Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan.
Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah.
Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui.
"Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin.
"Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat.
"Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."
Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri."
Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak.
Pria bermata cokelat itu menarik napas melihat sang mama berjalan mendekat. Dia seolah bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian.
"Gavin, mama mendapat laporan nggak enak dari mamanya Talia. Dia bilang selama makan malam kemarin kamu cuma diam dan banyak nggak merespons kalau Talia bicara," omel Melinda begitu berada di depan putranya.
Pria berambut lebat itu menghela napas, lalu bergerak menutup pena yang dia pegang.
"Mama baru datang kok sudah mengomel sih? Duduk dulu dong, Ma," ucap Gavin berusaha bersikap sabar. Dia berdiri dan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Langkahnya memutari meja itu dan ketika tangannya bisa menjangkau sang mama, dia menggiring wanita itu untuk duduk.
"Gimana mama nggak ngomel? Kencanmu terancam gagal. Untungnya Talia masih mau ngedate ulang."
Kening Gavin berkerut. "Ngedate ulang?"
Melinda mengangguk, lantas memangku tas mahalnya. "Iya, Minggu depan kalian makan malam lagi. Ingat loh, Vin. Jangan sampai kamu bersikap kayak kemarin. Pokoknya mama pengin kali ini harus berhasil." Wajah masam Melinda, berubah semringah ketika mengatakan itu. Sangat kontras dengan Gavin yang mulai kebingungan cara menolak kencan unfaedah itu.
Pasalnya dari pertemuan kemarin dia sudah mati kebosanan karena mendengarkan ocehan wanita bernama Talia. Bukannya dia tidak merespons, tapi memang tidak ada kesempatan untuk melakukan itu. Gila saja, dia tidak mau memiliki istri yang maunya cuma didengarkan tanpa mau mendengarkan.
"Ma, kalau aku kayak gitu berarti aku nggak cocok, Ma. Dan nggak berniat lanjut."
"Memangnya kenapa? Talia kurang cantik?"
Pria yang sekarang mengenakan kemeja navy itu menggeleng. "Dia cantik, tapi bukan tipe aku."
Seketika itu bahu Melinda melorot. Dia mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Sebelah tangannya memijat dahi yang mendadak berdenyut.
"Kamu mau wanita yang kayak gimana lagi, si Vin?" keluh Melinda, tampak pusing. "Adik-adikmu sudah menikah. Apa kamu nggak iri?"
Senyum manis Gavin terulas, dia mendekati Melinda lalu berjongkok di depan wanita itu. Dua tangan yang kulitnya agak kendur milik sang mama dia gapai.
"Aku nggak apa-apa, Ma. Aku nggak iri sama adik-adik. Urusan jodohku mama nggak perlu memikirkannya lagi. Nanti —"
"Mama akan berhenti memikirkan kalau kamu mengenalkan seorang wanita ke rumah." Melinda melepas pegangan tangan anaknya, lantas berdiri.
Perkara sulit. Gavin cuma bisa membuang napas lalu kembali berdiri. Dia berbalik menghadap sang mama ketika kepalanya mengingat gadis cilik penjual bunga.
"Ma, mama ingat Revita enggak?"
Pertanyaan yang meluncur dari sang putra membuat Melinda sedikit kaget. Dia menatap Gavin dengan alis tertaut. Sudah lama sekali putranya tidak menanyakan tentang Revita. Perasaan gelisah mendadak menyusup. Apakah Gavin bertemu perempuan itu lagi?
"Anaknya Bi Ayun, yang pernah kerja di rumah kita delapan tahun lalu," jelas Gavin, karena tidak ada reaksi apa pun dari Melinda.
Wanita yang dipenuhi barang branded itu berdeham sesaat. "Mama nggak lupa sama Bi Ayun, tapi kalau anaknya mama lupa."
Tepatnya pura-pura lupa, karena Melinda tidak ingin mengingat mereka. Gembel yang tidak lebih daripada sampah.
"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?" tanya Melinda, mencoba mencari tahu. Jika benar Revita muncul lagi, dia tidak akan tinggal diam.
"Kemarin aku bertemu gadis kecil, wajah gadis itu mirip dengan Revita."
"Mama kira ada apa. Itu kan cuma mirip. Lagian Revita pasti sudah dewasa."
"Iya, aku tahu. Tapi aku sempat berpikir kalau gadis itu anak Revita."
Jantung Melinda seakan berhenti berdetak. Dia menatap jeri sang anak. Ada gugup di kedua mata yang sedang coba wanita itu tutupi. "Itu hanya pikiran kamu. Mereka sudah kembali ke kampung. Jadi, mana mungkin ada di sini lagi."
"Bisa saja kan?"
"Sudah. Nggak perlu memikirkan mereka. Fokus saja ke masa depanmu." Melinda berusaha mengalihkan perhatian Gavin. Padahal dadanya sudah sangat bergetar saat anaknya menyebut nama anak pembantu itu.
"Sampai sekarang aku belum bisa melupakan mereka. Dan masih bertanya-tanya kenapa mereka pergi begitu saja," ucap Gavin setengah bergumam dengan pandangan menunduk.
Melinda tidak peduli. Baginya pembantu dan anaknya itu sudah mati. Dua anak dan ibu tidak tahu diri itu hampir merusak kebahagiaan keluarganya. Jika keduanya berani muncul di hadapan Melinda, wanita itu bersumpah akan mengenyahkan mereka dari muka bumi.
"Sudah. Mama mau pulang. Kamu nggak perlu antar mama." Melinda menyandang tas lalu menerima salim dari Gavin, sebelum keluar dari ruang mewah itu.
Selepas kepulangan Melinda, Gavin dan Vania mengunjungi gedung produksi, yang terletak tidak jauh dari gedung kantornya. Gedung produksi sebenarnya memiliki manajemen sendiri, tapi masih termasuk anak cabang perusahaan. Anak-anak cabang produksi lain juga tersebar di beberapa titik daerah di seluruh tanah air. Namun, cabang paling banyak berada di Pulau Jawa.
Kedatangan Gavin bertepatan dengan jam istirahat siang. Dia sengaja melakukan itu agar para anak produksi tidak terkejut dengan kedatangannya.
Namun, ketika dia sedang memperhatikan penjelasan supervisor yang menemaninya berkeliling, tatapnya menangkap sesuatu yang tidak dia duga. Dia melihat seorang wanita berseragam layaknya karyawan produksi lain tengah berbincang dengan salah satu rekannya. Sesekali wanita itu tertawa, lalu entah berbicara apa.
Dari posisinya, Gavin terus memperhatikan wanita itu. Lalu rasa yang sudah dia kubur dalam-dalam perlahan merayap naik, menjalari seluruh tubuhnya. Selama beberapa lama Gavin tertegun di tempat. Dia tidak merespons penjelasan apa pun dari supervisor yang mungkin mulutnya sudah berbusa-busa menjelaskan perkara proses produksi.
"Nah, dari sini kita akan memasuki proses sterilisasi. Kita bisa lanjut ke—"
Ucapan supervisor terjeda ketika secara tiba-tiba Gavin mengangkat tangan. Supervisor dan Vania sontak bingung dan saling tatap, ketika fokus Gavin ternyata tertuju ke lain tempat.
"Kenapa, Pak? Ada masalah?" tanya Vania heran. Namun, tanpa dia duga, pria berahang tegas itu mengangguk.
"Pak Taufik, siapa wanita itu?" tanya Gavin kepada supervisor tanpa melepas pandang dari wanita yang berada di meja staf leader.
"Yang mana, Pak?" tanya pria bernama Taufik itu
"Yang rambutnya dikucir satu. Dia berdiri di meja staf leader."
Supervisor bertubuh gempal itu memanjangkan leher, dan melihat wanita yang bosnya maksud. "Ooh, dia Revita, Pak. Salah satu staf leader kami."
Jadi, Gavin tidak salah melihat. Dia tidak sedang berhalusinasi. Meskipun delapan tahun tidak bertemu, dia tidak mungkin melupakan wajah itu. Wajah yang selalu menebar senyum ketika dia menemuinya dulu. Apakah sekarang pun sama?
"Dia sudah berapa lama di sini, Pak?" tanya Gavin lagi. Bisa-bisanya dia tidak tahu jika wanita itu ada di kota ini.
"Sekitar tiga tahunan kalau nggak salah."
Apa? Tiga tahun? Bagaimana bisa Gavin melewatkan waktu sebanyak itu? Refleks pria itu mengepalkan tangan. Dalam hati dia bertekad tidak akan melepas Revita, kecuali wanita itu sudah memiliki suami.
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran. Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini. Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya. Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib iku
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mera
Seharian ini Revita gelisah. Wanita 27 tahun yang memangku posisi sebagai admin data itu masih memikirkan kejadian siang tadi. Di mana rombongan petinggi perusahaan datang menyambangi departemennya. Dia menyesali kebodohannya. Bagaimana mungkin selama hampir tiga tahun bekerja di anak cabang perusahaan ini, dia tidak mengetahui owner-nya? Revita memejamkan mata, memijit dahinya yang berdenyut. Gavin Adhiyaksa adalah salah satu orang yang paling tidak ingin Revita temui, tapi akan lain cerita kalau dia sendiri yang malah menghampirinya. Sejak memutuskan kembali ke kota ini, Revita hidup dengan damai. Pikiran untuk berhubungan atau pun bertemu dengan keluarga Adhiyaksa sama sekali tak terlintas. Lagi pula, dia sudah melupakan semuanya. Lukanya dan mungkin sakit hatinya. Mungkin. Namun, kejadian siang tadi seolah sanggup mengembalikan rasa sakit itu. "Lo baik-baik aja, Rev?" tanya Arum, yang mejanya tepat di seberang Revita, berhadapan. Dia sedikit memanjangkan leher untuk melihat kond
Entah di lantai berapa pintu lift akhirnya terbuka. Revita mengembuskan napas lega karena tidak harus terjebak lama-lama bersama Gavin. Dua orang masuk dan agak terkejut mendapati CEO Bumi Indah ada di dalam lift tersebut. Dua orang itu menyapa sopan kepada Gavin lantas berdiri agak sedikit maju di antara Gavin dan Revita. Dalam kondisi seperti ini, Gavin tidak mungkin berani bicara macam-macam. Revita menekan dadanya yang berdegup kencang karena sempat tidak bisa mengendalikan emosi. Beruntung mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata tidak penting yang nanti bisa merepotkan dirinya. Entah kenapa dia merasa setelah ini hidupnya di kantor tidak akan tenang. Segala ucapan Gavin tadi seolah memberitahu bahwa semua akan dimulai lagi. Ya Tuhan, Revita benci dengan segala kerumitan hidupnya. Gavin turun di lantai sepuluh tanpa mengucapkan apa pun pada Revita. Dia hanya menoleh dan menatap wanita itu sesaat sebelum keluar dari lift. Lain kali Revita akan memastikan untuk tidak keluar kantor
"Bunga lagi, Rev?"Revita yang tengah memegang tangkai mawar menoleh mendapati teguran itu. Rafa dan Ilham baru saja masuk. Di belakang mereka, Arum dan Dona menyusul. Dany sedang ada tugas di luar kantor, sejak pagi batang hidungnya sudah tidak nampak. Revita mengangguk menatap bunga mawar itu. Melihat mawar di kantong plastik milik Nana beberapa hari lalu membuat dia yang tadinya abai mendadak penasaran dengan si pengirim bunga ini. "Sebenarnya siapa sih orangnya? Lo serius nggak tau, Rev?" tanya Rafa seraya menarik kursi milik Dany, dan duduk di sana dengan posisi terbalik. "Gue nggak tau. Tiap gue ke sini udah nggak ada siapa-siapa.""Perlu diselidiki enggak sih? Kok gue ikutan gemes?" timpal Arum menatap Rafa dan Revita berganti. Alis Revita menanjak. "Caranya?" "Coba lo datang pagi-pagi, lebih pagi dari biasanya. Kali aja papasan sama orang itu." "Eh, jangan," sergah Rafa. "Kalau ternyata pengirimnya psikopat gimana?" "Mana ada pengirim bunga psikopat? Yang ada dia romant
Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g
Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin
Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p
Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi
"Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu
"Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg
Alis Gavin naik sebelah ketika melihat sekretaris bernama Ferial datang menjemputnya. Dia tidak berharap orang baru yang akan menemani perjalanan bisnisnya. Namun sepertinya dia tidak memiliki pilihan lain. Anggap saja ini ujian pertama sekretaris itu. Jika gagal, Gavin bisa punya alasan untuk mendepaknya dari kesekretariatan. "Tidak ada yang memberitahu saya kalau kamu yang akan menemani saya ke Malaysia," ucap Gavin seraya masuk ke mobil mewah fasilitas kantor. Ferial tersenyum manis, lalu ikut masuk ke mobil setelah memastikan bosnya itu duduk nyaman di dalam sana. "Saya sudah memberitahukan itu ke Pak Gavin. Di reminder juga ada. Mungkin Pak Gavin lupa."Sekilas Gavin memindai outfit yang wanita muda itu kenakan. Wanita itu mengenakan floral dress sebatas lutut yang dilapisi blazer hitam. Dress dengan potongan flowly itu agak naik ke atas saat dia duduk. Warna krem dress itu seolah tengah berlomba dengan warna kulit putih Ferial yang secerah mutiara. Gavin tidak mengerti kenapa
"Selamat pagi, Pak."Gavin mengangkat wajah dari tumpukan kertas yang sedang dia baca ketika sapaan asing seseorang terdengar. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang terlihat cantik dan energik. Alisnya terangkat sebelah karena tidak mengenali sosok itu. "Kamu siapa?" tanya Gavin tanpa membalas sapaan wanita muda itu. "Saya Ferial, Pak. Saya di sini menggantikan Mbak Vania." "Memang Vania ke mana?" "Mbak Vania mendampingi CEO baru kita, Pak." Gavin mengangguk ragu. Sejujurnya dia masih ingin Vania yang menemaninya di posisi sekarang sebagai presdir baru. Ya rapat pemegang saham menunjuknya menjadi presdir menggantikan Melinda yang dulu menjabat sebagai presdir pasif. Gavin sendiri memilih tetap ngantor karena masih banyak yang harus dia pastikan keberlangsungan beberapa proyeknya. "Selain saya ada tiga sekretaris lain yang akan membantu pekerjaan Anda, Pak.""Ya, terima kasih," sahut Gavin lantas kembali memperhatikan kertas-kertas di mejanya. Dia pikir sekretaris bernama
*WARNING 21+*===========Pangkal alis Revita berkedut. Bibirnya menggeram lirih lalu lama-lama badannya menggeliat. Entah sekarang pukul berapa. Yang jelas sudah larut, karena kesunyian terasa begitu pekat. Setengah sadar dia menyingkirkan tangan tak sopan yang membuat tidurnya terganggu. "Aku ngantuk, Mas," gumamnya tak jelas, lalu kembali terlelap. Tidak ada sahutan, tapi tangan itu makin tak mau berhenti bergerak. Ketika Revita mengubah posisi menjadi miring, tangan itu pun ikut mengejar. Mencari celah agar bisa menyusup ke balik piyama yang wanita itu kenakan. "Mas," gumam Revita lagi, ketika tangan itu berhasil menyusup masuk dan meremas payudaranya. Karena masih sangat mengantuk, akhirnya Revita membiarkan saja. Tapi lama-lama pergerakan itu membuat Revita tak nyaman. Apalagi ketika puncak dadanya dimainkan. Tubuhnya yang sensitif sontak bereaksi. Dia melenguh pelan. Dalam tidur berusaha menikmati apa yang suaminya lakukan. "Bangun, Sayang," bisik Gavin, sembari terus memb