Minggu dan bulan telah berlalu. Tapi nyatanya sekeras apapun Reyhan mencari keberadaan Elina, ia sama sekali tak dapat menemukannya sebab kurangnya informasi yang ia punya. Reyhan hanya tahu sebatas namanya saja dan nama Elina tak hanya satu di negara bahkan di dunia ini.
Sang asisten pun sudah berusaha keras. Ia memberi Reyhan banyak informasi tentang data diri orang yang bernama Elina, tapi tak satu pun di antara mereka adalah Elina yang ia maksud.Reyhan bahkan sudah datang ke kelab tempat terakhir mereka bertemu untuk mencari informasi tentang dia, tapi ia justru malah menemukan fakta baru.Malam itu merupakan kunjungan pertama Elina ke kelab tersebut dan dia sudah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan yang disebabkan Kanaya. Rasa bersalah semakin menguasai dirinya.Sial, seharusnya dj hari itu mereka tak hanya sekedar bertukar nama tetapi juga bertukar nomor ponsel.Mobil berwarna hitam yang dikendarai Reyhan berhenti di kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Ia menunggu dengan tenang sembari kedua mata elangnya bergulir ke sana kemari, memperhatikan jalanan yang padat pagi itu.Tak lama kedua netranya memicing kala melihat seorang wanita yang keluar dari taksi yang berada tepat di depan mobilnya. Tunggu, rambut hitam bergelombang itu … itu dia! Orang yang sedang ia cari-cari!Kedua matanya lantas membelalak. Reyhan melihat lampu lalu lintas yang masih merah dan waktu untuk kembali menjadi hijau masih cukup lama. dengan cepat ia keluar dari mobil dan berlari mengejar wanita tersebut. Diraihnya tangan itu hingga kini keduanya berdiri saling berhadapan."Elina!" seru Reyhan dengan napas terengah. Namun, di detik berikut raut wajahnya berubah datar."Oh maaf, saya salah orang."Dia bukan Elina.* * * * *Berminggu-minggu berlalu dengan cepat, di sela-sela kesibukannya Reyhan tetap menyempatkan diri untuk mencari informasi keberadaan Elina. Namun, sayangnya sampai saat ini ia masih belum menemukan keberadaan wanita itu.Apa mungkin dia sudah tak berada di kota ini lagi?Tangannya kemudian terulur untuk mengusap wajahnya yang lelah. Akhir-akhir ini pekerjaannya begitu banyak sehingga jam tidurnya menjadi berantakan yang mana membuatnya terlihat agak berantakan dengan wajah yang dihiasi mata panda.Damian, asisten pribadi Reyhan yang pagi itu datang ke ruangannya untuk memberikan dokumen, menatap khawatir ke arah pria itu. Beberapa hari ini dia selalu datang ke kantor dengan wajah lesu seperti tak mempunyai semangat hidup. Padahal Reyhan adalah tipe orang yang selalu rapi bagaimana pun kondisinya."Soal Elina, kamu ada info terbaru?" tanya Reyhan. Namun, lagi-lagi hanya gelengan yang diberikan Damian."Kalo Pak Bos ngasih tau saya info yang lebih rinci mungkin bisa aja ketemu. Misal kayak nama belakangnya apa."Reyhan menghembuskan napas berat. Itu dia masalahnya, dia tak tahu apapun tentang Elina. Mungkin ia memang tidak ditakdirkan untuk bertemu dengannya lagi.Damian masih duduk di sofa yang berseberangan dengan Reyhan, terlihat ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. "Kalo saya boleh tau, Elina itu siapanya Pak Bos, ya?"Tangan Reyhan yang sedang sibuk memeriksa dokumen itu terhenti lalu menoleh ke arah pemuda berusia tiga tahun di bawahnya itu. Ia berpikir sejenak, benar juga, siapa Elina baginya? Mengapa ia ingin mencarinya sampai sekeras ini?Tidak, itu adalah rasa bertanggung jawab terhadap apa yang menimpa wanita itu meski itu bukan salahnya juga."Itu … dia temen lama saya," jawabnya. Tak mungkin juga dia mengatakan jika Elina adalah wanita yang menghabiskan satu malam dengannya."Oh, begitu." Damian mengangguk paham. Ia lalu memperhatikan sang atasan yang kini kembali fokus bekerja, ia pun harus segera kembali ke mejanya sendiri.Dilihatnya pria itu sesekali menghela napas dan mengusap wajah. Terlihat sangat memprihatikan. Orang yang melihatnya sekilas pun pasti tahu jika Reyhan sedang tidak sehat.Sebelum pergi, Damian berkata, "Kalo kata saya sih Pak Bos hari ini pergi periksa ke dokter, kalo enggak pulang aja, saya takut Pak Bos pingsan di sini."Reyhan terdiam. Memang benar jika dirasa-rasa kepalanya agak pusing saat ini. Tapi pekerjaan yang menumpuk membuatnya terpaksa untuk memforsir diri dan mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri."Saya emang keliatan kayak orang sakit?"Damian mengangguk. "Banget, Pak."* * * * *di jam istirahat kedua Reyhan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatannya. Ia telah membuat janji dengan dokter pribadi keluarganya sehingga tak perlu bersusah payah mengambil nomor antrian."Pak Rey kecapean ini. Saran saya sih jangan kerja terlalu keras dan makan tepat waktu jangan lupa, jangan sering begadang juga." Dokter memberikan penjelasan setelah selesai memeriksanya. Reyhan turun dari bed dan langsung mengikuti sang dokter ke mejanya."Ini saya resepkan obat dan vitamin ya, Pak, diminum secara teratur setelah makan," ucap sang dokter sambil menyodorkan secarik kertas yang sudah dituliskan resep obat untuknya."Iya, makasih, dok."Pria itu lalu beranjak untuk pergi menuju apotek. Reyhan hendak pergi begitu obat miliknya sudah ia tebus. Namun, suara seorang wanita tak jauh di sebelahnya membuatnya mengurungkan niat."Mbak, saya mau nebus obat," ucap wanita tersebut."Baik Kak, tunggu sebentar, ya."Reyhan terpaku di tempat. Apakah saat ini ia tak salah lihat?Dengan langkah pelan ia menghampirinya. "Elina??" tanya Reyhan dengan hati berdebar takut-takut ia akan salah orang lagi.Tapi begitu wanita itu menoleh Reyhan langsung menghembuskan napas lega. Akhirnya ia berhasil menemukan orang yang selama ini dia cari. Tak salah lagi, dia pasti memang Elina."L-lo??" Elina sendiri terlihat begitu terkejut akan pertemuan ini."Puji Tuhan, kita akhirnya ketemu lagi." Reyhan tersenyum lebar dengan penuh kelegaan. Usahanya selama ini untuk mencari Elina membuahkan hasil. Mereka bertemu lagi meski di hari yang tidak terduga."Siapa?"Reyhan melihat seorang pria tinggi datang dan menarik Elina untuk berdiri di belakangnya, pria itu menatapnya dengan alis mengerut.Siapa dia? Apa mungkin kekasih Elina?Tapi kemudian fokus mereka teralih saat seorang apoteker datang dan menyodorkan sekantong obat pada Elina."Kak, ini obatnya, selamat ya Kak atas kehamilannya, semoga sehat-sehat selalu."Reyhan lantas menoleh dengan terkejut. "Hamil?!"Jantung Elina berdebar-debar tak karuan saat dokter memeriksanya dengan telaten. Di mulai dari mengecek denyut nadi hingga melakukan USG.Akhir-akhir ini ia sering kali merasa keram pada perutnya sehingga Ricky memaksa untuk pergi ke dokter, takutnya ia sakit yang tidak biasa. Awalnya Elina menolak untuk diperiksa. Sebab sudah dua bulan sejak insiden malam itu dan Elina sadar jika jadwal datang bulannya terlambat. Awalnya ia mencoba berpikir positif karena bisa saja ini faktor stres. Tapi kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini menjadi lebih sering lelah, mual yang datangnya tak tau tempat dan juga perutnya yang keram membuatnya agak khawatir."Gak papa kok ini, gak perlu terlalu khawatir. Keram perut memang umum terjadi pas kehamilan," ucap dokter setelah selesai memeriksa.Elina memejamkan matanya mendengar hal tersebut. Kan, apa yang ia khawatirkan menjadi nyata. Sedikit menghela napas, tak menyangka kesalahan malam itu membuahkan hasil. Sial sekali,.padahal ia hanya melakukannya se
"Karena itu …." Elina masih menunggu dengan berdebar-debar, ia menelan ludahnya dengan susah payah. Jika memang ini seperti dugaannya, Reyhan tak menginginkan bayi mereka, maka ia pun tak tahu harus bagaimana."… gue udah mutusin, kalo gue bakal nikahin lo."Terkejut. Elina terdiam mendengar ucapan Reyhan, sedikit tak menyangka pula. Ini tak seperti yang ia duga, tapi bagaimana bisa pria itu mengatakan hal semacam itu dengan mudahnya?Maksudnya, belum lama ini pernikahannya batal, lalu kini dia mengajak wanita lain untuk menikah? Apa kata orang nanti?"Lo serius? Lo sadar ngomong kayak gitu?" Bukan tanpa alasan Elina bertanya hal tersebut. Dilihat dari keadaan Reyhan saat ini, dia terlihat pucat dan lelah. Mungkin saja pria itu berkata dengan asal.Namun, dia mengangguk mantap. "Seratus persen sadar.""Tapi, literally kita berdua baru ketemu dua kali?" Hati Elina gundah. Haruskah ia menerima ajakan Reyhan? Ini mungkin adalah satu-satunya solusi yang aman bagi masalah yang tengah men
[Kak Haris]Lin, bisa kita ketemu?Penting.Sejujurnya Elina tidak ingin menemui Haris sebab takut rasa sakit hatinya kembali. Tapi karena pria itu mengatakan ingin bicara hal penting, mau tak mau ia pun menyetujuinya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk saling berhadapan di kursi batu yang tersedia di taman kota, dengan pemandangan hamparan danau yang tenang.Elina menatap Haris agak khawatir sebab ada beberapa luka lebam serta robek di wajah rupawan itu. Apa dia habis berkelahi? Haris menyadari arti tatapan Elina. "Ini … habis dipukul Ricky," ucapnya. "Ohh …." Elina sama sekali tak heran Ricky menghajar Haris. Sahabatnya itu memang selalu melakukan hal yang tidak bisa atau tidak sanggup ia lakukan.Keheningan lalu menerpa. Melihat Haris membuatnya seketika rindu akan kebersamaan mereka, dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan begitu saja. Kini mereka layaknya orang asing."Ricky bilang kamu hamil … dan aku harus tanggung jawab."Terdiam, Elina tak menyangka Ricky
"Ayo aborsi aja."Elina bisa melihat sorot Reyhan menajam dan menggelap. Dia menggigit bibir, menelan ludah dengan susah payah karena ia sendiri masih takut dan tak yakin dengan keputusan ini. "Jangan mikirin hal gila." Pria itu meremas tangan Elina, ia marah. Sekali pun tak pernah terbesit dalam benaknya untuk melakukan hal keji itu, mau bagaimana pun dia adalah nyawa yang tak tahu apa-apa, bayi itu tidak berdosa. Tak akan ia biarkan Elina melenyapkan bayi mereka."Gue udah mutusin buat nikahin lo, jadi itu yang bakal terjadi."Elina menunduk sendu. Mungkin mudah bagi Reyhan untuk memberinya harapan dengan berkata seperti itu, tapi pada kenyataannya ayahnya sendiri tak mau menerimanya dan malah mengira jika ia hanya mengincar harta mereka."Jadi lo bakal ngelawan Ayah lo?" tanyanya.Pria itu terdiam, membuat Elina berspekulasi jika dia pun tak mungkin melakukan hal yang ia sebut. Tapi ucapan selanjutnya lantas membuat Elina balik terdiam."Ayo tes DNA, cuma dengan cara ini gue bisa y
Di malam yang dingin hawa panas melingkupi sepasang pria dan wanita yang tengah bergelut di atas ranjang besar itu. Kesadaran dan kewarasan telah dirampas dari keduanya, hanya ada satu hal yang mereka tuju, kepuasan."Hahhh …." Wanita itu mendongak, memberi akses para pria di atasnya untuk mengecupi leher serta rahangnya sebelum kemudian kembali menyatukan bibir mereka menuju sebuah ciuman yang hangat. Tangan pria itu tak hanya diam, ia bergerak aktif mengelus paha si wanita kemudian naik perlahan, menyelinap ke dalam baju yang masih melekat sempurna di tubuh ramping itu.Sebuah sensasi merinding dapat wanita itu rasakan, lantas kesadaran sedikitnya mulai menguasai diri. Tidak, apa yang mereka lakukan saat ini adalah hal yang salah. Ditepisnya lengan si pria yang ada di dalam pakaiannya, tapi dia malah mencekal pergelangan tangannya."There's no turning back," ucapnya dengan nada rendah tepat di telinga wanita itu. Ia sudah tak tahan sebab rasa panas terus menjalar ke seluruh tubuhnya
"AAA!"Kedua mata Elina membelalak kaget melihat seorang pria asing berada di ruangan yang sama dengannya, tanpa busana. Ia panik bukan main, lantas ia pun semakin mengeratkan selimut di tubuhnya. Tidak, ini tak seperti yang ia pikirkan, kan?"L-lo yang siapa?!" tanya Elina sambil beringsut mundur."T-tunggu dulu, biar gue jelasin─" Pria itu terlihat sama paniknya, tapi dia mencoba memberi penjelasan pada Elina dan perlahan mendekat ke arah perempuan itu."Diem di situ!!" Lagi-lagi Elina memekik, ia membuang muka sambil memejamkan mata, malu melihat tubuh polos pria tersebut. Dapat ia rasakan seluruh aliran darahnya naik ke arah pipi menciptakan sebuah semburat kemerahan."Oke ... oke." Dia pun kembali ke posisi awalnya, saling duduk di ujung ke ujung.Keduanya kini saling berdiam diri, sesekali melirik satu sama lain. Pria itu turun dari ranjang dan memakai celana miliknya yang tergeletak di lantai. Sementara Elina yang melihat pergerakan pria tersebut kembali membuang muka. Sial, ba
"Ayah?!"Kedua mata Elina membola pun dengan jantungnya yang berdegup melampaui batas normal. Keadaan pria di sampingnya pun tak jauh berbeda, ia terlihat panik dan juga gelagapan. 'Sial.' Elina mengumpat dalam hati. Kenapa orang-orang ini tiba-tiba datang di saat keadaan sedang tidak bagus? Rasanya ia sedang dipergoki karena telah melakukan hal yang tidak benar. Tapi memang iya, sih.Elina melihat pria di sebelahnya beranjak lalu berjalan menghampiri pria paruh baya yang ia panggil 'ayah' itu. Tapi begitu sampai ia malah mendapat sebuah tinju yang mendarat tepat pada rahangnya, membuat pria itu hampir saja tersungkur. Elina menutup mulutnya tak menyangka sambil meringis pelan. Pasti rasanya nyeri atau paling parahnya rahangnya mungkin tergeser saking kuatnya pukulan tersebut."Apa yang kamu lakuin, Reyhan?!" Amarah sang ayah menggebu-gebu. Tak perlu penjelasan, melihat keadaan kamar serta penampilan putranya saat ini sudah bisa disimpulkan apa yang telah terjadi.Di atas ranjang El
Sebuah taksi berhenti di depan sebuah gang kecil yang hanya bisa dimasuki kendaraan beroda dua. Elina keluar dari taksi tersebut dan langsung berjalan dengan cepat menuju sebuah bangunan besar dengan banyak pintu. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering.Ia lebih memilih menemui sahabatnya dulu ketimbang pulang ke rumah. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering menampilkan kontak "Ricky!" Elina memanggil pemuda itu saat melihat dia tengah berdiri di depan kosan sambil memegang ponsel.Dia menoleh dengan raut lega. "Elina!!" Dengan cepat ia menghampiri perempuan itu. "Hei, lo dari mana aja? Kenapa telepon gue gak diangkat?" tanyanya tanpa jeda sambil mengguncang pelan bahu yang lebih kecil. Elina melepas cengkraman tangan Ricky dari bahunya. "Gue ceritain di dalem." * * * * *"Gila, Bang Haris, padahal mukanya kayak orang bener." Ricky mendengus setelah Elina selesai bercerita. Sedikit tak menyangka jika Haris yang ia percaya untuk menjaga Elina bisa melaku
"Ayo aborsi aja."Elina bisa melihat sorot Reyhan menajam dan menggelap. Dia menggigit bibir, menelan ludah dengan susah payah karena ia sendiri masih takut dan tak yakin dengan keputusan ini. "Jangan mikirin hal gila." Pria itu meremas tangan Elina, ia marah. Sekali pun tak pernah terbesit dalam benaknya untuk melakukan hal keji itu, mau bagaimana pun dia adalah nyawa yang tak tahu apa-apa, bayi itu tidak berdosa. Tak akan ia biarkan Elina melenyapkan bayi mereka."Gue udah mutusin buat nikahin lo, jadi itu yang bakal terjadi."Elina menunduk sendu. Mungkin mudah bagi Reyhan untuk memberinya harapan dengan berkata seperti itu, tapi pada kenyataannya ayahnya sendiri tak mau menerimanya dan malah mengira jika ia hanya mengincar harta mereka."Jadi lo bakal ngelawan Ayah lo?" tanyanya.Pria itu terdiam, membuat Elina berspekulasi jika dia pun tak mungkin melakukan hal yang ia sebut. Tapi ucapan selanjutnya lantas membuat Elina balik terdiam."Ayo tes DNA, cuma dengan cara ini gue bisa y
[Kak Haris]Lin, bisa kita ketemu?Penting.Sejujurnya Elina tidak ingin menemui Haris sebab takut rasa sakit hatinya kembali. Tapi karena pria itu mengatakan ingin bicara hal penting, mau tak mau ia pun menyetujuinya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk saling berhadapan di kursi batu yang tersedia di taman kota, dengan pemandangan hamparan danau yang tenang.Elina menatap Haris agak khawatir sebab ada beberapa luka lebam serta robek di wajah rupawan itu. Apa dia habis berkelahi? Haris menyadari arti tatapan Elina. "Ini … habis dipukul Ricky," ucapnya. "Ohh …." Elina sama sekali tak heran Ricky menghajar Haris. Sahabatnya itu memang selalu melakukan hal yang tidak bisa atau tidak sanggup ia lakukan.Keheningan lalu menerpa. Melihat Haris membuatnya seketika rindu akan kebersamaan mereka, dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan begitu saja. Kini mereka layaknya orang asing."Ricky bilang kamu hamil … dan aku harus tanggung jawab."Terdiam, Elina tak menyangka Ricky
"Karena itu …." Elina masih menunggu dengan berdebar-debar, ia menelan ludahnya dengan susah payah. Jika memang ini seperti dugaannya, Reyhan tak menginginkan bayi mereka, maka ia pun tak tahu harus bagaimana."… gue udah mutusin, kalo gue bakal nikahin lo."Terkejut. Elina terdiam mendengar ucapan Reyhan, sedikit tak menyangka pula. Ini tak seperti yang ia duga, tapi bagaimana bisa pria itu mengatakan hal semacam itu dengan mudahnya?Maksudnya, belum lama ini pernikahannya batal, lalu kini dia mengajak wanita lain untuk menikah? Apa kata orang nanti?"Lo serius? Lo sadar ngomong kayak gitu?" Bukan tanpa alasan Elina bertanya hal tersebut. Dilihat dari keadaan Reyhan saat ini, dia terlihat pucat dan lelah. Mungkin saja pria itu berkata dengan asal.Namun, dia mengangguk mantap. "Seratus persen sadar.""Tapi, literally kita berdua baru ketemu dua kali?" Hati Elina gundah. Haruskah ia menerima ajakan Reyhan? Ini mungkin adalah satu-satunya solusi yang aman bagi masalah yang tengah men
Jantung Elina berdebar-debar tak karuan saat dokter memeriksanya dengan telaten. Di mulai dari mengecek denyut nadi hingga melakukan USG.Akhir-akhir ini ia sering kali merasa keram pada perutnya sehingga Ricky memaksa untuk pergi ke dokter, takutnya ia sakit yang tidak biasa. Awalnya Elina menolak untuk diperiksa. Sebab sudah dua bulan sejak insiden malam itu dan Elina sadar jika jadwal datang bulannya terlambat. Awalnya ia mencoba berpikir positif karena bisa saja ini faktor stres. Tapi kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini menjadi lebih sering lelah, mual yang datangnya tak tau tempat dan juga perutnya yang keram membuatnya agak khawatir."Gak papa kok ini, gak perlu terlalu khawatir. Keram perut memang umum terjadi pas kehamilan," ucap dokter setelah selesai memeriksa.Elina memejamkan matanya mendengar hal tersebut. Kan, apa yang ia khawatirkan menjadi nyata. Sedikit menghela napas, tak menyangka kesalahan malam itu membuahkan hasil. Sial sekali,.padahal ia hanya melakukannya se
Minggu dan bulan telah berlalu. Tapi nyatanya sekeras apapun Reyhan mencari keberadaan Elina, ia sama sekali tak dapat menemukannya sebab kurangnya informasi yang ia punya. Reyhan hanya tahu sebatas namanya saja dan nama Elina tak hanya satu di negara bahkan di dunia ini. Sang asisten pun sudah berusaha keras. Ia memberi Reyhan banyak informasi tentang data diri orang yang bernama Elina, tapi tak satu pun di antara mereka adalah Elina yang ia maksud.Reyhan bahkan sudah datang ke kelab tempat terakhir mereka bertemu untuk mencari informasi tentang dia, tapi ia justru malah menemukan fakta baru.Malam itu merupakan kunjungan pertama Elina ke kelab tersebut dan dia sudah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan yang disebabkan Kanaya. Rasa bersalah semakin menguasai dirinya. Sial, seharusnya dj hari itu mereka tak hanya sekedar bertukar nama tetapi juga bertukar nomor ponsel.Mobil berwarna hitam yang dikendarai Reyhan berhenti di kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. I
Sebuah taksi berhenti di depan sebuah gang kecil yang hanya bisa dimasuki kendaraan beroda dua. Elina keluar dari taksi tersebut dan langsung berjalan dengan cepat menuju sebuah bangunan besar dengan banyak pintu. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering.Ia lebih memilih menemui sahabatnya dulu ketimbang pulang ke rumah. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering menampilkan kontak "Ricky!" Elina memanggil pemuda itu saat melihat dia tengah berdiri di depan kosan sambil memegang ponsel.Dia menoleh dengan raut lega. "Elina!!" Dengan cepat ia menghampiri perempuan itu. "Hei, lo dari mana aja? Kenapa telepon gue gak diangkat?" tanyanya tanpa jeda sambil mengguncang pelan bahu yang lebih kecil. Elina melepas cengkraman tangan Ricky dari bahunya. "Gue ceritain di dalem." * * * * *"Gila, Bang Haris, padahal mukanya kayak orang bener." Ricky mendengus setelah Elina selesai bercerita. Sedikit tak menyangka jika Haris yang ia percaya untuk menjaga Elina bisa melaku
"Ayah?!"Kedua mata Elina membola pun dengan jantungnya yang berdegup melampaui batas normal. Keadaan pria di sampingnya pun tak jauh berbeda, ia terlihat panik dan juga gelagapan. 'Sial.' Elina mengumpat dalam hati. Kenapa orang-orang ini tiba-tiba datang di saat keadaan sedang tidak bagus? Rasanya ia sedang dipergoki karena telah melakukan hal yang tidak benar. Tapi memang iya, sih.Elina melihat pria di sebelahnya beranjak lalu berjalan menghampiri pria paruh baya yang ia panggil 'ayah' itu. Tapi begitu sampai ia malah mendapat sebuah tinju yang mendarat tepat pada rahangnya, membuat pria itu hampir saja tersungkur. Elina menutup mulutnya tak menyangka sambil meringis pelan. Pasti rasanya nyeri atau paling parahnya rahangnya mungkin tergeser saking kuatnya pukulan tersebut."Apa yang kamu lakuin, Reyhan?!" Amarah sang ayah menggebu-gebu. Tak perlu penjelasan, melihat keadaan kamar serta penampilan putranya saat ini sudah bisa disimpulkan apa yang telah terjadi.Di atas ranjang El
"AAA!"Kedua mata Elina membelalak kaget melihat seorang pria asing berada di ruangan yang sama dengannya, tanpa busana. Ia panik bukan main, lantas ia pun semakin mengeratkan selimut di tubuhnya. Tidak, ini tak seperti yang ia pikirkan, kan?"L-lo yang siapa?!" tanya Elina sambil beringsut mundur."T-tunggu dulu, biar gue jelasin─" Pria itu terlihat sama paniknya, tapi dia mencoba memberi penjelasan pada Elina dan perlahan mendekat ke arah perempuan itu."Diem di situ!!" Lagi-lagi Elina memekik, ia membuang muka sambil memejamkan mata, malu melihat tubuh polos pria tersebut. Dapat ia rasakan seluruh aliran darahnya naik ke arah pipi menciptakan sebuah semburat kemerahan."Oke ... oke." Dia pun kembali ke posisi awalnya, saling duduk di ujung ke ujung.Keduanya kini saling berdiam diri, sesekali melirik satu sama lain. Pria itu turun dari ranjang dan memakai celana miliknya yang tergeletak di lantai. Sementara Elina yang melihat pergerakan pria tersebut kembali membuang muka. Sial, ba
Di malam yang dingin hawa panas melingkupi sepasang pria dan wanita yang tengah bergelut di atas ranjang besar itu. Kesadaran dan kewarasan telah dirampas dari keduanya, hanya ada satu hal yang mereka tuju, kepuasan."Hahhh …." Wanita itu mendongak, memberi akses para pria di atasnya untuk mengecupi leher serta rahangnya sebelum kemudian kembali menyatukan bibir mereka menuju sebuah ciuman yang hangat. Tangan pria itu tak hanya diam, ia bergerak aktif mengelus paha si wanita kemudian naik perlahan, menyelinap ke dalam baju yang masih melekat sempurna di tubuh ramping itu.Sebuah sensasi merinding dapat wanita itu rasakan, lantas kesadaran sedikitnya mulai menguasai diri. Tidak, apa yang mereka lakukan saat ini adalah hal yang salah. Ditepisnya lengan si pria yang ada di dalam pakaiannya, tapi dia malah mencekal pergelangan tangannya."There's no turning back," ucapnya dengan nada rendah tepat di telinga wanita itu. Ia sudah tak tahan sebab rasa panas terus menjalar ke seluruh tubuhnya