Lima hari pasca operasi, akhirnya hari ini dokter akan membuka perban Naraya. Di ruangan itu, kini sudah ada Kalandra, Evangeline, Devan, bahkan Nayla, Amanda, juga Kenan.Naraya sudah duduk bersandar headboard dengan perasaan tegang. Kedua tangan mencengkram erat ujung selimut yang menutupi kaki, setelah sekian lama dirinya tidak bisa melihat, apakah kini akan bisa lagi melihat warna di dunia ini.“Saya akan membuka perbannya,” ucap dokter yang menangani Naraya.Naraya hanya mengangguk tanda setuju, dirinya siap menyambut dunia yang akan kembali berwarna.Kalandra terlihat tegang, terus memperhatikan dokter yang siap membuka perban mata Naraya.Dokter itu mulai membuka perlahan, melepas perban dengan hati-hati, hingga akhirnya sampai di perban terakhir.“Saya akan membuka perban terakhir, saat sudah terbuka, tolong jangan langsung memaksakan membuka kelopak mata. Perlahan saja agar mata tidak terkejut ketika melihat cahaya,” ujar sang dokter menjelaskan dan langsung mendapatkan sebua
Naraya duduk di ranjang ibunya, ranjang sama yang dulu digunakannya tidur berdua dengan sang ibu. Diusapnya bantal milik almarhum ibunya, rasanya masih hangat seolah sang ibu baru saja tidur di sana.“Na.” Suara Nayla membuat Naraya menoleh ke arah pintu.Naraya mengulas senyum melihat adiknya, hingga kemudian menepuk ranjang di sampingnya untuk meminta Nayla duduk di sana.“Nay, Ibu pesan kalau aku harus menjagamu. Kamu ikut aku ke rumah Al, ya.” Naraya membahas masalah tempat tinggal Nayla setelah ibu mereka tiada.Nayla terlihat berpikir, hingga kemudian berkata, “Aku tidak mau menjadi beban bagimu, Na. Sudah cukup aku menyusahkanmu selama ini. Aku akan tetap tinggal di sini bersama semua kenangan Ibu di rumah ini. Lagi pula aku sudah dewasa dan bisa menjaga diriku sendiri.”Naraya menggeleng kepala pelan, tidak akan setuju jika Nayla tinggal sendiri. Dia tentunya mencemaskan keselamatan Nayla jika hidup sendirian.“Tidak, Nay. Apa kamu lupa jika Ibu menitipkanmu kepadaku, dia ingi
“Sangat indah.” Naraya tak henti mengagumi tempat dirinya kini berada.Setelah menikah hampir dua bulan, akhirnya Naraya dan Kalandra baru bisa pergi bulan madu. Mereka pergi ke puncak karena Naraya menolak pergi ke luar negeri. Di sana Naraya berdiri di depan teras rumah, menatap hamparan kebun teh yang menyejukkan mata.Kalandra melingkarkan kedua tangan di pinggang Naraya, lantas menyandarkan dengan manja dagu di pundak istrinya itu.“Indah, apalagi saat bersamamu,” bisik Kalandra.Napas hangat yang menerpa telinga membuat Naraya kegelian, dia sampai sedikit menjauhkan kepala dari wajah suaminya.“Kamu membuatku geli, Al.”“Benarkah? Aku baru tahu kamu bisa geli di telinga.” Bukannya menjauhkan wajahnya dari leher Naraya, Kalandra malah iseng meniup telinga dan kulit leher istrinya itu.Tentu saja hal itu membuat Naraya tertawa sambil menutup lehernya, tidak menyangka jika sang suami bisa seiseng itu.Kalandra mengajak Naraya masuk karena malam sudah mulai menyapa, udara dingin pun
Naraya masuk ke kafe dan tampak mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kafe itu. Dia sudah pulang dari liburan dua hari yang lalu karena Kalandra harus kembali bekerja karena ada proyek yang harus dikerjakan.Saat melihat apa yang dicari, Naraya pun melambaikan tangan dengan senyum lebar di wajah. Dia pergi ke kafe tempat Nayla bekerja, sengaja ke sana karena ingin melihat adiknya bekerja.Nayla baru saja selesai menyajikan minuman ke pengunjung, hingga membalas lambaian tangan sang kakak saat melihat Naraya datang. Dia tersenyum lebar, sebelum kemudian berjalan menghampiri kakaknya itu.“Kenapa kamu ke sini?” tanya Nayla sambil memeluk nampan yang dibawa.“Mau main memangnya tidak boleh,” jawab Naraya dengan senyum masih merekah di wajah.Nayla pun mempersilakan Naraya duduk layaknya tamu kafe, kemudian memberikan buku menu karena Naraya memintanya.“Aku bosan di rumah jadi berpikir buat ke sini,” kata Naraya sambil melihat-lihat menu makanan.“Ya, memang kalau di rumah terus membo
Nayla baru saja keluar dari dapur setelah selesai mengecek perkejaannya, hingga dia melihat seorang wanita sedang berdiri di samping meja sang kakak sambil memarahi. Tentu saja Nayla tidak akan tinggal diam melihat kakaknya dimarahi orang lain, hingga dia pun mendekat untuk membela sang kakak.Namun, saat Nayla baru saja akan sampai di meja Naraya, dia melihat wanita yang bersama kakaknya mengangkat tangan dan siap memukul, membuat Nayla murka dan buru-buru mendekat.Sebelum tangan Stella melayang ke pipi Naraya, Nayla sudah dulu menarik tangan wanita itu kemudian mendaratkan tamparan di pipi Stella.Plak!Suara tamparan itu begitu keras, hingga pengunjung kafe terkejut dan kini menatap ke arah Naraya dan Nayla.Naraya pun terkejut, ditatapnya sang adik yang kini berdiri di samping Stella dan baru saja melepas tangan wanita itu.“Nay.” Naraya tidak menyangka jika Nayla akan memukul Stella.“Jangan coba-coba memukul kakakku, karena itu yang akan kamu dapatkan!” Nayla bicara sambil menu
Kalandra dan yang lainnya menatap Naraya dengan rasa heran saat mereka berada di meja makan. Tidak biasanya Naraya makan dalam porsi banyak, bahkan bisa dibilang kali ini dua kali lipat dari biasanya Naraya makan.“Kenapa kalian menatapku?” tanya Naraya saat menyadari jika semua tatapan tertuju ke arahnya.Evangeline dan yang lain langsung mengalihkan tatapan, kemudian fokus menyantap makanan mereka, sedangkan Kalandra masih menatap sang istri yang duduk di sampingnya.“Kamu yakin bisa menghabiskan itu?” tanya Kalandra sambil melirik piring Naraya.Naraya menatap piringnya yang memang penuh dengan lauk, hingga kemudian mengangguk untuk menjawab pertanyaan sang suami.“Habis, ini lauknya enak, makanya aku makan banyak,” ujar Naraya memberi alasan yang bisa diterima semua orang.Kalandra akhirnya membiarkan asalkan Naraya bisa menghabiskannya.Selepas makan malam, Kalandra pergi ke ruang kerja untuk mengambil berkas dan laptop, hendak membawanya dan mengerjakan di kamar. Saat baru saja
Saat pagi menyapa, Kalandra meraba sisi ranjang yang ternyata sudah kosong. Dia mencoba membuka kelopak mata perlahan karena sang istri sudah tidak berada di sampingnya. Kalandra bangun dan mengedarkan pandangan, tapi tidak mendapati Naraya di kamar. Waktu baru saja menunjukkan pukul empat pagi, tidak mungkin Naraya bangun dan keluar.“Ra!” panggil Kalandra yang berpikir Naraya berada di kamar mandi.“Ya, aku di kamar mandi!” Benar saja, Naraya ternyata ada di sana.Kalandra menyibakkan selimut yang menutupi kaki, lantas turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.“Kamu kenapa? Sakit perut?” tanya Kalandra cemas karena tidak biasanya Naraya bangun sepagi ini.Tidak ada jawaban dari dalam, membuat Kalandra semakin yakin jika Naraya pasti mulas karena kebanyakan makan mangga muda semalam.Beberapa saat kemudian, pintu kamar mandi terbuka, Naraya keluar sambil memegangi perutnya. Dia berdiri di ambang pintu menatap suami yang memasang wajah garang.“Lihat! Kamu dibilang malah nge
Kalandra menautkan jemarinya dengan Naraya, bahkan sesekali mengusap perut sang istri yang masih datar hingga membuat siapapun yang melihatnya iri.Naraya sampai tersipu malu, melirik ke kanan dan kiri saat beberapa orang yang duduk maupun berlalu lalang menatap ke arahnya.Mereka berada di rumah sakit untuk memastikan kehamilan Naraya, Kalandra bersikukuh ikut karena ingin mengetahui bagaimana kondisi janin calon bayinya.“Al, kamu membuat semua orang menatap ke arah kita,” ujar Naraya dengan setengah berbisik.“Menatap kenapa?” Kalandra mengabaikan pandangan semua orang karena merasa tidak salah.“Kamu terus menggenggam jemariku, belum lagi mengusap perut yang datar,” bisik Naraya.Kalandra menengok ke sekitar, lantas kembali menatap Naraya.“Biarkan saja, aku menggenggam jemari dan mengusap perut istriku, memangnya salah?”Naraya kalah telak mendengar ucapan suaminya, hingga akhirnya memilih diam saja.Nama Naraya pun dipanggil, dia dan suaminya pun masuk ke ruang pemeriksaan.Dokt
“Aku mau gendong bayinya.” Amanda yang baru saja datang, mengambil alih bayi yang berada di gendongan Nayla.“Dia tampan sekali,” ujar Amanda saat menggendong bayi itu.“Cantik, dia itu cewek.” Nayla meralat karena yang digendong Amanda adalah Abigail.Amanda terlihat bingung, bukankah Naraya bilang hamil anak kembar laki-laki, kenapa jadi perempuan.“Jadi, anak kembarnya Na itu sebenarnya cewek dan cowok.” Nayla kembali menjelaskan.“Wah … ternyata mereka sepasang,” gumam Amanda penuh pengaguman.Naraya sudah bisa duduk, Kalandra menemaninya dengan duduk di ranjang samping Naraya dan jemarin mereka saling bertautan.Ayres dikuasi Milea dan Evangeline karena bayi laki-laki itu sangat menggemaskan.“Man, kamu juga cepetan hamil ya, ga usah nunda-nunda apalagi pakai kontrasepsi. Mama ‘kan juga mau punya cucu seperti ini,” ucap Milea yang merasa iri karena Evangeline sudah mendahuluinya mendapatkan cucu, sedangkan dulu saja dia duluan yang mendapatkan anak.Wajah Amanda merona mendengar
“Aku mau gendong.” Nayla begitu bersemangat saat perawat mengantar bayi kembar Naraya ke ruang inap sang kakak.Naraya sudah dipindah ke ruang inap dan akan diobservasi karena kelelahan dan banyak kehilangan cairan tubuh.Naraya hanya tersenyum melihat sang adik yang sangat bersemangat. Tubuhnya masih lemah sehingga tidak mau berebut bayinya dengan Nayla atau Evangeline.Nayla menggendong satu bayi dan Evangeline menggendong bayi satunya, cukup adil karena mereka tidak perlu berebut dan menanti giliran untuk menggendong.“Akan kalian kasih nama siapa?” tanya Devan yang berdiri di samping Evangeline, telunjuk tampak menusuk pipi bayi laki-laki yang terlihat begitu menggemaskan.“Ayres Rajendra dan Abigail Rajendra,” jawab Kalandra. Dia sebenarnya menyiapkan dua nama laki-laki, karena bayi satunya perempuan, membuat Kalandra mencari nama dadakan.“Tunggu, kenapa Abigail? Itu nama cewek.” Protes Nayla sambil menimang bayi perempuan Naraya.“Yang kamu gendong itu perempuan, Nay.” Kalandra
“Kepala bayinya sudah terlihat, apa Ibu siap menyambut mereka?” tanya dokter yang sejak awal memang menangani kehamilan Naraya. Mengajak bicara agar Naraya tidak tegang karena harus berusaha mengeluarkan dua bayi.Naraya tidak mampu berkata-kata, perutnya benar-benar sudah terasa sakit hingga membuatnya hanya menganggukkan kepala.Kalandra setia berada di samping Naraya. Dia menggenggam telapak tangan istriya itu sambil terus menatap ke wajah sang istri. Dia bisa melihat bagaimana Naraya kesakitan bahkan menangis karena akan melahirkan, membuatnya benar-benar tidak tega hingga sesekali mengecup kening Naraya.“Kamu pasti bisa, kamu kuat demi anak kita,” bisik Kalandra memberi semangat.Naraya menggenggam erat telapak tangan Kalandra, sesekali terlihat mengatur napas karena kontraksi yang sudah tidak tertahankan.“Saat kontraksinya terasa kuat, Ibu bisa mulai mengejan,” ujar dokter memberikan aba-aba.Kening sudah bermanik di seluruh wajah Naraya, bahkan kulit wajah pun kini sudah beru
Naraya terlihat gelisah dan tidak bisa tidur malam itu. Pinggangnya terasa panas dan perutnya mulas berulang kali. Dia hendak bergerak ke kanan dan kiri, tapi kesusahan karena perut yang mengganjal.“Ra, kamu tidak bisa tidur lagi?” tanya Kalandra yang bisa merasakan pergerakan Naraya di atas tempat tidur.“Iya, Al. Pinggangku sakit,” ucap Naraya sambil meringis menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya.Kalandra meminta Naraya untuk berbaring dengan posisi miring menghadap ke arahnya, lalu dia mengusap-usap pinggang istrinya itu.“Bagaimana?” tanya Kalandra. Biasanya jika diusap seperti itu, Naraya akan merasa nyaman.“Masih sakit,” rengek Naraya.“Aku ingin bangun,” ucap Naraya berusaha bangun.Kalandra buru-buru bangun, kemudian membantu Naraya untuk duduk. Dia cemas karena tidak biasanya Naraya mengeluh sampai seperti itu.Naraya mengangsurkan kaki perlahan ke lantai, hingga saat kedua kaki menapak di lantai, Naraya merasakan sesuatu pecah dan kini di paha mengalir air sampai menet
“Aku juga awalnya malu, Man. Tapi kemudian aku berpikir, untuk apa malu, entah sekarang atau esok, aku tetap harus melakukannya, tidak mungkin mengecewakannya.”Ucapan Naraya terngiang di telinga, Amanda kini sedang di kamar mandi dan baru saja membersihkan diri setelah acara resepsi selesai sekitar empat jam yang lalu. Dia berada di kamar mandi kamar Kenan, terlihat bingung karena ini adalah malam pertama mereka di sana.“Bagaimana jika Kenan terlanjut tidak menginginkan karena aku menundanya beberapa kali?” Amanda bertanya-tanya sendiri karena bingung harus bagaimana.Kenan terlalu baik dengan menyetujui untuk menunda melakukan hubungan suami-istri, tapi Amanda sendiri tidak tahu apakah benar Kenan ikhlas atau hanya terpaksa.Amanda menoleh ke belakang di mana ada lingerie yang disiapkannya tapi belum dikenakan. Haruskah dia menggoda Kenan, agar suaminya itu tahu kalau dia sekarang sudah siap.“Baiklah, kamu wanita modern dan tidak takut akan hal itu, Man.” Amanda menyemangati diri
Hari itu Naraya hanya duduk menanti acara resepsi pernikahan Amanda dan Kenan dimulai. Dia tidak bisa membantu banyak hal karena kondisinya yang sudah hamil besar.Orang-orang berlalu-lalang menyiapkan diri untuk berangkat menuju rumah Kenan. Amanda sudah didandani begitu cantik dengan gaun yang tidak terlalu mewah tapi begitu indah.“Kita siap berangkat sekarang,” kata Kalandra saat menghampiri istrinya.Naraya mengangguk, kemudian berusaha berdiri meski agak kesusahan. Kalandra pun dengan sigap memegang pundak dan lengan Naraya, membantu istrinya itu berdiri dengan tegap.“Terima kasih,” ucap Naraya setelah sudah berdiri dengan benar.“Ra, apa kamu sakit?” tanya Kalandra karena wajah Naraya terlihat pucat. Kalandra takut jika istrinya kecapean.Naraya menangkup kedua pipi saat mendengar pertanyaan Kalandra, dia sudah menggunakan make up tipis, apa mungkin masih terlihat pucat.“Aku baik-baik saja, mungkin karena semalam kurang tidur akibat mereka terus menendang,” jawab Naraya sambi
Hari pernikahan Kenan dan Amanda pun tiba, mereka menikah tiga bulan setelah acara lamaran berlangsung. Mereka melakukan akad di rumah Amanda, tapi sepakat mengadakan pesta di rumah Kenan karena Milea yang meminta dan disetujui oleh keluarga Amanda.Naraya sendiri senang karena pesta diadakan di rumah Milea, sehingga dia tidak harus bepergian ke luar kota dalam kondisi hamil besar. Usia kandungan Naraya kini sudah memasuki usia delapan bulan, dan ukuran perutnya pun begitu besar karena bagi kembarnya.“Untung kalian menikah di sini, jadi aku tidak kerepotan pergi ke luar kota,” ucap Naraya saat mendatangi kamar Amanda.Amanda dan keluarganya diberi tempat di rumah Evangeline agar memudahkan mereka saat pergi ke rumah Kenan.Amanda langsung berlutut di depan Naraya yang sedang duduk, lantas mengusap-usap lembut permukaan perut temannya itu.“Aunty ‘kan baik, jadi ga mau nyusahin kalian,” ucap Amanda dengan tangan mengelus perut Naraya.Usai bicara demikian, terasa gerakan bergeser di p
Kalandra berbaring berbantal paha Naraya, dengan posisi miring dia menghadap ke perut sang istri dan terlihat sesekali menciumnya manja.“Apa mereka lapar atau menginginkan sesuatu?” tanya Kalandra sambil mengusap perut Naraya lagi.“Mereka sudah makan banyak tadi, jadi ga mau apa-apa lagi,” jawab Naraya sambil mengusap rambut suaminya.Kalandra kembali mencium perut Naraya, sebelum kemudian bangun dan mencium bibir istrinya itu.“Sekarang papinya yang menginginkan sesuatu,” ujar Kalandra dengan senyum menggoda.“Mau apa?” tanya Naraya dengan dahi berkerut halus.“Mau nengokin mereka,” jawab Kalandra tanpa basa-basi.Naraya terkesiap tapi kemudian terlihat malu karena ternyata suaminya meminta jatah. Kalandra memang tidak pernah meminta saat usia kandungannya masih di trimester pertama, itu karena larangan dari dokter agar kondisi jalan rahimnya tidak terbuka karena berhubungan intim. Namun, dokter mengizinkan jika berhubungan setelah masuk di trimester kedua.“Boleh, tapi jangan buat
Hari itu Naraya dan yang lainnya pergi untuk ikut dalam acara lamaran yang akan dilakukan Kenan. Setelah beberapa bulan berpacaran, akhirnya Kenan memantapkan hati untuk melamar Amanda.Semua orang singgah di hotel sebelum acara lamaran yang akan dilakukan esok hari, sedangkan Naraya meminta izin tinggal di rumah Amanda karena melepas rindu dengan temannya itu.“Perutmu besar sekali, Na? Bukankah kamu bilang baru lima bulan?” tanya Amanda keheranan.“Aku lupa bilang kalau mereka kembar,” ujar Naraya saat melihat temannya terheran-heran melihat perutnya yang besar.“Kembar?” Amanda seolah tidak percaya jika Naraya akan memiliki bayi kembar.Naraya mengangguk-angguk, sebelum kemudian berbisik, “Mereka laki-laki.”Amanda semakin tidak percaya karena Naraya bisa seberuntung itu. Dia menyentuh perut Naraya yang besar, penasaran sedang apa bayi kembar Naraya sekarang.Saat tangan Amanda sedang menyentuh dan mengusap lembut, tiba-tiba terasa gerakan dari dalam sana.“Mereka bergerak.” Amanda