"AAA!"
Kedua mata Elina membelalak kaget melihat seorang pria asing berada di ruangan yang sama dengannya, tanpa busana. Ia panik bukan main, lantas ia pun semakin mengeratkan selimut di tubuhnya. Tidak, ini tak seperti yang ia pikirkan, kan?"L-lo yang siapa?!" tanya Elina sambil beringsut mundur."T-tunggu dulu, biar gue jelasin─" Pria itu terlihat sama paniknya, tapi dia mencoba memberi penjelasan pada Elina dan perlahan mendekat ke arah perempuan itu."Diem di situ!!" Lagi-lagi Elina memekik, ia membuang muka sambil memejamkan mata, malu melihat tubuh polos pria tersebut. Dapat ia rasakan seluruh aliran darahnya naik ke arah pipi menciptakan sebuah semburat kemerahan."Oke ... oke." Dia pun kembali ke posisi awalnya, saling duduk di ujung ke ujung.Keduanya kini saling berdiam diri, sesekali melirik satu sama lain. Pria itu turun dari ranjang dan memakai celana miliknya yang tergeletak di lantai. Sementara Elina yang melihat pergerakan pria tersebut kembali membuang muka. Sial, bagaimana bisa dia seleluasa itu mempertontonkan tubuhnya? Terlebih di depan lawan jenis!Pria itu kini berdiri di hadapan Elina dengan hanya mengenakan bawahannya saja sebab ia tak bisa menemukan di mana kemejanya. Sementara Elina berdehem pelan, mencoba untuk biasa saja meski sebenarnya ia selalu salah fokus pada otot lengan serta otot abdomennya. Kekar, tapi tidak berlebihan. Ditambah rambut hitam legam dengan model undercut itu menambah kesan dewasa dan err … seksi? Jangan lupakan garis rahangnya yang tegas serta tajam.'Heh! Fokus, Elina!' rutuknya dalam hati.Keduanya lalu saling berpandangan canggung, sama sekali tak ada yang mau bersuara. Si pria menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal, ia bingung harus beraksi seperti apa saat ini."Jadi gini ...." Suara berat itu mengudara, memecah keheningan di antara keduanya, "... gue minta maaf sama apa yang udah terjadi di antara kita berdua. Tapi sumpah demi Tuhan, gue sama sekali gak inget kenapa bisa ada di sini ... bareng lo."Elina menggigit pipi bagian dalamnya gugup sambil menatap pria di hadapannya dengan tatapan ragu. Benarkah apa yang dikatakannya? Dia tidak berdusta, kan?Meskipun kurang yakin, tapi ia pun tak bisa berprasangka buruk sebab dirinya pun sama tak ingatnya pada apa yang telah terjadi di antara mereka berdua. Yang jelas mereka sudah melakukan sesuatu yang salah.Tapi ada satu hal yang benar-benar ia ingat. Yaitu saat seorang pria tinggi menghampirinya di meja bar malam kemarin. Si pemilik taring dan tahi lalat kecil di antara hidung dan mata kirinya. Pria yang tiba-tiba datang dan meminta bergabung. Setelah itu … entahlah, entah bagaimana ia bisa berakhir di sini."Gue juga gak inget," balas Elina sambil menghembuskan napas berat.Dirinya masih baik-baik saja kemarin menjalani hari-harinya yang mononton. Sebelum Haris tiba-tiba meminta bertemu lalu memutuskan hubungan mereka dan membuat ia datang kemari.Apa yang kini harus ia lakukan dengan fakta dirinya telah tidur dengan pria asing? Menangis pun rasanya ia sudah tak sanggup, matanya sudah terlalu lelah untuk itu."Apa yang harus kita lakuin sekarang?"Pria itu terdiam sesaat sambil memikirkan langkah apa yang harus ia ambil.Sebagai seorang lelaki ia tentu harus bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, tapi ia pun tak bisa mengambil keputusan gegabah. Lepas tanggung jawab pun bukan keputusan yang bijak.Elina terdiam dengan jantung berdebar menunggu jawaban pria itu.Pria itu menghela napas. "Gini aja, karena ini cuma kesalahan satu malam yang gak disengaja, kita berdua juga sama-sama gak sadar pas ngelakuinnya, jadi bisa gak kita lupain aja? Maafin gue, tapi gue bisa ngasih lo kompensasi."BUGH!Sedetik setelah ia berkata, sebuah bantal mendarat dengan mulus tepat di wajah tampan nan berharganya, pelakunya siapa lagi jika bukan perempuan yang telah menghabiskan malam dengannya ini."Bisa-bisanya lo enteng banget ngomong kayak gitu?!" pekik Elina dengan sorot mata tajam. Ia tersinggung dengan ucapan pria itu yang akan memberikannya kompensasi. Lantas apa bedanya dirinya dengan seorang jalang?Pria itu mendekat lalu duduk di samping Elina, sementara perempuan itu tetap konsisten mundur untuk menjaga jarak. Tak ingin dekat-dekat."Gue bener-bener minta maaf karena gak bisa tanggung jawab dengan bener. Tapi Gue bisa bertanggung jawab kalo itu cuma sebatas uang─""Apa lo pikir gue miskin sampe lo mau ngasih uang?!" potong Elina, lagi-lagi pria itu malah mengatakan hal yang membuatnya marah."Bukan gitu maksud gue." Dia langsung memejamkan mata lelah. Bagaimana cara menjelaskan pada perempuan ini?Dirinya mungkin terkesan berengsek karena mau memberi uang atas malam yang mereka habiskan. Tapi ia tak bisa terpikirkan yang lain selain hal ini."Ya udah, lo maunya gimana?" Pria itu memberi kesempatan pada Elina untuk mengungkapkan apa yang dia mau untuk menyelesaikan masalah ini.Tapi Elina malah terdiam. Sebenarnya ia bisa saja melupakan semua ini dan menganggap tak terjadi apa-apa di antara mereka, seperti yang disarankan pria itu. Tapi tetap saja itu tak akan mudah terlebih ia adalah orang yang paling dirugikan di situasi ini.Ia sendiri bingung. Sebenarnya apa yang dia mau?Melihat Elina yang terdiam, pria itu malah menyimpulkan sesuatu. "Apa jangan-jangan lo yang jebak gue buat tidur bareng?""Jangan sembarangan ya, gue korban juga loh!" Elina mendelik tak terima. Dia pikir dirinya perempuan macam apa?! Ingin rasanya ia menjambak rambutnya itu yang entah kenapa malah jadi terlihat menyebalkan.Ceklek!Pintu tiba-tiba terbuka di tengah perseteruan mereka. Keduanya lalu kompak menoleh ke arah sumber suara, di sana berdiri tiga orang yang Elina asumsikan sebagai sepasang suami istri usia pertengahan empat puluh serta seorang wanita yang mungkin usianya tak jauh dengannya.kedua alisnya menukik, siapa mereka?"Reyhan Adnan, apa-apaan ini?!" bentak pria paruh baya di sana."Ayah?!"Kedua mata Elina lantas kembali membelalak mendengar pekikan dari pria di sampingnya. Apa katanya? Ayah?!Oh Tuhan, masalah mereka saja belum selesai kenapa harus muncul masalah yang lain?!'Habis lo Elina,' batinnya meraung-raung."Ayah?!"Kedua mata Elina membola pun dengan jantungnya yang berdegup melampaui batas normal. Keadaan pria di sampingnya pun tak jauh berbeda, ia terlihat panik dan juga gelagapan. 'Sial.' Elina mengumpat dalam hati. Kenapa orang-orang ini tiba-tiba datang di saat keadaan sedang tidak bagus? Rasanya ia sedang dipergoki karena telah melakukan hal yang tidak benar. Tapi memang iya, sih.Elina melihat pria di sebelahnya beranjak lalu berjalan menghampiri pria paruh baya yang ia panggil 'ayah' itu. Tapi begitu sampai ia malah mendapat sebuah tinju yang mendarat tepat pada rahangnya, membuat pria itu hampir saja tersungkur. Elina menutup mulutnya tak menyangka sambil meringis pelan. Pasti rasanya nyeri atau paling parahnya rahangnya mungkin tergeser saking kuatnya pukulan tersebut."Apa yang kamu lakuin, Reyhan?!" Amarah sang ayah menggebu-gebu. Tak perlu penjelasan, melihat keadaan kamar serta penampilan putranya saat ini sudah bisa disimpulkan apa yang telah terjadi.Di atas ranjang El
Sebuah taksi berhenti di depan sebuah gang kecil yang hanya bisa dimasuki kendaraan beroda dua. Elina keluar dari taksi tersebut dan langsung berjalan dengan cepat menuju sebuah bangunan besar dengan banyak pintu. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering.Ia lebih memilih menemui sahabatnya dulu ketimbang pulang ke rumah. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering menampilkan kontak "Ricky!" Elina memanggil pemuda itu saat melihat dia tengah berdiri di depan kosan sambil memegang ponsel.Dia menoleh dengan raut lega. "Elina!!" Dengan cepat ia menghampiri perempuan itu. "Hei, lo dari mana aja? Kenapa telepon gue gak diangkat?" tanyanya tanpa jeda sambil mengguncang pelan bahu yang lebih kecil. Elina melepas cengkraman tangan Ricky dari bahunya. "Gue ceritain di dalem." * * * * *"Gila, Bang Haris, padahal mukanya kayak orang bener." Ricky mendengus setelah Elina selesai bercerita. Sedikit tak menyangka jika Haris yang ia percaya untuk menjaga Elina bisa melaku
Minggu dan bulan telah berlalu. Tapi nyatanya sekeras apapun Reyhan mencari keberadaan Elina, ia sama sekali tak dapat menemukannya sebab kurangnya informasi yang ia punya. Reyhan hanya tahu sebatas namanya saja dan nama Elina tak hanya satu di negara bahkan di dunia ini. Sang asisten pun sudah berusaha keras. Ia memberi Reyhan banyak informasi tentang data diri orang yang bernama Elina, tapi tak satu pun di antara mereka adalah Elina yang ia maksud.Reyhan bahkan sudah datang ke kelab tempat terakhir mereka bertemu untuk mencari informasi tentang dia, tapi ia justru malah menemukan fakta baru.Malam itu merupakan kunjungan pertama Elina ke kelab tersebut dan dia sudah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan yang disebabkan Kanaya. Rasa bersalah semakin menguasai dirinya. Sial, seharusnya dj hari itu mereka tak hanya sekedar bertukar nama tetapi juga bertukar nomor ponsel.Mobil berwarna hitam yang dikendarai Reyhan berhenti di kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. I
Jantung Elina berdebar-debar tak karuan saat dokter memeriksanya dengan telaten. Di mulai dari mengecek denyut nadi hingga melakukan USG.Akhir-akhir ini ia sering kali merasa keram pada perutnya sehingga Ricky memaksa untuk pergi ke dokter, takutnya ia sakit yang tidak biasa. Awalnya Elina menolak untuk diperiksa. Sebab sudah dua bulan sejak insiden malam itu dan Elina sadar jika jadwal datang bulannya terlambat. Awalnya ia mencoba berpikir positif karena bisa saja ini faktor stres. Tapi kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini menjadi lebih sering lelah, mual yang datangnya tak tau tempat dan juga perutnya yang keram membuatnya agak khawatir."Gak papa kok ini, gak perlu terlalu khawatir. Keram perut memang umum terjadi pas kehamilan," ucap dokter setelah selesai memeriksa.Elina memejamkan matanya mendengar hal tersebut. Kan, apa yang ia khawatirkan menjadi nyata. Sedikit menghela napas, tak menyangka kesalahan malam itu membuahkan hasil. Sial sekali,.padahal ia hanya melakukannya se
"Karena itu …." Elina masih menunggu dengan berdebar-debar, ia menelan ludahnya dengan susah payah. Jika memang ini seperti dugaannya, Reyhan tak menginginkan bayi mereka, maka ia pun tak tahu harus bagaimana."… gue udah mutusin, kalo gue bakal nikahin lo."Terkejut. Elina terdiam mendengar ucapan Reyhan, sedikit tak menyangka pula. Ini tak seperti yang ia duga, tapi bagaimana bisa pria itu mengatakan hal semacam itu dengan mudahnya?Maksudnya, belum lama ini pernikahannya batal, lalu kini dia mengajak wanita lain untuk menikah? Apa kata orang nanti?"Lo serius? Lo sadar ngomong kayak gitu?" Bukan tanpa alasan Elina bertanya hal tersebut. Dilihat dari keadaan Reyhan saat ini, dia terlihat pucat dan lelah. Mungkin saja pria itu berkata dengan asal.Namun, dia mengangguk mantap. "Seratus persen sadar.""Tapi, literally kita berdua baru ketemu dua kali?" Hati Elina gundah. Haruskah ia menerima ajakan Reyhan? Ini mungkin adalah satu-satunya solusi yang aman bagi masalah yang tengah men
[Kak Haris]Lin, bisa kita ketemu?Penting.Sejujurnya Elina tidak ingin menemui Haris sebab takut rasa sakit hatinya kembali. Tapi karena pria itu mengatakan ingin bicara hal penting, mau tak mau ia pun menyetujuinya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk saling berhadapan di kursi batu yang tersedia di taman kota, dengan pemandangan hamparan danau yang tenang.Elina menatap Haris agak khawatir sebab ada beberapa luka lebam serta robek di wajah rupawan itu. Apa dia habis berkelahi? Haris menyadari arti tatapan Elina. "Ini … habis dipukul Ricky," ucapnya. "Ohh …." Elina sama sekali tak heran Ricky menghajar Haris. Sahabatnya itu memang selalu melakukan hal yang tidak bisa atau tidak sanggup ia lakukan.Keheningan lalu menerpa. Melihat Haris membuatnya seketika rindu akan kebersamaan mereka, dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan begitu saja. Kini mereka layaknya orang asing."Ricky bilang kamu hamil … dan aku harus tanggung jawab."Terdiam, Elina tak menyangka Ricky
"Ayo aborsi aja."Elina bisa melihat sorot Reyhan menajam dan menggelap. Dia menggigit bibir, menelan ludah dengan susah payah karena ia sendiri masih takut dan tak yakin dengan keputusan ini. "Jangan mikirin hal gila." Pria itu meremas tangan Elina, ia marah. Sekali pun tak pernah terbesit dalam benaknya untuk melakukan hal keji itu, mau bagaimana pun dia adalah nyawa yang tak tahu apa-apa, bayi itu tidak berdosa. Tak akan ia biarkan Elina melenyapkan bayi mereka."Gue udah mutusin buat nikahin lo, jadi itu yang bakal terjadi."Elina menunduk sendu. Mungkin mudah bagi Reyhan untuk memberinya harapan dengan berkata seperti itu, tapi pada kenyataannya ayahnya sendiri tak mau menerimanya dan malah mengira jika ia hanya mengincar harta mereka."Jadi lo bakal ngelawan Ayah lo?" tanyanya.Pria itu terdiam, membuat Elina berspekulasi jika dia pun tak mungkin melakukan hal yang ia sebut. Tapi ucapan selanjutnya lantas membuat Elina balik terdiam."Ayo tes DNA, cuma dengan cara ini gue bisa y
Di malam yang dingin hawa panas melingkupi sepasang pria dan wanita yang tengah bergelut di atas ranjang besar itu. Kesadaran dan kewarasan telah dirampas dari keduanya, hanya ada satu hal yang mereka tuju, kepuasan."Hahhh …." Wanita itu mendongak, memberi akses para pria di atasnya untuk mengecupi leher serta rahangnya sebelum kemudian kembali menyatukan bibir mereka menuju sebuah ciuman yang hangat. Tangan pria itu tak hanya diam, ia bergerak aktif mengelus paha si wanita kemudian naik perlahan, menyelinap ke dalam baju yang masih melekat sempurna di tubuh ramping itu.Sebuah sensasi merinding dapat wanita itu rasakan, lantas kesadaran sedikitnya mulai menguasai diri. Tidak, apa yang mereka lakukan saat ini adalah hal yang salah. Ditepisnya lengan si pria yang ada di dalam pakaiannya, tapi dia malah mencekal pergelangan tangannya."There's no turning back," ucapnya dengan nada rendah tepat di telinga wanita itu. Ia sudah tak tahan sebab rasa panas terus menjalar ke seluruh tubuhnya
"Ayo aborsi aja."Elina bisa melihat sorot Reyhan menajam dan menggelap. Dia menggigit bibir, menelan ludah dengan susah payah karena ia sendiri masih takut dan tak yakin dengan keputusan ini. "Jangan mikirin hal gila." Pria itu meremas tangan Elina, ia marah. Sekali pun tak pernah terbesit dalam benaknya untuk melakukan hal keji itu, mau bagaimana pun dia adalah nyawa yang tak tahu apa-apa, bayi itu tidak berdosa. Tak akan ia biarkan Elina melenyapkan bayi mereka."Gue udah mutusin buat nikahin lo, jadi itu yang bakal terjadi."Elina menunduk sendu. Mungkin mudah bagi Reyhan untuk memberinya harapan dengan berkata seperti itu, tapi pada kenyataannya ayahnya sendiri tak mau menerimanya dan malah mengira jika ia hanya mengincar harta mereka."Jadi lo bakal ngelawan Ayah lo?" tanyanya.Pria itu terdiam, membuat Elina berspekulasi jika dia pun tak mungkin melakukan hal yang ia sebut. Tapi ucapan selanjutnya lantas membuat Elina balik terdiam."Ayo tes DNA, cuma dengan cara ini gue bisa y
[Kak Haris]Lin, bisa kita ketemu?Penting.Sejujurnya Elina tidak ingin menemui Haris sebab takut rasa sakit hatinya kembali. Tapi karena pria itu mengatakan ingin bicara hal penting, mau tak mau ia pun menyetujuinya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk saling berhadapan di kursi batu yang tersedia di taman kota, dengan pemandangan hamparan danau yang tenang.Elina menatap Haris agak khawatir sebab ada beberapa luka lebam serta robek di wajah rupawan itu. Apa dia habis berkelahi? Haris menyadari arti tatapan Elina. "Ini … habis dipukul Ricky," ucapnya. "Ohh …." Elina sama sekali tak heran Ricky menghajar Haris. Sahabatnya itu memang selalu melakukan hal yang tidak bisa atau tidak sanggup ia lakukan.Keheningan lalu menerpa. Melihat Haris membuatnya seketika rindu akan kebersamaan mereka, dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan begitu saja. Kini mereka layaknya orang asing."Ricky bilang kamu hamil … dan aku harus tanggung jawab."Terdiam, Elina tak menyangka Ricky
"Karena itu …." Elina masih menunggu dengan berdebar-debar, ia menelan ludahnya dengan susah payah. Jika memang ini seperti dugaannya, Reyhan tak menginginkan bayi mereka, maka ia pun tak tahu harus bagaimana."… gue udah mutusin, kalo gue bakal nikahin lo."Terkejut. Elina terdiam mendengar ucapan Reyhan, sedikit tak menyangka pula. Ini tak seperti yang ia duga, tapi bagaimana bisa pria itu mengatakan hal semacam itu dengan mudahnya?Maksudnya, belum lama ini pernikahannya batal, lalu kini dia mengajak wanita lain untuk menikah? Apa kata orang nanti?"Lo serius? Lo sadar ngomong kayak gitu?" Bukan tanpa alasan Elina bertanya hal tersebut. Dilihat dari keadaan Reyhan saat ini, dia terlihat pucat dan lelah. Mungkin saja pria itu berkata dengan asal.Namun, dia mengangguk mantap. "Seratus persen sadar.""Tapi, literally kita berdua baru ketemu dua kali?" Hati Elina gundah. Haruskah ia menerima ajakan Reyhan? Ini mungkin adalah satu-satunya solusi yang aman bagi masalah yang tengah men
Jantung Elina berdebar-debar tak karuan saat dokter memeriksanya dengan telaten. Di mulai dari mengecek denyut nadi hingga melakukan USG.Akhir-akhir ini ia sering kali merasa keram pada perutnya sehingga Ricky memaksa untuk pergi ke dokter, takutnya ia sakit yang tidak biasa. Awalnya Elina menolak untuk diperiksa. Sebab sudah dua bulan sejak insiden malam itu dan Elina sadar jika jadwal datang bulannya terlambat. Awalnya ia mencoba berpikir positif karena bisa saja ini faktor stres. Tapi kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini menjadi lebih sering lelah, mual yang datangnya tak tau tempat dan juga perutnya yang keram membuatnya agak khawatir."Gak papa kok ini, gak perlu terlalu khawatir. Keram perut memang umum terjadi pas kehamilan," ucap dokter setelah selesai memeriksa.Elina memejamkan matanya mendengar hal tersebut. Kan, apa yang ia khawatirkan menjadi nyata. Sedikit menghela napas, tak menyangka kesalahan malam itu membuahkan hasil. Sial sekali,.padahal ia hanya melakukannya se
Minggu dan bulan telah berlalu. Tapi nyatanya sekeras apapun Reyhan mencari keberadaan Elina, ia sama sekali tak dapat menemukannya sebab kurangnya informasi yang ia punya. Reyhan hanya tahu sebatas namanya saja dan nama Elina tak hanya satu di negara bahkan di dunia ini. Sang asisten pun sudah berusaha keras. Ia memberi Reyhan banyak informasi tentang data diri orang yang bernama Elina, tapi tak satu pun di antara mereka adalah Elina yang ia maksud.Reyhan bahkan sudah datang ke kelab tempat terakhir mereka bertemu untuk mencari informasi tentang dia, tapi ia justru malah menemukan fakta baru.Malam itu merupakan kunjungan pertama Elina ke kelab tersebut dan dia sudah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan yang disebabkan Kanaya. Rasa bersalah semakin menguasai dirinya. Sial, seharusnya dj hari itu mereka tak hanya sekedar bertukar nama tetapi juga bertukar nomor ponsel.Mobil berwarna hitam yang dikendarai Reyhan berhenti di kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. I
Sebuah taksi berhenti di depan sebuah gang kecil yang hanya bisa dimasuki kendaraan beroda dua. Elina keluar dari taksi tersebut dan langsung berjalan dengan cepat menuju sebuah bangunan besar dengan banyak pintu. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering.Ia lebih memilih menemui sahabatnya dulu ketimbang pulang ke rumah. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering menampilkan kontak "Ricky!" Elina memanggil pemuda itu saat melihat dia tengah berdiri di depan kosan sambil memegang ponsel.Dia menoleh dengan raut lega. "Elina!!" Dengan cepat ia menghampiri perempuan itu. "Hei, lo dari mana aja? Kenapa telepon gue gak diangkat?" tanyanya tanpa jeda sambil mengguncang pelan bahu yang lebih kecil. Elina melepas cengkraman tangan Ricky dari bahunya. "Gue ceritain di dalem." * * * * *"Gila, Bang Haris, padahal mukanya kayak orang bener." Ricky mendengus setelah Elina selesai bercerita. Sedikit tak menyangka jika Haris yang ia percaya untuk menjaga Elina bisa melaku
"Ayah?!"Kedua mata Elina membola pun dengan jantungnya yang berdegup melampaui batas normal. Keadaan pria di sampingnya pun tak jauh berbeda, ia terlihat panik dan juga gelagapan. 'Sial.' Elina mengumpat dalam hati. Kenapa orang-orang ini tiba-tiba datang di saat keadaan sedang tidak bagus? Rasanya ia sedang dipergoki karena telah melakukan hal yang tidak benar. Tapi memang iya, sih.Elina melihat pria di sebelahnya beranjak lalu berjalan menghampiri pria paruh baya yang ia panggil 'ayah' itu. Tapi begitu sampai ia malah mendapat sebuah tinju yang mendarat tepat pada rahangnya, membuat pria itu hampir saja tersungkur. Elina menutup mulutnya tak menyangka sambil meringis pelan. Pasti rasanya nyeri atau paling parahnya rahangnya mungkin tergeser saking kuatnya pukulan tersebut."Apa yang kamu lakuin, Reyhan?!" Amarah sang ayah menggebu-gebu. Tak perlu penjelasan, melihat keadaan kamar serta penampilan putranya saat ini sudah bisa disimpulkan apa yang telah terjadi.Di atas ranjang El
"AAA!"Kedua mata Elina membelalak kaget melihat seorang pria asing berada di ruangan yang sama dengannya, tanpa busana. Ia panik bukan main, lantas ia pun semakin mengeratkan selimut di tubuhnya. Tidak, ini tak seperti yang ia pikirkan, kan?"L-lo yang siapa?!" tanya Elina sambil beringsut mundur."T-tunggu dulu, biar gue jelasin─" Pria itu terlihat sama paniknya, tapi dia mencoba memberi penjelasan pada Elina dan perlahan mendekat ke arah perempuan itu."Diem di situ!!" Lagi-lagi Elina memekik, ia membuang muka sambil memejamkan mata, malu melihat tubuh polos pria tersebut. Dapat ia rasakan seluruh aliran darahnya naik ke arah pipi menciptakan sebuah semburat kemerahan."Oke ... oke." Dia pun kembali ke posisi awalnya, saling duduk di ujung ke ujung.Keduanya kini saling berdiam diri, sesekali melirik satu sama lain. Pria itu turun dari ranjang dan memakai celana miliknya yang tergeletak di lantai. Sementara Elina yang melihat pergerakan pria tersebut kembali membuang muka. Sial, ba
Di malam yang dingin hawa panas melingkupi sepasang pria dan wanita yang tengah bergelut di atas ranjang besar itu. Kesadaran dan kewarasan telah dirampas dari keduanya, hanya ada satu hal yang mereka tuju, kepuasan."Hahhh …." Wanita itu mendongak, memberi akses para pria di atasnya untuk mengecupi leher serta rahangnya sebelum kemudian kembali menyatukan bibir mereka menuju sebuah ciuman yang hangat. Tangan pria itu tak hanya diam, ia bergerak aktif mengelus paha si wanita kemudian naik perlahan, menyelinap ke dalam baju yang masih melekat sempurna di tubuh ramping itu.Sebuah sensasi merinding dapat wanita itu rasakan, lantas kesadaran sedikitnya mulai menguasai diri. Tidak, apa yang mereka lakukan saat ini adalah hal yang salah. Ditepisnya lengan si pria yang ada di dalam pakaiannya, tapi dia malah mencekal pergelangan tangannya."There's no turning back," ucapnya dengan nada rendah tepat di telinga wanita itu. Ia sudah tak tahan sebab rasa panas terus menjalar ke seluruh tubuhnya