Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan.
Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah.
Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui.
"Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin.
"Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat.
"Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."
Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri."
Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak.
Pria bermata cokelat itu menarik napas melihat sang mama berjalan mendekat. Dia seolah bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian.
"Gavin, mama mendapat laporan nggak enak dari mamanya Talia. Dia bilang selama makan malam kemarin kamu cuma diam dan banyak nggak merespons kalau Talia bicara," omel Melinda begitu berada di depan putranya.
Pria berambut lebat itu menghela napas, lalu bergerak menutup pena yang dia pegang.
"Mama baru datang kok sudah mengomel sih? Duduk dulu dong, Ma," ucap Gavin berusaha bersikap sabar. Dia berdiri dan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Langkahnya memutari meja itu dan ketika tangannya bisa menjangkau sang mama, dia menggiring wanita itu untuk duduk.
"Gimana mama nggak ngomel? Kencanmu terancam gagal. Untungnya Talia masih mau ngedate ulang."
Kening Gavin berkerut. "Ngedate ulang?"
Melinda mengangguk, lantas memangku tas mahalnya. "Iya, Minggu depan kalian makan malam lagi. Ingat loh, Vin. Jangan sampai kamu bersikap kayak kemarin. Pokoknya mama pengin kali ini harus berhasil." Wajah masam Melinda, berubah semringah ketika mengatakan itu. Sangat kontras dengan Gavin yang mulai kebingungan cara menolak kencan unfaedah itu.
Pasalnya dari pertemuan kemarin dia sudah mati kebosanan karena mendengarkan ocehan wanita bernama Talia. Bukannya dia tidak merespons, tapi memang tidak ada kesempatan untuk melakukan itu. Gila saja, dia tidak mau memiliki istri yang maunya cuma didengarkan tanpa mau mendengarkan.
"Ma, kalau aku kayak gitu berarti aku nggak cocok, Ma. Dan nggak berniat lanjut."
"Memangnya kenapa? Talia kurang cantik?"
Pria yang sekarang mengenakan kemeja navy itu menggeleng. "Dia cantik, tapi bukan tipe aku."
Seketika itu bahu Melinda melorot. Dia mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Sebelah tangannya memijat dahi yang mendadak berdenyut.
"Kamu mau wanita yang kayak gimana lagi, si Vin?" keluh Melinda, tampak pusing. "Adik-adikmu sudah menikah. Apa kamu nggak iri?"
Senyum manis Gavin terulas, dia mendekati Melinda lalu berjongkok di depan wanita itu. Dua tangan yang kulitnya agak kendur milik sang mama dia gapai.
"Aku nggak apa-apa, Ma. Aku nggak iri sama adik-adik. Urusan jodohku mama nggak perlu memikirkannya lagi. Nanti —"
"Mama akan berhenti memikirkan kalau kamu mengenalkan seorang wanita ke rumah." Melinda melepas pegangan tangan anaknya, lantas berdiri.
Perkara sulit. Gavin cuma bisa membuang napas lalu kembali berdiri. Dia berbalik menghadap sang mama ketika kepalanya mengingat gadis cilik penjual bunga.
"Ma, mama ingat Revita enggak?"
Pertanyaan yang meluncur dari sang putra membuat Melinda sedikit kaget. Dia menatap Gavin dengan alis tertaut. Sudah lama sekali putranya tidak menanyakan tentang Revita. Perasaan gelisah mendadak menyusup. Apakah Gavin bertemu perempuan itu lagi?
"Anaknya Bi Ayun, yang pernah kerja di rumah kita delapan tahun lalu," jelas Gavin, karena tidak ada reaksi apa pun dari Melinda.
Wanita yang dipenuhi barang branded itu berdeham sesaat. "Mama nggak lupa sama Bi Ayun, tapi kalau anaknya mama lupa."
Tepatnya pura-pura lupa, karena Melinda tidak ingin mengingat mereka. Gembel yang tidak lebih daripada sampah.
"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?" tanya Melinda, mencoba mencari tahu. Jika benar Revita muncul lagi, dia tidak akan tinggal diam.
"Kemarin aku bertemu gadis kecil, wajah gadis itu mirip dengan Revita."
"Mama kira ada apa. Itu kan cuma mirip. Lagian Revita pasti sudah dewasa."
"Iya, aku tahu. Tapi aku sempat berpikir kalau gadis itu anak Revita."
Jantung Melinda seakan berhenti berdetak. Dia menatap jeri sang anak. Ada gugup di kedua mata yang sedang coba wanita itu tutupi. "Itu hanya pikiran kamu. Mereka sudah kembali ke kampung. Jadi, mana mungkin ada di sini lagi."
"Bisa saja kan?"
"Sudah. Nggak perlu memikirkan mereka. Fokus saja ke masa depanmu." Melinda berusaha mengalihkan perhatian Gavin. Padahal dadanya sudah sangat bergetar saat anaknya menyebut nama anak pembantu itu.
"Sampai sekarang aku belum bisa melupakan mereka. Dan masih bertanya-tanya kenapa mereka pergi begitu saja," ucap Gavin setengah bergumam dengan pandangan menunduk.
Melinda tidak peduli. Baginya pembantu dan anaknya itu sudah mati. Dua anak dan ibu tidak tahu diri itu hampir merusak kebahagiaan keluarganya. Jika keduanya berani muncul di hadapan Melinda, wanita itu bersumpah akan mengenyahkan mereka dari muka bumi.
"Sudah. Mama mau pulang. Kamu nggak perlu antar mama." Melinda menyandang tas lalu menerima salim dari Gavin, sebelum keluar dari ruang mewah itu.
Selepas kepulangan Melinda, Gavin dan Vania mengunjungi gedung produksi, yang terletak tidak jauh dari gedung kantornya. Gedung produksi sebenarnya memiliki manajemen sendiri, tapi masih termasuk anak cabang perusahaan. Anak-anak cabang produksi lain juga tersebar di beberapa titik daerah di seluruh tanah air. Namun, cabang paling banyak berada di Pulau Jawa.
Kedatangan Gavin bertepatan dengan jam istirahat siang. Dia sengaja melakukan itu agar para anak produksi tidak terkejut dengan kedatangannya.
Namun, ketika dia sedang memperhatikan penjelasan supervisor yang menemaninya berkeliling, tatapnya menangkap sesuatu yang tidak dia duga. Dia melihat seorang wanita berseragam layaknya karyawan produksi lain tengah berbincang dengan salah satu rekannya. Sesekali wanita itu tertawa, lalu entah berbicara apa.
Dari posisinya, Gavin terus memperhatikan wanita itu. Lalu rasa yang sudah dia kubur dalam-dalam perlahan merayap naik, menjalari seluruh tubuhnya. Selama beberapa lama Gavin tertegun di tempat. Dia tidak merespons penjelasan apa pun dari supervisor yang mungkin mulutnya sudah berbusa-busa menjelaskan perkara proses produksi.
"Nah, dari sini kita akan memasuki proses sterilisasi. Kita bisa lanjut ke—"
Ucapan supervisor terjeda ketika secara tiba-tiba Gavin mengangkat tangan. Supervisor dan Vania sontak bingung dan saling tatap, ketika fokus Gavin ternyata tertuju ke lain tempat.
"Kenapa, Pak? Ada masalah?" tanya Vania heran. Namun, tanpa dia duga, pria berahang tegas itu mengangguk.
"Pak Taufik, siapa wanita itu?" tanya Gavin kepada supervisor tanpa melepas pandang dari wanita yang berada di meja staf leader.
"Yang mana, Pak?" tanya pria bernama Taufik itu
"Yang rambutnya dikucir satu. Dia berdiri di meja staf leader."
Supervisor bertubuh gempal itu memanjangkan leher, dan melihat wanita yang bosnya maksud. "Ooh, dia Revita, Pak. Salah satu staf leader kami."
Jadi, Gavin tidak salah melihat. Dia tidak sedang berhalusinasi. Meskipun delapan tahun tidak bertemu, dia tidak mungkin melupakan wajah itu. Wajah yang selalu menebar senyum ketika dia menemuinya dulu. Apakah sekarang pun sama?
"Dia sudah berapa lama di sini, Pak?" tanya Gavin lagi. Bisa-bisanya dia tidak tahu jika wanita itu ada di kota ini.
"Sekitar tiga tahunan kalau nggak salah."
Apa? Tiga tahun? Bagaimana bisa Gavin melewatkan waktu sebanyak itu? Refleks pria itu mengepalkan tangan. Dalam hati dia bertekad tidak akan melepas Revita, kecuali wanita itu sudah memiliki suami.
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran. Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini. Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya. Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib iku
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mera
Seharian ini Revita gelisah. Wanita 27 tahun yang memangku posisi sebagai admin data itu masih memikirkan kejadian siang tadi. Di mana rombongan petinggi perusahaan datang menyambangi departemennya. Dia menyesali kebodohannya. Bagaimana mungkin selama hampir tiga tahun bekerja di anak cabang perusahaan ini, dia tidak mengetahui owner-nya? Revita memejamkan mata, memijit dahinya yang berdenyut. Gavin Adhiyaksa adalah salah satu orang yang paling tidak ingin Revita temui, tapi akan lain cerita kalau dia sendiri yang malah menghampirinya. Sejak memutuskan kembali ke kota ini, Revita hidup dengan damai. Pikiran untuk berhubungan atau pun bertemu dengan keluarga Adhiyaksa sama sekali tak terlintas. Lagi pula, dia sudah melupakan semuanya. Lukanya dan mungkin sakit hatinya. Mungkin. Namun, kejadian siang tadi seolah sanggup mengembalikan rasa sakit itu. "Lo baik-baik aja, Rev?" tanya Arum, yang mejanya tepat di seberang Revita, berhadapan. Dia sedikit memanjangkan leher untuk melihat kond
Entah di lantai berapa pintu lift akhirnya terbuka. Revita mengembuskan napas lega karena tidak harus terjebak lama-lama bersama Gavin. Dua orang masuk dan agak terkejut mendapati CEO Bumi Indah ada di dalam lift tersebut. Dua orang itu menyapa sopan kepada Gavin lantas berdiri agak sedikit maju di antara Gavin dan Revita. Dalam kondisi seperti ini, Gavin tidak mungkin berani bicara macam-macam. Revita menekan dadanya yang berdegup kencang karena sempat tidak bisa mengendalikan emosi. Beruntung mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata tidak penting yang nanti bisa merepotkan dirinya. Entah kenapa dia merasa setelah ini hidupnya di kantor tidak akan tenang. Segala ucapan Gavin tadi seolah memberitahu bahwa semua akan dimulai lagi. Ya Tuhan, Revita benci dengan segala kerumitan hidupnya. Gavin turun di lantai sepuluh tanpa mengucapkan apa pun pada Revita. Dia hanya menoleh dan menatap wanita itu sesaat sebelum keluar dari lift. Lain kali Revita akan memastikan untuk tidak keluar kantor
"Bunga lagi, Rev?"Revita yang tengah memegang tangkai mawar menoleh mendapati teguran itu. Rafa dan Ilham baru saja masuk. Di belakang mereka, Arum dan Dona menyusul. Dany sedang ada tugas di luar kantor, sejak pagi batang hidungnya sudah tidak nampak. Revita mengangguk menatap bunga mawar itu. Melihat mawar di kantong plastik milik Nana beberapa hari lalu membuat dia yang tadinya abai mendadak penasaran dengan si pengirim bunga ini. "Sebenarnya siapa sih orangnya? Lo serius nggak tau, Rev?" tanya Rafa seraya menarik kursi milik Dany, dan duduk di sana dengan posisi terbalik. "Gue nggak tau. Tiap gue ke sini udah nggak ada siapa-siapa.""Perlu diselidiki enggak sih? Kok gue ikutan gemes?" timpal Arum menatap Rafa dan Revita berganti. Alis Revita menanjak. "Caranya?" "Coba lo datang pagi-pagi, lebih pagi dari biasanya. Kali aja papasan sama orang itu." "Eh, jangan," sergah Rafa. "Kalau ternyata pengirimnya psikopat gimana?" "Mana ada pengirim bunga psikopat? Yang ada dia romant
Mata Reina melirik pintu yang terbuka dari luar. Dia menemukan seutas senyum seseorang yang tidak pernah muncul lagi selama dirinya dirawat. Mahesa. Pria itu datang membawa boneka dan buket berisi cokelat. "Selamat siang, Cantik," sapa Mahesa sembari masuk. Namun reaksi Reina melihat pria itu tampak kurang senang. Dia ingat bagaimana kesalnya pada lelaki itu sesaat sebelum terjadinya kecelakaan. Secara tak langsung pria itu yang membuatnya begini."Gimana keadaanmu, Sayang?" tanya Mahesa ramah, meski disuguhi muka berlipat anak itu. "Baik. Ngapain Om Hesa ke sini?" sahut Reina tidak peduli. Dia kembali sibuk menggambar di tablet yang baru dia dapatkan kemarin. "Jenguk kamu, of course. And they're for you." Bahkan ketika Mahesa memamerkan bawaannya, Reina hanya meliriknya sekilas. "Thank you," sahutnya lirih. "Taroh aja di situ, Om." Mahesa mengangguk-angguk. Senyum di bibirnya tak selebar awal tadi. Dia lantas menuruti permintaan Reina untuk meletakkan hadiahnya di atas nakas.
Kembali Revita terpedaya dan seperti hilang kewarasan. Bahkan dirinya tidak bisa menjelaskan bagaimana semua bisa terjadi. Dia hanya menuruti gerak tubuh yang tidak sinkron dengan isi kepalanya. Pengendalian dirinya sangat payah jika berdekatan dengan Gavin. Haruskah dia menyalahkan Gavin? Seperti sebelumnya, dia mungkin harus tetap menjaga jarak. Gara-gara ini Indila terjebak lama di rumah sakit. Revita merasa tak enak hati membiarkan wanita itu menunggu lama. Saat dirinya datang, wanita itu bahkan sudah jatuh tertidur. Gavin sendiri langsung kembali ke Jakarta setelah mengantarnya ke rumah sakit karena ada hal yang harus lelaki itu urus terkait pekerjaan yang sudah dia tinggal selama beberapa hari ini. "Lo udah datang?" Revita meringis saat Indila terjaga. "Maaf ya udah bikin lo nunggu lama." Bangkit duduk, Indila menguap lalu mengucek matanya. "Sendiri aja? Nggak sama Pak Gavin?" "Dia pulang ke Jakarta ada hal yang harus dia urus." Indila mengangguk-angguk lalu melangkah gont
"Sakit, Na?" Lega luar biasa baru saja Revita dapat saat Reina akhirnya sadar dan dokter sudah memeriksa keadaan anak itu. Gadis kecil itu hanya mengangguk saat ditanya. "Kamu mau sesuatu? Biar Mama ambilkan," tanya Revita lagi. Dan lagi-lagi juga Reina menggeleng. Di saat yang bersamaan, Gavin keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dan tampan. Dia langsung menyedot perhatian Reina. "Pa, minum," ucap anak itu. Yang membuat Revita di sisi ranjang kontan menaikkan kedua alis. Anak itu mengabaikan tawarannya, tapi begitu Gavin datang minta minum. Revita memejamkan mata lalu berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sudah diduakan sang putri. "Ooh, Tuan Putri mau minum. Bentar ya, papa ambilin," sahut Gavin, mengerlingkan sebelah mata dengan genit. Revita sedikit menyingkir untuk memberikan Gavin akses mendekati Reina. Dia bergeser ke ujung tempat tidur memberi ruang pada Gavin duduk di kursinya. Tatapannya terus memperhatikan bagaimana cara Gavin memanjakan Reina.
Kaki Revita seperti sudah tidak menapak bumi lagi ketika tenaga medis menjelaskan tentang kondisi putrinya. Rasa panik dan khawatir berlebih menggumpal di kepala saat mereka bilang harus segera melakukan cito atau operasi gawat darurat. Penjelasan mereka terlalu kabur untuk Revita. Bahkan wanita itu tidak bisa bereaksi apa pun. "Pasien juga perlu melakukan transfusi darah segera, Pak."Revita menatap Gavin dengan segera. Dia sadar golongan darahnya dengan Reina berbeda. Itu artinya Gavinlah--"Golongan darah saya O, Dok. Anda bisa mengambil darah saya sebanyak yang anak saya butuhkan." Lagi-lagi Revita tidak bereaksi. "Baik, silakan Bapak ikut perawat untuk diperiksa lebih dulu." Gavin menghadap Revita begitu dokter kembali memasuki ruang tindakan. Dia sama khawatirnya seperti Revita. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit wanita itu terus berlinang air mata. Dan sekarang wajahnya tampak begitu pucat. "Nana akan baik-baik saja," ucap Gavin menenangkan. "Kita percayakan pada medis, d
Bukan kencan atau apa pun. Revita hanya ingin mempertegas semuanya. Jadi, saat Mahesa bilang ingin mengajaknya makan malam secara khusus, dia mengiyakan. Sejujurnya beberapa hari ini Revita sudah tidak nyaman juga merasa tidak enak dengan kemunculan pria itu tiap kali dirinya pulang kerja. Mahesa bukan pengangguran. Pria itu mengaku pulang dari kantor langsung bertolak ke tempat Revita yang letaknya jauh di luar kota. Bertemu hanya sebentar, lalu keesokan paginya sudah kembali ke Jakarta. Empat kali dalam satu Minggu! Itu berlebihan menurut Revita. "Ada tol. Kamu nggak perlu cemas," ujar pria itu membela diri saat Revita komplain soal intensitas kedatangannya."Tapi itu cuma bikin kamu capek, Mas.""Apa aku terlihat seperti orang capek?"Perjuangan pria itu tidak bisa Revita anggap remeh. Kadang tanpa sadar dia jatuh iba dan otaknya berpikir untuk mempertimbangkan pria itu. Namun hatinya jelas menolak, karena pria itu bukanlah orang yang Revita harap menjadi rumahnya. Hingga sampai
Usaha yang tidak mudah bagi Gavin untuk melobi para pemegang saham yang sebagian besar sudah tidak tinggal lagi di dalam negeri. Dan ketika dia berhasil menemui mereka pun tidak segampang itu memersuasi mereka agar mau suka rela memberikan sahamnya. Meski dia menjanjikan waktu berjangka dan kemajuan perusahaan, ternyata itu juga belum cukup meyakinkan mereka. Alhasil Gavin harus rela menghabiskan waktu sedikit lebih lama dari yang dia prediksi. Bahkan ketika Mannaf ikut turun tangan tidak membuat masalah itu cepat selesai. "Setidaknya kamu sudah menggenggam separuhnya. Sementara ibu kamu hanya punya 25 persen. Papa rasa itu sudah lebih dari cukup untuk menurunkan ego dia," ucap Mannaf ketika putra sulungnya itu mengunjungi rumahnya yang ada di Beacon Hill, Boston. Gavin mengangguk. Papanya benar, tinggal usaha untuk membuat perusahaan lebih maju dari sebelumnya. Beberapa pabrik baru sudah mulai beroperasi dan kantor distribusi juga sudah diperluas. Meski tidak memakan biaya yang se
Revita bergegas mengayunkan langkah menuju kosan ketika melihat mobil milik Gavin terparkir di tanah lapang. Dia yang baru pulang dari pabrik mengernyit bingung. Jika weekend dia akan maklum dengan keberadaan lelaki itu di sini. Masalahnya sekarang hari kerja, dan masih pukul empat sore. Kenapa pria itu ada di sini? Mendekati kamar kosan, Revita melihat sepatu pria itu yang tergeletak rapi di dekat pintu. Tanpa alasan yang jelas hatinya berdesir, bahkan Revita merasa tubuhnya merinding. Dia kembali melangkah mendekat hingga suara tawa Reina dan Gavin masuk ke pendengarannya. Dia sengaja tidak langsung masuk dan hanya berdiri di teras kosan. "Kapan, Pa?" "Sabtu ini. Ada yang harus papa selesaikan." "Lama enggak?" "Uhm, papa nggak tau. Mudah-mudahan kerjaan di sana cepat beres jadi papa bisa segera pulang." Dari percakapan itu Revita bisa menyimpulkan jika Gavin akan pergi. Tapi ke mana? "Boston itu jauh, Pa?" Boston. Pria itu akan pergi ke Boston. Negara yang sama saat dulu Gav
Melihat kedatangan Mahesa membuat Revita merasa menjadi umpan yang tanpa sengaja tercebur ke kolam ikan. Pasalnya saat ini ada Gavin di kosan yang tengah sibuk mempersiapkan perlengkapan piknik. Entah dapat ide dari mana, mereka, Reina, Gavin, dan Indila tiba-tiba ingin pergi piknik. Sebenarnya Revita malas ikut. Daripada menghabiskan waktu di luaran, jujur dia lebih butuh tidur. Mengingat jadwal kerja tiap hari menyita waktu tidurnya. Namun, tentu saja putrinya yang cantiknya sekolong langit tak mungkin membiarkan itu terjadi. "Biar aku sama papa deh yang nyiapin bekal, mama tinggal duduk manis aja," ucap Reina ketika Revita menolak untuk ikut. "Jangan lupakan aku," seru Indila sambil mengacungkan keranjang makanan. "Ah iya, sama Tante Indi.""Ikut aja, Re. Kalau pun ntar di sana kamu tidur nggak apa-apa kok," imbuh Gavin, tangannya sibuk mengepak berbagai macam makanan. Kalau sudah begitu Revita bisa apa? Lalu ketika mereka bersiap pergi Mahesa muncul. Kening pria itu berkerut
Revita sedang menjemur pakaian yang baru dicuci saat dari kejauhan melihat dua orang tengah lari bersama. Dua orang lelaki dan perempuan itu sedikit menyedot perhatiannya sampai Revita menyipitkan mata untuk memastikan penglihatannya. Pangkal alisnya menyatu saat tahu ternyata mereka itu Gavin dan Indila. Keduanya jogging bersama? Keduanya terlihat lari bersamaan sambil ngobrol. Entah apa yang mereka bicarakan sampai saling melempar tawa begitu. Di posisinya Revita tidak melepas pandangannya. Dia malah makin menatap keduanya dengan tajam. Wanita itu baru tahu jika tetangga kosannya itu ternyata akrab dengan Gavin. Bibirnya berkerut tak senang tahu fakta itu. Namun tiba-tiba Revita terperanjat sendiri. "Kenapa aku mesti nggak senang?" tanyanya pada diri sendiri lalu kepalanya menggeleng cepat. "Bodo amat dia mau akrab sama siapa," ujarnya lagi bersikap sok tak peduli lalu melanjutkan kegiatan menjemur baju, tapi lagi-lagi tanpa sadar matanya bergerak mengintip dari balik kain jemuran