Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan.
Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah.
Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui.
"Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin.
"Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat.
"Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."
Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri."
Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak.
Pria bermata cokelat itu menarik napas melihat sang mama berjalan mendekat. Dia seolah bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian.
"Gavin, mama mendapat laporan nggak enak dari mamanya Talia. Dia bilang selama makan malam kemarin kamu cuma diam dan banyak nggak merespons kalau Talia bicara," omel Melinda begitu berada di depan putranya.
Pria berambut lebat itu menghela napas, lalu bergerak menutup pena yang dia pegang.
"Mama baru datang kok sudah mengomel sih? Duduk dulu dong, Ma," ucap Gavin berusaha bersikap sabar. Dia berdiri dan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Langkahnya memutari meja itu dan ketika tangannya bisa menjangkau sang mama, dia menggiring wanita itu untuk duduk.
"Gimana mama nggak ngomel? Kencanmu terancam gagal. Untungnya Talia masih mau ngedate ulang."
Kening Gavin berkerut. "Ngedate ulang?"
Melinda mengangguk, lantas memangku tas mahalnya. "Iya, Minggu depan kalian makan malam lagi. Ingat loh, Vin. Jangan sampai kamu bersikap kayak kemarin. Pokoknya mama pengin kali ini harus berhasil." Wajah masam Melinda, berubah semringah ketika mengatakan itu. Sangat kontras dengan Gavin yang mulai kebingungan cara menolak kencan unfaedah itu.
Pasalnya dari pertemuan kemarin dia sudah mati kebosanan karena mendengarkan ocehan wanita bernama Talia. Bukannya dia tidak merespons, tapi memang tidak ada kesempatan untuk melakukan itu. Gila saja, dia tidak mau memiliki istri yang maunya cuma didengarkan tanpa mau mendengarkan.
"Ma, kalau aku kayak gitu berarti aku nggak cocok, Ma. Dan nggak berniat lanjut."
"Memangnya kenapa? Talia kurang cantik?"
Pria yang sekarang mengenakan kemeja navy itu menggeleng. "Dia cantik, tapi bukan tipe aku."
Seketika itu bahu Melinda melorot. Dia mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Sebelah tangannya memijat dahi yang mendadak berdenyut.
"Kamu mau wanita yang kayak gimana lagi, si Vin?" keluh Melinda, tampak pusing. "Adik-adikmu sudah menikah. Apa kamu nggak iri?"
Senyum manis Gavin terulas, dia mendekati Melinda lalu berjongkok di depan wanita itu. Dua tangan yang kulitnya agak kendur milik sang mama dia gapai.
"Aku nggak apa-apa, Ma. Aku nggak iri sama adik-adik. Urusan jodohku mama nggak perlu memikirkannya lagi. Nanti —"
"Mama akan berhenti memikirkan kalau kamu mengenalkan seorang wanita ke rumah." Melinda melepas pegangan tangan anaknya, lantas berdiri.
Perkara sulit. Gavin cuma bisa membuang napas lalu kembali berdiri. Dia berbalik menghadap sang mama ketika kepalanya mengingat gadis cilik penjual bunga.
"Ma, mama ingat Revita enggak?"
Pertanyaan yang meluncur dari sang putra membuat Melinda sedikit kaget. Dia menatap Gavin dengan alis tertaut. Sudah lama sekali putranya tidak menanyakan tentang Revita. Perasaan gelisah mendadak menyusup. Apakah Gavin bertemu perempuan itu lagi?
"Anaknya Bi Ayun, yang pernah kerja di rumah kita delapan tahun lalu," jelas Gavin, karena tidak ada reaksi apa pun dari Melinda.
Wanita yang dipenuhi barang branded itu berdeham sesaat. "Mama nggak lupa sama Bi Ayun, tapi kalau anaknya mama lupa."
Tepatnya pura-pura lupa, karena Melinda tidak ingin mengingat mereka. Gembel yang tidak lebih daripada sampah.
"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?" tanya Melinda, mencoba mencari tahu. Jika benar Revita muncul lagi, dia tidak akan tinggal diam.
"Kemarin aku bertemu gadis kecil, wajah gadis itu mirip dengan Revita."
"Mama kira ada apa. Itu kan cuma mirip. Lagian Revita pasti sudah dewasa."
"Iya, aku tahu. Tapi aku sempat berpikir kalau gadis itu anak Revita."
Jantung Melinda seakan berhenti berdetak. Dia menatap jeri sang anak. Ada gugup di kedua mata yang sedang coba wanita itu tutupi. "Itu hanya pikiran kamu. Mereka sudah kembali ke kampung. Jadi, mana mungkin ada di sini lagi."
"Bisa saja kan?"
"Sudah. Nggak perlu memikirkan mereka. Fokus saja ke masa depanmu." Melinda berusaha mengalihkan perhatian Gavin. Padahal dadanya sudah sangat bergetar saat anaknya menyebut nama anak pembantu itu.
"Sampai sekarang aku belum bisa melupakan mereka. Dan masih bertanya-tanya kenapa mereka pergi begitu saja," ucap Gavin setengah bergumam dengan pandangan menunduk.
Melinda tidak peduli. Baginya pembantu dan anaknya itu sudah mati. Dua anak dan ibu tidak tahu diri itu hampir merusak kebahagiaan keluarganya. Jika keduanya berani muncul di hadapan Melinda, wanita itu bersumpah akan mengenyahkan mereka dari muka bumi.
"Sudah. Mama mau pulang. Kamu nggak perlu antar mama." Melinda menyandang tas lalu menerima salim dari Gavin, sebelum keluar dari ruang mewah itu.
Selepas kepulangan Melinda, Gavin dan Vania mengunjungi gedung produksi, yang terletak tidak jauh dari gedung kantornya. Gedung produksi sebenarnya memiliki manajemen sendiri, tapi masih termasuk anak cabang perusahaan. Anak-anak cabang produksi lain juga tersebar di beberapa titik daerah di seluruh tanah air. Namun, cabang paling banyak berada di Pulau Jawa.
Kedatangan Gavin bertepatan dengan jam istirahat siang. Dia sengaja melakukan itu agar para anak produksi tidak terkejut dengan kedatangannya.
Namun, ketika dia sedang memperhatikan penjelasan supervisor yang menemaninya berkeliling, tatapnya menangkap sesuatu yang tidak dia duga. Dia melihat seorang wanita berseragam layaknya karyawan produksi lain tengah berbincang dengan salah satu rekannya. Sesekali wanita itu tertawa, lalu entah berbicara apa.
Dari posisinya, Gavin terus memperhatikan wanita itu. Lalu rasa yang sudah dia kubur dalam-dalam perlahan merayap naik, menjalari seluruh tubuhnya. Selama beberapa lama Gavin tertegun di tempat. Dia tidak merespons penjelasan apa pun dari supervisor yang mungkin mulutnya sudah berbusa-busa menjelaskan perkara proses produksi.
"Nah, dari sini kita akan memasuki proses sterilisasi. Kita bisa lanjut ke—"
Ucapan supervisor terjeda ketika secara tiba-tiba Gavin mengangkat tangan. Supervisor dan Vania sontak bingung dan saling tatap, ketika fokus Gavin ternyata tertuju ke lain tempat.
"Kenapa, Pak? Ada masalah?" tanya Vania heran. Namun, tanpa dia duga, pria berahang tegas itu mengangguk.
"Pak Taufik, siapa wanita itu?" tanya Gavin kepada supervisor tanpa melepas pandang dari wanita yang berada di meja staf leader.
"Yang mana, Pak?" tanya pria bernama Taufik itu
"Yang rambutnya dikucir satu. Dia berdiri di meja staf leader."
Supervisor bertubuh gempal itu memanjangkan leher, dan melihat wanita yang bosnya maksud. "Ooh, dia Revita, Pak. Salah satu staf leader kami."
Jadi, Gavin tidak salah melihat. Dia tidak sedang berhalusinasi. Meskipun delapan tahun tidak bertemu, dia tidak mungkin melupakan wajah itu. Wajah yang selalu menebar senyum ketika dia menemuinya dulu. Apakah sekarang pun sama?
"Dia sudah berapa lama di sini, Pak?" tanya Gavin lagi. Bisa-bisanya dia tidak tahu jika wanita itu ada di kota ini.
"Sekitar tiga tahunan kalau nggak salah."
Apa? Tiga tahun? Bagaimana bisa Gavin melewatkan waktu sebanyak itu? Refleks pria itu mengepalkan tangan. Dalam hati dia bertekad tidak akan melepas Revita, kecuali wanita itu sudah memiliki suami.
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran. Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini. Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya. Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib iku
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mera
Seharian ini Revita gelisah. Wanita 27 tahun yang memangku posisi sebagai admin data itu masih memikirkan kejadian siang tadi. Di mana rombongan petinggi perusahaan datang menyambangi departemennya. Dia menyesali kebodohannya. Bagaimana mungkin selama hampir tiga tahun bekerja di anak cabang perusahaan ini, dia tidak mengetahui owner-nya? Revita memejamkan mata, memijit dahinya yang berdenyut. Gavin Adhiyaksa adalah salah satu orang yang paling tidak ingin Revita temui, tapi akan lain cerita kalau dia sendiri yang malah menghampirinya. Sejak memutuskan kembali ke kota ini, Revita hidup dengan damai. Pikiran untuk berhubungan atau pun bertemu dengan keluarga Adhiyaksa sama sekali tak terlintas. Lagi pula, dia sudah melupakan semuanya. Lukanya dan mungkin sakit hatinya. Mungkin. Namun, kejadian siang tadi seolah sanggup mengembalikan rasa sakit itu. "Lo baik-baik aja, Rev?" tanya Arum, yang mejanya tepat di seberang Revita, berhadapan. Dia sedikit memanjangkan leher untuk melihat kond
Entah di lantai berapa pintu lift akhirnya terbuka. Revita mengembuskan napas lega karena tidak harus terjebak lama-lama bersama Gavin. Dua orang masuk dan agak terkejut mendapati CEO Bumi Indah ada di dalam lift tersebut. Dua orang itu menyapa sopan kepada Gavin lantas berdiri agak sedikit maju di antara Gavin dan Revita. Dalam kondisi seperti ini, Gavin tidak mungkin berani bicara macam-macam. Revita menekan dadanya yang berdegup kencang karena sempat tidak bisa mengendalikan emosi. Beruntung mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata tidak penting yang nanti bisa merepotkan dirinya. Entah kenapa dia merasa setelah ini hidupnya di kantor tidak akan tenang. Segala ucapan Gavin tadi seolah memberitahu bahwa semua akan dimulai lagi. Ya Tuhan, Revita benci dengan segala kerumitan hidupnya. Gavin turun di lantai sepuluh tanpa mengucapkan apa pun pada Revita. Dia hanya menoleh dan menatap wanita itu sesaat sebelum keluar dari lift. Lain kali Revita akan memastikan untuk tidak keluar kantor
"Bunga lagi, Rev?"Revita yang tengah memegang tangkai mawar menoleh mendapati teguran itu. Rafa dan Ilham baru saja masuk. Di belakang mereka, Arum dan Dona menyusul. Dany sedang ada tugas di luar kantor, sejak pagi batang hidungnya sudah tidak nampak. Revita mengangguk menatap bunga mawar itu. Melihat mawar di kantong plastik milik Nana beberapa hari lalu membuat dia yang tadinya abai mendadak penasaran dengan si pengirim bunga ini. "Sebenarnya siapa sih orangnya? Lo serius nggak tau, Rev?" tanya Rafa seraya menarik kursi milik Dany, dan duduk di sana dengan posisi terbalik. "Gue nggak tau. Tiap gue ke sini udah nggak ada siapa-siapa.""Perlu diselidiki enggak sih? Kok gue ikutan gemes?" timpal Arum menatap Rafa dan Revita berganti. Alis Revita menanjak. "Caranya?" "Coba lo datang pagi-pagi, lebih pagi dari biasanya. Kali aja papasan sama orang itu." "Eh, jangan," sergah Rafa. "Kalau ternyata pengirimnya psikopat gimana?" "Mana ada pengirim bunga psikopat? Yang ada dia romant
Bibir mereka kembali beradu. Lidah keduanya bahkan saling tertaut. Sebentar menjauh, untuk kemudian saling merapat lagi. Gavin bisa merasakan udara sekitar meningkat seiring cumbuannya yang makin panas. Dari bibir, ciumannya turun ke rahang, membuat Revita mengerang lirih. Pria itu menyasar leher jenjang mulus di depannya. Meninggalkan jejak basah berulang-ulang. Lidahnya terus mencecap rasa manis yang memabukkan di sana. Sementara tangannya pun tak tinggal diam. Pelan-pelan menyusup dari balik ujung kemeja Revita dan membelai ringan pinggang wanita itu. Sementara tangan lainnya meraba bagian lain yang tak kalah sensitif. Kembali Gavin menyambar bibir Revita, kala wanita itu melakukan aksi penolakan saat tangan besarnya menyentuh dada yang masih tertutup kain kemeja. Pria itu sama sekali tidak memberi Revita kesempatan untuk menjauh. Dia terus mendesak, dengan sentuhan yang kian intens. "Mas..." lirih Revita dengan tatapan sayu. Tangannya menahan lengan Gavin yang sudah meremas pe
"Lampu-lampunya keren!" "Kamu senang?" "Senang banget, Om. Makasih ya, Om. Udah ngajakin aku ke sini." Reina memeluk pinggang Gavin dengan senyum lebar. Hatinya masih berdebar-debar melihat keindahan di depan matanya. Semalaman di tempat ini sepertinya tidak akan puas. Reina terus menarik tangan Revita mengelingi kawasan suaka di atas tanah 101 hektar ini. Anak itu tidak mengenal capek, meskipun hanya tertidur sebentar sore tadi. Garden by the Bay bukan hanya memukau pada siang hari, tapi malam pun tak kalah indah. Salah satu yang ikonik di tempat ini adalah Supertree Grove. Menara setinggi 25-30 meter yang sepanjang tubuhnya dihiasi tanaman. Pada malam hari seperti sekarang, supertree akan bercahaya karena lampu yang mengelilinginya. Reina sampai tak bisa merapatkan mulut karena terus merasa kagum. . Kalau dituruti mungkin anak itu tidak mau pergi dari tempat indah ini, padahal mereka datang sudah sejak menjelang senja. Dan mereka harus mengakhiri petulangan saat cacing-cacing d
Gavin menatap hasil jepretan pada kameranya, dan senyumnya sontak terulas. Tidak ada yang lebih membahagiakan melihat dua perempuan yang dia sayangi tertawa begitu lebar. "Aku mau liat, Om!" seru Reina berlari ke arah Gavin. Pria itu lantas menunjukkan beberapa hasil jepretannya. "Keren! Ajari aku cara pake ini, Om.""Kamu cukup fokuskan sesuai angel." Gavin menuntun Reina menggunakan kameranya. "Sayang, coba kamu berdiri di sana lagi," perintahnya pada Revita. Revita menaikkan alis tapi menurut juga apa yang Gavin perintahkan. "Kamu fokuskan kamera ke objek. Mama kamu. Biar latar belakangnya bagus, kamu bisa geser, dan sesuaikan. Setelah menurut kamu oke, baru tekan tombol ini." Reina menuruti instruksi Gavin, dan berhasil. Dia tertawa senang saat melihat hasil bidikannya lumayan bagus. Tidak berbayang. "Good job." "Oke, sekarang giliran Om Gavin sama Mama yang foto berdua." Reina mendorong lengan Gavin agar menyusul Revita. Saat ini keduanya sedang berada di Merlion Park bers
Gavin menelan ludah kepayahan saat tidak mendapat respons apa pun dari Ayun. Wanita itu masih mengatupkan mulut rapat-rapat setelah Gavin meminta izin padanya untuk membawa Revita dan Reina liburan. Di sudut kursi lainnya Revita pun sama tegangnya seperti Gavin. Baginya ini adalah penentu. Penentu apakah ibunya mau memberikan lampu hijau untuk hubungannya. Dia tidak merengek seperti biasanya, sengaja memberi kesempatan sang ibu untuk memutuskan dari hatinya. Kendati sejak tadi jarinya yang saling tertaut terus bergerak gelisah. "Ya sudah, silakan," ucap Ayun akhirnya. Yang membuat sepasang kekasih itu mengangkat wajah secara bersamaan dengan mata berbinar. "Bi Ayun, mengizinkan?" tanya Gavin, hampir saja menjerit saking senangnya. Wanita tua itu hanya mengangguk pasrah. Tidak ada senyum. Dia melirik putrinya yang saat ini tersenyum lebar tanpa suara. Kegembiraan yang terpancar dari wajah ayunya membuat hati Ayun menghangat. Dia tidak punya pilihan lain jika begini. Tidak mungkin d
Langkah Ayun terhenti saat melihat Gavin ada di luar pagar. Pria tampan itu melambaikan tangan dengan senyum matahari terbit andalannya. Sampai-sampai Ayun menaikkan sebelah alis melihat itu. "Kok ibu berdiri aja?" tanya Revita yang baru saja keluar. Dia mengikuti arah pandang Ayun, ketika ibunya itu mengedikkan dagu ke arah depan pagar. Saat itulah, Revita melihat Gavin di sana. "Mas Gavin? Kok ibu biarin dia berdiri di sana sih?" Dengan tergesa Revita berjalan ke arah pagar, lalu membuka kunci gemboknya. "Mas, kok kamu ke sini?" tanya Revita dengan wajah heran. Hari ini dia berencana mengantar ibunya ke dokter, tidak ada waktu buat menemani pria itu. "Kalian jadi ke dokter kan? Biar aku antar." Spontan Revita terdiam sambil menatap pria yang saat ini sudah memasuki halaman rumahnya. Namun sejurus kemudian dia tersenyum. Revita tahu ini salah satu upaya Gavin agar mendapat restu dari sang ibu. "Selamat pagi, Bi," sapa Gavin menghampiri Ayun yang sudah hampir siap-siap kabur. Wa
Bukan hanya hari itu. Sejak bertemu Bi Ayun, Gavin mulai berani mengantar Revita pulang sampai ke depan rumah, bahkan sesekali mampir menikmati satu cangkir teh buatan Reina dan menemani belajar anak itu. Jika jam tidur anak itu tiba, barulah Gavin pamit pulang. "Makasih buat hari ini, Mas," ucap Revita saat wanita itu mengantar Gavin ke depan rumah. "Tapi ibu kamu sama sekali nggak keluar. Kayaknya aku gagal membujuknya." Gavin garuk-garuk kepala seraya mengangkat alis tinggi-tinggi. Napasnya lantas berembus pelan. Tangan Revita terjulur, mengusap pundak kokoh pria itu. "Maaf, ya. Ibu cuma butuh waktu. Masih mending ibu nggak nerkam kamu," candanya mencoba mencairkan suasana. "Duh jangan dong. Bisa nggak ganteng lagi aku," timpal Gavin membuat Revita sontak tertawa. "Mas," panggil Revita pelan. Ada sesuatu yang belum Gavin jawab tentang pertanyaannya tempo hari. Dan sekarang dia ingin mencoba menanyakan lagi. "Ada apa?" tanya Gavin, urung membuka pintu mobil, dan menghadapkan
Ayun masih bergeming dengan wajah datar. Air minum yang segera Revita siapkan pun belum dia sentuh sama sekali. Dia masih tertegun dan lumayan syok melihat anak mantan majikannya berada di rumahnya. Seorang laki-laki yang pernah memberi sejuta cinta dan harapan pada putrinya. Sudah delapan tahun berlalu, dan Ayun sudah berusaha melupakan kejadian itu serta mencoba mengikhlaskan. Namun, jika mengingatnya kembali luka itu masih terasa sakit. Apa ini berarti rasa ikhlasnya belum sempurna?"Bi Ayun apa kabar?" tanya Gavin mencoba memulai percakapan. Dia belum bisa membaca ekspresi wanita tua di hadapannya. Bi Ayun memang diam, tapi dia juga perlu berjaga-jaga. Bisa saja kediaman Bi Ayun karena sedang menghimpun kekuatan untuk menendang Gavin dari rumah ini. Revita di sebelah Ayun masih memasang wajah khawatir. Dia takut kehadiran Gavin bisa memicu emosi ibunya. "Bu," panggil Revita pelan. "Dia Mas Gavin, Ibu nggak lupa kan?""Mana mungkin ibu lupa sama lelaki yang sudah menghamili kamu,"
Reina melambaikan tangan begitu melihat Revita ada di area sekolah. Ketika mendapat kabar bahwa ibunya sedang tidak ada di rumah lantaran ada keperluan, Revita memutuskan menjemput Reina. Di saat yang sama Gavin pun mengajak pulang bersama, sehingga keduanya berakhir di sekolah sore ini. "Maaf ya, Sayang. Mama telat jemput. Macet banget di jalan tadi," ucap Revita begitu putrinya sampai di hadapannya. "Nggak apa-apa. Kan aku masih aman di sekolah." Mata cokelat Reina menatap Gavin. "Mama datang sama Om Gavin?" "Iya, kebetulan Om Gavin juga mau pulang." Menyentak tangan Revita, Reina tak sabar menghampiri pria tinggi berkemeja biru yang tengah berdiri di depan kap mobil. "Ayo, Ma. Pulang, jangan biarin Om Gavin nunggu lama." "Jadi, sekarang Mama sama Om Gavin udah jadian?" Pertanyaan yang tiba-tiba meluncur dari mulut mungil Reina membuat Revita tersedak ludahnya sendiri dan terbatuk hebat. Saat ini ketiganya sudah berada di dalam mobil, kembali membelah jalanan sore menuju rumah
Jika biasanya Gavin adalah manusia super yang palilng bisa menahan diri dari emosi. Entah kenapa siang ini dia gagal melakukannya. Makan siang di ulang tahun sang papa berantakan, karena dia mendadak tak tahan dengan ocehan sang mama. Setelah berhasil keluar dari rumah Adhiyaksa, pria yang alisnya saat ini menukik tajam melajukan SUV-nya langsung menuju kantor. Lupa bahwa perutnya saat ini memberontak minta diisi. Begitu sampai gedung perkantoran, alih-alih kembali ke ruangannya, dia malah nyangkut di lantai 25. Tempat kantor Revita berada. Dia berjalan cepat dan memasuki workstation RnD yang masih tampak sepi. Tidak ada Revita di meja kerja wanita itu. Langkahnya lantas berbelok menuju pantri. Dan dugaannya tepat. Kekasihnya itu sedang ada di salah satu kursi, menyantap makan siang sendirian. Revita yang tengah menikmati makan siangnya terlonjak kaget ketika tahu-tahu Gavin duduk di sebelahnya, mengintip apa yang dia makan. Mata bulat wanita itu mengerjap bingung. "Kamu... Belum m