“Apa?! Mas ada di depan pintu kamar?!” pekik Nia kaget, yang sontak membuatku ikut terhenyak juga mendengarnya.
Nia sangat terkejut dan gugup, dia loncat dari tempat tidur dan menghambur ke pintu tanpa melihatku terlebih dahulu.
“Aku rindu.” suara berat Sam terdengar jelas saat Nia telah membuka pintu.
“Apa-apaan dia?” pikirku canggung, bukannya dia tahu ada aku disini?!
Sam merangkul Nia masuk dan mendudukkannya di ranjang.
“Mas, ada Mala disini.” gumam Nia pelan namun masih bisa kudengar.
Aku yang merasa canggung hanya bisa pura-pura tertidur dengan hati jengkel.
“Jangan berisik, Mala juga tidur.” jawab Sam santai, dia bahkan tidak mencoba memelankan suaranya.
“Maasss.” protes Nia terdengar resah dengan suara pelan.
Entah apa yang tengah mereka lakukan, tubuhku mendadak beku, aku bahkan tak tenang meski sekadar untuk bernapas.
“Kenapa? Aku ingin memelukmu, apa tidak boleh?” tanya Sam, lagi-lagi terdengar santai dengan nada suara normal seolah aku benar-benar tidak ada disana.
“Aku mau ke kamar mandi dulu." pinta Nia gugup, dan tak lama terdengar pintu kamar mandi dibuka lalu ditutup. Sepertinya sekarang Nia benar-benar dikamar mandi.
Apa aku harus terus berpura-pura tertidur? Atau pura-pura tersadar dan menyapa CEO gila itu? Aku memicingkan mata sedikit membukanya untuk mengintip keadaan sekitar, dan saat itu jantungku seperti mau loncat saat kudapati Sam berdiri bersedekap di dekat sofa tempat aku pura-pura tertidur, menatapku dengan aneh. Aku kembali menutup mataku dan melanjutkan kepura-puraanku dengan jantung berdegup kencang.
“Kenapa Nia lama sekali di kamar mandi?” pikirku jengkel. "Kenapa juga Sam berdiri di sana dan memperhatikanku?" pikirku resah, “Harusnya aku tidak usah memakai piyama!” rutukku dalam hati. Bukan piyama tipe seksi, hanya piyama satin lembut berwarna putih model kemeja lengan pendek satu set dengan bawahannya celana pendek sepaha. Membayangkan Sam tengah menatap kakiku yang terbuka sampai paha, dan posisi tidur telentangku yang menonjolkan bagian dada, dan yang aku khawatirkan adalah piayamaku berwarna putih dengan bahan tipis yang aku pikir nyaman, aku tidak berpikir itu akan sangat menonjolkan lekuk tubuhku. sangat diluar dugaan Sam akan tiba-tiba masuk ke kamar hotel tempat Nia dan aku menginap! Mendadak aku merasa menggigil, tapi juga semakin takut untuk membuka mata. Sam gila!
Terdengar pintu dibuka, sepertinya Nia keluar dari kamar mandi.
“Mas, mau menginap juga? Mau aku pesankan kamarnya sekarang?” tanya Nia menawarkan dengan suara setengah berbisik.
“Tidak, aku tidak akan menginap. Aku hanya mampir sebentar.” jawab Sam dengan suara yang terdengar santai.
Apa laki-laki itu sungguh mengira aku tidur? Atau dia tahu aku hanya pura-pura tidur karena itu dia bahkan tidak mencoba memelankan suaranya?
“Oh, mas sudah mau pergi lagi?” tanya Nia.
“Tidak juga, aku mampir untuk memelukmu, dan melakukannya.”
Sesaat hening, sepertinya aku bisa membayangkan ekspresi wajah Nia yang tercengang seperti halnya hatiku yang sontak mencelos.
“Maksud mas? Melakukan apa?”
“Melakukan apa lagi? Kamu istriku dan aku suamimu, dan aku tahu kamu paham maksudku.” jawab Sam seraya terkekeh geli.
“Tapi mas…” Nia terdengar resah seperti halnya aku yang jengkel terhadap sikap Sam. Apabila Nia tak bisa menolak karena dia istri yang baik, maka aku tak bisa melakukan apa-apa selain melanjutkan kepura-puraanku agar aku tidak mengganggu atasanku dan membahayakan karirku!
“Kau menolak?” terdengar suara Sam kali ini seolah mengintimidasi Nia.
“Bukan itu, apa lebih baik kita memiliki kamar yang berbeda. Mas tahu, ada Mala disini.” tutur Nia dengan suara pelan yang masih bisa kudengar.
“Dia tidur.” lagi, Sam terkekeh geli.
“Aww!” pekik Nia. Entah apa yang mereka lakukan. “Breekkk!” terdengar suara robekan, entah apa pula yang robek.
“Maasss,” Nia memohon dengan menyedihkan.
“Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu.” pinta Sam.
Gila! Ini gila! Jika saja aku bisa memohon bumi menelanku, maka aku akan memohon untuk bumi melakukannya sekarang. Mereka yang melakukannya, dan aku yang merasa gila dengan perasaan tak menentu dan tubuh yang terasa kaku. Aku tertekan sungguh. Untuk bernapaspun aku merasa cemas! Aku ingin membuka mata, lalu bangkit dan berlari pergi, namun aku takut melakukannya.
“Aaahhh Maaasss.” Terdengar Nia mendesah dengan suara tertahan.
Brengsek! Apa yang sedang mereka lakukan bahkan di dekatku?! Tak tahan lagi, aku sedikit membuka mataku dan mencoba mengintip. Dan aku melihatnya.
Nia berdiri dengan mata terpejam dan mencoba menahan perasaanya semampu yang dia bisa, seluruh pakaiannya telah dipreteli Sam dan tampak berserakan di sekitarnya sehingga perempuan itu bahkan telanjang tanpa sehelai benangpun. Sementara Sam memeluknya dari belakang, pakaiannya masih lengkap. Hanya tangannya saja yang menjelajah dengan bebas di kulit Nia yang telanjang. Sam menyentuh leher Nia, disusul dengan mulutnya yang menciumi leher perempuan yang mematung dengan mata terpejam setengah mengernyit, tampaknya dia tetap berusaha menahan hasrat dirinya sekuat hati. Kemudian lengan Sam dengan tak tahu malu menangkup kedua payudara Nia, menggosok-gosok lembut putingnya sampai Nia bahkan mendesah panjang tak mampu mengendalikannya.
Aku masih mengintip dengan hati yang entah mengapa berdebar hebat. Perasaanku aneh. Dan semakin aneh saat aku melihat Sam membuka kemejanya dan menampakkan dadanya yang bidang dan berotot. Perut kotak-kotaknya yang seksi. Lalu dengan cepat Sam juga membuka celananya dan bahkan celana dalamnya, hingga nampaklah sepasang bugil di depanku. Sangat gila! Sam gila! Apa dia tengah pamer padaku betapa gagahnya dia dan milik pribadinya? Betapa kekar otot-otot kakinya? Sam lantas berdiri di belakang Nia dan memeluknya yang masih mematung dengan mata terpejam. Namun aku terhenyak, saat aku melihat wajah Sam, dia tersenyum licik, bahkan setengah menyeringai menatapku. Ya, dia menyentuh Nia dengan mata yang terus menatapku tajam! Dan dia tahu aku tidak benar-benar tertidur!!!
“Aaahhh Mas!” desis Nia saat bagian intimnya mulai terjamah lengan brengsek Sam!
“Jangan ditahan, nikmati saja!” ucap Sam dengan suara keras seolah sengaja agar aku bisa mendengarnya.
Tak tahan, aku berbalik dan tetap berpura-pura tidur seraya membelakangi Nia dan Sam.
“Mas, sebaiknya kita ke kamar mandi.” mohon Nia
“Aku mau disini, tahan saja, ini tak akan lama.”
“Aaahhh…maass…aahhh…uuuhhhh” Nia terdengar tak dapat lagi mengendalikan desahannya.
Dan aku semakin merasa gila karenanya. Kenapa aku harus sesak? Dadaku berdebar, perutku terasa aneh, seperti ada kupu-kupu yang terus beterbangan di dalamnya. Dan bagian pribadiku, sialnya entah mengapa itu berdenyut??? Kenapa? Kalau boleh jujur adegan mereka biasa saja. Aku seorang istri dan ibu dari satu orang putri. Aku pernah menonton film porno, membaca novel dewasa juga komik 21+. Adegan mereka biasa saja dengan Nia yang mematung pasif! Aku bahkan melakukannya lebih atraktif dengan suamiku. Tapi kenapa tubuh Sam terlihat seksi? Sam gila, mereka gila, dan apa aku juga gila???
Tak berapa lama suasana terasa hening, mungkin mereka telah menyelesaikan adegannya. Terdengar pintu terbuka dan tertutup, entah siapa yang masuk ke kamar mandi? Mungkin Nia, mungkin Sam, atau bahkan keduanya. Aku menahan diri untuk tetap membatu, namun tubuhku mulai pegal, hatiku juga gatal oleh rasa penasaran. Akhirnya aku membuka mata dan berbalik. Dan aku terhenyak refleks mengumpat kasar.“Sialan! Iiissh!!!” aku memaki geram seraya berbalik cepat dan menutup mata rapat-rapat. Bagaimana tidak?! Saat pertama yang kulihat adalah Sam yang telanjang dan bersedekap, berdiri tegap dan menatapku! Dasar gila. Aku semakin yakin Sam gila! Dalam hati aku terus mengutuk perbuatan gila Sam, sampai tiba-tiba sebuah selimut menutupi tubuhku. Terasa lembut dan hangat. Aku masih memilih tak bergerak dan tetap memejamkan mata, meringkuk di sofa dengan frustrasi. Sementara Sam terkekeh geli. Fix, dia sakit! Sam kali ini benar-benar diluar nalar! Aku tak menyangka Sam bisa bertindak gila!Aku tak tah
Pagi ini aku benar-benar melampiaskan stress di kepalaku dengan berbelanja menggunakan kartu kredit dari Sam. Aku tak peduli! Aku membeli gaun mahal, sepatu cantik, tas branded, dan perhiasan, juga jam tangan untuk Ben, suamiku. Tak lupa kubelikan juga gaun cantik untuk putriku. Nia juga kupaksa membeli gaun dan perhiasan, meski dia menolak aku tetap mengambil untuknya dan membayarnya.“Mal, aku tak memerlukannya!” Nia menolak dengan halus.“Jangan bercanda! Perempuan mana yang tidak menyukai gaun cantik dan perhiasan?” tanyaku kesal.“Aku bukan bilang tidak menyukai, aku hanya tidak memerlukannya.” ujarnya lemah.“Ayolah Nai!” begitu biasa aku memanggil Nia, itu panggilan persahabatan dan hanya aku yang memanggil Nia begitu. “Kau harus lebih menghargai dirimu sendiri, kau berharga dan pantas mendapatkan semua kemewahan ini. Anggap saja privilege sebagai istri CEO kaya raya.” cerocosku gemas.“Aku tidak ingin diingat Sam sebagai istri yang hanya memanfaatkannya.” Nia tertunduk sedih.
Aku yang sama terkejutnya hanya bisa mematung diam.“Ma, maaf.” gugup Nia seraya melepaskan diri dari lengan kekar Sam yang menahannya.Aku ikut gelagapan dan refleks berjongkok sembari menunduk memunguti berkas-berkas yang berserakan di lantai, tak berani menengadah menatap ekspresi Sam yang masih berdiri tanpa mencoba membantuku memunguti berkas-berkasnya.“Oh ayolah, ini bukan drama Korea! Kenapa aku harus berpikir Sam yang adalah CEO ikut membantu memunguti berkas yang berceceran di lantai?” protesku pada pikiran kotorku sendiri. “Lagian kalaupun ini kisah drama, pemerannya utamanya jelas bukan aku sekarang, melainkan Sam dan Nia!” pikirku yang juga adalah pikiran gila! Sementara aku bisa memahami Nia yang hanya mematung dengan tertunduk, tanpa melakukan apapun. Dia tampak terlalu memaksakan diri untuk tampil all out hingga nekat mengenakan high heels yang belum terbiasa dipakainya. Dia pasti akan kehilangan keseimbangan dan tampak memalukan jika memaksakan diri berjongkok dan iku
“Jadi ini alasan Mas mengijinkan aku tetap di London? Mas punya wanita lain?” teriak Camelia marah seraya menunjuk Nia yang mengkerut kaget dan ketakutan di kursinya.“Camel?! Kau sudah pulang?!” tanya Sam terlihat terkejut.“Ia aku pulang! Kenapa?! Terkejut karena akhirnya aku memergokimu?!” histeris Camelia. "Aku pulang untuk memberimu kejutan, Mas! Tak kusangka aku yang malah kemudian menerima kejutan darimu!" tuding Camelia.“Tenanglah sayang!” pinta Sam, seraya meraih lengan istrinya dan menariknya lembut agar duduk di kursi. Tapi dengan kasar Camelia menepiskannya.“Dengarkan aku dulu!” pinta Sam berusaha bersabar. “Dia Nia, staff invoice di kantor. Kami baru selesai meeting dengan klien di kantor sebrang jalan depan sana!” Tutur Sam. Dia terlihat tenang dan mengagumkan. Bahkan Ketika istrinya histeris di tempat ramai, dia masih bisa tenang dan lembut terhadap istrinya.“Pikirmu aku percaya?”“Duduklah dulu! Kamu sudah makan?” tanya Sam masih terdengar lembut.“Mas pikir aku mas
Aku sampai di depan rumah tepat pukul 8 malam. Setelah membayar ongkos taxi, aku segera masuk ke dalam rumah dengan kunci yang memang biasa kubawa. Baik aku maupun Ben, suamiku, sama-sama memegang kunci rumah masing-masing sehingga kita tidak perlu saling menunggu satu sama lain saat masing-masing dari kita ada keperluan di luar rumah. Se-fleksible itu hubunganku dengan Ben. Di tahun ke-5 pernikahan kita, sudah jarang kita bertengkar meributkan hal yang spele, rasa saling percaya tertanam begitu saja seiring waktu kebersamaan kami tanpa kompromi.Hal pertama yang kuperiksa adalah kamar Kayas, putriku, terlihat dia tidur dengan lelap. Dan aku keluar setelah mencium keningnya. Lantas aku ke kamar, kulihat Ben sedang serius di meja kerjanya dengan laptop yang menyala menampilkan sederet cerita yang enggan kubaca saat ini.“Hai sayang!” sapaku, seraya memeluknya dari belakang.Ben terlonjak kaget, rupanya dia tengah sangat serius dengan cerita garapannya sampai-sampai tidak menyadari keda
Postingan Sam terasa agak ambigu di kepalaku. Kulihat Nia dan beberapa orang lainnya me-like postingan Sam. Kemudian ada Camelia berkomentar. "Wait 3 days more, forever we will be together.”Sam tidak bereaksi. Tidak membalas komentar Camelia atau me-like komentarnya. Bisa jadi mereka lanjut bertelepon atau video call. Tapi sungguh aku tak yakin. Postingan Sam bisa tertuju pada siapapun, dan beberapa perempuan bahkan bisa ge-er karenanya. Seperti Camelia yang merasa itu untuknya. Bisa jadi Nia juga merasa itu tertuju padanya. Namun tidak seperti Camelia yang merupakan istri sah dan bisa berkomentar bebas di akun Sam, Nia yang hanya istri simpanan tidak akan memiliki keberanian untuk melakukannya. Semua perasaannya baik senang maupun sedih. Berdebar dan rindu. Dia hanya bisa menahan dan menyimpannya sendiri sampai waktu yang memungkinkan untuk dia menyatakannya. Dan yang lebih aneh adalah, aku merasa status Sam bahkan ditujukan untukku! Heyyyyy....kenapa kepalaku jadi bodoh sejak melih
Aku terhenyak, segera menegakkan tubuh! “Hah?” tanyaku bingung. Aku tahu Sam, dia adalah CEO di kantor yang terkenal tampan dan jadi bahan gosipan cewek-cewek kantor. “Maksudnya?”“Kamu hamil?” ulang Sam.“Tidak.” jawabku cepat. “Aku belum menikah.” terangku.Aku tidak berpikir apapun saat Sam menanyakannya. Hanya khawatir dia salah mengira aku memalsukan status saat melamar kerja ke perusahaannya. Jelas tercantum bahwa salah satu syarat perekrutannya dahulu itu adalah belum menikah. Sementara belum genap satu bulan aku bekerja di perusahaan yang dipimpin Sam. selain itu, ini kali pertama aku berhadapan langsung dengan sang CEO tampan yang selama ini kulihat selintas-selintas saja secara kebetulan. Dan memang dia amat sangat rupawan!“Kamu mengelus-elus perut seolah memiliki bayi di dalamnya.” ujar Sam cuek seraya bersandar di dinding dan mengeluarkan sebatang rokok lalu menyalakannya.“Maaf, sebenarnya saya hanya kekenyangan. Sedari tadi saya terus mencicipi hidangan yang tersedia di
“Maaf, jadi ini akan kau hadiahkan untuk pacarmu?” tanyaku tak enak hati. Aku sebaiknya tidak memakainya.” ujarku tidak nyaman seraya hendak membukanya. Namun lengan Ben menahan lenganku dengan pandangan lembut dan senyumnya dan hangat.“Sudah kau pakai, jadi tidak bisa diberikan kepada orang lain.” jawabnya lembut tapi semakin membuatku merasa tidak enak hati. Ucapannya memang benar, sepatu ini sudah terpasang di kakiku, kalaupun dilepas dan diberikan kepada orang lain, pasti tidak akan nyaman bagi yang memberikannya.“Gunakanlah, kamu membutuhkannya.”“Akan kuganti. Sebutkan saja harganya, nanti biar ku transfer.”“Sepertinya kau punya banyak uang ya?” tanya Ben dengan nada bercanda.“Ah! Bukan begitu maksudku.” jawabku lagi-lagi merasa tidak enak, padahal bukan maksduku untuk menyombongkan diri. Lantas aku menyodorkan handphoneku, “Tolong berikan nomor teleponmu. Biar nanti ku transfer, atau biar kuganti dengan sepatu yang sama persis, kau boleh kirimkan alamatmu padaku.”Ben hanya
Aku menoleh terkejut, pun dengan Pak Baroto yang menatap keheranan, matanya bergulir bergantian menatap tajam antara Sam dan aku.“Kamu mau kemana bahkan saat dokumenmu masih berserakan di lantai?” tanya Sam, nada bicaranya terdengar lembut, selembut mata coklatnya yang menatapku lekat.Dadaku sontak berdesir, dan aku mengutuknya dalam hati. "Bisa-bisanya perasaan bodoh itu muncul di saat suasana genting begini!"“Maaf, Pak, “ucapku pada Pak Baroto yang duduk di sofa, lantas aku berjongkok dengan sopan dan memunguti berkas yang berceceran di lantai. Aku marasa gugup, aku sadar Pak Baroto tengah menatapku tajam penuh selidik.Tidak seperti terhadap Sam, tatapan Pak Baroto rasanya bisa dengan mudah kubaca. Dan aku mengerti maksud tatapannya terhadapku. Dan sialnya Sam memperparah keadaan dengan ikut berjongkok di depanku serta membantuku memunguti berkas-berkas itu.“Kamu menyukainya, Sam?” Tanya Pak Baroto tajam.Aku yang terhenyak, refleks melempar berkas yang telah kupunguti tepat ke
“Pagi, Pak.” sapaku, seraya menganggukkan kepala sopan.Aku lantas bergerak menjauhi sosok Sam dan memilih untuk berdiri di sisi lift lainnya. Perasaan tidak nyaman itu muncul kembali, tatapan Sam dengan mata coklatnya yang seolah sangat dalam dan tak berdasar, menimbulkan perasaan aneh dalam diriku."Kenapa harus kebetulan banget bareng CEO saat naik lift sih?! Ketika aku bahkan terlambat sampai di kantor?! Apes banget!“ aku merutuk dalam hati.Pikiranku berusaha memusatkan rasa tidak nyaman yang muncul dalam diriku pada alasan itu. Padahal ketidak nyamanan itu muncul bukan hanya karena kesiangan semata, tapi muncul karena sepasang mata coklat pekat yang seperti lumpur hisap, pekatnya membuatku tidak dapat membaca emosi apapun disana, atau bahkan sekadar menerkanya saja aku bahkan merasa tak mampu. Tatapan Sam selalu misterius dan selalu saja berhasil membuatku menjadi bodoh!Aku memilih untuk diam, dan berpura-pura tak menyadari tatapan lekat Sam terhadapku. Berusaha tetap berdiri te
Aku terbangun saat alarm handphone berdering nyaring, tepat pukul 4 pagi. Kulihat Kayas masih terlelap di sampingku. Semalam aku tertidur di kamar Kayas, selain karena Ben memang tidak ada, rasa lelah juga membuatku rindu untuk tidur bersama putriku. Aku meraih handphone dan mematikan alarm, kulihat pesanku untuk Ben masih ceklis satu. Aku kembali mencoba menelepon Ben, namun masih belum bisa dihubungi. Biasanya setelah bangun aku melakukan banyak hal, mempersiapkan baju kerja dan keperluan sekolah Kayas serta sarapan juga bekal makan siang untuk di sekolah Kayas. Terkadang juga membersihkan rumah jika mood sedang baik, bahkan tak jarang berolahraga 30 menit meski sekadar peregangan otot atau senam kegel.Namun kali ini rasa malas membuatku kembali meringkuk di balik selimut bersama Kayas yang selalu kupeluk dan kuciumi. Baru saja beberapa menit aku terpejam, handphoneku bergetar. Dengan malas aku bangkit dan meraih handphone, seketika kantukku langsung hilang saat kulihat nama Ben ter
"Saku Belakang?" tanya Sam mengulangi."Saku depan." jawabku risih, seraya berbalik mengahadap ke sosok Sam, menghindari bokongku untuk ditatap Sam dengan teliti.Sam lagi-lagi menatapku aneh! Aku deg-degan. Firasatku buruk tentang ini!"Kanan atau kiri?" tanya Sam lagi."Kenapa Pak Sam harus menanyakan itu?!" seruku kesal dan risih."Lalu maksudmu aku harus memeriksa kedua saku depan jeansmu?"Aku menatap Sam frustrasi. "Maksudku, Pak Sam tidak perlu melakukannya. Aku sungguh bisa sendiri."Seperti mengabaikanku, Sam bergerak maju mendekatiku. Hatiku mencelos, mendadak aku speechless! Apalagi saat tiba-tiba dan tanpa aba-aba Sam mengulurkan lengannya dan meraba saku celana jeans yang kukenakan, bergantian kiri dan kanan. Aku yang terlalu terkejut hanya mematung bahkan tidak mampu untuk sekadar refleks berteriak. Sam gila sih!!!Sam menatapku lagi, mata coklatnya terlihat kelam dan dalam, seolah menyedot kesadaranku dan membuatku dunia disekitarku menjadi seperti mengabur."Saku kanan
Aku hendak menolak saat Sam akhirnya kembali berkata, "tidak ada bantahan, aku hanya akan mengantar. Kayas bahkan sudah terlihat sangat mengantuk." ujar Sam.Kulihat Kayas memang terlihat lelah dan sangat mengantuk, matanya sebentar terpejam dan sebentar kemudian memaksakan diri terbuka."Baiklah." ucapku setuju pada akhirnya.Sam beranjak, dia menghampiri Kayas dan menggendongnya. Kulihat Kayas tampak nyaman tertidur dengan menyenderkan kepalanya di pundak kokoh Sam serta mengalungkan lengannya melingkari leher Sam.hatiku terasa agak mengkerut, sudah lama sekali aku bahkan tidak melihat momen Ben menggendong Kayas. Akhir-akhir ini baik aku maupun Ben sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sudah lama rasanya tidak pernah ada quality time bersama untuk aku, Ben, dan kayas.Akhirnya aku menuntun Bams berjalan mengikuti Sam."Tunggu saja di sini!" kata Sam, saat kami baru melewati pintu keluar."Baik ayah!" jawab Bams, seraya memegang tanganku semakin erat.Aku menatap Sam. Mak
“Tentu, Kayas maukan memanggilku ayah?” tanya Sam lembut, yang lantas disambut Kayas dengan anggukan pasti.Tanpa menunggu waktu lagi aku menegakkan tubuhku dan segera menghampiri Kayas. Bersamaan dengan itu kulihat Sam kemudian juga menggendong Kayas, dan dia berjalan ke arahku yang juga tengah melangkah menghampiri mereka.“Ayok nak!” kataku, dengan setengah paksa merebut Kayas dari gendongan Sam.Dan saat itu Sam mencondongkan wajahnya ke dekat telingaku serta berbisik pelan namun jelas terdengar di telingaku, “aku tak akan menculik Kayas, kenapa kamu terlihat sangat gugup?!” goda Sam dengan ekspresi jahil.“Maap, Pak! Saya harap Kayas tidak merepotkan Pak Sam." kataku saat berhasil mengambil alih Kayas. "Saya permisi, ijin pamit duluan." ucapku kemudian. "Kayas kita makan dulu ya!” ajakku pada Kayas, dengan maksud untuk menghindari Sam.“Ibu sudah mau selesai mainnya ya?” tanya Bams.Aku menoleh cepat ke arah Bams dan tersenyum, tulus. Karena aku sungguh tidak berpikir untuk pura-
"Ayo sayang, kamu meluncur duluan!” Aku menaikkan Kayas ke ban, dengan patuh Kayas menurut dan terlihat sumringah. "Siap ya!" aku memberi aba-aba, dan terlihat Kayas bersiaga. Setelah memastikan aman, aku kemudian mendorongnya dengan hati-hati. Dan Kayas meluncur dengan berseru riang.Sampai kulihat Kayas tiba di bawah, dia turun dari ban dan melambaikan tangan.Aku menoleh kembali ke anak laki-laki itu yang masih berdiri memperhatikanku.“Mau coba meluncur sekarang?” tanyaku, terlihat kali ini Kayas melambaikan tangannya pada anak laki-laki itu dengan cengiran khasnya yang lucu. Dan akhirnya anak laki-laki itu mengagguk, lalu dengan hati-hati naik ke ban yang kusiapkan."Siap ya!" Aku memberi aba-aba, setelah anak laki-laki itu mengangguk, aku kemudian mendorongnya dengan hati-hati.Dan anak itu meluncur menyusul Kayas. Sampai dia tiba di bawah, anak itu turun dari ban dan menghampiri Kayas yang memang masih berdiri di pinggir arena menunggunya. Dan kemudian, keduanya segera naik untu
Aku menatap ayah dan ibu bergantian, lalu menatap Ben dan melihat ada pengharapan yang tulus dari sorot matanya. Dan aku lantas menganggukkan kepala menerima lamaran Ben.Ayah dan ibu tahu pekerjaan Ben, dan tidak mempermasalahkannya. Apalagi melihat kesungguhan Ben dalam mempersiapkan pernikahan kami. Aku bahkan ayah dan ibu, hampir tidak melakukan persiapan apapun. Hampir semua Ben yang menyiapkan. Dari mulai gedung pernikahan, catering, pakaian pesta keluarga, sampai undangan dan hantaran pernikahan. Semua Ben yang mengurusnya. Meski begitu Ben melibatkanku dalam memilih segalanya. Ben mengirim referensi gedung pernikahan, dan membuatku memilih salah satu. Pakaian pesta keluarga, Ben juga memintaku menentukan warna. Untuk gaun pernikahan, Ben bahkan mengajakku untuk memilih langsung dan mencobanya. Sampai menu catering dan motif undangan, semua aku yang memilih dan Ben yang mengurusnya. Sementara tanggal acara, di sana Ben melibatkan kesepakatan kedua orang tua dari pihak aku dan da
Aku sampai di rumah saat hampir tengah hari. Memang tidak ke kantor, meski jam kerja sampai jam 4 sore, tapi untuk hari ini masih bisa menggunakan keterangan dinas luar. Besok aku dan Nia baru mulai kembali ke kantor. Keadaan rumah tampak hening, 3 malam kutinggal dan sepertinya tidak ada kehidupan di rumah sejak itu. Kutengok kamar Kayas sangat rapih dan bersih, tampaknya memang dia tidak tidur di sana semalam. Pun dengan kamar tidur, tidak terlihat tanda Ben tidur di sana semalam. Aku berulang kali mencoba menelpon Ben, sejak mau naik pesawat, begitu turun, bahkan saat tiba di rumah, tapi tak ada jawaban. Bahkan tidak tersambung sama sekali. Kemana Ben?Lantas aku mencoba menghubungi ibuku yang berada di desa seberang. Tidak terlalu jauh, tapi sejak awal aku menikah dengan Ben, kita sama-sama sepakat untuk mencoba hidup mandiri dan tidak tinggal di rumah orang tua, baik itu orang tuaku ataupun orang tua Ben. Dengan menggabungkan tabunganku dan tabungan Ben kita berhasil mendapatkan