Ponsel di sebuah meja berukuran lebar terus bergetar. Sedikit menyita perhatian seorang pria yang duduk di balik meja tersebut. Hanya sebuah lirikan kecil tidak berarti dari sepasang iris cokelat itu, lantas dia cuek lagi.
Penanya terus bergoyang di atas berlembar-lembar kertas. Beberapa dokumen baru selesai ditandatangani, dan dia harus menyelesaikan setumpuk dokumen lainnya.
"Ponselnya nggak diangkat dulu aja, Pak?" tanya seorang wanita cantik yang berdiri di hadapan pria itu.
"Biarkan saja," sahut pria itu terlalu irit membuat si wanita sedikit mengerutkan bibir.
"Pak Gavin nggak lupa, kan kalau malam ini ada makan malam di Sarinah?" Wanita itu mengingatkan dan cukup membuat perhatian pria yang disebut Gavin itu teralihkan dari lembar kertas.
"Kamu jadi alarm ibu saya atau gimana?" tanya Gavin tak suka. "Saya sudah cukup pusing dapat pesan reminder dari ibu saya. Jadi, kamu nggak perlu memberi saya peringatan lagi. Ngerti?"
Wanita dengan setelan blazer di hadapan Gavin meringis. "Maaf, Pak. Sudah tugas saya sebagai sekretaris untuk—"
"Tidak untuk mengingatkan makan malam nggak penting yang diatur ibu saya. Masih belum paham, Vania?" potong Gavin tegas. Mata cokelatnya menyorot tajam sekretaris bernama Vania itu.
"Baik, Pak. Maaf."
Setelah menandatangani dokumen penting, Gavin keluar dari ruangan mewah itu. Dia bergerak cepat di koridor kantornya menuju lift. Hari ni dia akan menyibukkan diri meskipun jadwalnya tidak terlalu padat. Bahkan dia berniat melakukan kunjungan di departemen produksi jika memungkinkan.
Kembali Gavin merasakan getar ponsel di saku jasnya. Napas lelahnya berembus, dan dengan malas meraih ponsel itu. Dugaannya tepat, telepon dari mama. Dia yakin panggilan-panggilan sebelumnya juga dari wanita itu.
"Gavin, kamu ke mana aja, sih? Pasti sengaja nggak angkat telepon mama kan? Kebiasaan banget kamu ya. Mama kan cuma mau ingetin, takutnya kamu lupa. Sekarang sudah pukul empat sore. Kamu harus siap-siap biar nggak kena macet. Kasian kan kalau Talia nungguin lama."
Gavin belum sempat mengucapkan salam, tapi mamanya langsung nyerocos seperti petasan imlek.
"Kamu bawa hadiah ya buat Talia, bunga atau cokelat kek. Bikin kesan pertama yang istimewa."
Pria 33 tahun itu menghela napas. Harusnya memang tadi deringan ponsel itu dibiarkan saja.
"Gavin, kamu dengar mama ngomong, kan?"
"Iya, Ma. Aku dengar." Untuk pertama kalinya Gavin bersuara.
"Bagus, pokoknya kali ini harus berhasil."
"Oke. Kalau gitu aku tutup dulu, sebentar lagi aku harus keluar."
Di sana sang mama terdengar heboh. "Keluar ke mana lagi? Ini sudah pukul empat, kamu jangan ke mana-mana lagi, nanti—"
"Cari hadiah yang seperti mama bilang," sela Gavin sebelum sang ibu menyerocos panjang lebar lagi.
"Ooh, ya udah oke, Mama tutup ya. Selamat berkencan, Sayang."
Embusan napas kasar keluar dari mulut lelaki dengan tinggi 183 cm itu saat panggilan itu berakhir. Ocehan mama membuat kepalanya sedikit berdenyut. Entah dia harus melalui kencan buta berapa kali lagi setelah sebelum-sebelumnya tidak berhasil.
Gavin capek. Bukannya apa, semua wanita yang ikut kencan buta itu tidak ada satu pun yang bisa menggetarkan hati pria itu. Dia tidak merasa pilih-pilih, tapi terkadang ada saja hal yang tidak cocok, yang bisa membuat Gavin menolak pertemuan kedua dan seterusnya.
"Nggak cuma kamu yang capek, memangnya mama nggak capek milihin kamu calon istri," omel mama saat Gavin melayangkan protes terkait kencan buta itu.
"Kalau mama capek, kenapa masih aja terus lanjut? Mama nggak perlu repot-repot mencarikan aku jodoh. Kalau Tuhan udah nentuin waktunya, jodoh juga akan datang sendiri."
Ada tatap terkejut yang bisa Gavin tangkap dari wanita paruh baya itu. Bukan hanya itu wajah wanita yang sudah melahirkannya itu juga terlihat gelisah tiba-tiba. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
"Pokoknya tahun ini, mama ingin lihat kamu duduk di pelaminan," pungkas mama sebelum akhirnya meninggalkan sang anak.
Mengingat itu hanya membuat Gavin menghela napas. Siapa sih yang tidak ingin menikah dan memiliki keluarga bahagia? Gavin juga ingin. Namun, memang belum ketemu jodoh saja.
Matanya terpejam sesaat, kembali bayangan gadis cantik yang tersenyum malu-malu padanya berkelebat. Lalu tiba-tiba sebuah perasaan nyeri mencubit hatinya. Gavin menggeleng cepat, membuang bayangan itu. Lalu dirinya yang saat ini sudah berada di balik kemudi, menekan tombol start, menyalakan mesin mobil.
Mobil mewahnya keluar dari halaman kantor perusahaan, dan bergabung dengan pengendara lain di jalan raya. Gavin melajukan dengan kecepatan sedang. Jalan raya belum terlalu padat. Dia masih bisa berkendara dengan santai.
Melewati sebuah traffic light, mobilnya bergerak melambat, dan dengan pelan dia menginjak rem ketika menempati posisi yang pas. Lampu merah menyala, dan kesempatan itu digunakan para pedagang asongan menawarkan dagangan kepada para pengendara yang terjebak lampu merah.
Gavin tampak tak peduli. Dia sedang tidak ingin membeli apa pun. Tisu yang dia borong dari pedagang asongan masih banyak di bagasi belakang. Namun, saat tatapnya melihat seorang gadis penjual bunga tangkai, dia refleks menurunkan kaca jendela.
Gadis itu berjalan mendekat ke arah mobilnya. Dari balik kemudi Gavin terus memperhatikan gadis penjual bunga yang mengenakan topi terbalik. Awalnya dia memang berniat membeli bunganya saja. Namun, ketika gadis itu makin dekat, dia malah terpana. Wajah gadis itu terlihat familier, bahkan Gavin terkesima selama beberapa saat.
"Mau beli bunga, Om. Ini bisa buat hadiah istri atau pacar Om. Murah kok. Cuma 20 ribu."
Gavin terkesiap saat tahu-tahu gadis itu sudah berada di dekatnya. Dan entah bagaimana ceritanya, dia malah memborong bunga itu. Ada sekitar sepuluh bunga di keranjang milik gadis itu.
"Om serius mau memborong bunga saya?" tanya gadis itu dengan mata berbinar.
Pria berkulit pucat itu mengangguk dan tersenyum. Dia baru sadar ternyata gadis itu memiliki warna iris mata yang sama dengannya, cokelat terang.
"Iya, jadi berapa semuanya?" tanya Gavin, seraya mengambil dompet di dasbor.
"Jadi 200 ribu, Om."
"Oke." Gavin menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan, dan ditukar dengan sepuluh tangkai bunga mawar yang terbungkus rapi dengan plastik bening.
"Makasih banyak, ya, Om. Kalau begini saya jadi bisa cepat pulang ke rumah." Deretan gigi mungil terlihat ketika gadis itu tersenyum lebar. "Mau buat istrinya, ya, Om?"
Gavin menggeleng seraya tersenyum.
"Oh, pasti pacar. Semoga pacarnya makin cinta sama Om ganteng."
Kekehan kecil meluncur dari bibir penuh Gavin. "Kamu bisa aja."
Keduanya berpisah ketika lampu lalu lintas kembali berwarna hijau. Mobilnya merambat pelan. Sempat dia memperhatikan gadis kecil penjual bunga yang sudah kembali ke trotoar dari kaca spion. Senyum gadis itu tak asing. Gavin merasa akrab dengan senyum itu.
"Revita, ada kamu di wajah gadis itu," gumam Gavin, lalu menggeleng. Dia berusaha tak peduli dan terus melajukan kendaraannya menuju apartemen.
***
Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan. Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah. Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui. "Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin."Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat. "Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri." Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak. Pria bermata cokelat itu menarik napas meliha
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran. Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini. Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya. Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib iku
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mer
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mer
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran. Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini. Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya. Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib iku
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan. Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah. Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui. "Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin."Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat. "Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri." Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak. Pria bermata cokelat itu menarik napas meliha
Ponsel di sebuah meja berukuran lebar terus bergetar. Sedikit menyita perhatian seorang pria yang duduk di balik meja tersebut. Hanya sebuah lirikan kecil tidak berarti dari sepasang iris cokelat itu, lantas dia cuek lagi. Penanya terus bergoyang di atas berlembar-lembar kertas. Beberapa dokumen baru selesai ditandatangani, dan dia harus menyelesaikan setumpuk dokumen lainnya. "Ponselnya nggak diangkat dulu aja, Pak?" tanya seorang wanita cantik yang berdiri di hadapan pria itu. "Biarkan saja," sahut pria itu terlalu irit membuat si wanita sedikit mengerutkan bibir. "Pak Gavin nggak lupa, kan kalau malam ini ada makan malam di Sarinah?" Wanita itu mengingatkan dan cukup membuat perhatian pria yang disebut Gavin itu teralihkan dari lembar kertas. "Kamu jadi alarm ibu saya atau gimana?" tanya Gavin tak suka. "Saya sudah cukup pusing dapat pesan reminder dari ibu saya. Jadi, kamu nggak perlu memberi saya peringatan lagi. Ngerti?" Wanita dengan setelan blazer di hadapan Gavin mering