“Apa dia sudah tidur?” tanya Kalandra saat melihat Evangeline keluar dari kamar.Evangeline menutup pintu perlahan agar Naraya tidak terkejut karena sudah tidur dengan lelap.“Sudah, dia mungkin lelah karena rangkaian kejadian yang dialaminya,” jawab Evangeline.Kalandra menatap pintu kamar Naraya, lantas mengajak ibunya duduk di sofa.“Aku menyesal meninggalkan dia sendiri, Ma.” Kalandra membaringkan tubuh di sofa, lantas meletakkan kepala di pangkuan ibunya.Evangeline paham dengan yang dirasakan Kalandra, karena harus menjemput dirinya di bandara, sang putra meninggalkan Naraya dan berakhir dengan kejadian percobaan pemerkosaan yang harus dialami Naraya. Evangeline mengelus rambut Kalandra berulang kali agar putranya itu sedikit tenang.“Dia sangat trauma, bahkan saat aku menyentuhnya pun dia terkejut. Aku benar-benar merasa bersalah,” ujar Kalandra lagi.Buliran kristal bening luruh dari kelopak mata, menetes hingga jatuh di pangkuan ibunya.“Jangan menyalahkan diri sendiri, Al. S
“Apa semua sudah siap?”Kalandra sudah menenteng tas berisi pakaian dan kebutuhan miliknya juga Naraya, hari ini mereka akan pulang ke rumah Evangeline.“Sepertinya sudah semua,” kata Evangeline kembali mengecek barang bawaan mereka.Naraya hanya duduk mendengarkan dua orang itu bicara, tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu.“Baiklah, ayo pergi.” Kalandra terlihat begitu bahagia karena akhirnya bisa membawa pulang Naraya.Evangeline mengangguk, lantas menghampiri Naraya kemudian membantu gadis itu berdiri. Mereka bersiap meninggalkan tempat yang membuat Naraya mengingat kenangan buruk.Kalandra membawa barang bawaan mereka, sedangkan Naraya berjalan bersama Evangeline. Mereka sama-sama turun ke basement karena akan pulang menggunakan mobil.Saat sampai di basement, ternyata Kenan dan Amanda ada di sana. Mereka berdua izin datang terlambat dari rumah sakit agar bisa berpamitan dengan Naraya.“Na.” Amanda langsung mendekat dan memeluk temannya itu.Naraya senang karena bisa mend
Naraya duduk di taman ditemani Evangeline, sedangkan Kalandra memilih berdiri agak jauh karena tidak ingin melihat drama yang akan terjadi.Satu tangan Naraya menggenggam tongkat, sedangkan tangan satunya menggenggam telapak tangan Evangeline begitu erat.“Apa yang ingin kalian bicarakan, aku harus pergi,” ucap Naraya karena tidak ada sepatah kata pun yang terdengar setelah beberapa menit dirinya duduk.Naraya tiba-tiba merasakan ada yang memeluk kedua kakinya, membuat gadis itu terkejut dan hampir berjingkat.Evangeline menatap Nayla yang kini berlutut dan memeluk kaki Naraya, tampaknya gadis itu sangat menyesal dengan perbuatan yang telah dilakukan.“Na, maafin aku. Aku berterima kasih karena kamu sudah mau membebaskanku. Aku sangat menyesal dengan apa yang telah aku perbuat.” Nayla sangat menyesal dengan perbuatannya, menyadari kesalahannya setelah Naraya berbaik hati mencabut berkas laporan penangkapan Nayla.Sofi menatap Naraya yang hanya diam, tidak tahu apa yang sekarang dipiki
“Ah … aku sekarang kehilangan sahabat yang sangat aku sayangi.” Amanda mengeluh saat mobil yang membawa Naraya sudah pergi.Kenan menoleh, hingga tersenyum menatap gadis yang baru saja menjadi kekasihnya itu.“Sekarang ada aku yang akan menemanimu,” ucap Kenan dengan pandangan tidak teralihkan dari Amanda.Amanda menoleh, hingga melihat senyum yang begitu manis di wajah pemuda yang lebih muda darinya itu. Kenapa Amanda merasa jika dokter muda itu semakin menarik saja.“Apa kamu memang suka merayu?” tanya Amanda dengan nada candaan.“Tidak juga, hanya dengan orang-orang tertentu,” jawab Kenan, lantas meraih telapak tangan Amanda dan menggenggamnya, mengajak gadis itu berjalan menuju ke mobil karena mereka haruske rumah sakit.Amanda menatap genggaman tangan Kenan, hingga beralih menatap pemuda itu. Dirinya tidak menyangka jika bisa jatuh hati kepada dokter rekan kerjanya.**Meski tidak melihat, tapi Naraya bisa merasakan suasana yang berbeda dari kota yang kini didatanginya. Suara bis
“Paman senang kamu kembali ke rumah ini, Ra.” Devan langsung pulang saat mengetahu Evangeline dan yang lainnya sampai di rumah.“Papa, sayang. Dia ‘kan mau nikah sama Al,” bisik Evangeline mengingatkan untuk mengubah nama panggilan mereka.Naraya tersenyum mendengar ucapan Evangeline, keluarga itu memang tidak pernah membedakan dirinya.“Benar juga.” Devan baru ingat akan hal itu.Kalandra menatap Naraya yang terlihat bahagia, meski dengan kekurangan, tapi gadis itu seperti tidak larut dalam kesedihan. Memang benar jika Naraya adalah gadis kuat dan penyabar.“Apa kalian sudah memikirkannya dengan matang? Kalian ingin menikah kapan?” tanya Devan memastikan.“Aku belum tahu, Pa. Aku menunggu Anira siap,” jawab Kalandra sekilas memandang ayahnya, sebelum kemudian kembali beralih menatap Naraya.Naraya mendengarkan apa yang diucapkan Kalandra, tapi tentunya dia tidak bisa membalas ucapan pemuda itu.“Bagaimana denganmu, Ra. Kamu setuju dan siap menikah dengan Kalandra, ‘kan?” tanya Evange
Evengeline baru saja bangun dan langsung pergi ke kamar Naraya untuk melihat kondisi gadis itu. Hingga dia sangat terkejut ketika melihat Naraya yang tidur sambil menggenggam telapak tangan Kalandra.Kalandra sendiri sudah bangun, dia menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Kalandra memberikan isyarat ke ibunya agar tidak bersuara. Pemuda itu mencoba melepas genggaman tangan dari Naraya dan bangun dengan perlahan untuk membicaraka soal kondisi Naraya saat ini.“Kenapa kamu berada di kamar Anira sepagi ini?” tanya Evangeline saat mereka sudah di luar kamar Naraya.Kalandra menutup pintu kamar Naraya dengan perlahan, sebelum kemudian memandang sang mama yang menunggu jawabannya.“Semalam Anira mimpi buruk lagi, Ma. Tampaknya kejadian itu benar-benar membuatnya trauma,” jawab Kalandra menjelaskan.Evangeline sangat terkejut, hingga terlihat jelas gurat kecemasan di wajah wanita paruh baya itu.“Sekarang bagaimana? Apa kita ajak Naraya ke psikiater saja? Mama takut jika Anira terus
“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Kalandra sambil menatap Naraya yang duduk di hadapannya.Naraya mengangguk-angguk, dia menggenggam kedua telapak tangan Kalandra begitu erat.“Aku tidak bisa terus seperti ini, Al. Aku selalu takut memejamkan mata, takut jika mimpi itu akan kembali hadir. Kejadian itu benar-benar terus menghantui dalam tidurku,” jawab Naraya.Kalandra bisa melihat ketakutan di raut wajah Naraya, sebenarnya juga sedikit lega karena Naraya mau pergi ke psikiater untuk menyembuhkan mental akibat trauma karena kejadian hari itu.“Baiklah, nanti kita pergi ke psikiater agar kamu bisa sedikit tenang,” ujar Kalandra kemudian.**Seperti malam sebelumnya. Naraya kembali bermimpi buruk, Kalandra yang mencemaskan kondisi Naraya, malam itu memang sengaja berada di kamar Naraya tanpa sepengetahuan gadis itu. Dia tidur di sofa, hingga terbangun saat mendengar suara isak tangis Naraya.Kalandra menghampiri Naraya, kemudian mencoba membangunkan gadis itu dari mimpi buruk.“Ra, ba
“Papa dulu pernah mengalami trauma apa? Kata dokter psikiater yang Papa sarankan, Papa juga pernah mengalami hal seperti Anira.” Kalandra penasaran dengan hal yang terjadi kepada ayahnya, sehingga memberanikan diri bertanya langsung ke Devan.Devan sedang menyesap kopi saat Kalandra bertanya, membuat pria itu tersedak akibat pertanyaan putranya.Mereka sedang berbincang di samping rumah, menikmati sore sebagai ayah dan anak.“Benar terjadi sesuatu, ya? Nyatanya Papa sampai terkejut,” ujar Kalandra sambil mengamati ayahnya.Devan memilih mengusap permukaan bibir setelah terbatuk sesaat, sebelum menjawab pertanyaan putranya.“Itu sudah menjadi trauma masa lalu, kamu tidak perlu tahu,” kata Devan yang sebenarnya malu menceritakan hal yang menimpanya.“Tapi kalau memang Papa dan Anira mengalami hal yang sama, tidak ada salahnya Papa bercerita dan memberikan solusi agar Anira bisa sedikit melawan rasa takutnya,” ujar Kalandra sambil memandang sang ayah. “Teman Papa berkata jika rasa takut