Sebuah taksi berhenti di depan sebuah gang kecil yang hanya bisa dimasuki kendaraan beroda dua. Elina keluar dari taksi tersebut dan langsung berjalan dengan cepat menuju sebuah bangunan besar dengan banyak pintu. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering.
Ia lebih memilih menemui sahabatnya dulu ketimbang pulang ke rumah. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering menampilkan kontak"Ricky!" Elina memanggil pemuda itu saat melihat dia tengah berdiri di depan kosan sambil memegang ponsel.Dia menoleh dengan raut lega. "Elina!!" Dengan cepat ia menghampiri perempuan itu."Hei, lo dari mana aja? Kenapa telepon gue gak diangkat?" tanyanya tanpa jeda sambil mengguncang pelan bahu yang lebih kecil.Elina melepas cengkraman tangan Ricky dari bahunya. "Gue ceritain di dalem."* * * * *"Gila, Bang Haris, padahal mukanya kayak orang bener." Ricky mendengus setelah Elina selesai bercerita. Sedikit tak menyangka jika Haris yang ia percaya untuk menjaga Elina bisa melakukan hal kotor semacam perselingkuhan. Ia jelas tak terima sahabatnya disakiti.Ingatkan dia untuk memukul wajahnya ketika mereka bertemu lagi."Tapi lo semalem ke mana?" tanya Ricky lagi. Inti pertanyaannya belum terjawab, pergi ke mana Elina semalam?"Itu ...." Elina ragu, haruskah ia mengatakannya juga?"Apa??" tuntut pemuda itu."Gue ...."Ricky tetap menunggu jawaban Elina meski sebenarnya ia sudah tidak sabar. Elina tahu jika dia adalah tipe orang yang tidak bisa digantungkan atau dibuat penasaran seperti ini."… lo gak perlu tau." Jawaban Elina lantas membuat ekspresi Ricky seketika berubah datar."Hei???" protesnya tak terima.Tapi Elina mengabaikannya dan langsung berbaring di atas ranjang pemuda itu dengan posisi membelakanginya."Udah ah, gue mau tidur," ujarnya. Ia pikir meski mereka sudah lama berteman, tapi tak semua hal bisa dibagi bersama.Sementara Ricky berdecak kesal tapi ia pun tak ingin mendesak. Mungkin Elina belum ingin bercerita. Karena itu ia membiarkan Elina tertidur dan ia pergi untuk mengabarkan kedua orang tua perempuan itu jika putrinya sudah aman bersamanya.* * * * *Seperti yang dikatakan Kanaya di pertemuan mereka terakhir kali, wanita itu benar-benar memastikan bahwa pernikahannya dengan Reyhan tidak akan terjadi. Karena itu hari ini kedua keluarga mereka berkumpul untuk membahas hal tersebut.Kedua orang tua Reyhan memohon untuk tetap melanjutkan pertunangan, sementara pihak Kanaya bersikeras untuk membatalkannya termasuk kerja sama kedua perusahaan mereka."Kita belum nikah aja Kak Reyhan udah berani main belakang, gimana nanti pas udah nikah?"Reyhan mendengarkan segala keluh kesah Kanaya terhadapnya dalam diam, tidak membantah meski hal itu tidak benar. Ia sudah terlanjur pasrah dan kecewa.Masih jelas di dalam ingatannya jika kejadian itu bermula dari Kanaya yang mengajaknya untuk minum bersama, tak lama Reyhan kehilangannya kesadaran lalu terbangun bersama Elina. Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi sebelum itu.Namun, bisa-bisanya Kanaya memutarbalikkan segala fakta dan memojokkan dirinya. Dari sini sudah bisa ia simpulkan jika kejadian tersebut adalah ulah Kanaya."Kalo itu maumu, ya udah, perjodohan kita batal," ucap Reyhan.Pada akhirnya semua berjalan sesuai apa yang Kanaya mau. Undangan tak jadi disebar dan pernikahan mereka batal.Reyhan dan Kanaya kini duduk saling berhadapan di ruang pribadi pria itu setelah perundingan kedua keluarga mereka selesai. Hanya ada mereka berdua.Keheningan dibiarkan menerpa. Netra arang Reyhan menatap lurus ke arah mantan tunangannya, pun dengan Kanaya yang balas menatap tanpa gentar."Ini semua ulahmu." Tidak, itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Pernyataan yang mutlak dari Reyhan.Kanaya terkekeh kecil. "Iya," ucapnya tanpa bantahan. Menurutnya tak perlu lagi menyembunyikan apapun. Reyhan adalah pria yang cerdas, ia tentu bisa menangkap maksud dari kejadian ini dengan baik.Reyhan bersidekap dada. "Kenapa? Kalo kamu memang gak mau nerima perjodohan kita, kenapa kamu gak nolak sejak awal?" Dengan begitu, drama seperti ini tidak akan pernah terjadi. Kenapa dia harus melakukannya di saat Reyhan sudah jatuh cinta?"Aku punya orang lain jauh sebelum ketemu kamu, tapi kedua orang tuaku gak mau nerima pacarku dan tetep maksa buat sama kamu. I'm so sorry, but I never love you."Reyhan menghela napas. Ia menerima Kanaya dengan sepenuh hati dan mencoba untuk menjadi calon suami yang baik baginya, ia mencoba mengerti dan memahami semua tentang wanita itu. Tapi ternyata usahanya sia-sia, hanya dirinya saja yang terjatuh sementara hati Kanaya telah berlabuh pada pria lain."Jadi demi bisa lepas dariku kamu sampe bikin skenario kotor kayak gini?""Orang tuaku lebih mentingin bisnis daripada kebahagiaan anak mereka sendiri dan aku gak punya pilihan lain."Lagi-lagi Reyhan menghela napas. Terkadang orang tua memang lebih mementingkan ego mereka sendiri daripada hal lain. Di sini entah pada siapa Reyhan harus menyalahkan. Pada kedua orang tua Kanaya yang egois, atau pada Kanaya sendiri yang telah berbuat licik.Namun, terlepas dari itu semua, Reyhan tetap kecewa karena Kanaya telah berbuat hal licik dan kotor. Terlebih sampai menyeret orang lain yang tak tahu apa-apa perihal masalah mereka, Elina yang notabene orang asing.Seandainya dia berucap jujur sejak awal, mereka tidak akan berakhir seperti ini."Oke, karena sekarang tujuanmu udah berhasil, be happy." Kalimat itu merupakan ucapan terakhir Reyhan sebelum pada akhirnya ia pergi meninggalkan Kanaya sendirian.Semua ini hanya tentang urusan hati. Reyhan memang mencintai Kanaya, tapi jika dia sendiri tak ingin bersamanya, ia pun tak ingin memaksanya.* * * * *Hari-hari Reyhan kembali seperti semula, mononton dan membosankan. Ia hanya akan pergi ke kantor, berkutat dengan banyak berkas hingga larut malam kemudian pulang. Esoknya dan esoknya lagi ia akan melakukan hal yang sama.Sebenarnya kurang lebih tak ada yang perubahan yang signifikan saat sebelum atau sesudah pertunangannya dan Kanaya batal. Rasanya sama saja. Reyhan baru menyadari jika ternyata Kanaya memang seabai itu terhadap dirinya. Cinta memang membuatnya sebodoh itu.Tapi hari ini di kala ia tengah sibuk dengan pekerjaan, tiba-tiba saja ia teringat tentang Elina, wanita asing yang berserat ke dalam permasalahan hidupnya.Kira-kira bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia baik-baik saja?Pikiran Reyhan kini bercabang antara pekerjaan dan Elina. Bagaimana jika wanita itu tak baik-baik saja? Terlebih setelah kejadian itu, mereka berpisah begitu saja. Meskipun Elina mengatakan tak apa-apa, tapi rasanya sekarang ia tak bisa tenang begitu saja.Dia sudah merusak masa depan wanita itu, Reyhan takut jika dia mungkin akan berbuat hal yang nekat, paling parahnya adalah bunuh diri. Elina mungkin terlihat seperti orang yang tegar, tapi kita tak bisa mengetahui bagaimana isi hati orang lain.Poin pentingnya, Reyhan tak mau dihantui rasa bersalah seumur hidup.Karena itu ia meraih telepon di atas meja dan langsung menghubungi asisten pribadinya."Iya, Pak Bos?" sapanya"Tolong cari tahu orang yang namanya Elina."Minggu dan bulan telah berlalu. Tapi nyatanya sekeras apapun Reyhan mencari keberadaan Elina, ia sama sekali tak dapat menemukannya sebab kurangnya informasi yang ia punya. Reyhan hanya tahu sebatas namanya saja dan nama Elina tak hanya satu di negara bahkan di dunia ini. Sang asisten pun sudah berusaha keras. Ia memberi Reyhan banyak informasi tentang data diri orang yang bernama Elina, tapi tak satu pun di antara mereka adalah Elina yang ia maksud.Reyhan bahkan sudah datang ke kelab tempat terakhir mereka bertemu untuk mencari informasi tentang dia, tapi ia justru malah menemukan fakta baru.Malam itu merupakan kunjungan pertama Elina ke kelab tersebut dan dia sudah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan yang disebabkan Kanaya. Rasa bersalah semakin menguasai dirinya. Sial, seharusnya dj hari itu mereka tak hanya sekedar bertukar nama tetapi juga bertukar nomor ponsel.Mobil berwarna hitam yang dikendarai Reyhan berhenti di kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. I
Jantung Elina berdebar-debar tak karuan saat dokter memeriksanya dengan telaten. Di mulai dari mengecek denyut nadi hingga melakukan USG.Akhir-akhir ini ia sering kali merasa keram pada perutnya sehingga Ricky memaksa untuk pergi ke dokter, takutnya ia sakit yang tidak biasa. Awalnya Elina menolak untuk diperiksa. Sebab sudah dua bulan sejak insiden malam itu dan Elina sadar jika jadwal datang bulannya terlambat. Awalnya ia mencoba berpikir positif karena bisa saja ini faktor stres. Tapi kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini menjadi lebih sering lelah, mual yang datangnya tak tau tempat dan juga perutnya yang keram membuatnya agak khawatir."Gak papa kok ini, gak perlu terlalu khawatir. Keram perut memang umum terjadi pas kehamilan," ucap dokter setelah selesai memeriksa.Elina memejamkan matanya mendengar hal tersebut. Kan, apa yang ia khawatirkan menjadi nyata. Sedikit menghela napas, tak menyangka kesalahan malam itu membuahkan hasil. Sial sekali,.padahal ia hanya melakukannya se
"Karena itu …." Elina masih menunggu dengan berdebar-debar, ia menelan ludahnya dengan susah payah. Jika memang ini seperti dugaannya, Reyhan tak menginginkan bayi mereka, maka ia pun tak tahu harus bagaimana."… gue udah mutusin, kalo gue bakal nikahin lo."Terkejut. Elina terdiam mendengar ucapan Reyhan, sedikit tak menyangka pula. Ini tak seperti yang ia duga, tapi bagaimana bisa pria itu mengatakan hal semacam itu dengan mudahnya?Maksudnya, belum lama ini pernikahannya batal, lalu kini dia mengajak wanita lain untuk menikah? Apa kata orang nanti?"Lo serius? Lo sadar ngomong kayak gitu?" Bukan tanpa alasan Elina bertanya hal tersebut. Dilihat dari keadaan Reyhan saat ini, dia terlihat pucat dan lelah. Mungkin saja pria itu berkata dengan asal.Namun, dia mengangguk mantap. "Seratus persen sadar.""Tapi, literally kita berdua baru ketemu dua kali?" Hati Elina gundah. Haruskah ia menerima ajakan Reyhan? Ini mungkin adalah satu-satunya solusi yang aman bagi masalah yang tengah men
[Kak Haris]Lin, bisa kita ketemu?Penting.Sejujurnya Elina tidak ingin menemui Haris sebab takut rasa sakit hatinya kembali. Tapi karena pria itu mengatakan ingin bicara hal penting, mau tak mau ia pun menyetujuinya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk saling berhadapan di kursi batu yang tersedia di taman kota, dengan pemandangan hamparan danau yang tenang.Elina menatap Haris agak khawatir sebab ada beberapa luka lebam serta robek di wajah rupawan itu. Apa dia habis berkelahi? Haris menyadari arti tatapan Elina. "Ini … habis dipukul Ricky," ucapnya. "Ohh …." Elina sama sekali tak heran Ricky menghajar Haris. Sahabatnya itu memang selalu melakukan hal yang tidak bisa atau tidak sanggup ia lakukan.Keheningan lalu menerpa. Melihat Haris membuatnya seketika rindu akan kebersamaan mereka, dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan begitu saja. Kini mereka layaknya orang asing."Ricky bilang kamu hamil … dan aku harus tanggung jawab."Terdiam, Elina tak menyangka Ricky
"Ayo aborsi aja."Elina bisa melihat sorot Reyhan menajam dan menggelap. Dia menggigit bibir, menelan ludah dengan susah payah karena ia sendiri masih takut dan tak yakin dengan keputusan ini. "Jangan mikirin hal gila." Pria itu meremas tangan Elina, ia marah. Sekali pun tak pernah terbesit dalam benaknya untuk melakukan hal keji itu, mau bagaimana pun dia adalah nyawa yang tak tahu apa-apa, bayi itu tidak berdosa. Tak akan ia biarkan Elina melenyapkan bayi mereka."Gue udah mutusin buat nikahin lo, jadi itu yang bakal terjadi."Elina menunduk sendu. Mungkin mudah bagi Reyhan untuk memberinya harapan dengan berkata seperti itu, tapi pada kenyataannya ayahnya sendiri tak mau menerimanya dan malah mengira jika ia hanya mengincar harta mereka."Jadi lo bakal ngelawan Ayah lo?" tanyanya.Pria itu terdiam, membuat Elina berspekulasi jika dia pun tak mungkin melakukan hal yang ia sebut. Tapi ucapan selanjutnya lantas membuat Elina balik terdiam."Ayo tes DNA, cuma dengan cara ini gue bisa y
Di malam yang dingin hawa panas melingkupi sepasang pria dan wanita yang tengah bergelut di atas ranjang besar itu. Kesadaran dan kewarasan telah dirampas dari keduanya, hanya ada satu hal yang mereka tuju, kepuasan."Hahhh …." Wanita itu mendongak, memberi akses para pria di atasnya untuk mengecupi leher serta rahangnya sebelum kemudian kembali menyatukan bibir mereka menuju sebuah ciuman yang hangat. Tangan pria itu tak hanya diam, ia bergerak aktif mengelus paha si wanita kemudian naik perlahan, menyelinap ke dalam baju yang masih melekat sempurna di tubuh ramping itu.Sebuah sensasi merinding dapat wanita itu rasakan, lantas kesadaran sedikitnya mulai menguasai diri. Tidak, apa yang mereka lakukan saat ini adalah hal yang salah. Ditepisnya lengan si pria yang ada di dalam pakaiannya, tapi dia malah mencekal pergelangan tangannya."There's no turning back," ucapnya dengan nada rendah tepat di telinga wanita itu. Ia sudah tak tahan sebab rasa panas terus menjalar ke seluruh tubuhnya
"AAA!"Kedua mata Elina membelalak kaget melihat seorang pria asing berada di ruangan yang sama dengannya, tanpa busana. Ia panik bukan main, lantas ia pun semakin mengeratkan selimut di tubuhnya. Tidak, ini tak seperti yang ia pikirkan, kan?"L-lo yang siapa?!" tanya Elina sambil beringsut mundur."T-tunggu dulu, biar gue jelasin─" Pria itu terlihat sama paniknya, tapi dia mencoba memberi penjelasan pada Elina dan perlahan mendekat ke arah perempuan itu."Diem di situ!!" Lagi-lagi Elina memekik, ia membuang muka sambil memejamkan mata, malu melihat tubuh polos pria tersebut. Dapat ia rasakan seluruh aliran darahnya naik ke arah pipi menciptakan sebuah semburat kemerahan."Oke ... oke." Dia pun kembali ke posisi awalnya, saling duduk di ujung ke ujung.Keduanya kini saling berdiam diri, sesekali melirik satu sama lain. Pria itu turun dari ranjang dan memakai celana miliknya yang tergeletak di lantai. Sementara Elina yang melihat pergerakan pria tersebut kembali membuang muka. Sial, ba
"Ayah?!"Kedua mata Elina membola pun dengan jantungnya yang berdegup melampaui batas normal. Keadaan pria di sampingnya pun tak jauh berbeda, ia terlihat panik dan juga gelagapan. 'Sial.' Elina mengumpat dalam hati. Kenapa orang-orang ini tiba-tiba datang di saat keadaan sedang tidak bagus? Rasanya ia sedang dipergoki karena telah melakukan hal yang tidak benar. Tapi memang iya, sih.Elina melihat pria di sebelahnya beranjak lalu berjalan menghampiri pria paruh baya yang ia panggil 'ayah' itu. Tapi begitu sampai ia malah mendapat sebuah tinju yang mendarat tepat pada rahangnya, membuat pria itu hampir saja tersungkur. Elina menutup mulutnya tak menyangka sambil meringis pelan. Pasti rasanya nyeri atau paling parahnya rahangnya mungkin tergeser saking kuatnya pukulan tersebut."Apa yang kamu lakuin, Reyhan?!" Amarah sang ayah menggebu-gebu. Tak perlu penjelasan, melihat keadaan kamar serta penampilan putranya saat ini sudah bisa disimpulkan apa yang telah terjadi.Di atas ranjang El
"Ayo aborsi aja."Elina bisa melihat sorot Reyhan menajam dan menggelap. Dia menggigit bibir, menelan ludah dengan susah payah karena ia sendiri masih takut dan tak yakin dengan keputusan ini. "Jangan mikirin hal gila." Pria itu meremas tangan Elina, ia marah. Sekali pun tak pernah terbesit dalam benaknya untuk melakukan hal keji itu, mau bagaimana pun dia adalah nyawa yang tak tahu apa-apa, bayi itu tidak berdosa. Tak akan ia biarkan Elina melenyapkan bayi mereka."Gue udah mutusin buat nikahin lo, jadi itu yang bakal terjadi."Elina menunduk sendu. Mungkin mudah bagi Reyhan untuk memberinya harapan dengan berkata seperti itu, tapi pada kenyataannya ayahnya sendiri tak mau menerimanya dan malah mengira jika ia hanya mengincar harta mereka."Jadi lo bakal ngelawan Ayah lo?" tanyanya.Pria itu terdiam, membuat Elina berspekulasi jika dia pun tak mungkin melakukan hal yang ia sebut. Tapi ucapan selanjutnya lantas membuat Elina balik terdiam."Ayo tes DNA, cuma dengan cara ini gue bisa y
[Kak Haris]Lin, bisa kita ketemu?Penting.Sejujurnya Elina tidak ingin menemui Haris sebab takut rasa sakit hatinya kembali. Tapi karena pria itu mengatakan ingin bicara hal penting, mau tak mau ia pun menyetujuinya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk saling berhadapan di kursi batu yang tersedia di taman kota, dengan pemandangan hamparan danau yang tenang.Elina menatap Haris agak khawatir sebab ada beberapa luka lebam serta robek di wajah rupawan itu. Apa dia habis berkelahi? Haris menyadari arti tatapan Elina. "Ini … habis dipukul Ricky," ucapnya. "Ohh …." Elina sama sekali tak heran Ricky menghajar Haris. Sahabatnya itu memang selalu melakukan hal yang tidak bisa atau tidak sanggup ia lakukan.Keheningan lalu menerpa. Melihat Haris membuatnya seketika rindu akan kebersamaan mereka, dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan begitu saja. Kini mereka layaknya orang asing."Ricky bilang kamu hamil … dan aku harus tanggung jawab."Terdiam, Elina tak menyangka Ricky
"Karena itu …." Elina masih menunggu dengan berdebar-debar, ia menelan ludahnya dengan susah payah. Jika memang ini seperti dugaannya, Reyhan tak menginginkan bayi mereka, maka ia pun tak tahu harus bagaimana."… gue udah mutusin, kalo gue bakal nikahin lo."Terkejut. Elina terdiam mendengar ucapan Reyhan, sedikit tak menyangka pula. Ini tak seperti yang ia duga, tapi bagaimana bisa pria itu mengatakan hal semacam itu dengan mudahnya?Maksudnya, belum lama ini pernikahannya batal, lalu kini dia mengajak wanita lain untuk menikah? Apa kata orang nanti?"Lo serius? Lo sadar ngomong kayak gitu?" Bukan tanpa alasan Elina bertanya hal tersebut. Dilihat dari keadaan Reyhan saat ini, dia terlihat pucat dan lelah. Mungkin saja pria itu berkata dengan asal.Namun, dia mengangguk mantap. "Seratus persen sadar.""Tapi, literally kita berdua baru ketemu dua kali?" Hati Elina gundah. Haruskah ia menerima ajakan Reyhan? Ini mungkin adalah satu-satunya solusi yang aman bagi masalah yang tengah men
Jantung Elina berdebar-debar tak karuan saat dokter memeriksanya dengan telaten. Di mulai dari mengecek denyut nadi hingga melakukan USG.Akhir-akhir ini ia sering kali merasa keram pada perutnya sehingga Ricky memaksa untuk pergi ke dokter, takutnya ia sakit yang tidak biasa. Awalnya Elina menolak untuk diperiksa. Sebab sudah dua bulan sejak insiden malam itu dan Elina sadar jika jadwal datang bulannya terlambat. Awalnya ia mencoba berpikir positif karena bisa saja ini faktor stres. Tapi kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini menjadi lebih sering lelah, mual yang datangnya tak tau tempat dan juga perutnya yang keram membuatnya agak khawatir."Gak papa kok ini, gak perlu terlalu khawatir. Keram perut memang umum terjadi pas kehamilan," ucap dokter setelah selesai memeriksa.Elina memejamkan matanya mendengar hal tersebut. Kan, apa yang ia khawatirkan menjadi nyata. Sedikit menghela napas, tak menyangka kesalahan malam itu membuahkan hasil. Sial sekali,.padahal ia hanya melakukannya se
Minggu dan bulan telah berlalu. Tapi nyatanya sekeras apapun Reyhan mencari keberadaan Elina, ia sama sekali tak dapat menemukannya sebab kurangnya informasi yang ia punya. Reyhan hanya tahu sebatas namanya saja dan nama Elina tak hanya satu di negara bahkan di dunia ini. Sang asisten pun sudah berusaha keras. Ia memberi Reyhan banyak informasi tentang data diri orang yang bernama Elina, tapi tak satu pun di antara mereka adalah Elina yang ia maksud.Reyhan bahkan sudah datang ke kelab tempat terakhir mereka bertemu untuk mencari informasi tentang dia, tapi ia justru malah menemukan fakta baru.Malam itu merupakan kunjungan pertama Elina ke kelab tersebut dan dia sudah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan yang disebabkan Kanaya. Rasa bersalah semakin menguasai dirinya. Sial, seharusnya dj hari itu mereka tak hanya sekedar bertukar nama tetapi juga bertukar nomor ponsel.Mobil berwarna hitam yang dikendarai Reyhan berhenti di kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. I
Sebuah taksi berhenti di depan sebuah gang kecil yang hanya bisa dimasuki kendaraan beroda dua. Elina keluar dari taksi tersebut dan langsung berjalan dengan cepat menuju sebuah bangunan besar dengan banyak pintu. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering.Ia lebih memilih menemui sahabatnya dulu ketimbang pulang ke rumah. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering menampilkan kontak "Ricky!" Elina memanggil pemuda itu saat melihat dia tengah berdiri di depan kosan sambil memegang ponsel.Dia menoleh dengan raut lega. "Elina!!" Dengan cepat ia menghampiri perempuan itu. "Hei, lo dari mana aja? Kenapa telepon gue gak diangkat?" tanyanya tanpa jeda sambil mengguncang pelan bahu yang lebih kecil. Elina melepas cengkraman tangan Ricky dari bahunya. "Gue ceritain di dalem." * * * * *"Gila, Bang Haris, padahal mukanya kayak orang bener." Ricky mendengus setelah Elina selesai bercerita. Sedikit tak menyangka jika Haris yang ia percaya untuk menjaga Elina bisa melaku
"Ayah?!"Kedua mata Elina membola pun dengan jantungnya yang berdegup melampaui batas normal. Keadaan pria di sampingnya pun tak jauh berbeda, ia terlihat panik dan juga gelagapan. 'Sial.' Elina mengumpat dalam hati. Kenapa orang-orang ini tiba-tiba datang di saat keadaan sedang tidak bagus? Rasanya ia sedang dipergoki karena telah melakukan hal yang tidak benar. Tapi memang iya, sih.Elina melihat pria di sebelahnya beranjak lalu berjalan menghampiri pria paruh baya yang ia panggil 'ayah' itu. Tapi begitu sampai ia malah mendapat sebuah tinju yang mendarat tepat pada rahangnya, membuat pria itu hampir saja tersungkur. Elina menutup mulutnya tak menyangka sambil meringis pelan. Pasti rasanya nyeri atau paling parahnya rahangnya mungkin tergeser saking kuatnya pukulan tersebut."Apa yang kamu lakuin, Reyhan?!" Amarah sang ayah menggebu-gebu. Tak perlu penjelasan, melihat keadaan kamar serta penampilan putranya saat ini sudah bisa disimpulkan apa yang telah terjadi.Di atas ranjang El
"AAA!"Kedua mata Elina membelalak kaget melihat seorang pria asing berada di ruangan yang sama dengannya, tanpa busana. Ia panik bukan main, lantas ia pun semakin mengeratkan selimut di tubuhnya. Tidak, ini tak seperti yang ia pikirkan, kan?"L-lo yang siapa?!" tanya Elina sambil beringsut mundur."T-tunggu dulu, biar gue jelasin─" Pria itu terlihat sama paniknya, tapi dia mencoba memberi penjelasan pada Elina dan perlahan mendekat ke arah perempuan itu."Diem di situ!!" Lagi-lagi Elina memekik, ia membuang muka sambil memejamkan mata, malu melihat tubuh polos pria tersebut. Dapat ia rasakan seluruh aliran darahnya naik ke arah pipi menciptakan sebuah semburat kemerahan."Oke ... oke." Dia pun kembali ke posisi awalnya, saling duduk di ujung ke ujung.Keduanya kini saling berdiam diri, sesekali melirik satu sama lain. Pria itu turun dari ranjang dan memakai celana miliknya yang tergeletak di lantai. Sementara Elina yang melihat pergerakan pria tersebut kembali membuang muka. Sial, ba
Di malam yang dingin hawa panas melingkupi sepasang pria dan wanita yang tengah bergelut di atas ranjang besar itu. Kesadaran dan kewarasan telah dirampas dari keduanya, hanya ada satu hal yang mereka tuju, kepuasan."Hahhh …." Wanita itu mendongak, memberi akses para pria di atasnya untuk mengecupi leher serta rahangnya sebelum kemudian kembali menyatukan bibir mereka menuju sebuah ciuman yang hangat. Tangan pria itu tak hanya diam, ia bergerak aktif mengelus paha si wanita kemudian naik perlahan, menyelinap ke dalam baju yang masih melekat sempurna di tubuh ramping itu.Sebuah sensasi merinding dapat wanita itu rasakan, lantas kesadaran sedikitnya mulai menguasai diri. Tidak, apa yang mereka lakukan saat ini adalah hal yang salah. Ditepisnya lengan si pria yang ada di dalam pakaiannya, tapi dia malah mencekal pergelangan tangannya."There's no turning back," ucapnya dengan nada rendah tepat di telinga wanita itu. Ia sudah tak tahan sebab rasa panas terus menjalar ke seluruh tubuhnya