Prang!!!Terdengar suara benda pecah dari kamar Naraya. Ternyata Naraya sedang ingin mengambil air minum, tapi tanpa sengaja tangan menyenggol gelas yang ada di meja.Kalandra yang kebetulan belum berangkat kerja pun terkejut, hingga berlari masuk kamar dan melihat Naraya yang berdiri dengan pecahan gelas di sekitarnya.“Ra! Jangan bergerak!” Kalandra panik. Dia langsung berlari kemudian mengangkat tubuh Naraya, membawanya ke sofa yang lebih aman.Evangeline dan salah satu pembantu juga datang, mereka terkejut melihat yang terjadi.“Bersihkan itu!” perintah Kalandra ke pelayan rumah.“Ada apa?” tanya Evangeline mendekat ke sofa.Kalandra langsung mengecek kaki Naraya, takut jika ada pecahan gelas yang menggores kaki istrinya itu.“Aku hanya tidak sengaja menyenggol gelas,” ucap Naraya meski sebenarnya jantung kini berdegup dengan cepat.Evangeline ikut memperhatikan kaki Naraya, tapi untungnya tidak ada pecahan gelas yang menggores kaki Naraya.“Al, aku tiba-tiba ingat Ibu,” ucap Nara
Naraya sangat terkejut mendengar permintaan Nayla, terlebih adiknya itu bicara sambil menangis.“Ibu sakit apa, Nay? Kenapa kamu sampai menangis seperti itu?” tanya Naraya yang mulai panik, bahkan kini jantungnya berdegup semakin cepat karena kekhawatirannya akan sang ibu terbukti.Naraya mendengar Nayla semakin menangis menjadi-jadi, bahkan kini terisak dan sampai sesenggukan. Kalandra dan Evangeline hanya mendengarkan, harus memastikan dulu apa yang sebenarnya terjadi.“Nay, tenanglah. Jangan membuatku takut,” ucap Naraya yang merasa jika memang terjadi sesuatu dengan ibunya.“Ibu terkena kanker paru-paru stadium empat, Na. Tadi pagi ibu batuk darah hingga muntah. Kemungkinan Ibu sembuh sangat kecil, Ibu berkata sangat ingin melihatmu sebagai permintaan terakhir. Aku mohon datang dan temui dia, aku mohon.” Suara Nayla begitu memelas dan pilu.Jantung Naraya seperti diremas begitu kuat mendengar ibunya mengidap kanker paru-paru. Tubuhnya seketika lemas dan pandangannya kabur, hingga
“Jika Ibu mati, kamu ambil mata Ibu untuk mengganti matamu ya, Na.” Naraya sangat terkejut mendengar ucapan ibunya. Dia dan Kalandra sampai di kota itu saat sore hari, mereka langsung pergi ke kamar inap Sofi dan wanita itu ternyata sudah sadar, meski masih lemas dan belum bisa bangun. “Ibu bicara apa? Ibu akan sehat kembali, aku dan Al akan bantu pengobatan Ibu. Iya ‘kan, Al?” Naraya mencoba meyakinkan sang ibu jika semuanya akan baik-baik saja. “Aku akan membantu pengobatan Ibu sampai sembuh,” timpal Kalandra memberikan perhatiannya demi menenangkan perasaan istrinya. Nayla menahan tangisnya, kenapa ucapan Sofi seperti sudah sangat dekat dengan kematian, membuat bulu kuduk Nayla sampai berdiri. Sofi tersenyum mendengar ucapan Naraya, tapi dirinya memang sudah putus asa akan hidupnya. Dia ternyata sudah tahu akan penyakitnya dari lama, tapi Sofi memilih diam dan tidak memberitahukan kondisinya ke anak-anaknya. Naraya duduk sambil meraba dan meraih telapak tangan Sofi, sebelum ke
Nayla bangun lebih awal pagi itu, dia ternyata bermimpi buruk hingga membuatnya terjaga sebelum fajar menyapa. Nayla melihat Naraya yang tidur di sofa, sedangkan Kalandra tidur sambil duduk.Nayla meregangkan kedua tangan ke atas, tubuhnya terasa kaku karena semalaman tidur dengan posisi duduk dan kepala bersandar di tepian ranjang Sofi. Dia melihat cairan infus di kantong habis, membuat Nayla buru-buru bangun untuk menekan tombol darurat agar perawat datang.Namun, saat tangan siap menekan bel, tatapan Nayla tertuju ke wajah Sofi yang begitu pucat. Nayla tetap menekan bel kemudian memberanikan diri menyentuh pipi Sofi dan merasakan dinginnya kulit wajah sang ibu.“Bu.” Nayla mencoba memanggil ibunya.Namun, tidak ada respon dari Sofi, hingga Nayla akhirnya menyentuhkan telunjuk untuk mengecek napas sang ibu, karena tidak ada gerakan pada dada ibunya.Tidak ada napas yang keluar, membuat tangan Nayla gemetar. Saat itu perawat masuk, lantas mendekat ke ranjang Sofi.“Sus, kenapa napas
“Na, Ibu hanya ingin kamu bahagia. Anggap ini penebusan dosa karena Ibu telah banyak menyakitimu. Tolong jangan menolak, lihatlah duniamu sekali lagi dengan mata yang Ibu berikan.”Suara itu terus terngiang meski itu tidak nyata. Naraya akhirnya menerima donor mata dari ibunya karena Nayla pun terus memaksa. Hingga dia kini baru saja menjalani operasi setelah dilakukan beberapa tes. Kedua matanya kini tertutup perban, Naraya berbaring meski tidak dalam kondisi tidur. Dia menunggu sampai dokter membuka penutup itu di saat mata barunya siap untuk melihat.“Na.” Suara Kalandra terdengar merdu di telinga. Naraya menanggapinya hanya dengan sebuah gumaman.“Kamu ingin makan?” tanya Kalandra karena tahu jika Naraya tidak tidur tapi hanya diam saja.“Tidak,” jawab Naraya, “apa Ibu sudah dimakamkan?” tanyanya kemudian.“Sudah pagi tadi,” jawab Kalandra yang kemudian menggenggam telapak tangan istrinya.Sofi dimakamkan sehari setelah meninggal, setelah mendonorkan mata untuk Naraya.Naraya jela
Lima hari pasca operasi, akhirnya hari ini dokter akan membuka perban Naraya. Di ruangan itu, kini sudah ada Kalandra, Evangeline, Devan, bahkan Nayla, Amanda, juga Kenan.Naraya sudah duduk bersandar headboard dengan perasaan tegang. Kedua tangan mencengkram erat ujung selimut yang menutupi kaki, setelah sekian lama dirinya tidak bisa melihat, apakah kini akan bisa lagi melihat warna di dunia ini.“Saya akan membuka perbannya,” ucap dokter yang menangani Naraya.Naraya hanya mengangguk tanda setuju, dirinya siap menyambut dunia yang akan kembali berwarna.Kalandra terlihat tegang, terus memperhatikan dokter yang siap membuka perban mata Naraya.Dokter itu mulai membuka perlahan, melepas perban dengan hati-hati, hingga akhirnya sampai di perban terakhir.“Saya akan membuka perban terakhir, saat sudah terbuka, tolong jangan langsung memaksakan membuka kelopak mata. Perlahan saja agar mata tidak terkejut ketika melihat cahaya,” ujar sang dokter menjelaskan dan langsung mendapatkan sebua
Naraya duduk di ranjang ibunya, ranjang sama yang dulu digunakannya tidur berdua dengan sang ibu. Diusapnya bantal milik almarhum ibunya, rasanya masih hangat seolah sang ibu baru saja tidur di sana.“Na.” Suara Nayla membuat Naraya menoleh ke arah pintu.Naraya mengulas senyum melihat adiknya, hingga kemudian menepuk ranjang di sampingnya untuk meminta Nayla duduk di sana.“Nay, Ibu pesan kalau aku harus menjagamu. Kamu ikut aku ke rumah Al, ya.” Naraya membahas masalah tempat tinggal Nayla setelah ibu mereka tiada.Nayla terlihat berpikir, hingga kemudian berkata, “Aku tidak mau menjadi beban bagimu, Na. Sudah cukup aku menyusahkanmu selama ini. Aku akan tetap tinggal di sini bersama semua kenangan Ibu di rumah ini. Lagi pula aku sudah dewasa dan bisa menjaga diriku sendiri.”Naraya menggeleng kepala pelan, tidak akan setuju jika Nayla tinggal sendiri. Dia tentunya mencemaskan keselamatan Nayla jika hidup sendirian.“Tidak, Nay. Apa kamu lupa jika Ibu menitipkanmu kepadaku, dia ingi
“Sangat indah.” Naraya tak henti mengagumi tempat dirinya kini berada.Setelah menikah hampir dua bulan, akhirnya Naraya dan Kalandra baru bisa pergi bulan madu. Mereka pergi ke puncak karena Naraya menolak pergi ke luar negeri. Di sana Naraya berdiri di depan teras rumah, menatap hamparan kebun teh yang menyejukkan mata.Kalandra melingkarkan kedua tangan di pinggang Naraya, lantas menyandarkan dengan manja dagu di pundak istrinya itu.“Indah, apalagi saat bersamamu,” bisik Kalandra.Napas hangat yang menerpa telinga membuat Naraya kegelian, dia sampai sedikit menjauhkan kepala dari wajah suaminya.“Kamu membuatku geli, Al.”“Benarkah? Aku baru tahu kamu bisa geli di telinga.” Bukannya menjauhkan wajahnya dari leher Naraya, Kalandra malah iseng meniup telinga dan kulit leher istrinya itu.Tentu saja hal itu membuat Naraya tertawa sambil menutup lehernya, tidak menyangka jika sang suami bisa seiseng itu.Kalandra mengajak Naraya masuk karena malam sudah mulai menyapa, udara dingin pun