"Mau pulang bersama?" Revita yang sedang menunggu hujan reda di teras lobi berjengit mendengar suara itu. Dia menoleh dan menemukan Gavin lengkap dengan seulas senyum. Refleks wanita itu bergerak menjauh. "Nggak perlu, Pak. Saya sedang menunggu ojek online," sahut Revita. Kepalanya lantas menoleh melihat keadaan sekitar. Bukan hanya dia yang menunggu hujan reda, ada beberapa karyawan lain juga. Dan Revita takut kehadiran Gavin ini mengundang perhatian mereka."Ojek online memang ada yang mau terima orderan?" tanya Gavin sambil menatap derasnya hujan sore ini. Awan kelabu bahkan masih menggantung pekat di langit Jakarta. "Ada kok." Sebenarnya Revita tidak yakin, karena sejak tadi orderannya memang terus ditolak. Siapa juga driver ojek yang mau bawa penumpang hujan-hujanan begini? "Sudah dapat drivernya?" tanya Gavin lagi, melihat Revita masih terus sibuk dengan gadget-nya. Wanita yang masih terlihat cantik di mata Gavin itu mengabaikan. Dia terus saja menunduk, dan merapal doa d
Sudah satu jam lebih Revita masuk ke IGD. Entah apa yang dilakukan tenaga medis di dalam sana pada wanita itu. Yang pasti, Gavin berharap tidak akan terjadi hal buruk pada wanita itu. Rasa cemas yang tergambar jelas di wajah pria itu tidak luput dari pengawasan Ferdy. Manajer Departemen Pengembangan itu masih bersama Gavin menunggui Revita. Di kepalanya sekarang berjubel banyak pertanyaan. Dan yang paling membuatnya penasaran adalah ada hubungan apa antara bos besarnya tersebut dengan Revita? Jika mereka tidak memiliki hubungan, tidak mungkin Gavin bisa segusar itu. "Pak, Anda tidak menghubungi keluarga, Revita?" tanya Ferdy, sedikit mengusik ketegangan pada wajah atasannya itu. Gavin yang berdiri gelisah di depan pintu IGD tampak terkejut. Saking cemasnya, dia tidak terpikirkan untuk menghubungi keluarga wanita itu. Spontan dia merogoh saku celananya, mengambil ponsel. Namun, sialnya ponselnya mati lantaran basah kuyup terkena siraman air hujan. "Mungkin kamu saja yang menghubung
Gavin meninggalkan Revita ketika ada tanda-tanda kedatangan Bi Ayun. Dia melihat wanita tua itu dari jauh berjalan tergopoh-gopoh di lorong rumah sakit mencari ruang rawat inap Revita. Sebenarnya Gavin ingin menghampirinya, tapi dia merasa sekarang belum waktunya. Bi Ayun sedang cemas, Gavin takut wanita tua itu akan syok ketika dirinya tiba-tiba muncul. Jadi, ketika ibu dari Revita itu menemukan kamar rawat inap anaknya, Gavin perlahan mundur, menjauhi lorong ruang kamar VIP tersebut. Jarum jam menunjuk ke angka sebelas ketika Gavin masuk ke apartemen. Pakaiannya yang sempat basah kuyup bahkan sampai kering dengan sendirinya. Dia melupakan makan malam keluarga yang ibunya rencanakan. Boro-boro ingat, keadaan Revita membuat lupa segalanya. Ponselnya yang mati dia abaikan. Malam ini dia teramat lelah. Badannya terasa hangat. Sebenarnya sudah dia rasakan sejak di rumah sakit, tapi Gavin tidak terlalu peduli. Baginya melihat Revita ditangani dengan baik, jauh lebih penting daripada ko
"Siapa Revita?" Melinda menatap ganti Gavin dan Vania. Nama itu muncul kembali dan wanita itu harap bukan nama orang yang dia kenal.Gavin melirik sekretarisnya dan memberi kode agar tidak bicara terlalu banyak. Lima tahun bersama lelaki itu membuat Vania cukup paham akan kode yang bosnya berikan. Wanita itu tersenyum kepada Nyonya Besar. "Dia salah satu staf kami yang mengalami kecelakaan kemarin, Bu." "Oh ya?" Kembali Melinda menatap Gavin dengan pandangan curiga. "Namanya nggak asing, ya, Vin? Mama harap itu bukan orang yang sama." Gavin tidak merespons. Dia berusaha tidak peduli dan pura-pura fokus dengan buburnya. "Tapi, Vania. Kenapa mereka menanyakan kamar rawat inapnya ke Gavin?" Pria bermata cokelat yang sedang berusaha menelan satu suapan bubur itu terperanjat. Sang mama memang cerdas. Padahal Gavin ingin semuanya berakhir dengan cepat. Kembali dia memberi kode kepada Vania. Meskipun awalnya gelagapan, Vania cukup menguasai diri. Dia lagi-lagi memberikan senyum manisn
"Pak Gavin itu siapa, Ma?" Pertanyaan Nana membuat haha-hihi di ruang VIP itu sontak terjeda. Mereka hampir melupakan kehadiran anak kecil di tengah mereka. Dan cukup terkejut saat mendengar anak itu menyebut Revita 'ma'. "Ma? Dia anak lo, Rev?" tanya Arum, membuat seisi ruangan terdiam. Waktu seolah berhenti berdetak. Selama ini Revita menyembunyikan Nana dari teman-temannya dulu bukan tanpa sebab. Dia hanya tidak ingin melihat putrinya diolok-olok. Apalagi karena itu bukan kesalahan gadis kecil itu. Namun, kali ini tidak ada yang bisa Revita sembunyikan lagi.Revita tersenyum tipis dan menyentuh pipi Nana yang agak chubby. "Iya. Dia Reina. Putri gue." Semua mata takjub. Di usia semuda ini Revita memiliki putri yang sudah cukup besar. Arum bahkan membandingkan dirinya. Usianya sudah 33 tahun, tapi anaknya baru satu. Mana masih balita lagi. "Halo, cantik. Kamu kelas berapa sekarang?" tanya Dany, tersenyum semanis mungkin. "Aku kelas 2 SD, Om," sahut Nana tersenyum lebar. Mata co
Sunyi. Hanya suara jarum jam berdetak tiap detik yang mendominasi di ruangan serba putih ini. Bunyi suara hawa yang dihasilkan dari air conditioner pun tidak bisa mengalahkan bunyi benda penunjuk waktu itu. Apalagi suara dengkuran halus Nana, yang makin lelap di atas sofa. Revita menunduk mendengar permintaan Gavin. Terdengar sepele, tapi efek bagi wanita 27 tahun itu luar biasa. "Maaf, saya tidak bisa. Sekarang kita hanya atasan dan bawahan. Saya harus menghormati Anda sebagai atasan saya," ucap Revita, menelan ludah. "Sekarang bukan jam kerja. Kalau di jam kerja aku bisa paham." Revita tidak membalas, dan lagi-lagi dia menunduk. Desah napas Gavin kembali terdengar. "Sampai saat ini aku masih bingung dengan apa yang sudah terjadi di antara kita. Nggak ada satu pun yang bisa memberiku informasi dengan benar mengenai kamu." Revita diam. Sakitnya kembali menggigit. Bahkan rasa-rasanya luka yang dia dapat dari kecelakaan itu tidak seberapa dibanding luka yang sudah dia bawa selama i
Sejak tahu fakta itu, Gavin kesulitan berkonsentrasi. Dia merasa tak sabar dan ingin membicarakan masalah ini dengan Melinda. Pria berhidung tinggi itu masih tidak percaya ibunya tega melakukan ini padanya juga Revita. Terlebih saat itu Revita tengah mengandung anaknya, darah dagingnya. Namun, Revita dengan wajah rapuh itu membuatnya urung meluapkan emosi itu kepada Melinda. Bahkan Revita melarang Gavin untuk menemui Bi Ayun. "Tapi aku harus minta maaf sama Bi Ayun, Re. Bi Ayun pasti hancur banget. Bodohnya aku percaya begitu saja sama mama.""Nggak sekarang." "Tapi, Re—""Jangan sekarang, please." Gavin mengembuskan napas mengingat percakapan itu lagi. Dia mengusap wajah frustrasi, dan menjatuhkan kepala ke atas meja. Pintu diketuk dua kali dan suara Vania terdengar. "Permisi, Pak. Mbak Selena sudah datang," beritahu wanita itu. Lalu dia mempersilakan adik kedua Gavin itu masuk. Selena Adhiyaksa. Umur yang tidak jauh beda dari Gavin membuat keduanya begitu akrab. Meskipun wani
Gavin memarkirkan mobil di salah satu rest area SPBU. Di jam sore, biasanya dia menemukan Nana di sana bersama bunga-bunganya. Dan dugaannya tepat ketika matanya menangkap keberadaan anak itu di teras rest area. Dari dalam mobil, pria berahang tegas itu tercenung sambil menatap gadis kecil yang sedang menata bunga-bunga mawar di keranjang itu. Hatinya tercubit melihat pemandangan itu. Selama ini hidupnya bergelimang harta. Tidak kekurangan apa pun. Sandang yang dia miliki semua branded baik lokal mau pun internasional. Tinggal di salah satu apartemen mewah di jantung kota. Kendaraan mentereng keluaran luar negeri. Rasa bersalah dan penyesalannya menggunung melihat anaknya sendiri malah berjibaku menjadi penjual asongan di sepanjang jalan lampu merah demi ingin agar Revita tidak bekerja lagi. Ayah macam apa dia?Gavin membenturkan kepalanya sendiri ke stir mobil. Rasanya kesalahan yang sudah dia lakukan tidak bisa ditebus dengan apa pun. Dia menarik napas panjang sebelum keluar dari
Kembali Revita terpedaya dan seperti hilang kewarasan. Bahkan dirinya tidak bisa menjelaskan bagaimana semua bisa terjadi. Dia hanya menuruti gerak tubuh yang tidak sinkron dengan isi kepalanya. Pengendalian dirinya sangat payah jika berdekatan dengan Gavin. Haruskah dia menyalahkan Gavin? Seperti sebelumnya, dia mungkin harus tetap menjaga jarak. Gara-gara ini Indila terjebak lama di rumah sakit. Revita merasa tak enak hati membiarkan wanita itu menunggu lama. Saat dirinya datang, wanita itu bahkan sudah jatuh tertidur. Gavin sendiri langsung kembali ke Jakarta setelah mengantarnya ke rumah sakit karena ada hal yang harus lelaki itu urus terkait pekerjaan yang sudah dia tinggal selama beberapa hari ini. "Lo udah datang?" Revita meringis saat Indila terjaga. "Maaf ya udah bikin lo nunggu lama." Bangkit duduk, Indila menguap lalu mengucek matanya. "Sendiri aja? Nggak sama Pak Gavin?" "Dia pulang ke Jakarta ada hal yang harus dia urus." Indila mengangguk-angguk lalu melangkah gont
"Sakit, Na?" Lega luar biasa baru saja Revita dapat saat Reina akhirnya sadar dan dokter sudah memeriksa keadaan anak itu. Gadis kecil itu hanya mengangguk saat ditanya. "Kamu mau sesuatu? Biar Mama ambilkan," tanya Revita lagi. Dan lagi-lagi juga Reina menggeleng. Di saat yang bersamaan, Gavin keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dan tampan. Dia langsung menyedot perhatian Reina. "Pa, minum," ucap anak itu. Yang membuat Revita di sisi ranjang kontan menaikkan kedua alis. Anak itu mengabaikan tawarannya, tapi begitu Gavin datang minta minum. Revita memejamkan mata lalu berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sudah diduakan sang putri. "Ooh, Tuan Putri mau minum. Bentar ya, papa ambilin," sahut Gavin, mengerlingkan sebelah mata dengan genit. Revita sedikit menyingkir untuk memberikan Gavin akses mendekati Reina. Dia bergeser ke ujung tempat tidur memberi ruang pada Gavin duduk di kursinya. Tatapannya terus memperhatikan bagaimana cara Gavin memanjakan Reina.
Kaki Revita seperti sudah tidak menapak bumi lagi ketika tenaga medis menjelaskan tentang kondisi putrinya. Rasa panik dan khawatir berlebih menggumpal di kepala saat mereka bilang harus segera melakukan cito atau operasi gawat darurat. Penjelasan mereka terlalu kabur untuk Revita. Bahkan wanita itu tidak bisa bereaksi apa pun. "Pasien juga perlu melakukan transfusi darah segera, Pak."Revita menatap Gavin dengan segera. Dia sadar golongan darahnya dengan Reina berbeda. Itu artinya Gavinlah--"Golongan darah saya O, Dok. Anda bisa mengambil darah saya sebanyak yang anak saya butuhkan." Lagi-lagi Revita tidak bereaksi. "Baik, silakan Bapak ikut perawat untuk diperiksa lebih dulu." Gavin menghadap Revita begitu dokter kembali memasuki ruang tindakan. Dia sama khawatirnya seperti Revita. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit wanita itu terus berlinang air mata. Dan sekarang wajahnya tampak begitu pucat. "Nana akan baik-baik saja," ucap Gavin menenangkan. "Kita percayakan pada medis, d
Bukan kencan atau apa pun. Revita hanya ingin mempertegas semuanya. Jadi, saat Mahesa bilang ingin mengajaknya makan malam secara khusus, dia mengiyakan. Sejujurnya beberapa hari ini Revita sudah tidak nyaman juga merasa tidak enak dengan kemunculan pria itu tiap kali dirinya pulang kerja. Mahesa bukan pengangguran. Pria itu mengaku pulang dari kantor langsung bertolak ke tempat Revita yang letaknya jauh di luar kota. Bertemu hanya sebentar, lalu keesokan paginya sudah kembali ke Jakarta. Empat kali dalam satu Minggu! Itu berlebihan menurut Revita. "Ada tol. Kamu nggak perlu cemas," ujar pria itu membela diri saat Revita komplain soal intensitas kedatangannya."Tapi itu cuma bikin kamu capek, Mas.""Apa aku terlihat seperti orang capek?"Perjuangan pria itu tidak bisa Revita anggap remeh. Kadang tanpa sadar dia jatuh iba dan otaknya berpikir untuk mempertimbangkan pria itu. Namun hatinya jelas menolak, karena pria itu bukanlah orang yang Revita harap menjadi rumahnya. Hingga sampai
Usaha yang tidak mudah bagi Gavin untuk melobi para pemegang saham yang sebagian besar sudah tidak tinggal lagi di dalam negeri. Dan ketika dia berhasil menemui mereka pun tidak segampang itu memersuasi mereka agar mau suka rela memberikan sahamnya. Meski dia menjanjikan waktu berjangka dan kemajuan perusahaan, ternyata itu juga belum cukup meyakinkan mereka. Alhasil Gavin harus rela menghabiskan waktu sedikit lebih lama dari yang dia prediksi. Bahkan ketika Mannaf ikut turun tangan tidak membuat masalah itu cepat selesai. "Setidaknya kamu sudah menggenggam separuhnya. Sementara ibu kamu hanya punya 25 persen. Papa rasa itu sudah lebih dari cukup untuk menurunkan ego dia," ucap Mannaf ketika putra sulungnya itu mengunjungi rumahnya yang ada di Beacon Hill, Boston. Gavin mengangguk. Papanya benar, tinggal usaha untuk membuat perusahaan lebih maju dari sebelumnya. Beberapa pabrik baru sudah mulai beroperasi dan kantor distribusi juga sudah diperluas. Meski tidak memakan biaya yang se
Revita bergegas mengayunkan langkah menuju kosan ketika melihat mobil milik Gavin terparkir di tanah lapang. Dia yang baru pulang dari pabrik mengernyit bingung. Jika weekend dia akan maklum dengan keberadaan lelaki itu di sini. Masalahnya sekarang hari kerja, dan masih pukul empat sore. Kenapa pria itu ada di sini? Mendekati kamar kosan, Revita melihat sepatu pria itu yang tergeletak rapi di dekat pintu. Tanpa alasan yang jelas hatinya berdesir, bahkan Revita merasa tubuhnya merinding. Dia kembali melangkah mendekat hingga suara tawa Reina dan Gavin masuk ke pendengarannya. Dia sengaja tidak langsung masuk dan hanya berdiri di teras kosan. "Kapan, Pa?" "Sabtu ini. Ada yang harus papa selesaikan." "Lama enggak?" "Uhm, papa nggak tau. Mudah-mudahan kerjaan di sana cepat beres jadi papa bisa segera pulang." Dari percakapan itu Revita bisa menyimpulkan jika Gavin akan pergi. Tapi ke mana? "Boston itu jauh, Pa?" Boston. Pria itu akan pergi ke Boston. Negara yang sama saat dulu Gav
Melihat kedatangan Mahesa membuat Revita merasa menjadi umpan yang tanpa sengaja tercebur ke kolam ikan. Pasalnya saat ini ada Gavin di kosan yang tengah sibuk mempersiapkan perlengkapan piknik. Entah dapat ide dari mana, mereka, Reina, Gavin, dan Indila tiba-tiba ingin pergi piknik. Sebenarnya Revita malas ikut. Daripada menghabiskan waktu di luaran, jujur dia lebih butuh tidur. Mengingat jadwal kerja tiap hari menyita waktu tidurnya. Namun, tentu saja putrinya yang cantiknya sekolong langit tak mungkin membiarkan itu terjadi. "Biar aku sama papa deh yang nyiapin bekal, mama tinggal duduk manis aja," ucap Reina ketika Revita menolak untuk ikut. "Jangan lupakan aku," seru Indila sambil mengacungkan keranjang makanan. "Ah iya, sama Tante Indi.""Ikut aja, Re. Kalau pun ntar di sana kamu tidur nggak apa-apa kok," imbuh Gavin, tangannya sibuk mengepak berbagai macam makanan. Kalau sudah begitu Revita bisa apa? Lalu ketika mereka bersiap pergi Mahesa muncul. Kening pria itu berkerut
Revita sedang menjemur pakaian yang baru dicuci saat dari kejauhan melihat dua orang tengah lari bersama. Dua orang lelaki dan perempuan itu sedikit menyedot perhatiannya sampai Revita menyipitkan mata untuk memastikan penglihatannya. Pangkal alisnya menyatu saat tahu ternyata mereka itu Gavin dan Indila. Keduanya jogging bersama? Keduanya terlihat lari bersamaan sambil ngobrol. Entah apa yang mereka bicarakan sampai saling melempar tawa begitu. Di posisinya Revita tidak melepas pandangannya. Dia malah makin menatap keduanya dengan tajam. Wanita itu baru tahu jika tetangga kosannya itu ternyata akrab dengan Gavin. Bibirnya berkerut tak senang tahu fakta itu. Namun tiba-tiba Revita terperanjat sendiri. "Kenapa aku mesti nggak senang?" tanyanya pada diri sendiri lalu kepalanya menggeleng cepat. "Bodo amat dia mau akrab sama siapa," ujarnya lagi bersikap sok tak peduli lalu melanjutkan kegiatan menjemur baju, tapi lagi-lagi tanpa sadar matanya bergerak mengintip dari balik kain jemuran
Gavin baru saja mematikan mesin mobil saat melihat mobil lain datang dan parkir di sisi kanan mobilnya. Matanya menyipit kala merasa mengenali kendaraan itu. Detik berikutnya umpatan lirihnya terdengar. Itu Mahesa. Jangan bilang pria itu datang ke mini market ini untuk menjemput Revita. Menggertakkan gigi, Gavin memutuskan keluar dari dalam mobil. Pun penghuni kendaraan di sebelahnya. Ketika sensor kunci mobil berbunyi, tatap keduanya tanpa sengaja bertemu. Gavin bisa melihat Mahesa sedikit terkesiap. "Gavin? Sedang apa kamu di sini?" tanya Mahesa, ekor matanya melirik ke arah mini market. Sudut bibir Gavin terangkat sebelah. "Jemput pacar," sahutnya jumawa. "Om sendiri ngapain?" "Aku mau jemput Revita.""Excuse me?" "Kenapa?" Dahi Mahesa berlipat. Dua tangannya dia masukkan ke dalam saku. Lalu melangkah maju, mengitari badan mobil. Begitu juga Gavin, ikut melangkah ke depan hingga keduanya berdiri saling berhadapan. "Yang mau Om jemput itu pacarku. Masih perlu aku ingatkan?"