Aku sampai di depan rumah tepat pukul 8 malam. Setelah membayar ongkos taxi, aku segera masuk ke dalam rumah dengan kunci yang memang biasa kubawa. Baik aku maupun Ben, suamiku, sama-sama memegang kunci rumah masing-masing sehingga kita tidak perlu saling menunggu satu sama lain saat masing-masing dari kita ada keperluan di luar rumah. Se-fleksible itu hubunganku dengan Ben. Di tahun ke-5 pernikahan kita, sudah jarang kita bertengkar meributkan hal yang spele, rasa saling percaya tertanam begitu saja seiring waktu kebersamaan kami tanpa kompromi.
Hal pertama yang kuperiksa adalah kamar Kayas, putriku, terlihat dia tidur dengan lelap. Dan aku keluar setelah mencium keningnya. Lantas aku ke kamar, kulihat Ben sedang serius di meja kerjanya dengan laptop yang menyala menampilkan sederet cerita yang enggan kubaca saat ini.
“Hai sayang!” sapaku, seraya memeluknya dari belakang.
Ben terlonjak kaget, rupanya dia tengah sangat serius dengan cerita garapannya sampai-sampai tidak menyadari kedatanganku. Dia menoleh ke wajahku dengan ekspresi terkejut, bingung, juga takut.
“Dasar!” gerutuku kesal, seraya mengusap-usap wajah Ben dengan sedikit kasar. “Gak kangen?” tanyaku jengkel.
“Kamu benar Mala? Mala istriku?” tanya Ben tidak yakin.
“Dapat banget eskpresimu saat menanyakannya!” celetukku kesal seraya melepaskan pelukan dan sedikit mundur menjauh dari Ben. “Aku bukan Mala, aku hantu! Hannntuuuu!” kataku dengan nada dibuat seseram mungkin seraya memasang wajah horor dan mengosongkan pandangan.
Ben mematung.
Melihatnya hanya diam dan menatapku takut, aku berbalik kesal. “Tidak seru.” rutukku jengkel lantas melangkah keluar kamar. Namun belum sempat kakiku melewati ambang pintu, dengan cepat Ben menarik lenganku lalu menutup pintu dengan satu tangan lainnya. Lalu tanpa aba-aba menciumku, melumat bibirku, menghisap lidahku, dan dengan lidahnya dia menjelajahi mulutku sampai rasanya aku seperti kehabisan napas dan kemudian mendorongnya dengan kencang. Kulihat wajah Ben yang tersenyum jahil.
“Kuberi waktu kau bernapas.” ledeknya.
Aku menatapnya takut, “Jangan-jangan kau bukan Ben?!” aku memicingkan mata menatapnya curiga. “Katakan dimana suamiku?!” seruku menimpali candaan Ben, lagi kudorong Ben hingga dia terduduk di kursi, dan aku lantas duduk di atasnya dengan kedua kakiku yang melingkari pinggulnya, kuncengkram lehernya, kudekatkan wajahnya lalu aku menciumnya dengan brutal.
Lengan Ben bergerak menyusup kedalam kaosku, mengusap-usap punggungku lalu melepaskan bra dengan mudah. Bisa kurasakan milik Ben mengeras seperti halnya bagian intimku yang berdenyut dan seperti basah. Lengan Ben terus bergerak mengusap-usap punggungku, lalu keperutku, dan sampai di dadaku. Dia mengusap lembut disana, menggosok-gosok bagian putingku yang mengeras. Menangkupnya lalu meremasnya lembut. Sedang mulut kita terus berciuman panas. Sampai kita sama-sama kehabisakan napas dan mengambil jeda sesaat untuk bernapas. Ben tidak menyia-nyiakannya, dengan cepat dia membuka bajuku. Dan aku turun dari pangkuan Ben untuk melepas celanaku. Saat itu pula Ben membuka kaos dan melepas celananya, hingga di antara kami tidak ada batasan apapun yang menghalangi. Ben kembali terduduk di kursi dengan kaki selonjoran dan sedikit membuka. Milik Ben tampak berdiri tegak dan keras seolah menantang langit. Melihat itu selintas aku teringat pada sosok Sam yang telanjang. Segera kutepis bayangan Sam, dengan cepat aku naik keatas Ben, melingkarkan kakiku di pinggulnya, mendorong milikku pada benda tumpul Ben yang berdiri tegak, hingga masuk seluruhnya kedalam diriku dan kami mendesah berbarengan. Lazy man itu tidak hanya diam, dia menundukkan kepalanya dan menciumi dadaku, mengecup, menghisap, mengulum putingnya hingga aku menggeliat semakin berhasrat. Aku menggerakkan pinggulku naik turun, menggesek-gesekkannya ke atas dan ke bawah dengan ritme yang terus bertambah cepat. Dan Ben, dia meremas-remas dadaku dengan desahan dan pandangan nanar. Sampai akhirnya kami meledak bersama, Ben melenguh panjang saat miliknya akhirnya muncrat di dalam diriku yang menebarkan sensasi hangat ke seluruh tubuhku, dan aku yang juga mencapai klimaks bersamanya hanya mendesah panjang seraya memeluk leher Ben dengan erat. Lalu akhirnya kami sama-sama terdiam, berpelukan dalam keadaan telanjang sembari mengatur napas.
“Aku rindu.” gumam Ben pelan.
“Menurutmu aku tidak?” timpalku seraya melepaskan diri dari Ben dan turun.
Ben menahan lenganku, “Mau kemana?” tanyanya.
“Mandilaaah.”
“Aku masih mau memelukmu.” mohon Ben.
Aku berdiri menatapnya lembut. Jika melakukannya di Kasur, biasanya kami memang berpelukan lama setelahnya. Saling mendengarkan hembusan napas masing-masing yang kian teratur, mendengarkan detak jantung, dan kemudian sama-sama mensyukuri kebersamaan kami satu sama lainnya.
“Mari kita lakukan setelah kita mandi. Aku merasa lengket dan ingin bersih-bersih.” putusku lantas berlalu ke kamar mandi.
***
Aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar, kulihat Ben tanpak kembali serius dengan laptonya dengan hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Kulihat di nakas ada segelas susu hangat dan sepotong sandwich. Ben memang selalu manis. Masih mengenakan handuk aku duduk di tepi ranjang dan mulai mengunyah sandwichnya dengan nikmat dilanjutkan dengan menyesap habis susunya.
“Kau tidak mandi?” tanyaku seraya bergerak menuju lemari dan membukanya.
“Biar kulanjutkan dulu, inspirasiku rasanya bertumpuk setelah bercumbu denganmu.” jawab Ben tanpa menoleh dari layar laptop, sedang jarinya tampak lincah memencet-mencet keyboard menimbulkan suara ketak-ketik yang khas dan tidak asing bagiku.
Aku tak berkomentar, aku sudah terbiasa dengan Ben yang seperti itu. Aku berdiri mematung di depan pintu lemari yang terbuka, seluruh rak-nya terisi penuh oleh pakaian yang tersusun rapih. Meski begitu aku selalu kebingungan dan merasa tidak memiliki baju yang pantas saat hendak berpakaian. Dan tetiba lipatan piyama satin putih terlihat olehku dan mengingatkanku pada piyama yang kukenakan saat Sam melihatku di kamar hotel di Surabaya. Setelah itu dengan berani sosok Sam yang berdiri tegap dengan telanjang bulat berkelebat dalam benakku.
“Iishh!!!” rutukku kesal, seraya menarik set piyama satin putih dengan bahan yang tipis dan terasa lembut.
“Kenapa?” Ben menoleh dan menatapku penasaran.
Aku tergagap, “Engga, hanya aku merasa konyol membeli beberapa set piayama yang sama persis.” grutuku berbohong.
“Kau bahkan mengabaikanku saat aku bilang jayus melihatmu mengambil beberapa piayama yang sama persis baik model maupun warnanya, untuk dibeli. Kau bilang tak masalah selama memang nyaman digunakan.”
“Lain kali seret saja aku keluar mall saat aku khilaf dan kembali membeli piyama yang sama persis.” pintaku dengan nada kesal.
“Hmmm, aku tak yakin.” gumam Ben, seraya kembali fokus pada laptopnya.
Akhirnya aku mengenakan piyama dengan model dan warna yang sama dengan yang kubawa ke Surabaya, dengan perasaan menyesal kenapa harus membawa dan mengenakan piayama untuk dinas luar ke Surabaya. Perasaan lelah membawaku untuk segera berbaring nyaman di kasur empuk milikku, dikamar pribadiku, dimana aku rasanya tidak akan melihat orang lain melakukan hal gila selain aku dengan Ben. Kuatur suhu AC ke 21° Celcius dan mengenakan selimut lembut hangat favoritku. Sembari menunggu Ben yang masih berkutat dengan ketikannya, aku bermain handphone untuk sekadar scroll media sosial. Dan postingan Nia muncul di beranda akunku. tampak semangkok mie kuah dengan irisan cabe rawit dilengakapi telur dan sawi.
“Cheat day, alone.” caption postingan Nia.
Aku memencet tombol hati dan berkomentar, “Diet woyyy!”.
Tak berapa lama Nia membalas komentar ku, “Laah kamu belum tidur? Lagi temu kangen yak?” komentarnya, dan aku balas dengan ketikkan, “wkwkkwkw. Sotoy”.
Tetiba kulihat Sam me-like semua komentarku, lalu ada jeda sebentar sebelum akhirnya dia me-like komentar Nia dan statusnya juga. Yang membuatku berkerut dahi heran adalah dia lebih dulu menyukai komentarku sebelum komentar Nia dan postingannya. Apa pikiranku yang berlebihan, atau itu bukan sesuatu yang harus dipikirkan? Aku meninggalkan postingan Nia dan kembali scroll untuk melihat lainnya dengan mengesampingkan pikiran anehku. Lalu kulihat Sam memposting!
“Rindu. Menatapmu.” sesimple itu postingan Sam. Dua kata, bukan satu kalimat.
Postingan Sam terasa agak ambigu di kepalaku. Kulihat Nia dan beberapa orang lainnya me-like postingan Sam. Kemudian ada Camelia berkomentar. "Wait 3 days more, forever we will be together.”Sam tidak bereaksi. Tidak membalas komentar Camelia atau me-like komentarnya. Bisa jadi mereka lanjut bertelepon atau video call. Tapi sungguh aku tak yakin. Postingan Sam bisa tertuju pada siapapun, dan beberapa perempuan bahkan bisa ge-er karenanya. Seperti Camelia yang merasa itu untuknya. Bisa jadi Nia juga merasa itu tertuju padanya. Namun tidak seperti Camelia yang merupakan istri sah dan bisa berkomentar bebas di akun Sam, Nia yang hanya istri simpanan tidak akan memiliki keberanian untuk melakukannya. Semua perasaannya baik senang maupun sedih. Berdebar dan rindu. Dia hanya bisa menahan dan menyimpannya sendiri sampai waktu yang memungkinkan untuk dia menyatakannya. Dan yang lebih aneh adalah, aku merasa status Sam bahkan ditujukan untukku! Heyyyyy....kenapa kepalaku jadi bodoh sejak melih
Aku terhenyak, segera menegakkan tubuh! “Hah?” tanyaku bingung. Aku tahu Sam, dia adalah CEO di kantor yang terkenal tampan dan jadi bahan gosipan cewek-cewek kantor. “Maksudnya?”“Kamu hamil?” ulang Sam.“Tidak.” jawabku cepat. “Aku belum menikah.” terangku.Aku tidak berpikir apapun saat Sam menanyakannya. Hanya khawatir dia salah mengira aku memalsukan status saat melamar kerja ke perusahaannya. Jelas tercantum bahwa salah satu syarat perekrutannya dahulu itu adalah belum menikah. Sementara belum genap satu bulan aku bekerja di perusahaan yang dipimpin Sam. selain itu, ini kali pertama aku berhadapan langsung dengan sang CEO tampan yang selama ini kulihat selintas-selintas saja secara kebetulan. Dan memang dia amat sangat rupawan!“Kamu mengelus-elus perut seolah memiliki bayi di dalamnya.” ujar Sam cuek seraya bersandar di dinding dan mengeluarkan sebatang rokok lalu menyalakannya.“Maaf, sebenarnya saya hanya kekenyangan. Sedari tadi saya terus mencicipi hidangan yang tersedia di
“Maaf, jadi ini akan kau hadiahkan untuk pacarmu?” tanyaku tak enak hati. Aku sebaiknya tidak memakainya.” ujarku tidak nyaman seraya hendak membukanya. Namun lengan Ben menahan lenganku dengan pandangan lembut dan senyumnya dan hangat.“Sudah kau pakai, jadi tidak bisa diberikan kepada orang lain.” jawabnya lembut tapi semakin membuatku merasa tidak enak hati. Ucapannya memang benar, sepatu ini sudah terpasang di kakiku, kalaupun dilepas dan diberikan kepada orang lain, pasti tidak akan nyaman bagi yang memberikannya.“Gunakanlah, kamu membutuhkannya.”“Akan kuganti. Sebutkan saja harganya, nanti biar ku transfer.”“Sepertinya kau punya banyak uang ya?” tanya Ben dengan nada bercanda.“Ah! Bukan begitu maksudku.” jawabku lagi-lagi merasa tidak enak, padahal bukan maksduku untuk menyombongkan diri. Lantas aku menyodorkan handphoneku, “Tolong berikan nomor teleponmu. Biar nanti ku transfer, atau biar kuganti dengan sepatu yang sama persis, kau boleh kirimkan alamatmu padaku.”Ben hanya
Aku membungkukkan badan, berpamitan pada Sam yang masih menelpon lalu berlari ke sebrang dan segera menyetop taxi yang kebetulan lewat. Aku tidak berani menoleh lagi ke belakang atau melihat Sam lagi. Paras Sam saja cukup membuatku gugup, apalagi tawarannya untuk mengantarku yang sebenarnya biasa saja dan sesuatu yang wajar tanpa harus dibesar-besarkan, tapi bagiku itu sangat membingungkan bahkan lebih ke mendebarkan, jika saja aku tahu dia single tanpa Camellia, sudah usaha jungkir balik aku cari-cari perhatiannya. Sayangnya aku tahu, dia CEO dan aku budak corporate, dia milik si cantik Camellia dan aku hanya satu dari anak buahnya yang tahu betapa Sam memang amat baik dan murah hati. Jadi hatiku, plis banget jangan ge-er ya!!! Begitu taxi melaju, Ben menelepon.Kuangkat panggilannya dan langsung bilang, “Di kafe A! Aku sedang on the way kesana!.” ucapku lalu mematikan telepon tanpa memberinya kesempatan untuk mengatakan apapun.Kafe A tidak terlalu jauh dari kantorku, dan cukup fami
Aku kelu, tidak tahu harus bicara apa. Tapi hatiku terasa hangat dan tenang. Meski aku masih belum bisa mencerna dengan benar perkataan Ben prihal sepatu dan pacar Ben, yang ternyata ujungnya adalah aku!“Atau kamu sudah punya pacar?”“Tidak.” jawabku cepat, Ben tampak lega.“Jadi bagaimana?” tanya Ben, dia mengulum senyum, namun sorot matanya hangat.“Aku mohon, jika ada sesuatu hal yang membuat aku berpikir kesana kemari, tolong jangan didiamkan! Tolong jangan diputar-putar! Cukup jelaskan dan tenangkan. Sesederhana itu suatu hubungan, jadi jangan dibuat rumit hingga kemudian dipenuhi kisruh.” pintaku.Ben tersenyum, dan akupun tersenyum. Ben meraih tanganku dan menggenggmnya, hangat sehangat tatapannya. “Baiklah, mari kita jadi pasangan yang bahagia, kalau rindu, diungkapkan. Kalau marah dikatakan. Dan tidak bermain kode meski kita sama sama belajar untuk bisa peka dan saling pengertian.”Dan begitulah aku dan Ben memulai suatu hubungan yang hangat hingga akhirnya kami menikah.***
Nia berjalan lebih dulu ke resepsionis untuk check in dan mengambil kunci. Aku mengikutinya dengan satu koper kecil yang kuseret.“Lantai 6.” ucap Nia seraya mengayun-ayun kartu kunci kamar hotel di depan wajahku. “Lets go!” serunya riang.“Duluan saja.” ucapku.Nia mengernyit, dia tidak pergi tapi mengikutiku yang mengampiri resepsionis.“Mba, saya pesan kamar tepat di sebelah kamarnya.” kataku pada menunjuk ke sosok Nia dengan sopan dan formal.“Heii!” protes Nia terkejut dengan apa yang kulakuan.“Jangan protes! Aku trauma kejadian di Surabaya terulang lagi. Kalian bisa bebas melakukan apapun saat aku tidak berada di kamar yang sama.” tegasku. Dan Nia hanya menatapku bingung tanpa bisa membantah atau memprotes.Dan sampailah ke tahap resepsionis menyebutkan tarif permalamnya yang lantas membuatku speechless. 25 juta permalam. Kamar semewah apa sih yang dipesan Sam? Seolah kita adalah Raja Arab dia memesankan kamar seharga 25 juta permalam.“Oh Mba! Tidak usah kamar yang sama. Tipe
“Sam bertanya, kamu belum mandi? Katanya bajumu masih sama seperti yang dipakai saat naik pesawat.” ucap Nia seraya menunjukkan chat dari Sam ."Kenapa kamu kirimkan poto kita padanya si? Saat makan pula.” protesku, agak malu melihat aku tengah mangap hendak menyuap makanan di poto yang dikirim Nia ke Sam."Sam meminta pap." jawab Nia."Kenapa ga selfi sendiri saja?" gumamku, agak kesal tapi kusembunyikan."Sam tanya, sedang apa dan sama siapa, pap! Gitu katanya. Aku balas, sedang makan sama kamu, lalu kukirim potonya seperti yang dia minta." jawab Nia santai."Kamu poto kita waktu di pesawat juga? Atau di bandara?" tanyaku heran."Tidak. Kenapa?" tanya Nia, tapi dia lebih tampak tidak penasaran dan tidak peduli. Dia hanya menatap layar handphone sambil terus mengunyah makanannya yang memang sangat lezat.Aku mengrnyit, "lalu bagaimana Sam tahu bahwa aku masih mengenakan baju yang sama dengan yang kupakai saat naik pesawat? Apa dia punya cctv pesawat? Tidak mungkin, kenapa aku berpiki
Tentu saja ini salah! Meski Nia adalah istri Sam yang mungkin simpanan yang kesekian. Tapi Nia sahabatku, rekan kerjaku dan bagaimanapun tetap saja Nia adalah istri Sam. Dan jelas-jelas kita sama-sama tahu bahwa Nia ada di hotel yang sama denganku, di kamar yang dipesankan Sam untuknya. Lantas kenapa Sam sekarang ada di kamarku? Dan katanya aku selalu ceroboh, tergesa-gesa, bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain? Bukankah Sam yang begitu???Ketika Sam mendudukkanku di ranjang dan dia berjongkok lalu memeriksa kakiku, aku mengernyit, meringis menahan sakit. Dan Sam mendongak menatapku. Aku merasa situasi saat ini sangat aneh! Ini tidak benar.“Cukup Pak Sam, aku sungguh bisa mengurus kakiku sendiri. Aku baik-baik saja. Tolong keluar dari kamarku.” pintaku dengan mimik resah dan nada tak enak hati.“Tidak bisa.” jawab Sam tegas. "Terakhir kali aku membiarkanmu dengan kaki terkilir, kau malah melangkah semakin jauh sampai sulit sekali kususul. Aku tak akan melakukan kesalahan
Kulihat Nia selesai belanja, dia berjalan ke kasir diiringi Ina yang membawa keranjang kecil berisi produk-produk pilihan Nia. Aku tidak tahu, entah Ina melakukannya karena sebagai servis dari pekerjaannya menjadi Beauty Advisor, atau memang karena rasa bersalahnya tadi yang menyebut Nia sebagai teman Sam padahal Nia adalah istrinya. Entahlah. Tapi Sam mengikuti mereka ke meja kasir lantas membayar semua belanjaan Nia.Di sana aku hanya menghembuskan napas berat. "Apa ini perasaan iri?" tanyaku dalam hati, dadaku sedikit berat entah karena apa. "Pasti karena dompetku tertinggal. Jika saja handphoneku tidak mati, aku sudah membeli barang-barang yang kuinginkan dan tidak harus merasa iri." pikirku."Terimakasih, Mas!" ucap Nia seraya mengambil paper bag berisi belanjaannya dari meja kasir. Lantas Nia menghampiriku. Sementara Sam masih di meja kasir.Bersamaan dengan itu aku melihat Mba Beauty Advisor yang tadi menyapaku, dia ke meja kasir dengan membawa keranjang kecil berisi produk-pro
Langkah kami terhenti di pintu masuk store, saat seorang Beauty Advisor yang terlihat rapih dan cantik menyambut kami dengan senyum ramah seraya memberi salam dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada."Ada yang bisa dibantu?""Tolong tunjukkan produk make up terbaru yang bagus dan cocok." jawab Sam."Untuk?" tanya Ina berusaha tetap sopan meski terdengar ragu. INA, begitu nama yang tertera di name tag yang tersemat di seragam Beanty Advisor di dadanya.Sam menatap Beauty Advisor itu dan menjawab pertanyannya dengan memutar bola matanya ke arah Nia dan Aku."Oh maaf, baiklah, saya akan berusaha sebaik mungkin merekomendasikan produk-produk terbaik kami untuk..." Ina terlihat sedikit ragu. "Untuk teman-teman Masnya." lanjutnya dengan suara yang dipelankan."Saya bukan temannya." sangkal Nia cepat."Oh, maaf!" Ina terlihat malu dan merasa bersalah, dia menundukkan kepala seraya menangkupkan kedua tangannya di depan dada lagi."Istrinya, Mba!" ralatku."Oh ia maaf! Saya mohon maaf u
Dia lagi. Rutukku jengkel seraya menundukkan kepala. Mendadak merasa mati gaya.Nia menarik kursi di sampingnya saat Sam tiba di meja kami. “Silahkan duduk Mas.” kata Nia lembut pada Sam.Sam duduk, aku masih tertunduk, entah mengapa aku tidak memiliki keberanian untuk mengangkat wajahku dan melihat Sam. Padahal aku sadar benar, di sini yang salah adalah Sam, bukan aku.“Mas mau makan?” tanya Nia perhatian.“Tidak,” jawab Sam."Mas sudah makan?” tanya Nia lagi."Kamu tanya Mala saja!” jawab Sam datar.Terkejut aku reflek mengangkat wajahku dan saat itu tatapan panikku beradu dengan tatapan Sam yang jelas terlihat usil menyebalkan! Sam pasti tengah menertawakanku di dalam kepalanya!"Hah?” aku gelagapan.Aku memang tahu, tadi Sam sudah makan di kamarku. Tapi kenapa dia harus memperjelasnya kepada Nia? Apa memang seharusnya Nia tahu? Toh bukan aku yang salah! Tapi meski begitu, Nia pasti akan sakit hati dan mungkin dia akan marah juga padaku. Memang akan lebih baik untuk jujur daripada
Dan aku mematung dalam beberapa menit, rasanya mukaku memerah dan panas. Malu, kikuk, marah, jengkel, bingung. Sebelum aku benar-benar meledak, aku bangkit hendak beranjak!"Sudah cukup siang.” ucapku."Memang.” jawab Sam santai, seraya menyenderkan punggungnya di sofa, bersedekap dan menatapku dengan ekspresi aneh. Aku tidak mengerti tatapan matanya yang tajam. Isi kepala Sam segelap warna matanya, tak bisa kukira-kira."Aku akan ke kamar Nia, supaya kita bisa segera berangkat ke lokasi meeting.” maksudku mengatakannya adalah berharap Sam minggir atau setidaknya memberikan jalan untuk aku lewat. Tapi kemudian Sam meluruskan kakinya ke rak bawah troli makanan. Sehingga kakinya yang selonjoran itu semakin tidak memberiku jalan keluar. Dan aku terjebak di antara tembok dan Sam."Nia sudah di lokasi meeting sejak jam 8 pagi.” terang Sam santai.“Hah?” aku melongo tidak mengerti.Sam tidak mengatakan apapun lagi dan hanya menatapku. Ada yang berbeda, kali ini tatapannya terlihat lembut. D
Sam membelalak, terkejut atas tindakanku, seperti halnya aku yang kini meringis perih menahan nyeri di pipi. Dengan tergesa segera kupunguti baju yang telah kusiapkan sebelumnya, yang kini ada di samping Sam, semuanya dari mulai baju, celana dan bahkan pakaian dalam. Mukaku memerah, selain karena tamparan tanganku sendiri, juga disebabkan oleh rasa malu yang muncul menyeruak saat kupunguti pakaian dalam itu dengan kasar dan tergesa-gesa. Dan sialnya celana dalam yang kutarik paksa sampai agak melar itu bahkan tidak juga tertarik karena sebagiannya diduduki Sam.Aku menatap Sam dengan frustasi.Sam yang melihat tatapan kesalku yang awalnya tidak mengerti, berganti dengan eskpresi lucu saat dia menyadari aku menarik celana dalam yang tidak sengaja diduduki olehnya. Namun Sam tidak kehilangan kendali untuk tertawa, dia hanya menahannya, meski itu sangat terlihat jelas.Kekonyolan yang luar biasa. Di kamar hotel, hanya mengenakan handuk kimono aku menarik celana dalamku sampai melar, yang
Aku terbangun dengan kondisi bugar, tubuhku terasa segar, kepalaku ringan dan sangat nyaman. Pergelangan kakiku masih dibalut perban, tapi tak ada rasa nyeri sedikitpun di sana. Aku telah pulih dengan sangat cepat dan sempurna. Bisa jadi karena suasana hotel atau memang tempat tidur yang nyaman, entahlah. Meski ini bukan hotel seperti kamar hotel yang dipesankan Sam untuk Nia, tapi ini juga lebih bagus dari yang tipe standar room, sehingga sangat nyaman dipakai untuk beristirahat. Bahkan tidur malamku sangat nyenyak dan berkualitas.Aku bangkit dan meraih handphone, lalu terbelalak saat menyadari jam telah menunjuk ke angka 9. Aku celingak-celinguk, dan baru kusadari Nia tak ada di kamarku. Entah jam berapa tepatnya aku tertidur, aku tak ingat! Aku hanya ingat Nia memesan makanan untuk diantar ke kamarku dan akan makan di sini, namun kapan pastinya pesanan itu datang dan kapan dia makan, kapan dan di mana dia tidur, dan kapan Nia keluar dari kamarku, aku tak tau persisnya sama sekali.
"Tidak apa-apa Mal, kesini saja! Kita bersantai di kamarku. Kau juga tidur di sini saja, di sini lebih nyaman." Nia masih mencoba merayu."Ogah." jawabku singkat."Why?""Jangan menempatkan aku di antara kamu dan Sam! Jangan pernah berpikir untuk menjadikanku penonton untuk aktivitas kalian berdua." pesanku pada Nia.Tiba-tiba Nia mengirim screenshoot chat-nya dengan Sam.Nia: Pak maaf, ada rencana ke Bali malam ini? Atau ke kamar saya mungkin?Chat Nia yang kaku dan formal terhadap suaminya, aku merasa lucu membacanya.Sam : Maaf saya sibuk, belum bisa berkunjung.Aku mengenyit lama, sedikit terkejut membacanya. Balasan Sam bahkan cukup singkat dan sama kakunya. Bagaimana bisa Sam melakukan itu? Sibuk katanya? Belum bisa berkunjung? Dia bahkan bolak-balik ke kamarku, memesankanku makan, membalut kakiku dan memberiku kartu kreditnya. Tapi dia bahkan tidak menemui Nia sama sekali?!Aku terdiam. Tak berani menanggapi chat Nia sama sekali."Kesini dong Mal! Kita seru-seruan berdua. Sam g
Sam dengan sigap mendorong troli makanan yang berisi hidangan yang sudah dipesannya, setelah sebelumnya menaruh sebuah bungkusan plastik putih yang entah apa isinya di sana.Aku yang lagi-lagi kebingungan akan tingkah Sam hanya bisa mengikutinya dengan langkah tertatih ke dalam kamar. Sam menaruh troli makanan tepat di samping ranjang. Lalu berbalik dan menatapku tajam, langkahku terhenti dan aku tertunduk takut."Kamu benar-benar berpikir sedang menjadi peserta squid game? Dengan seragam konyolmu bisa-bisanya menuduh waiter yang mengantarkan makanan sebagai penjahat yang menyamar!"Aku merasa malu juga jengkel. "Kenapa Sam ada di sana? Dan kenapa juga dia harus mengomel untuk segala hal yang kulakukan?" rutukku dalam hati, mendadak aku sangat kesal. “Memangnya job desk seorang CEO adalah mengomentari pakaian karyawannya di luar jam kerja?” aku ngedumel kesal.Sam melotot dan sontak hatiku menciut. Sam mendekat dan aku yang merasa terintimidasi lantas mundur perlahan. Aku mendongak sa
Tentu saja ini salah! Meski Nia adalah istri Sam yang mungkin simpanan yang kesekian. Tapi Nia sahabatku, rekan kerjaku dan bagaimanapun tetap saja Nia adalah istri Sam. Dan jelas-jelas kita sama-sama tahu bahwa Nia ada di hotel yang sama denganku, di kamar yang dipesankan Sam untuknya. Lantas kenapa Sam sekarang ada di kamarku? Dan katanya aku selalu ceroboh, tergesa-gesa, bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain? Bukankah Sam yang begitu???Ketika Sam mendudukkanku di ranjang dan dia berjongkok lalu memeriksa kakiku, aku mengernyit, meringis menahan sakit. Dan Sam mendongak menatapku. Aku merasa situasi saat ini sangat aneh! Ini tidak benar.“Cukup Pak Sam, aku sungguh bisa mengurus kakiku sendiri. Aku baik-baik saja. Tolong keluar dari kamarku.” pintaku dengan mimik resah dan nada tak enak hati.“Tidak bisa.” jawab Sam tegas. "Terakhir kali aku membiarkanmu dengan kaki terkilir, kau malah melangkah semakin jauh sampai sulit sekali kususul. Aku tak akan melakukan kesalahan