Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.
Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan.
Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa.
Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah.
"Apa dia putus kuliah?" gumamnya sambil membuka lembar selanjutnya. Di lembar selanjutnya Gavin nyaris teriak ketika melihat status perempuan itu yang masih lajang.
Dia sampai harus menengok kiri kanan, padahal jelas-jelas di ruangan itu dia hanya sendiri. Gavin berdeham selama beberapa saat, lalu kembali tersenyum melihat pas foto 4x6 dengan background warna merah.
"Baik dulu atau sekarang dia terlihat imut dan cantik," ucapnya bermonolog.
Lalu hal selanjutnya yang dia lakukan menghubungi orang HRD untuk meminta mereka memindahkan Revita ke pusat. Wanita itu harus ditempatkan ke bagian yang lebih baik daripada staf leader.
Mungkin ini terdengar konyol, tapi Gavin merasa ini cara terbaik untuk mendekati wanita itu lagi.
Untuk saat ini Gavin harus bersabar, karena tidak ingin mengejutkan Revita secara tiba-tiba. Jika waktunya tepat, dia akan muncul di depan wanita itu. Meskipun dia sudah tidak sabar membayangkan reaksi wanita itu saat mereka bertemu nanti.
Pukul empat sore mobil SUV Gavin mampir ke sebuah SPBU yang tidak jauh dari kantornya karena merasakan perutnya melilit.
Ketika sedang memakai sepatu sehabis menunaikan hajatnya, dia melihat gadis penjual bunga itu lagi. Gadis itu tengah menghitung sisa bunga-bunganya di keranjang. Refleks hal itu membuat pria 33 tahun itu tersenyum.
Gavin mendekati gadis itu. "Laku berapa hari ini?" tanya dia, membuat gadis itu mengangkat wajah.
"Eh, Om ganteng pemborong bunga," sahut gadis itu nyengir. Cengirannya benar-benar mengingatkan Gavin pada Revita. "Masih banyak, Om. Hari ini nggak terlalu ramai. Mungkin karena bukan hari Sabtu."
Gavin menaikkan alis. "Memangnya kenapa kalau bukan hari Sabtu?"
"Karena kan kalau hari Sabtu malamnya malam Minggu. Biasanya banyak orang pacaran malam Minggu kan, Om."
Kekehan kecil Gavin meluncur mendengar alasan anak kecil itu. "Kamu bener juga. Ya udah kamu jualnya pas hari Sabtu aja."
Bibir anak itu mencebik. "Kalau aku jualnya hari Sabtu doang duitnya nggak kumpul banyak."
"Apa kamu sedang menginginkan sesuatu dengan uang yang kamu kumpulin?"
Dengan mantap gadis bermata cokelat itu mengangguk. "Aku ingin ngumpulin banyak uang, biar mama nggak usah kerja lagi. Jadi bisa temani aku bermain terus."
Agak terkejut Gavin mendengar harapan anak itu. Di usianya, sudah berpikir sejauh itu.
"Mama kamu kerja? Papa kamu gimana?"
Gadis kecil itu menggeleng dan tersenyum kecil. "Aku nggak punya ayah. Tapi aku selalu berdoa sama Tuhan, biar bisa punya ayah. Kata mama sih ayahku sudah meninggal."
"Maaf, Gadis Kecil. Aku nggak tahu soal itu." Gavin merasa iba mendengar penuturan anak itu.
"Iya. Nggak apa-apa, Om." Tiba-tiba gadis itu menatap langit. "Udah sore, bentar lagi pasti Mama pulang. Aku juga harus segera pulang." Dia lantas berdiri dan tak lupa membawa keranjang bunganya.
"Sini, Om, beli sepuluh bunga lagi."
Sontak saja itu membuat iris cokelat si gadis berbinar. "Wah, beneran, Om? Pasti mau buat cewek yang kemarin itu kan, Om?"
Gavin hanya tersenyum, sementara tangannya merogoh saku celana, mengambil dompet. "Sepertinya nggak. Yang kemarin itu gagal. Kali ini buat cewek lain."
"Wah, cewek Om banyak."
Pria beralis tebal itu tak tahan untuk tidak tertawa mendengar ocehan gadis itu.
"Semoga cewek kali ini berhasil ya, Om."
"Oke, makasih. Ngomong-ngomong siapa nama kamu?" tanya Gavin.
"Nama aku Reina, Om. Kalau Om siapa?"
"Gavin."
Pertemuan dengan si gadis kecil penjual bunga yang ternyata bernama Reina itu pun berakhir. Gadis itu segera berlalu membawa keranjang dan sisa-sisa bunganya yang tinggal beberapa.
Entah kenapa, Gavin merasa terhibur mengobrol dengan Reina. Dia juga merasa dekat dengan anak itu, padahal baru dua kali bertemu.
***
"Sepuluh mawar?" tanya Vania ketika menerima bunga dari Gavin.
"Pastikan itu ada di meja staf baru itu," ucap Gavin, menunjuk samar bunga-bunga yang sudah Vania peluk.
Meskipun heran sekretaris itu mengangguk. Seumur-umur menjadi sekretaris Gavin Adhiyaksa, dia tidak pernah mendapati pria itu melakukan hal konyol seperti itu. Hal itu membuat penasaran Vania, secantik apa staf baru itu. Sepertinya Gavin si manusia batu itu mulai meleleh.
Gavin tersenyum membayangkan pertemuannya dengan Revita setelah hampir delapan tahun tidak bertemu. Banyak ganjalan di kepala yang ingin dia tanyakan. Tanda tanya besar yang sudah mengganggunya tentang alasan kepergian Revita yang tiba-tiba. Bukan hanya tiba-tiba, wanita itu pergi tanpa pamit. Di saat dirinya tengah melakukan perjalanan bisnis.
Saat itu Gavin merasa semua baik-baik saja. Sebelum melakukan perjalanan, dia sempat berpamitan pada Revita, dan gadis yang saat itu baru berusia 19 tahun itu berjanji akan menunggunya pulang. Namun, ketika kembali dari perjalanan bisnis, Revita dan ibunya sudah tidak ada di rumah keluarganya.
"Apa Revita nggak ninggalin pesan apa pun buat aku, Ma?" tanya Gavin kepada Melinda ketika dia tidak menemukan batang hidung Revita saat itu.
Melinda menggeleng dan tampak cuek. "Bi Ayun bilang Revita akan dinikahkan dengan seorang pemuda di kampungnya."
Mata cokelat itu memicing mendengar ucapan sang mama. Jelas Gavin tidak percaya begitu saja. Selama ini Revita tidak pernah menceritakan apa pun menyangkut perjodohan itu.
"Itu nggak mungkin, Ma. Revita bilang dia mencintai aku."
Melinda melotot, kegiatan membaca majalahnya terhenti sesaat. "Kamu jangan bicara sembarangan, Gavin. Orang-orang seperti mereka tidak layak mencintai orang seperti kita!" hardik Melinda tak terima.
"Kenapa Mama bicara begitu? Asal Mama tau, kami saling mencintai. Siapa pun Revita, aku mencintai dia."
Ucapan Gavin membuat Melinda naik pitam. Wanita yang melahirkan Gavin itu mengomeli habis-habisan putranya tersebut.
Sejak saat itulah, Gavin tidak pernah bertemu dan berhubungan dengan Revita lagi. Wanita itu dan ibunya bak hilang ditelan bumi. Jejaknya sama sekali tidak bisa Gavin cari. Sampai dengan seminggu lalu ketika dirinya masuk ke gedung produksi.
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran. Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini. Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya. Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib iku
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mera
Seharian ini Revita gelisah. Wanita 27 tahun yang memangku posisi sebagai admin data itu masih memikirkan kejadian siang tadi. Di mana rombongan petinggi perusahaan datang menyambangi departemennya. Dia menyesali kebodohannya. Bagaimana mungkin selama hampir tiga tahun bekerja di anak cabang perusahaan ini, dia tidak mengetahui owner-nya? Revita memejamkan mata, memijit dahinya yang berdenyut. Gavin Adhiyaksa adalah salah satu orang yang paling tidak ingin Revita temui, tapi akan lain cerita kalau dia sendiri yang malah menghampirinya. Sejak memutuskan kembali ke kota ini, Revita hidup dengan damai. Pikiran untuk berhubungan atau pun bertemu dengan keluarga Adhiyaksa sama sekali tak terlintas. Lagi pula, dia sudah melupakan semuanya. Lukanya dan mungkin sakit hatinya. Mungkin. Namun, kejadian siang tadi seolah sanggup mengembalikan rasa sakit itu. "Lo baik-baik aja, Rev?" tanya Arum, yang mejanya tepat di seberang Revita, berhadapan. Dia sedikit memanjangkan leher untuk melihat kond
Entah di lantai berapa pintu lift akhirnya terbuka. Revita mengembuskan napas lega karena tidak harus terjebak lama-lama bersama Gavin. Dua orang masuk dan agak terkejut mendapati CEO Bumi Indah ada di dalam lift tersebut. Dua orang itu menyapa sopan kepada Gavin lantas berdiri agak sedikit maju di antara Gavin dan Revita. Dalam kondisi seperti ini, Gavin tidak mungkin berani bicara macam-macam. Revita menekan dadanya yang berdegup kencang karena sempat tidak bisa mengendalikan emosi. Beruntung mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata tidak penting yang nanti bisa merepotkan dirinya. Entah kenapa dia merasa setelah ini hidupnya di kantor tidak akan tenang. Segala ucapan Gavin tadi seolah memberitahu bahwa semua akan dimulai lagi. Ya Tuhan, Revita benci dengan segala kerumitan hidupnya. Gavin turun di lantai sepuluh tanpa mengucapkan apa pun pada Revita. Dia hanya menoleh dan menatap wanita itu sesaat sebelum keluar dari lift. Lain kali Revita akan memastikan untuk tidak keluar kantor
"Bunga lagi, Rev?"Revita yang tengah memegang tangkai mawar menoleh mendapati teguran itu. Rafa dan Ilham baru saja masuk. Di belakang mereka, Arum dan Dona menyusul. Dany sedang ada tugas di luar kantor, sejak pagi batang hidungnya sudah tidak nampak. Revita mengangguk menatap bunga mawar itu. Melihat mawar di kantong plastik milik Nana beberapa hari lalu membuat dia yang tadinya abai mendadak penasaran dengan si pengirim bunga ini. "Sebenarnya siapa sih orangnya? Lo serius nggak tau, Rev?" tanya Rafa seraya menarik kursi milik Dany, dan duduk di sana dengan posisi terbalik. "Gue nggak tau. Tiap gue ke sini udah nggak ada siapa-siapa.""Perlu diselidiki enggak sih? Kok gue ikutan gemes?" timpal Arum menatap Rafa dan Revita berganti. Alis Revita menanjak. "Caranya?" "Coba lo datang pagi-pagi, lebih pagi dari biasanya. Kali aja papasan sama orang itu." "Eh, jangan," sergah Rafa. "Kalau ternyata pengirimnya psikopat gimana?" "Mana ada pengirim bunga psikopat? Yang ada dia romant
Beberapa saat lalu Vania mengantar Revita menuju ruangan Gavin di lantai paling atas gedung. Lantas sekretaris itu beranjak pergi lantaran ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Revita memang sudah berada tepat di depan pintu ruangan CEO, tapi alih-alih mengetuk papan kayu cokelat itu dirinya malah mematung. Berdiri kaku, memandang nanar papan nama yang tertempel di permukaan pintu itu. Satu detik, dua detik, tangannya belum juga terangkat. Wanita 27 tahun itu menarik napas dan mengembuskannya pelan. Dia sama sekali tidak ingin berurusan dengan Gavin meskipun pria itu atasannya. Namun, hatinya yang lain memintanya untuk bertemu dan sedikit mendengar apa yang akan pria itu katakan. Dengan ragu akhirnya Revita mengangkat tangan dan mengetuk dua kali pintu di depannya. Pelan, nyaris tidak terdengar. Namun, sebuah suara dari dalam segera menyahut. Mempersilakan dia masuk. Mendengar suara Gavin dari dalam ruangan membuat jantung Revita berpacu cepat. Perasaannya bahkan mendadak tidak
Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g
Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin
Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p
Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi
"Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu
"Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg
Alis Gavin naik sebelah ketika melihat sekretaris bernama Ferial datang menjemputnya. Dia tidak berharap orang baru yang akan menemani perjalanan bisnisnya. Namun sepertinya dia tidak memiliki pilihan lain. Anggap saja ini ujian pertama sekretaris itu. Jika gagal, Gavin bisa punya alasan untuk mendepaknya dari kesekretariatan. "Tidak ada yang memberitahu saya kalau kamu yang akan menemani saya ke Malaysia," ucap Gavin seraya masuk ke mobil mewah fasilitas kantor. Ferial tersenyum manis, lalu ikut masuk ke mobil setelah memastikan bosnya itu duduk nyaman di dalam sana. "Saya sudah memberitahukan itu ke Pak Gavin. Di reminder juga ada. Mungkin Pak Gavin lupa."Sekilas Gavin memindai outfit yang wanita muda itu kenakan. Wanita itu mengenakan floral dress sebatas lutut yang dilapisi blazer hitam. Dress dengan potongan flowly itu agak naik ke atas saat dia duduk. Warna krem dress itu seolah tengah berlomba dengan warna kulit putih Ferial yang secerah mutiara. Gavin tidak mengerti kenapa
"Selamat pagi, Pak."Gavin mengangkat wajah dari tumpukan kertas yang sedang dia baca ketika sapaan asing seseorang terdengar. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang terlihat cantik dan energik. Alisnya terangkat sebelah karena tidak mengenali sosok itu. "Kamu siapa?" tanya Gavin tanpa membalas sapaan wanita muda itu. "Saya Ferial, Pak. Saya di sini menggantikan Mbak Vania." "Memang Vania ke mana?" "Mbak Vania mendampingi CEO baru kita, Pak." Gavin mengangguk ragu. Sejujurnya dia masih ingin Vania yang menemaninya di posisi sekarang sebagai presdir baru. Ya rapat pemegang saham menunjuknya menjadi presdir menggantikan Melinda yang dulu menjabat sebagai presdir pasif. Gavin sendiri memilih tetap ngantor karena masih banyak yang harus dia pastikan keberlangsungan beberapa proyeknya. "Selain saya ada tiga sekretaris lain yang akan membantu pekerjaan Anda, Pak.""Ya, terima kasih," sahut Gavin lantas kembali memperhatikan kertas-kertas di mejanya. Dia pikir sekretaris bernama
*WARNING 21+*===========Pangkal alis Revita berkedut. Bibirnya menggeram lirih lalu lama-lama badannya menggeliat. Entah sekarang pukul berapa. Yang jelas sudah larut, karena kesunyian terasa begitu pekat. Setengah sadar dia menyingkirkan tangan tak sopan yang membuat tidurnya terganggu. "Aku ngantuk, Mas," gumamnya tak jelas, lalu kembali terlelap. Tidak ada sahutan, tapi tangan itu makin tak mau berhenti bergerak. Ketika Revita mengubah posisi menjadi miring, tangan itu pun ikut mengejar. Mencari celah agar bisa menyusup ke balik piyama yang wanita itu kenakan. "Mas," gumam Revita lagi, ketika tangan itu berhasil menyusup masuk dan meremas payudaranya. Karena masih sangat mengantuk, akhirnya Revita membiarkan saja. Tapi lama-lama pergerakan itu membuat Revita tak nyaman. Apalagi ketika puncak dadanya dimainkan. Tubuhnya yang sensitif sontak bereaksi. Dia melenguh pelan. Dalam tidur berusaha menikmati apa yang suaminya lakukan. "Bangun, Sayang," bisik Gavin, sembari terus memb