan dan Amanda pun tiba, mereka menikah tiga bulan setelah acara lamaran berlangsung. Mereka melakukan akad di rumah Amanda, tapi sepakat mengadakan pesta di rumah Kenan karena Milea yang meminta dan disetujui oleh keluarga Amanda.Naraya sendiri senang karena pesta diadakan di rumah Milea, sehingga dia tidak harus bepergian ke luar kota dalam kondisi hamil besar. Usia kandungan Naraya kini sudah memasuki usia delapan bulan, dan ukuran perutnya pun begitu besar karena bagi kembarnya.“Untung kalian menikah di sini, jadi aku tidak kerepotan pergi ke luar kota,” ucap Naraya saat mendatangi kamar Amanda.Amanda dan keluarganya diberi tempat di rumah Evangeline agar memudahkan mereka saat pergi ke rumah Kenan.Amanda langsung berlutut di depan Naraya yang sedang duduk, lantas mengusap-usap lembut permukaan perut temannya itu.“Aunty ‘kan baik, jadi ga mau nyusahin kalian,” ucap Amanda dengan tangan mengelus perut Naraya.Usai bicara demikian, terasa gerakan bergeser di p
Kalandra berbaring berbantal paha Naraya, dengan posisi miring dia menghadap ke perut sang istri dan terlihat sesekali menciumnya manja.“Apa mereka lapar atau menginginkan sesuatu?” tanya Kalandra sambil mengusap perut Naraya lagi.“Mereka sudah makan banyak tadi, jadi ga mau apa-apa lagi,” jawab Naraya sambil mengusap rambut suaminya.Kalandra kembali mencium perut Naraya, sebelum kemudian bangun dan mencium bibir istrinya itu.“Sekarang papinya yang menginginkan sesuatu,” ujar Kalandra dengan senyum menggoda.“Mau apa?” tanya Naraya dengan dahi berkerut halus.“Mau nengokin mereka,” jawab Kalandra tanpa basa-basi.Naraya terkesiap tapi kemudian terlihat malu karena ternyata suaminya meminta jatah. Kalandra memang tidak pernah meminta saat usia kandungannya masih di trimester pertama, itu karena larangan dari dokter agar kondisi jalan rahimnya tidak terbuka karena berhubungan intim. Namun, dokter mengizinkan jika berhubungan setelah masuk di trimester kedua.“Boleh, tapi jangan buat
Hari itu Naraya dan yang lainnya pergi untuk ikut dalam acara lamaran yang akan dilakukan Kenan. Setelah beberapa bulan berpacaran, akhirnya Kenan memantapkan hati untuk melamar Amanda.Semua orang singgah di hotel sebelum acara lamaran yang akan dilakukan esok hari, sedangkan Naraya meminta izin tinggal di rumah Amanda karena melepas rindu dengan temannya itu.“Perutmu besar sekali, Na? Bukankah kamu bilang baru lima bulan?” tanya Amanda keheranan.“Aku lupa bilang kalau mereka kembar,” ujar Naraya saat melihat temannya terheran-heran melihat perutnya yang besar.“Kembar?” Amanda seolah tidak percaya jika Naraya akan memiliki bayi kembar.Naraya mengangguk-angguk, sebelum kemudian berbisik, “Mereka laki-laki.”Amanda semakin tidak percaya karena Naraya bisa seberuntung itu. Dia menyentuh perut Naraya yang besar, penasaran sedang apa bayi kembar Naraya sekarang.Saat tangan Amanda sedang menyentuh dan mengusap lembut, tiba-tiba terasa gerakan dari dalam sana.“Mereka bergerak.” Amanda