Di malam yang dingin hawa panas melingkupi sepasang pria dan wanita yang tengah bergelut di atas ranjang besar itu. Kesadaran dan kewarasan telah dirampas dari keduanya, hanya ada satu hal yang mereka tuju, kepuasan.
"Hahhh …." Wanita itu mendongak, memberi akses para pria di atasnya untuk mengecupi leher serta rahangnya sebelum kemudian kembali menyatukan bibir mereka menuju sebuah ciuman yang hangat.Tangan pria itu tak hanya diam, ia bergerak aktif mengelus paha si wanita kemudian naik perlahan, menyelinap ke dalam baju yang masih melekat sempurna di tubuh ramping itu.Sebuah sensasi merinding dapat wanita itu rasakan, lantas kesadaran sedikitnya mulai menguasai diri. Tidak, apa yang mereka lakukan saat ini adalah hal yang salah. Ditepisnya lengan si pria yang ada di dalam pakaiannya, tapi dia malah mencekal pergelangan tangannya."There's no turning back," ucapnya dengan nada rendah tepat di telinga wanita itu. Ia sudah tak tahan sebab rasa panas terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Entah apa yang terjadi padanya.Wanita itu menggeleng sambil mencoba melepaskan lengannya. "Gak, lepas ….""Ssttt … percaya, oke? It will be fine, kamu bakal suka ini."Sepasang netra arang itu menghipnotisnya. Entah apa yang terjadi, tapi wanita itu merasa gelap mata dan tenggelam saat menatapnya. Tanpa sadar ia pun mengangguk."Good girl." Pria itu tersenyum. Wajah keduanya kurang dari tiga sentimeter sehingga napas mereka saling bersahutan meraup oksigen, bau alkohol pun tercium dengan sangat khas. Sepersekian detik kemudian kedua belah bibir mereka pun kembali menyatu. Kali ini lebih kasar dan berantakan sebab hawa nafsu kembali mengambil alih.Suara kecipak memenuhi ruangan. Di malam yang dingin ini keduanya saling berbagi kehangatan, bersama mereka menuju kenikmatan surga dunia. Bagi mereka tak ada penyesalan untuk malam ini, yang ada hanya kepuasan untuk diri mereka sendiri.Ia meraba rahang tegas pria itu dan mengelusnya dengan pelan. "Make it slowly, pleasehh ….""Gak janji."* * * * *"Ughh …." Wanita itu mengerang saat rasa pusing mendera kepalanya begitu ia terbangun, seluruh tubuhnya pun terasa sakit. Tangannya lalu terangkat untuk memijat pelipis guna mengurangi rasa pening. Rasanya ia tidak mengingat apapun. Yang jelas saat ini ia sedang terbaring di atas ranjang yang empuk.Kedua matanya pun terbuka sempurna. Ia menatap kosong ke arah depan sambil mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya."Elina maaf, kita harus putus."Wanita itu, Elina, mengumpat dalam hati saat sekelebat ingatan muncul, yaitu momen di mana kekasih tercintanya tiba-tiba memutuskan hubungan mereka begitu saja, padahal mereka baik-baik saja selama ini. Rupanya diam-diam dia memiliki wanita lain di belakangnya.Setelah itu ingatan yang lain mulai muncul. Sebab merasa sakit hati diselingkuhi, Elina memutuskan pergi ke tempat orang elit bersenang-senang, yaitu kelab. Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di tempat penuh dosa ini dengan niat untuk minum sampai mabuk hanya demi melupakan masalah mantan kekasihnya.Ia tak punya pengetahuan apapun tentang dunia malam, karena itu dia hanya mengikuti kata hatinya saja. Kini ia sudah duduk di kursi bar seorang diri, memesan minuman yang ia pun tak tahu apa itu.Elina terlihat ragu untuk meminum minuman tersebut karena ini pengalaman pertamanya. Tapi setelah memantapkan hati ia pun langsung meraih gelas kecil itu dan langsung meminumnya dalam sekali teguk.Keningnya mengerut kala rasa aneh yang baru pertama kali ia rasakan itu menyentuh indera perasanya. Ada sensasi pahit dan panas pads kerongkongannya. Tidak enak, sebenarnya apa yang disukai orang-orang dari minuman seperti ini?Namun, karena ia sudah bertekad untuk mabuk malam ini, maka ia pun kembali mengisi gelasnya yang kosong."Halo, sendiri aja?" Seorang pria tiba-tiba datang dan menyapanya. Elina mendongak, sejenak ia terpaku akan visual pria tersebut. Tubuh tinggi dengan yang dilapisi kemeja cokelat serta celana bahan hitam, rambut hitam legam dengan poni yang menutupi dahinya. Terlebih sebuah tahi lalat kecil di antara hidung dan mata kirinya benar-benar menarik perhatian. Elina yakin semua orang yang melihat pria ini pasti langsung tertuju pada tahi lalatnya."Boleh gabung?" Pria itu tersenyum tipis, memperlihatkan kedua taring kecil yang mengintip di balik bibirnya.Elina mengalihkan pandangannya dan mengangguk pelan. "Ahh ... iya," jawabnya. Pria itu pun duduk di kursi tepat sebelahnya.Elina lalu kembali fokus pada minumannya. Sebenarnya ia tak tahu bagaimana ketahanan dirinya sendiri terhadap alkohol, tapi ia rasa toleransinya cukup rendah karena ia mulai merasa pening sesaat setelah menegak gelas ketiga. Ia menunduk dalam sambil memegangi kepalanya.Ia kembali memaksakan diri mengisi gelasnya yang keempat kali, setelah itu penglihatannya pun mulai mengabur. Sesaat sebelum kesadarannya benar-benar terenggut, ia mendengar suara pria di sebelah."Hei, are you okay?"Setelah itu gelap. Entahlah, Elina tak tahu lagi apa yang terjadi. Yang jelas saat ini ia sudah ada di kamar ini, terbaring dengan seluruh tubuh yang sakit.Ia tersenyum pelan sambil mendengus, ternyata seperti ini rasanya mabuk, benar-benar bisa membuatnya lupa sejenak permasalahannya. Tapi efek setelahnya sama sekali tidak menyenangkan, kepalanya pening bukan main.Elina terdiam dengan alis mengerut, lalu di detik berikutnya ia pun tersadar jika ada yang tidak beres padanya. Ruangan ini polos dengan nuansa monokrom, tempat yang begitu asing. Seharusnya ia sadar sejak awal, siapa yang membawanya kemari?Elina beranjak bangun disusul dengan selimut yang ikut merosot, matanya langsung membelalak saat melihat jika ternyata dirinya tak memakai apapun. Semua pakaiannya telah tanggal dan berserakan di lantai.'What the hell, apa-apaan ini?' Ia panik bukan main."Siapa ...?" Sebuah suara asing tiba-tiba masuk ke pendengarannya, Elina menoleh ke samping dan menemukan seorang pria duduk di ranjang yang sama dengannya, menatap dengan penuh bingung dengan keadaan yang tak jauh berbeda dengannya."YAAAAKKK??!!" jeritnya dengan mata terbelalak. Tangannya bergerak aktif mencoba menutupi tubuh telanjangnya rapat-rapat dengan selimut.Rasanya jantung Elina hampir meledak. Apa yang sebenarnya terjadi padanya malam tadi?!"AAA!"Kedua mata Elina membelalak kaget melihat seorang pria asing berada di ruangan yang sama dengannya, tanpa busana. Ia panik bukan main, lantas ia pun semakin mengeratkan selimut di tubuhnya. Tidak, ini tak seperti yang ia pikirkan, kan?"L-lo yang siapa?!" tanya Elina sambil beringsut mundur."T-tunggu dulu, biar gue jelasin─" Pria itu terlihat sama paniknya, tapi dia mencoba memberi penjelasan pada Elina dan perlahan mendekat ke arah perempuan itu."Diem di situ!!" Lagi-lagi Elina memekik, ia membuang muka sambil memejamkan mata, malu melihat tubuh polos pria tersebut. Dapat ia rasakan seluruh aliran darahnya naik ke arah pipi menciptakan sebuah semburat kemerahan."Oke ... oke." Dia pun kembali ke posisi awalnya, saling duduk di ujung ke ujung.Keduanya kini saling berdiam diri, sesekali melirik satu sama lain. Pria itu turun dari ranjang dan memakai celana miliknya yang tergeletak di lantai. Sementara Elina yang melihat pergerakan pria tersebut kembali membuang muka. Sial, ba
"Ayah?!"Kedua mata Elina membola pun dengan jantungnya yang berdegup melampaui batas normal. Keadaan pria di sampingnya pun tak jauh berbeda, ia terlihat panik dan juga gelagapan. 'Sial.' Elina mengumpat dalam hati. Kenapa orang-orang ini tiba-tiba datang di saat keadaan sedang tidak bagus? Rasanya ia sedang dipergoki karena telah melakukan hal yang tidak benar. Tapi memang iya, sih.Elina melihat pria di sebelahnya beranjak lalu berjalan menghampiri pria paruh baya yang ia panggil 'ayah' itu. Tapi begitu sampai ia malah mendapat sebuah tinju yang mendarat tepat pada rahangnya, membuat pria itu hampir saja tersungkur. Elina menutup mulutnya tak menyangka sambil meringis pelan. Pasti rasanya nyeri atau paling parahnya rahangnya mungkin tergeser saking kuatnya pukulan tersebut."Apa yang kamu lakuin, Reyhan?!" Amarah sang ayah menggebu-gebu. Tak perlu penjelasan, melihat keadaan kamar serta penampilan putranya saat ini sudah bisa disimpulkan apa yang telah terjadi.Di atas ranjang El
Sebuah taksi berhenti di depan sebuah gang kecil yang hanya bisa dimasuki kendaraan beroda dua. Elina keluar dari taksi tersebut dan langsung berjalan dengan cepat menuju sebuah bangunan besar dengan banyak pintu. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering.Ia lebih memilih menemui sahabatnya dulu ketimbang pulang ke rumah. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering menampilkan kontak "Ricky!" Elina memanggil pemuda itu saat melihat dia tengah berdiri di depan kosan sambil memegang ponsel.Dia menoleh dengan raut lega. "Elina!!" Dengan cepat ia menghampiri perempuan itu. "Hei, lo dari mana aja? Kenapa telepon gue gak diangkat?" tanyanya tanpa jeda sambil mengguncang pelan bahu yang lebih kecil. Elina melepas cengkraman tangan Ricky dari bahunya. "Gue ceritain di dalem." * * * * *"Gila, Bang Haris, padahal mukanya kayak orang bener." Ricky mendengus setelah Elina selesai bercerita. Sedikit tak menyangka jika Haris yang ia percaya untuk menjaga Elina bisa melaku
Minggu dan bulan telah berlalu. Tapi nyatanya sekeras apapun Reyhan mencari keberadaan Elina, ia sama sekali tak dapat menemukannya sebab kurangnya informasi yang ia punya. Reyhan hanya tahu sebatas namanya saja dan nama Elina tak hanya satu di negara bahkan di dunia ini. Sang asisten pun sudah berusaha keras. Ia memberi Reyhan banyak informasi tentang data diri orang yang bernama Elina, tapi tak satu pun di antara mereka adalah Elina yang ia maksud.Reyhan bahkan sudah datang ke kelab tempat terakhir mereka bertemu untuk mencari informasi tentang dia, tapi ia justru malah menemukan fakta baru.Malam itu merupakan kunjungan pertama Elina ke kelab tersebut dan dia sudah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan yang disebabkan Kanaya. Rasa bersalah semakin menguasai dirinya. Sial, seharusnya dj hari itu mereka tak hanya sekedar bertukar nama tetapi juga bertukar nomor ponsel.Mobil berwarna hitam yang dikendarai Reyhan berhenti di kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. I
Jantung Elina berdebar-debar tak karuan saat dokter memeriksanya dengan telaten. Di mulai dari mengecek denyut nadi hingga melakukan USG.Akhir-akhir ini ia sering kali merasa keram pada perutnya sehingga Ricky memaksa untuk pergi ke dokter, takutnya ia sakit yang tidak biasa. Awalnya Elina menolak untuk diperiksa. Sebab sudah dua bulan sejak insiden malam itu dan Elina sadar jika jadwal datang bulannya terlambat. Awalnya ia mencoba berpikir positif karena bisa saja ini faktor stres. Tapi kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini menjadi lebih sering lelah, mual yang datangnya tak tau tempat dan juga perutnya yang keram membuatnya agak khawatir."Gak papa kok ini, gak perlu terlalu khawatir. Keram perut memang umum terjadi pas kehamilan," ucap dokter setelah selesai memeriksa.Elina memejamkan matanya mendengar hal tersebut. Kan, apa yang ia khawatirkan menjadi nyata. Sedikit menghela napas, tak menyangka kesalahan malam itu membuahkan hasil. Sial sekali,.padahal ia hanya melakukannya se
"Karena itu …." Elina masih menunggu dengan berdebar-debar, ia menelan ludahnya dengan susah payah. Jika memang ini seperti dugaannya, Reyhan tak menginginkan bayi mereka, maka ia pun tak tahu harus bagaimana."… gue udah mutusin, kalo gue bakal nikahin lo."Terkejut. Elina terdiam mendengar ucapan Reyhan, sedikit tak menyangka pula. Ini tak seperti yang ia duga, tapi bagaimana bisa pria itu mengatakan hal semacam itu dengan mudahnya?Maksudnya, belum lama ini pernikahannya batal, lalu kini dia mengajak wanita lain untuk menikah? Apa kata orang nanti?"Lo serius? Lo sadar ngomong kayak gitu?" Bukan tanpa alasan Elina bertanya hal tersebut. Dilihat dari keadaan Reyhan saat ini, dia terlihat pucat dan lelah. Mungkin saja pria itu berkata dengan asal.Namun, dia mengangguk mantap. "Seratus persen sadar.""Tapi, literally kita berdua baru ketemu dua kali?" Hati Elina gundah. Haruskah ia menerima ajakan Reyhan? Ini mungkin adalah satu-satunya solusi yang aman bagi masalah yang tengah men
[Kak Haris]Lin, bisa kita ketemu?Penting.Sejujurnya Elina tidak ingin menemui Haris sebab takut rasa sakit hatinya kembali. Tapi karena pria itu mengatakan ingin bicara hal penting, mau tak mau ia pun menyetujuinya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk saling berhadapan di kursi batu yang tersedia di taman kota, dengan pemandangan hamparan danau yang tenang.Elina menatap Haris agak khawatir sebab ada beberapa luka lebam serta robek di wajah rupawan itu. Apa dia habis berkelahi? Haris menyadari arti tatapan Elina. "Ini … habis dipukul Ricky," ucapnya. "Ohh …." Elina sama sekali tak heran Ricky menghajar Haris. Sahabatnya itu memang selalu melakukan hal yang tidak bisa atau tidak sanggup ia lakukan.Keheningan lalu menerpa. Melihat Haris membuatnya seketika rindu akan kebersamaan mereka, dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan begitu saja. Kini mereka layaknya orang asing."Ricky bilang kamu hamil … dan aku harus tanggung jawab."Terdiam, Elina tak menyangka Ricky
"Ayo aborsi aja."Elina bisa melihat sorot Reyhan menajam dan menggelap. Dia menggigit bibir, menelan ludah dengan susah payah karena ia sendiri masih takut dan tak yakin dengan keputusan ini. "Jangan mikirin hal gila." Pria itu meremas tangan Elina, ia marah. Sekali pun tak pernah terbesit dalam benaknya untuk melakukan hal keji itu, mau bagaimana pun dia adalah nyawa yang tak tahu apa-apa, bayi itu tidak berdosa. Tak akan ia biarkan Elina melenyapkan bayi mereka."Gue udah mutusin buat nikahin lo, jadi itu yang bakal terjadi."Elina menunduk sendu. Mungkin mudah bagi Reyhan untuk memberinya harapan dengan berkata seperti itu, tapi pada kenyataannya ayahnya sendiri tak mau menerimanya dan malah mengira jika ia hanya mengincar harta mereka."Jadi lo bakal ngelawan Ayah lo?" tanyanya.Pria itu terdiam, membuat Elina berspekulasi jika dia pun tak mungkin melakukan hal yang ia sebut. Tapi ucapan selanjutnya lantas membuat Elina balik terdiam."Ayo tes DNA, cuma dengan cara ini gue bisa y
"Ayo aborsi aja."Elina bisa melihat sorot Reyhan menajam dan menggelap. Dia menggigit bibir, menelan ludah dengan susah payah karena ia sendiri masih takut dan tak yakin dengan keputusan ini. "Jangan mikirin hal gila." Pria itu meremas tangan Elina, ia marah. Sekali pun tak pernah terbesit dalam benaknya untuk melakukan hal keji itu, mau bagaimana pun dia adalah nyawa yang tak tahu apa-apa, bayi itu tidak berdosa. Tak akan ia biarkan Elina melenyapkan bayi mereka."Gue udah mutusin buat nikahin lo, jadi itu yang bakal terjadi."Elina menunduk sendu. Mungkin mudah bagi Reyhan untuk memberinya harapan dengan berkata seperti itu, tapi pada kenyataannya ayahnya sendiri tak mau menerimanya dan malah mengira jika ia hanya mengincar harta mereka."Jadi lo bakal ngelawan Ayah lo?" tanyanya.Pria itu terdiam, membuat Elina berspekulasi jika dia pun tak mungkin melakukan hal yang ia sebut. Tapi ucapan selanjutnya lantas membuat Elina balik terdiam."Ayo tes DNA, cuma dengan cara ini gue bisa y
[Kak Haris]Lin, bisa kita ketemu?Penting.Sejujurnya Elina tidak ingin menemui Haris sebab takut rasa sakit hatinya kembali. Tapi karena pria itu mengatakan ingin bicara hal penting, mau tak mau ia pun menyetujuinya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk saling berhadapan di kursi batu yang tersedia di taman kota, dengan pemandangan hamparan danau yang tenang.Elina menatap Haris agak khawatir sebab ada beberapa luka lebam serta robek di wajah rupawan itu. Apa dia habis berkelahi? Haris menyadari arti tatapan Elina. "Ini … habis dipukul Ricky," ucapnya. "Ohh …." Elina sama sekali tak heran Ricky menghajar Haris. Sahabatnya itu memang selalu melakukan hal yang tidak bisa atau tidak sanggup ia lakukan.Keheningan lalu menerpa. Melihat Haris membuatnya seketika rindu akan kebersamaan mereka, dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan begitu saja. Kini mereka layaknya orang asing."Ricky bilang kamu hamil … dan aku harus tanggung jawab."Terdiam, Elina tak menyangka Ricky
"Karena itu …." Elina masih menunggu dengan berdebar-debar, ia menelan ludahnya dengan susah payah. Jika memang ini seperti dugaannya, Reyhan tak menginginkan bayi mereka, maka ia pun tak tahu harus bagaimana."… gue udah mutusin, kalo gue bakal nikahin lo."Terkejut. Elina terdiam mendengar ucapan Reyhan, sedikit tak menyangka pula. Ini tak seperti yang ia duga, tapi bagaimana bisa pria itu mengatakan hal semacam itu dengan mudahnya?Maksudnya, belum lama ini pernikahannya batal, lalu kini dia mengajak wanita lain untuk menikah? Apa kata orang nanti?"Lo serius? Lo sadar ngomong kayak gitu?" Bukan tanpa alasan Elina bertanya hal tersebut. Dilihat dari keadaan Reyhan saat ini, dia terlihat pucat dan lelah. Mungkin saja pria itu berkata dengan asal.Namun, dia mengangguk mantap. "Seratus persen sadar.""Tapi, literally kita berdua baru ketemu dua kali?" Hati Elina gundah. Haruskah ia menerima ajakan Reyhan? Ini mungkin adalah satu-satunya solusi yang aman bagi masalah yang tengah men
Jantung Elina berdebar-debar tak karuan saat dokter memeriksanya dengan telaten. Di mulai dari mengecek denyut nadi hingga melakukan USG.Akhir-akhir ini ia sering kali merasa keram pada perutnya sehingga Ricky memaksa untuk pergi ke dokter, takutnya ia sakit yang tidak biasa. Awalnya Elina menolak untuk diperiksa. Sebab sudah dua bulan sejak insiden malam itu dan Elina sadar jika jadwal datang bulannya terlambat. Awalnya ia mencoba berpikir positif karena bisa saja ini faktor stres. Tapi kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini menjadi lebih sering lelah, mual yang datangnya tak tau tempat dan juga perutnya yang keram membuatnya agak khawatir."Gak papa kok ini, gak perlu terlalu khawatir. Keram perut memang umum terjadi pas kehamilan," ucap dokter setelah selesai memeriksa.Elina memejamkan matanya mendengar hal tersebut. Kan, apa yang ia khawatirkan menjadi nyata. Sedikit menghela napas, tak menyangka kesalahan malam itu membuahkan hasil. Sial sekali,.padahal ia hanya melakukannya se
Minggu dan bulan telah berlalu. Tapi nyatanya sekeras apapun Reyhan mencari keberadaan Elina, ia sama sekali tak dapat menemukannya sebab kurangnya informasi yang ia punya. Reyhan hanya tahu sebatas namanya saja dan nama Elina tak hanya satu di negara bahkan di dunia ini. Sang asisten pun sudah berusaha keras. Ia memberi Reyhan banyak informasi tentang data diri orang yang bernama Elina, tapi tak satu pun di antara mereka adalah Elina yang ia maksud.Reyhan bahkan sudah datang ke kelab tempat terakhir mereka bertemu untuk mencari informasi tentang dia, tapi ia justru malah menemukan fakta baru.Malam itu merupakan kunjungan pertama Elina ke kelab tersebut dan dia sudah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan yang disebabkan Kanaya. Rasa bersalah semakin menguasai dirinya. Sial, seharusnya dj hari itu mereka tak hanya sekedar bertukar nama tetapi juga bertukar nomor ponsel.Mobil berwarna hitam yang dikendarai Reyhan berhenti di kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. I
Sebuah taksi berhenti di depan sebuah gang kecil yang hanya bisa dimasuki kendaraan beroda dua. Elina keluar dari taksi tersebut dan langsung berjalan dengan cepat menuju sebuah bangunan besar dengan banyak pintu. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering.Ia lebih memilih menemui sahabatnya dulu ketimbang pulang ke rumah. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering menampilkan kontak "Ricky!" Elina memanggil pemuda itu saat melihat dia tengah berdiri di depan kosan sambil memegang ponsel.Dia menoleh dengan raut lega. "Elina!!" Dengan cepat ia menghampiri perempuan itu. "Hei, lo dari mana aja? Kenapa telepon gue gak diangkat?" tanyanya tanpa jeda sambil mengguncang pelan bahu yang lebih kecil. Elina melepas cengkraman tangan Ricky dari bahunya. "Gue ceritain di dalem." * * * * *"Gila, Bang Haris, padahal mukanya kayak orang bener." Ricky mendengus setelah Elina selesai bercerita. Sedikit tak menyangka jika Haris yang ia percaya untuk menjaga Elina bisa melaku
"Ayah?!"Kedua mata Elina membola pun dengan jantungnya yang berdegup melampaui batas normal. Keadaan pria di sampingnya pun tak jauh berbeda, ia terlihat panik dan juga gelagapan. 'Sial.' Elina mengumpat dalam hati. Kenapa orang-orang ini tiba-tiba datang di saat keadaan sedang tidak bagus? Rasanya ia sedang dipergoki karena telah melakukan hal yang tidak benar. Tapi memang iya, sih.Elina melihat pria di sebelahnya beranjak lalu berjalan menghampiri pria paruh baya yang ia panggil 'ayah' itu. Tapi begitu sampai ia malah mendapat sebuah tinju yang mendarat tepat pada rahangnya, membuat pria itu hampir saja tersungkur. Elina menutup mulutnya tak menyangka sambil meringis pelan. Pasti rasanya nyeri atau paling parahnya rahangnya mungkin tergeser saking kuatnya pukulan tersebut."Apa yang kamu lakuin, Reyhan?!" Amarah sang ayah menggebu-gebu. Tak perlu penjelasan, melihat keadaan kamar serta penampilan putranya saat ini sudah bisa disimpulkan apa yang telah terjadi.Di atas ranjang El
"AAA!"Kedua mata Elina membelalak kaget melihat seorang pria asing berada di ruangan yang sama dengannya, tanpa busana. Ia panik bukan main, lantas ia pun semakin mengeratkan selimut di tubuhnya. Tidak, ini tak seperti yang ia pikirkan, kan?"L-lo yang siapa?!" tanya Elina sambil beringsut mundur."T-tunggu dulu, biar gue jelasin─" Pria itu terlihat sama paniknya, tapi dia mencoba memberi penjelasan pada Elina dan perlahan mendekat ke arah perempuan itu."Diem di situ!!" Lagi-lagi Elina memekik, ia membuang muka sambil memejamkan mata, malu melihat tubuh polos pria tersebut. Dapat ia rasakan seluruh aliran darahnya naik ke arah pipi menciptakan sebuah semburat kemerahan."Oke ... oke." Dia pun kembali ke posisi awalnya, saling duduk di ujung ke ujung.Keduanya kini saling berdiam diri, sesekali melirik satu sama lain. Pria itu turun dari ranjang dan memakai celana miliknya yang tergeletak di lantai. Sementara Elina yang melihat pergerakan pria tersebut kembali membuang muka. Sial, ba
Di malam yang dingin hawa panas melingkupi sepasang pria dan wanita yang tengah bergelut di atas ranjang besar itu. Kesadaran dan kewarasan telah dirampas dari keduanya, hanya ada satu hal yang mereka tuju, kepuasan."Hahhh …." Wanita itu mendongak, memberi akses para pria di atasnya untuk mengecupi leher serta rahangnya sebelum kemudian kembali menyatukan bibir mereka menuju sebuah ciuman yang hangat. Tangan pria itu tak hanya diam, ia bergerak aktif mengelus paha si wanita kemudian naik perlahan, menyelinap ke dalam baju yang masih melekat sempurna di tubuh ramping itu.Sebuah sensasi merinding dapat wanita itu rasakan, lantas kesadaran sedikitnya mulai menguasai diri. Tidak, apa yang mereka lakukan saat ini adalah hal yang salah. Ditepisnya lengan si pria yang ada di dalam pakaiannya, tapi dia malah mencekal pergelangan tangannya."There's no turning back," ucapnya dengan nada rendah tepat di telinga wanita itu. Ia sudah tak tahan sebab rasa panas terus menjalar ke seluruh tubuhnya