Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan.
Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah.
Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui.
"Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin.
"Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat.
"Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."
Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri."
Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak.
Pria bermata cokelat itu menarik napas melihat sang mama berjalan mendekat. Dia seolah bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian.
"Gavin, mama mendapat laporan nggak enak dari mamanya Talia. Dia bilang selama makan malam kemarin kamu cuma diam dan banyak nggak merespons kalau Talia bicara," omel Melinda begitu berada di depan putranya.
Pria berambut lebat itu menghela napas, lalu bergerak menutup pena yang dia pegang.
"Mama baru datang kok sudah mengomel sih? Duduk dulu dong, Ma," ucap Gavin berusaha bersikap sabar. Dia berdiri dan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Langkahnya memutari meja itu dan ketika tangannya bisa menjangkau sang mama, dia menggiring wanita itu untuk duduk.
"Gimana mama nggak ngomel? Kencanmu terancam gagal. Untungnya Talia masih mau ngedate ulang."
Kening Gavin berkerut. "Ngedate ulang?"
Melinda mengangguk, lantas memangku tas mahalnya. "Iya, Minggu depan kalian makan malam lagi. Ingat loh, Vin. Jangan sampai kamu bersikap kayak kemarin. Pokoknya mama pengin kali ini harus berhasil." Wajah masam Melinda, berubah semringah ketika mengatakan itu. Sangat kontras dengan Gavin yang mulai kebingungan cara menolak kencan unfaedah itu.
Pasalnya dari pertemuan kemarin dia sudah mati kebosanan karena mendengarkan ocehan wanita bernama Talia. Bukannya dia tidak merespons, tapi memang tidak ada kesempatan untuk melakukan itu. Gila saja, dia tidak mau memiliki istri yang maunya cuma didengarkan tanpa mau mendengarkan.
"Ma, kalau aku kayak gitu berarti aku nggak cocok, Ma. Dan nggak berniat lanjut."
"Memangnya kenapa? Talia kurang cantik?"
Pria yang sekarang mengenakan kemeja navy itu menggeleng. "Dia cantik, tapi bukan tipe aku."
Seketika itu bahu Melinda melorot. Dia mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Sebelah tangannya memijat dahi yang mendadak berdenyut.
"Kamu mau wanita yang kayak gimana lagi, si Vin?" keluh Melinda, tampak pusing. "Adik-adikmu sudah menikah. Apa kamu nggak iri?"
Senyum manis Gavin terulas, dia mendekati Melinda lalu berjongkok di depan wanita itu. Dua tangan yang kulitnya agak kendur milik sang mama dia gapai.
"Aku nggak apa-apa, Ma. Aku nggak iri sama adik-adik. Urusan jodohku mama nggak perlu memikirkannya lagi. Nanti —"
"Mama akan berhenti memikirkan kalau kamu mengenalkan seorang wanita ke rumah." Melinda melepas pegangan tangan anaknya, lantas berdiri.
Perkara sulit. Gavin cuma bisa membuang napas lalu kembali berdiri. Dia berbalik menghadap sang mama ketika kepalanya mengingat gadis cilik penjual bunga.
"Ma, mama ingat Revita enggak?"
Pertanyaan yang meluncur dari sang putra membuat Melinda sedikit kaget. Dia menatap Gavin dengan alis tertaut. Sudah lama sekali putranya tidak menanyakan tentang Revita. Perasaan gelisah mendadak menyusup. Apakah Gavin bertemu perempuan itu lagi?
"Anaknya Bi Ayun, yang pernah kerja di rumah kita delapan tahun lalu," jelas Gavin, karena tidak ada reaksi apa pun dari Melinda.
Wanita yang dipenuhi barang branded itu berdeham sesaat. "Mama nggak lupa sama Bi Ayun, tapi kalau anaknya mama lupa."
Tepatnya pura-pura lupa, karena Melinda tidak ingin mengingat mereka. Gembel yang tidak lebih daripada sampah.
"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?" tanya Melinda, mencoba mencari tahu. Jika benar Revita muncul lagi, dia tidak akan tinggal diam.
"Kemarin aku bertemu gadis kecil, wajah gadis itu mirip dengan Revita."
"Mama kira ada apa. Itu kan cuma mirip. Lagian Revita pasti sudah dewasa."
"Iya, aku tahu. Tapi aku sempat berpikir kalau gadis itu anak Revita."
Jantung Melinda seakan berhenti berdetak. Dia menatap jeri sang anak. Ada gugup di kedua mata yang sedang coba wanita itu tutupi. "Itu hanya pikiran kamu. Mereka sudah kembali ke kampung. Jadi, mana mungkin ada di sini lagi."
"Bisa saja kan?"
"Sudah. Nggak perlu memikirkan mereka. Fokus saja ke masa depanmu." Melinda berusaha mengalihkan perhatian Gavin. Padahal dadanya sudah sangat bergetar saat anaknya menyebut nama anak pembantu itu.
"Sampai sekarang aku belum bisa melupakan mereka. Dan masih bertanya-tanya kenapa mereka pergi begitu saja," ucap Gavin setengah bergumam dengan pandangan menunduk.
Melinda tidak peduli. Baginya pembantu dan anaknya itu sudah mati. Dua anak dan ibu tidak tahu diri itu hampir merusak kebahagiaan keluarganya. Jika keduanya berani muncul di hadapan Melinda, wanita itu bersumpah akan mengenyahkan mereka dari muka bumi.
"Sudah. Mama mau pulang. Kamu nggak perlu antar mama." Melinda menyandang tas lalu menerima salim dari Gavin, sebelum keluar dari ruang mewah itu.
Selepas kepulangan Melinda, Gavin dan Vania mengunjungi gedung produksi, yang terletak tidak jauh dari gedung kantornya. Gedung produksi sebenarnya memiliki manajemen sendiri, tapi masih termasuk anak cabang perusahaan. Anak-anak cabang produksi lain juga tersebar di beberapa titik daerah di seluruh tanah air. Namun, cabang paling banyak berada di Pulau Jawa.
Kedatangan Gavin bertepatan dengan jam istirahat siang. Dia sengaja melakukan itu agar para anak produksi tidak terkejut dengan kedatangannya.
Namun, ketika dia sedang memperhatikan penjelasan supervisor yang menemaninya berkeliling, tatapnya menangkap sesuatu yang tidak dia duga. Dia melihat seorang wanita berseragam layaknya karyawan produksi lain tengah berbincang dengan salah satu rekannya. Sesekali wanita itu tertawa, lalu entah berbicara apa.
Dari posisinya, Gavin terus memperhatikan wanita itu. Lalu rasa yang sudah dia kubur dalam-dalam perlahan merayap naik, menjalari seluruh tubuhnya. Selama beberapa lama Gavin tertegun di tempat. Dia tidak merespons penjelasan apa pun dari supervisor yang mungkin mulutnya sudah berbusa-busa menjelaskan perkara proses produksi.
"Nah, dari sini kita akan memasuki proses sterilisasi. Kita bisa lanjut ke—"
Ucapan supervisor terjeda ketika secara tiba-tiba Gavin mengangkat tangan. Supervisor dan Vania sontak bingung dan saling tatap, ketika fokus Gavin ternyata tertuju ke lain tempat.
"Kenapa, Pak? Ada masalah?" tanya Vania heran. Namun, tanpa dia duga, pria berahang tegas itu mengangguk.
"Pak Taufik, siapa wanita itu?" tanya Gavin kepada supervisor tanpa melepas pandang dari wanita yang berada di meja staf leader.
"Yang mana, Pak?" tanya pria bernama Taufik itu
"Yang rambutnya dikucir satu. Dia berdiri di meja staf leader."
Supervisor bertubuh gempal itu memanjangkan leher, dan melihat wanita yang bosnya maksud. "Ooh, dia Revita, Pak. Salah satu staf leader kami."
Jadi, Gavin tidak salah melihat. Dia tidak sedang berhalusinasi. Meskipun delapan tahun tidak bertemu, dia tidak mungkin melupakan wajah itu. Wajah yang selalu menebar senyum ketika dia menemuinya dulu. Apakah sekarang pun sama?
"Dia sudah berapa lama di sini, Pak?" tanya Gavin lagi. Bisa-bisanya dia tidak tahu jika wanita itu ada di kota ini.
"Sekitar tiga tahunan kalau nggak salah."
Apa? Tiga tahun? Bagaimana bisa Gavin melewatkan waktu sebanyak itu? Refleks pria itu mengepalkan tangan. Dalam hati dia bertekad tidak akan melepas Revita, kecuali wanita itu sudah memiliki suami.
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran. Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini. Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya. Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib iku
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mer
Ponsel di sebuah meja berukuran lebar terus bergetar. Sedikit menyita perhatian seorang pria yang duduk di balik meja tersebut. Hanya sebuah lirikan kecil tidak berarti dari sepasang iris cokelat itu, lantas dia cuek lagi. Penanya terus bergoyang di atas berlembar-lembar kertas. Beberapa dokumen baru selesai ditandatangani, dan dia harus menyelesaikan setumpuk dokumen lainnya. "Ponselnya nggak diangkat dulu aja, Pak?" tanya seorang wanita cantik yang berdiri di hadapan pria itu. "Biarkan saja," sahut pria itu terlalu irit membuat si wanita sedikit mengerutkan bibir. "Pak Gavin nggak lupa, kan kalau malam ini ada makan malam di Sarinah?" Wanita itu mengingatkan dan cukup membuat perhatian pria yang disebut Gavin itu teralihkan dari lembar kertas. "Kamu jadi alarm ibu saya atau gimana?" tanya Gavin tak suka. "Saya sudah cukup pusing dapat pesan reminder dari ibu saya. Jadi, kamu nggak perlu memberi saya peringatan lagi. Ngerti?" Wanita dengan setelan blazer di hadapan Gavin mering
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mer
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran. Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini. Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya. Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib iku
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan. Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah. Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui. "Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin."Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat. "Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri." Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak. Pria bermata cokelat itu menarik napas meliha
Ponsel di sebuah meja berukuran lebar terus bergetar. Sedikit menyita perhatian seorang pria yang duduk di balik meja tersebut. Hanya sebuah lirikan kecil tidak berarti dari sepasang iris cokelat itu, lantas dia cuek lagi. Penanya terus bergoyang di atas berlembar-lembar kertas. Beberapa dokumen baru selesai ditandatangani, dan dia harus menyelesaikan setumpuk dokumen lainnya. "Ponselnya nggak diangkat dulu aja, Pak?" tanya seorang wanita cantik yang berdiri di hadapan pria itu. "Biarkan saja," sahut pria itu terlalu irit membuat si wanita sedikit mengerutkan bibir. "Pak Gavin nggak lupa, kan kalau malam ini ada makan malam di Sarinah?" Wanita itu mengingatkan dan cukup membuat perhatian pria yang disebut Gavin itu teralihkan dari lembar kertas. "Kamu jadi alarm ibu saya atau gimana?" tanya Gavin tak suka. "Saya sudah cukup pusing dapat pesan reminder dari ibu saya. Jadi, kamu nggak perlu memberi saya peringatan lagi. Ngerti?" Wanita dengan setelan blazer di hadapan Gavin mering