Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran.
Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini.
Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya.
Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib ikut.
"Gue belum telat kan?" tanya Revita begitu batang hidungnya nongol.
Rafa melambaikan tangan dan memintanya mendekat. Pak Ferdy terlihat lebih serius dari biasanya. Kabarnya hari ini dia akan mempresentasikan hasil pengembangan tim.
"Saya nggak akan bicara banyak sebenernya. Tapi seperti biasa produk baru pasti akan mengundang kedatangan CEO ke sini. Meskipun nggak menutup kemungkinan beliau bisa datang kapan saja. Pesan saya, tolong jangan banyak bercanda setidaknya untuk beberapa hari ke depan," ujar Pak Ferdy.
Ujung mata Revita melirik teman-temannya. Selama sepuluh hari di sini dia lumayan tahu karakter mereka. Mbak Arum, si mungil yang sudah punya anak satu itu agak ceriwis, tapi logis. Rafa, pria berkulit putih dengan hidung mancung itu memiliki sikap yang sistematis, meskipun dalam bercanda agak freak bagi Revita. Lalu Dany, dia juga asyik. Serius dalam bekerja dan ramahnya bisa bikin wanita salah paham. Terakhir, Ilham dan Dona, mereka sepasang kekasih. Belakangan Revita baru tahu. Walaupun begitu mereka profesional, jarang banget keduanya mengumbar kemesraan yang bikin perut mual. Intinya dalam bekerja, tidak ada yang tidak serius.
"Vania ikut ke sini juga kan, Pak?" tanya Dany, lalu nyengir.
Pangkal hidung Pak Ferdy mengernyit. "Biasanya sih gitu. Tapi nggak tau juga."
Mbak Arum mencibir. "Ah, lo. Prospek terus dapat kagak."
"Namanya juga usaha, Mbak."
"Kayak nggak ada cewek cantik aja sih, Dan. Tuh, Revita aja masih single. Iya nggak, Rev?" timpal Rafa, tapi justru membuat Revita gelagapan.
Dany otomatis menengok Revita dan menyeringai. "Dia kan punya penggemar rahasia. Gue curiga Pak Ferdy deh yang kirim bunga tiap pagi."
Yang dituduh menaikkan alisnya. "Saya? Daripada ngasih bunga-bungaan mending kasih cincin langsung." Pak Ferdy menyahuti candaan Dany yang langsung disambut koor panjang dari yang lain, kecuali Revita yang hanya bisa meringis kikuk.
"Manajer mah kelasnya beda," komentar Dona sembari menyenggol lengan Ilham di sebelahnya.
"Ya iyalah, Don. Emang cungpret macam Ilham, dikawinin iya, dinikahin kagak," timpal Rafa lalu tertawa.
Ilham di tempatnya melotot. "Mulut lo ya."
Revita heran, ini kenapa jadi rame dan malah membahas hal receh?
"Ini kita lagi meeting kan?" tanya Revita sambil garuk kepala, berusaha mengembalikan fokus mereka.
"Ah, kan. Out of topic lagi. Ayo, kita lanjutkan rapat kita," ujar Pak Ferdy, dan langsung disambut gelengan kepala oleh Revita.
Nyaris saja wanita berhidung runcing itu memutar bola mata melihat kelakuan manajernya. Dia yang minta serius, malah dia yang mancing bercanda.
***
Derap langkah bersusulan terdengar di lorong departemen. Semua kepala celingukan lalu sejurus kemudian kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada bisik-bisik yang Revita dengar dari beberapa rekannya. Sebagian memberi kode dan sebagian lain menerima kode dengan tanda oke pada jari-jari mereka.
Revita yang tengah sibuk mengetik data analisa hasil riset yang Rafa kirim ke email tidak terlalu peduli dengan kelakuan mereka. Namun, dari tempatnya dia bisa mendengar suara Pak Ferdy tengah menjelaskan sesuatu dengan lantang. Rombongan CEO itu sepertinya sudah tiba.
"Kami sudah melakukan riset pasar dan juga riset produk, Pak. Seperti biasa kami hanya akan menggunakan bahan baku yang berkualitas dan citra rasa yang ikonik," terang Pak Ferdy.
Revita bisa merasakan rombongan mereka ada di belakangnya. Tengah diskusi.
"Bagaimana dengan harga?" tanya seseorang, entah siapa. Namun, Revita merasa familier dengan suara itu.
"Kompetitif seperti biasa, Pak. Satu lagi, Pak. Kami berusaha membuat ini bisa dikonsumsi oleh semua umur."
"Bisa saya lihat hasilnya?"
"Tentu."
Rombongan itu kembali berjalan. Entah berapa orang, yang jelas lebih dari tiga. Revita yakin. Dia sama sekali tidak berani melirik ke belakang.
Mereka masih berdiskusi ketika siku Revita tanpa sengaja menyenggol sesuatu. Vas berisi satu tangkai mawar! Kontan tatapnya melebar. Dia terlambat menyelamatkan benda itu, hingga menimbulkan suara keras saat vas itu akhirnya membentur lantai.
Refleks Revita memejamkan mata. Dia sangat yakin ini akan mengundang perhatian. Dengan cepat wanita itu memundurkan kursi lalu bergerak turun ingin memunguti pecahan vas bunga yang sudah hancur.
Revita berjongkok dan tangannya hendak mengambil pecahan yang paling besar. Namun ....
"Stop, itu bahaya."
Revita mendongak. Dan seperkian detik waktu berselang seseorang sudah berada di hadapannya tengah berjongkok seperti dirinya. Dengan sapu tangan orang itu memunguti serpihan vas tersebut.
Tidak seperti orang itu yang tampak tenang sambil memunguti pecahan kaca, Revita terdiam. Dia tertegun menatap sosok di hadapannya. Tubuhnya bahkan mendadak kaku. Dia bergeming alih-alih membantu orang itu memunguti pecahan kaca.
Namun, tidak lama seorang office boy membantu membersihkan pecahan vas bunga.
"Lain kali hati-hati," ucap orang itu seraya mengambil tangkai mawar yang tergeletak di lantai, dan memberikannya pada Revita. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat sebelum tubuh Revita jatuh terduduk. Setelah tertegun, dia mendadak syok.
"Revita, kamu baik-baik saja?" tanya Pak Ferdy mendekat.
Baik-baik saja? Rasanya tidak setelah ini. Kalau bisa Revita ingin menghilang dari tempat ini sekarang juga.
Orang di depan Revita hendak membantu berdiri, tapi secara refleks wanita itu menolaknya. Revita berusaha berdiri sendiri meskipun dua kakinya terasa lemas.
"Biar aku bantu, Re." Orang di depannya berujar lagi. Tangannya kembali terulur, tapi lagi-lagi Revita menolak, sedikit menepis tangan itu.
Wanita itu malah memilih menyambut uluran tangan Pak Ferdy ketika lelaki itu mencoba membantunya berdiri.
"Kamu sakit, Rev?" tanya Pak Ferdy melihat muka Revita yang tampak pucat.
Revita melirik sosok lain yang ada di dekatnya sesaat lalu menggeleng. "Saya tidak apa-apa, Pak," ujar Revita lirih. "Saya akan bekerja lagi." Dia lantas duduk dan kembali menghadap layar komputer dengan kepala yang mendadak berat.
"Pak Gavin, kita bisa lanjutkan ini?" Sebuah suara menginterupsi lalu aktivitas kembali seperti semula.
Namun, ada yang tidak bisa kembali menemukan fokusnya. Revita. Wanita itu benar-benar terkejut melihat pria itu lagi. Pria yang pernah memberikan sejuta cinta dan perhatian. Pria yang membuatnya punya mimpi. Pria yang pernah membuatnya nyaris gila menjalani takdir.
Gavin. Revita sama sekali tidak pernah menduga jika Gavin adalah CEO tempatnya bekerja. Fine, dia tahu nama itu, tapi dia tidak menyangka saja Gavin itu adalah orang yang dia kenal.
Tunggu dulu. Jangan bilang sekarang dirinya bekerja di perusahaan keluarga Adhiyaksa? Kepala Revita makin berdenyut kencang memikirkan itu.
Dia mengusap wajah. Tangannya terasa dingin menyentuh kulit wajah.
"Kenapa aku harus bertemu dia lagi?" keluhnya, lirih.
=====≠=================
Halo, teman-teman. Selamat datang di cerita baruku. Udah move on belum dari pesona series? Wkwk. Aku harap kalian dengan rela hati meramaikan cerita ini seperti cerita-ceritaku sebelumnya.
Kutunggu review bintang lima kalian di cover depan ya. Happy reading!
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mer
Ponsel di sebuah meja berukuran lebar terus bergetar. Sedikit menyita perhatian seorang pria yang duduk di balik meja tersebut. Hanya sebuah lirikan kecil tidak berarti dari sepasang iris cokelat itu, lantas dia cuek lagi. Penanya terus bergoyang di atas berlembar-lembar kertas. Beberapa dokumen baru selesai ditandatangani, dan dia harus menyelesaikan setumpuk dokumen lainnya. "Ponselnya nggak diangkat dulu aja, Pak?" tanya seorang wanita cantik yang berdiri di hadapan pria itu. "Biarkan saja," sahut pria itu terlalu irit membuat si wanita sedikit mengerutkan bibir. "Pak Gavin nggak lupa, kan kalau malam ini ada makan malam di Sarinah?" Wanita itu mengingatkan dan cukup membuat perhatian pria yang disebut Gavin itu teralihkan dari lembar kertas. "Kamu jadi alarm ibu saya atau gimana?" tanya Gavin tak suka. "Saya sudah cukup pusing dapat pesan reminder dari ibu saya. Jadi, kamu nggak perlu memberi saya peringatan lagi. Ngerti?" Wanita dengan setelan blazer di hadapan Gavin mering
Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan. Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah. Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui. "Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin."Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat. "Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri." Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak. Pria bermata cokelat itu menarik napas meliha
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mer
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran. Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini. Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya. Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib iku
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan. Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah. Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui. "Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin."Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat. "Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri." Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak. Pria bermata cokelat itu menarik napas meliha
Ponsel di sebuah meja berukuran lebar terus bergetar. Sedikit menyita perhatian seorang pria yang duduk di balik meja tersebut. Hanya sebuah lirikan kecil tidak berarti dari sepasang iris cokelat itu, lantas dia cuek lagi. Penanya terus bergoyang di atas berlembar-lembar kertas. Beberapa dokumen baru selesai ditandatangani, dan dia harus menyelesaikan setumpuk dokumen lainnya. "Ponselnya nggak diangkat dulu aja, Pak?" tanya seorang wanita cantik yang berdiri di hadapan pria itu. "Biarkan saja," sahut pria itu terlalu irit membuat si wanita sedikit mengerutkan bibir. "Pak Gavin nggak lupa, kan kalau malam ini ada makan malam di Sarinah?" Wanita itu mengingatkan dan cukup membuat perhatian pria yang disebut Gavin itu teralihkan dari lembar kertas. "Kamu jadi alarm ibu saya atau gimana?" tanya Gavin tak suka. "Saya sudah cukup pusing dapat pesan reminder dari ibu saya. Jadi, kamu nggak perlu memberi saya peringatan lagi. Ngerti?" Wanita dengan setelan blazer di hadapan Gavin mering