Evengeline baru saja bangun dan langsung pergi ke kamar Naraya untuk melihat kondisi gadis itu. Hingga dia sangat terkejut ketika melihat Naraya yang tidur sambil menggenggam telapak tangan Kalandra.Kalandra sendiri sudah bangun, dia menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Kalandra memberikan isyarat ke ibunya agar tidak bersuara. Pemuda itu mencoba melepas genggaman tangan dari Naraya dan bangun dengan perlahan untuk membicaraka soal kondisi Naraya saat ini.“Kenapa kamu berada di kamar Anira sepagi ini?” tanya Evangeline saat mereka sudah di luar kamar Naraya.Kalandra menutup pintu kamar Naraya dengan perlahan, sebelum kemudian memandang sang mama yang menunggu jawabannya.“Semalam Anira mimpi buruk lagi, Ma. Tampaknya kejadian itu benar-benar membuatnya trauma,” jawab Kalandra menjelaskan.Evangeline sangat terkejut, hingga terlihat jelas gurat kecemasan di wajah wanita paruh baya itu.“Sekarang bagaimana? Apa kita ajak Naraya ke psikiater saja? Mama takut jika Anira terus
“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Kalandra sambil menatap Naraya yang duduk di hadapannya.Naraya mengangguk-angguk, dia menggenggam kedua telapak tangan Kalandra begitu erat.“Aku tidak bisa terus seperti ini, Al. Aku selalu takut memejamkan mata, takut jika mimpi itu akan kembali hadir. Kejadian itu benar-benar terus menghantui dalam tidurku,” jawab Naraya.Kalandra bisa melihat ketakutan di raut wajah Naraya, sebenarnya juga sedikit lega karena Naraya mau pergi ke psikiater untuk menyembuhkan mental akibat trauma karena kejadian hari itu.“Baiklah, nanti kita pergi ke psikiater agar kamu bisa sedikit tenang,” ujar Kalandra kemudian.**Seperti malam sebelumnya. Naraya kembali bermimpi buruk, Kalandra yang mencemaskan kondisi Naraya, malam itu memang sengaja berada di kamar Naraya tanpa sepengetahuan gadis itu. Dia tidur di sofa, hingga terbangun saat mendengar suara isak tangis Naraya.Kalandra menghampiri Naraya, kemudian mencoba membangunkan gadis itu dari mimpi buruk.“Ra, ba
“Papa dulu pernah mengalami trauma apa? Kata dokter psikiater yang Papa sarankan, Papa juga pernah mengalami hal seperti Anira.” Kalandra penasaran dengan hal yang terjadi kepada ayahnya, sehingga memberanikan diri bertanya langsung ke Devan.Devan sedang menyesap kopi saat Kalandra bertanya, membuat pria itu tersedak akibat pertanyaan putranya.Mereka sedang berbincang di samping rumah, menikmati sore sebagai ayah dan anak.“Benar terjadi sesuatu, ya? Nyatanya Papa sampai terkejut,” ujar Kalandra sambil mengamati ayahnya.Devan memilih mengusap permukaan bibir setelah terbatuk sesaat, sebelum menjawab pertanyaan putranya.“Itu sudah menjadi trauma masa lalu, kamu tidak perlu tahu,” kata Devan yang sebenarnya malu menceritakan hal yang menimpanya.“Tapi kalau memang Papa dan Anira mengalami hal yang sama, tidak ada salahnya Papa bercerita dan memberikan solusi agar Anira bisa sedikit melawan rasa takutnya,” ujar Kalandra sambil memandang sang ayah. “Teman Papa berkata jika rasa takut
Hari itu Naraya dan Kalandra pergi ke butik langganan Evangeline ditemani wanita itu. Mereka ke sana untuk memesan gaun, setelah sebelumnya sudah menentukan kapan pernikahan Naraya dan Kalandra akan dilakukan.“Hati-hati.” Kalandra membantu Naraya masuk agar tidak menabrak sesuatu di butik itu.“Ada yang bisa kami bantu?” Seorang pelayan mendekat dan menyambut Kalandra juga yang lain.“Aku ingin memesan gaun pengantin dan setelan jas untuk putra dan calon menantuku.” Evangeline bicara sambil mengamati gaun dan pakaian yang terpajang di toko itu.Pelayan wanita itu tersenyum hangat, kemudian melirik Kalandra yang berpenampilan sangat menarik, lantas menatap Naraya yang terlihat biasa saja.“Saya akan menunjukkan gaun terbaik di butik ini.” Pelayan wanita itu bicara sedikit centil sambil melirik Kalandra.Kalandra tidak memperhatikan, tangannya sibuk menggenggam tangan Naraya.Pelayan itu memanggil rekannya, hendak meminta untuk melayani Naraya dan dia sendiri bermaksud melayani Kalandr
“Apa mereka mengatakan sesuatu tentangmu?”Pertanyaan kembali terlontar karena Evangeline tidak percaya jika tidak terjadi apa-apa, tapi Naraya tiba-tiba berkata demikian. Evangeline melirik tajam kepada kedua pelayan yang berdiri dan menunduk di belakang Naraya.“Beneran tidak ada, Ma. Aku hanya berpikir jika apa pun pilihan Mama pasti bagus,” elak Naraya tidak enak hati karena reaksi Evangeline.Evangeline menatap tajam ke pelayan yang kini saling senggol, kecurigaannya pun semakin menjadi-jadi karena tingkah keduanya.“Kalian mengatakan sesuatu kepadanya!” bentak Evangeline. Ini adalah pertama kalinya Evangeline membentak, biasanya wanita itu selalu bersikap lemah lembut.Tepat saat Evangeline membentak, Kalandra muncul di sana untuk memperlihatkan jas pilihannya.“Ada apa ini, Ma?” tanya Kalandra saat melihat sang mama terlihat begitu murka.Kedua pelayan itu ketakutan, hingga mereka langsung membungkuk meminta maaf.“Kami minta maaf, tidak sengaja membicarakan Nona ini yang buta,
“Kamu dengar mereka menggunjingmu?” tanya Kalandra saat berada di kamar bersama Naraya.Kalandra duduk di samping Naraya sambil menggenggam erat telapak tangan gadis itu.“Itu hanya salah paham, Al. Aku juga salah bicara, makanya Mama Ivi marah,” jawab Naraya masih tidak enak karena masalah di butik.“Ra, kamu tidak usah bohong. Aku tahu kamu bagaimana, kamu tidak akan mengatakan sesuatu, jika tidak ada pemicunya,” ujar Kalandra masih tidak percaya jika tidak ada apa-apa yang bisa membuat sang mama marah.Naraya mengulum bibir, memang tidak bisa jika berbohong kepada pemuda itu.“Aku saja yang mungkin terlalu sensitif, Al. Entah kenapa mendengar ucapan mereka, membuatku tiba-tiba kesal dan salah bicara,” ujar Naraya akhirnya jujur.Kalandra pun mendengarkan dengan seksama Naraya yang sedang bercerita tentang hal yang didengarnya.“Karena itu, Al. Mungkin lebih baik jika tidak usah ada pesta, aku hanya tidak ingin jika ada pembicaraan buruk tentang kalian,” ujar Naraya lagi.Kalandra k
“Ra, kamu ga lupa sama aku, ‘kan?”Naraya menajamkan pendengaran saat mendengar suara menyapanya. Memastikan suara siapa yang didengarnya saat ini.“Kak Ica.” Naraya masih mengingat suara itu meski sudah sepuluh tahun tidak bertemu dan mendengar.Angel senang karena Naraya mengingat namanya, hingga menghampiri sambil melirik Kalandra.“Aku masih musuhan sama kamu,” ketus Angel ke Kalandra.Kalandra hanya bisa menghela napas kasar, lantas berdiri karena diusir Angel. Kini pemuda itu hanya berdiri di samping ranjang sambil bersedekap dada.Naraya senang mengetahui Angel di sana, senyum tidak pudar dari wajah, tangan meraba karena ingin menyentuh gadis yang umurnya lebih tua darinya dan dulu sering mengajak main juga berbagi makanan dengannya.“Kak Ica bagaimana kabarnya?” tanya Naraya begitu senang.Angel meraih tangan Naraya, terlihat senyum di bibir gadis berumur tiga puluh satu tahun itu.“Aku baik, Ra. Senangnya bisa melihatmu lagi di sini.” Angel mengusap pipi Naraya, menyayangi ga
Kenan mengajak Amanda mampir makan setelah pulang bekerja. Mereka pergi ke sebuah kafe yang tidak terlalu jauh dari rumah Amanda.“Aku senang akhirnya Naraya akan menikah dengan Kalandra,” ujar Amanda saat mereka baru saja turun dari mobil dan kini berjalan menuju kafe.Kenan menoleh Amanda yang berjalan di sampingnya, hingga kemudian menautkan jemari mereka.Amanda terkejut karena Kenan langsung menggenggam telapak tangannya, tapi kemudian tersenyum karena malu juga senang.“Apa kamu mau menikah juga? Aku akan melamarmu,” ucap Kenan dengan suara lirih.“Hah? Apa?” Amanda terkejut mendengar ucapan Kenan yang terdengar samar-samar.“Memangnya aku bicara apa?” Bukannya mengulang apa yang dikatakan tadi, Kenan malah bertanya balik.“Kamu tadi mengatakan sesuatu,” ujar Amanda kesal karena Kenan suka sekali bicara pelan, kemudian tidak mau mengulang.“Tidak ada, mungkin kamu salah dengar,” balas Kenan santai, masih dengan jemari saling menggenggam.Amanda mengerucutkan bibir, hingga kemudi