Kali ini Ronald dan Denise saling beradu pandang. Senyuman pun muncul pada wajah kedua anak lelaki dua belas tahun ini.Denise yang paling dominan diantara mereka bertiga pun mendekat ke arah Jerry yang tadi dikira pengecut. Anak lelaki berambut ikal itu pun merangkul si pipi tembem.“Nah begitu, itu namanya baru teman,” puji Denise.Jerry pun mengangkat wajahnya dan ingin sekali mengetahui apa rencana Denise selanjutnya.“Yah, kurasa kita harus tetap kompak kapanpun kan?” tanya Jerry.“Ya itu baru benar.”“Lalu apa yang kau rencanakan?” tanya Jerry.Sebenarnya Jerry bukanlah anak yang suka merundung seperti kedua teman sekamarnya, memang benar yang dikatakan oleh Denise kalau sebenarnya ia tidak punya nyali. Jerry sendiri tahu bagaimana rasanya mendapatkan perundungan oleh teman sekelas.Dari dulu Jerry memiliki penampilan yang berbeda, ukuran tubuhnya lebih besar dibandingkan anak seusianya, hingga ia sering dikata-katai sebagai raksasa. Untung saja Jerry memiliki kemampuan dalam ol
Mendengar nama Ian disebut melalui pengeras suara, ketiga anak nakal itu pun saling pandang. Salah satu dari mereka langsung menepuk bahu Ian, dan mencengkeramnya.“Hei cepat sana ke kantor kau sudah dipanggil, dan ingat jika sudah selesai kembali ke sini!” ancam Denise yang kali ini mencengkeram bahu Ian dengan kuat dan membuat anak itu menggigit bibir karena meringis kesakitan. Tubuh Denise jauh lebih besar dibandingkan Ian yang cenderung kurus.“Dengar ya, jangan sekali-sekali kau menceritakan tentang hal ini pada siapapun! Jika apa yang kami lakukan ini sampai terdengar oleh para mentor, maka kami tak segan-segan untuk melakukan hal yang lebih parah dari ini!” ancam Denise sementara satu tangannya menunjuk ke arah wajah Ian.“Ke … kenapa kalian lakukan ini padaku?” tanya Ian dengan gugup. Ia sudah bisa mencerna apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Ian telah ditipu secara mentah-mentah oleh kawan sekamarnya.“Kenapa kami melakukan ini padamu? Ha ha tentu saja kami melakukannya
Anak lelaki sok jagoan itu mengikuti arah pandangan Tuan Jims. Sebuah cctv yang mengarah pada mereka bertiga, walau tidak dekat tapi mampu menangkap semua rekaman kejadian di sekitar.“Ada cctv, kenapa aku tidak tahu ya?” tanya Denise dalam hati.Anak lelaki itu sama sekali tidak bisa berkutik sekarang. Ia justru tergagap, sampai tidak berani mendongakkan kepalanya lagi. Denise tampak meremas kedua tangannya mencoba untuk mencari jawaban yang tepat untuk dikatakan pada Tuan Jims.“Eh aku … aku tidak tahu kalau ada cctv di sana,” Denise akhirnya buka suara.Tuan Jims yang berdiri di sampingnya pun tertawa lepas lalu kembali menepuk bahu Denise.“Hmm aku mengerti, kau tidak tahu kalau ada cctv di sana, artinya kau bisa menindas siapapun? Sayang kau telah salah perhitungan, nak. Di sini banyak sekali cctv yang letaknya tidak disadari oleh peserta perkemahan. Jadi kuingatkan sekali lagi, jangan berani untuk menindas siapapun di sini. Atau kau akan mendapat hukuman lebih parah dari ini!” T
Denise diantar kedua sekutunya menuju tempat tidur, tak biasanya tangannya terasa dingin ketika bersentuhan dengan kedua temannya.“Tanganmu dingin sekali Denise,” komentar Jerry yang tiba-tiba.Beberapa saat lalu ia sempat mendengar Denise bergumam setelah melihat foto yang sempat mereka perebutkan. Denise terang-terangan menyebutkan Ian harus pergi atau mereka akan celaka. Tentu saja Jerry tidak mengerti apa yang dimaksud teman sekamarnya itu.Jerry pun menepuk pundak temannya itu dan ingin meminta penjelasan.“Apa maksud ucapanmu tadi?”Denise tidak juga menjawab, ia malah melirik Ian dan memastikan kalau anak itu sudah tertidur lelap. Tempat tidur Ian dan Denise memang bersebelahan. Tempat tidur mereka hanya dipisahkan oleh nakas dan sebuah lemari satu pintu saja. Jika diukur dalam satuan meter, jaraknya kurang dari satu setengah meter.Saat itu Ian tidak berubah posisinya, masih saja membelakangi sambil memeluk pigura yang sejak tadi mereka perebutkan.“Hmm tampaknya dia sudah be
Ketiga anak nakal itu pun terbangun sangat pagi. Hal pertama yangmereka lakukan ketika membuka mata adalah mengintip perlahan pada selimut. Mereka bermaksud untuk memeriksa kaki dan tangan apakah masih utuh atau tidak, terikat atau tidak.“Syukurlah aku masih hidup kali ini,” gumam Denise yang merasa lega setelah memastikan semua bagian tubuhnya masih lengkap.Ia pun mulai melirik ke samping dan memastikan Ian masih tertidur pulas. Ya anak itu memang masih ditutupi oleh selimut, dan kali ini posisinya tidak lagi membelakangi tubuh Denise, tapi telentang dan foto ayahnya berada di atas dadanya.Posisi tidur anak itu terlihat begitu nyenyak, tapi justru menimbulkan kecurigaan pada diri Ian muncul.“Apa dia sempat bangun ya semalam, posisi tidurnya berubah,” pikirnya.Kemudian dia melirik ke arah ketiga temannya dan mengangkat bahu. Kini ia kembali ke tempat tidur Jerry, dan juga ditemani oleh Ronald yang sudah sejak tadi berada di sana.“Kau memikirkan apa?”Denise menggeleng, “Bukan ap
Seketika suasana hening, setelah Ronald berkata-kata. Ketiga anak itu hanya bisa menunduk sepertinya sadar akan kesalahan masing-masing. Tak ada gunanya untuk bertengkar kali ini.“Kalian sadar tidak semakin kita ribut, semakin banyak waktu kita yang terbuang, dan kita semakin banyak kehilangan kesempatan dan menambah penderitaan,” Ronald mengawali.“Pertama kita akan terlambat bertemu Tuan Jims dan otomatis hukuman kita akan ditambah, kedua jika Ian bangun, maka ia bisa melakukan hal yang tidak kita duga.”Kedua temannya masih terdiam dan menyesali apa yang baru saja dikatakan oleh Ronald.“Jerry benar, dia memang tidak bisa melakukan hal seperti ayahnya, tapi dia bisa melapor pada teman-teman ayahnya kalau kita merundung. Itulah kita harus meminta bantuan orang dewasa, dan kebetulan kita akan bertemu Tuan Jims, dia pasti akan membantu kita,” jelas Ronald pada akhirnya.Tuan Jims memang sangat disiplin, mungkin latar belakangnya di bidang militer membuat pria itu begitu tegas dan te
Kini Tuan Jims pun memicingkan mata ke arah Ronald. Ia berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan dada dan kaki yang sedikit terbuka lebar. Kepala pengasuhan ini mendongak, terlihat angkuh dan menimbulkan kesan seram di mata ketiga anak nakal itu.“Bisa kau ulangi lagi perkataanmu?” tanya Tuan Jims.Ronald pun mengatakan kembali apa yang tadi ia katakan kalau Ian adalah anak seorang pembunuh yang kejam. Tak hanya itu, Denise yang tadinya diam pun mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tentang bagaimana kasus ayah Ian tercuat.Denise menceritakan kronologi kasus dengan begitu lancar dan detail sampai tak ada yang terlewatkan. Anak itu terlihat berusaha untuk meyakinkan Tuan Jims.“Hmm,” jawab Tuan Jims.“Benar Tuan, kita semua harus mengambil tindakan, jangan sampai ia membahayakan kita semua,” desak Denise.Tuan Jims yang mendengar penuturan ketiga anak ini hanya mengerutkan alis. Kemudian ia pun tersenyum sinis, seakan meremehkan ucapan anak itu.Ini bukan tanpa alasan, sep
“Hmm, baiklah kalian serahkan saja kepadaku!” seru Denise dengan percaya diri.Anak lelaki berambut ikal itu pun melangkah memecah kerumunan yang sekarang mengerubungi Enrique.“Paman Enrique!” panggilnya dengan keras untuk mencoba menarik perhatian.Tentu saja sebutan paman pada bintang papan atas itu pun menyita perhatian bintang lapangan bola yang sedang dikerubungi anak-anak itu. Perlahan pria dengan kulit tanned yang terbakar matahari itu pun berdiri dan meminta anak-anak yang mengerubunginya untuk membuka jalan.“Anak-anak untuk acara tanda tangannya cukup dulu ya, nanti jika ada waktu senggang bisa kita mulai lagi,” jelas Enrique sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada.Lalu pria bertubuh atletis itu pun melangkah membelah kerumunan anak-anak dan mendekati Denise yang menunggu tak jauh darinya.“Hei Denise, apa kabarmu? Akhirnya kau ikut perkemahan ini juga,” kata Enrique sambil merangkul pundak Denise.Denise hanya membalas sapaan itu dengan senyuman.“Ya, aku memang m