Entah dapat kekuatan dari mana. Aku justru tertantang untuk membuktikan bahwa sikap Nely itu hanya modus belaka. “Oke, mari kita lihat sampai kapan si Nely itu kuat membayar biaya hotel tiap kapal sandar.”
Aku tidak boleh terlihat gentar. Jangan karena informasi sepihak dari Mas Wildan, aku langsung percaya begitu saja pada sosok Nely yang diceritakannya. Bisa saja itu semua hoax, bukan?
“Aku mau balik ke rumah sakit sekarang, Mas. Kamu mau ikut atau istirahat di sini terserah!” Kusiapkan juga baju-baju Rheza, perlengkapan mandi, dan skincare.
“Aku mau mandi dulu. Nanti aku nyusul. Oh ya, besok pagi aku harus balik. Karena sore kapal sudah muat. Aku enggak bisa ngajukan libur mendadak karena semua sudah terjadwal,” jelas Mas Wildan dengan tenang.
“Kamu bilang enggak bisa libur utuk jagain Rheza, tapi kamu liburan di tempat lain aku juga enggak tahu, Mas.” Biasanya aku langsung percaya apa yang ia katakan. Namun, sejak kasus ini terkuak, rasa curigaku membabi buta.
“Kamu sudah enggak percaya sama Mas sekarang?”
“Kamu sendiri yang merusak kepercayaan itu.”
Tak lama berbasa-basi, aku langsung mencari kontak motor. Kuambil tas isi baju dan perlengkapan yang tadi telah kusiapkan. Rasanya aku ingin segera menghindar dari Mas Wildan. Kenapa dia enggak balik kerja malam ini saja. Tidak bertemu dengannya untuk sementara waktu sepertinya lebih baik buat kesehatan jiwaku.
***
Waktu menunjukkan jam sembilan malam lebih. Arus kendaraan masih cukup ramai saat kutempuh perjalanan menuju rumah sakit. Jarak rumahku dan rumah sakit hanya tujuh kilo meter. Saat berhenti di perempatan lampu merah, air mataku kembali tumpah. Tiba-tiba terbayang perceraian atau aku harus berkompromi dengan si Nely itu? Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana nasib rumah tanggaku setelah ini.
Kucoba mengalihkan fokus ke anakku dulu. Rheza lebih membutuhkanku sekarang. Setiba di rumah sakit, aku segera menaruh tas di kursi tunggu ruang pemulihan pasca operasi. Kami belum mendapat kamar untuk rawat inap. Kata pihak rumah sakit, semua kamar masih penuh. Semoga besok sudah ada kamar kosong.
Ibuku menyandarkan kepalanya pada tepi ranjang pasien di ruang pemulihan pasca operasi. Rupanya beliau tertidur di samping cucunya. Wajah yang sudah keriput itu, haruskah kubebani lagi maslah? Sungguh, aku tak tega. Biarlah kusimpan sendiri dulu sampai batas kekuatanku. Baru jika aku sudah tak kuat menanggungnya, akan kulibatkan keluarga besar.
“Bu, bangun! Biar Alya yang gantiin jaga Rheza,” kugoncang bahunya perlahan. Begitu melihatnya terjaga, aku kembali menitipkan pesan, “Oh ya, nanti kalo Mas Wildan sudah datang, ibu minta antar pulang saja. Dia ke sini bawa mobil.”
“Ibu pingin di sini, Nduk,” tolaknya.
“Ibu istirahat saja di rumah. Kita belum dapat kamar soalnya. Lagian sudah ada Mas Wildan. Besok saja ibu balik ke sini lagi. Karena Mas Wildan harus balik kerja.”
Wanita berusia kepala enam itu berjalan meninggalkan ruangan. Pandangan kualihkan kepada Rheza. Kuelus-elus tangan mungilnya. Seandainya aku tidak pernah keguguran, Rheza akan menjadi anakku yang ke tiga.
“Rheza, cepat sadar ya, Nak! Habis ini kita main kereta Thomas lagi.” Kuajak anakku bicara meskipun matanya masih terpejam. Tangan kecil yang tadi kupegang memberi reaksi.
“Bunda…” Suaranya lirih memanggilku.
“Alhamdulillah. Anakku sadar. Ya sayang…bunda di sini.”
“Mimik .…”
Sepertinya dia haus, tetapi aku harus tanya perawat dulu apa sudah boleh minum sekarang.
“Sebentar ya, Sayang, tunggu dulu!”
Segera kuberlari kecil menuju perawat yang jaga di pojok ruang pemulihan. Dari penjelasannya, anakku sudah boleh minum air putih atau teh karena sudah lewat dari dua jam pasca operasi.
Segera kuambil air mineral kemasan tanggung itu beserta sedotannya. Kuganjal kepala Rheza dengan bantal. Lalu kulepas masker yang terhubung ke tabung oksigen itu.
“Diminum pelan-pelan ya, Sayang.”
Setelah menyedot tiga kali tegukan, Rheza kembali bicara. “Ayah…?”
Ya Allah, anakku mencari bapaknya.
“Iya sayang, ayah pulang. Bunda teleponkan dulu ya.”
Dengan suara lirih kucoba melakukan panggilan ke Mas Wildan, tetapi ponselnya sedang sibuk. Kuulang sekali lagi masih saja nomornya ada di panggilan lain. Ya ampun, Mas. Kamu lagi telepon sama siapa sih malam-malam begini?
“Sebentar ya, Sayang. Ayah masih di jalan.”
Aku keluarkan boneka mobil Thomas untuk menenangkan Rheza. Hadiah dari temannya Mas Wildan ini menjadi teman tidur Rheza di rumah.
“Lepas! Lepas!” Tangan Rheza mencoba untuk mencopot masker yang dipasang di mukanya.
“Jangan Sayang, biar adik sembuh dulu. Tetap dipakai, ya!”
Ponselku bergetar. Rupanya panggilan dari Mas Wildan. Aku tadi memang meninggalkan pesan agar ia segera masuk ke sini jika sudah tiba di rumah sakit.
“Ada apa, Dik?”
“Dicari Rheza. Dia sudah sadar.”
“Iya, iya. Ini aku sudah di dalam lift. Dua menit lagi nyampe.”
Selang beberapa menit kemudian Mas Wildan dberatang. Kuperhatikan dua laki-lakiku yang sangat mirip itu. Semoga kemiripan itu berhenti di fisik saja. Jangan sampai Rheza meniru kelakuan bapaknya juga saat berumah tangga nanti.
“Ayah, gendong!” Anak itu terlihat senang bapaknya pulang.
Mas Wildan menatapku, seperti minta persetujuan.
“Gendong saja. Hati-hati! Awas selang infus dan oksigennya.” Aku tinggalkan mereka berdua. Sebab penjaga pasien dibatasi satu orang saja.
***
Semalaman kami bergantian menjaga Rheza. Sehingga tak ada kesempatan berbicara. Hingga waktu pagi tiba. Ibu dan Kakak perempuanku datang membawa dua bungkus nasi pecel. Ibu menyuruh kami sarapan, tetapi kami kompak menolak. Jam tujuh pagi perutku belum menuntut haknya.
“Bu, Wildan pamit balik dulu.” Diciumnya punggung tangan ibuku.
“Oalah … kok sebentar?”
“Inggih, Bu. Cuma dapat izin sebentar. Jadwalnya kru yang lain yang libur.”
“Ya wis. Hati-hati ya, Nak. Kerjo adoh iku akeh penggudo. Sing rajin dungo,” pesan Ibu kepada menantunya yang terasa mengena sekali.
Mas Wildan beralih pamit padaku, “Dik, Mas berangkat dulu. Yang sabar ya!”
Kuraih tangannya dan kucium punggung tangan itu, “Maaf enggak bisa anter.” Biasanya aku selalu mengantar Mas Wildan ke terminal.
“Enggak apa-apa, kamu jaga Rheza saja. Aku usahakan mengurus libur secepatnya.” Dia mengecup keningku seperti biasa saat hendak balik kerja.
“Ja’alallahu takwa zaadaka wa ghofaro dzambaka wawajjahaka lil khoiri haitsuma wajjahta.” Meski hati ini sakit, aku masih mendoakan keselamatannya. Sebuah rutinitas setiap mengantar kepergiannya mencari nafkah. Namun, kali ini ada rasa yang berbeda. Kulepas kepergian Mas Wildan dengan perasaan entah.
***
Jarum jam dinding belum tepat menunjuk pukul sembilan pagi. Mbak-Mbak perawat memberi kabar akan ada kamar untuk anakku. Kamar VIP penuh. Sehingga kami dipilihkan kamar kelas satu, tetapi dicarikan yang pasien satunya juga anak-anak. Akhirnya, Rheza sudah boleh pindah dari ruang pemulihan ke kamar rawat inap. Di kamar ini kami lebih leluasa mengobrol. Tak lama kakak laki-lakiku datang bersama istrinya.
“Loh, kamu di sini toh, Al?” tanyanya dengan dahi berkerut.
“Iya, dari tadi aku di sini. Kenapa emangnya, Mas?”
“Tadi pas aku mau parkir beli cemilan buat Rheza, aku lihat Wildan masuk mobil. Lah mobile sama persis warnanya dengan punya kalian, neh. Aku pikir ya sama kamu. Di kursi depan ada perempuan berkerudung,” ucap Kaka lelakiku berapi-api.
“Mas salah lihat kali. Mas Wildan sudah balik pagi tadi,” sangkalku.
“Enggak lah. Aku yakin itu suamimu,” kekeh Kakakku.
“Lah mobilku di parkiran kok, Mas. Ini kontaknya ditinggal sama Mas Wildan.” Aku tunjukkan kontak yang masih tergeletak di atas nakas.
“Aneh, enggak mungkin aku salah lihat. Tahu gitu aku samperin dia tadi. Biar yakin.”
“Wis toh, Mas. Kamu ini niat jenguk Rheza apa bikin Alya kepikiran!” pungkas kakak iparku.
“Ya nantilah aku tanyakan. Biar Mas enggak penasaran.” Kupaksakan menyunggingkan senyuman. Sepertinya mulai sekarang aku harus belajar bersandiwara.
Laki-laki yang mulai beruban itu pun mendatangi keponakannya. Selain dibawakan cemilan, Rheza juga dibelikan kereta warna merah, James namanya. Temannya Thomas yang suka kebersihan. Rheza sangat senang mendapat hadiah dari pamannya.
Sementara itu, aku menahan rasa penasaran. Benarkah yang dilihat kakak laki-lakiku itu Mas Wildan? Informasi suamiku naik mobil bersama seorang wanita berkerudung membuatku linglung. Mungkinkah itu Nely? Rumahnya di mana kok sampe menjemput Mas Wildan ke sini?
Andai anakku tidak sedang sakit, pasti aku bergerak cepat menyelesaikan teka-teki ini. Aku berpikir keras siapa kira-kira yang bisa kuminta bantuan mengumpulkan informasi tentang Nely.
.
.
[Bersambung]
Saat kita tertimpa musibah, kunjungan dari keluarga dan kerabat memang cukup menjadi obat pelipur lara. Makanya Rasulullah menganjurkan kita melaksanakan salah satu ibadah ghairu mahdhah ini. Beliau sampai menggambarkan bahwa siapa saja yang menjenguk orang sakit, maka ia akan berjalan di taman surga sampai ia kembali.Alhamdulillah keluargaku juga berduyun-duyun menjenguk Rheza. Setelah Kakak laki-lakiku pamit, kini ada ibu mertua dan suaminya berkunjung. Kebetulan sekali, ada yang ingin kusampaikan kepada ibu mertua perihal anaknya. Apakah beliau tahu jika Mas Wildan telah menikah lagi? Jika ibu mertua tahu, tetapi tetap diam, berarti mereka telah bersekongkol.Hanya saja, jika harus bicara di kamar ini rasanya tidak tepat. Sebab di sebelah juga ada pasien yang hanya disekat tirai. Tentu mereka akan mendengar apa yang kami bicarakan nantinya. Maka, aku harus mengajak ibu mertua bicara di luar. Ternyata Rheza sangat pengertian, setelah minum susu, kini
Aku rasanya sudah tak sabar ingin menunjukkan kelakuan Nely kepada Mila. “Mil, kamu pingin tahu Si Nely itu kek gimana? Nih!” Kuberikan gawaiku kepadanya. Tepat pada foto-foto yang dikirim Nely yang tersimpan di galery. Termasuk foto di kamar hotel itu.“Astaghfirullaha‘adzim….Ya Allah, mimpi apa aku semalam?” Mila mengelus-elus dadanya.“Ini beneran Pak Wildan? Kok aku masih enggak percaya ya. Ya Allah…kamu sabar banget, Say.” Mila masih mengamati foto itu satu persatu. Diklik terus di-zoom.“Ini kan di Kawah Putih Bandung, Say. Kapan mereka ke sananya? Hm … gayanya Nely. Nempel terus. Pingin kujotos rasanya.” Mila masih terus memelototi foto-foto itu dan sesekali keluar kata-kata kasar dari mulutnya.“Maaf ya, Say. Aku jadi enggak ngefans lagi sama Pak Wildan kalo begini ceritanya. Padahal dulu aku itu kagum loh
Pesan yang kukirim lewat inbox kepada mantan suaminya Nely belum mendapat tanggapan. Begitu pun kepada Imelda. Sepertinya mereka adalah pasangan yang kurang aktif di dunia maya. Baru saja kubatin, tak lama kemudian ada notifikasi masuk dari messenger. Alhamdulillah dari Pak Rifki. Segera kubaca isi balasannya. Wa’alaikumussalam. Mohon maaf saya sudah tidak ada hubungan lagi dengan Nely. Sehingga saya pun tidak mau terlibat dengan kehidupan pribadinya lagi. Urusan saya dengan dia tidak lebih hanya karena anak-anak masih dalam pengasuhannya. Selebihnya saya tidak mau ikut campur. Balasan dari Pak Rifki itu sedikit membuatku putus asa. Memang benar sih dia sudah tidak ada urusan lagi dengan mantan istrinya, tetapi tidak adakah sedikit empati untukku yang sekadar ingin menggali informasi? Maka, sebelum Imelda menjawab balasan serupa sebagaimana yang dilakukan suaminya, aku mengirimkan pesan la
Pagi ini aku harus check lock finger print ke kantor. Sejenak kukesampingkan masalah dengan Mas Wildan. Sebab menjadi abdi negara tak bisa menjadikanku seenaknya bolos kerja. Meski memang ada alasan kuat sebenarnya, anak sakit. Namun, sekarang aturan kepegawaian lebih ketat. Tidak ada izin menjaga anak sakit. Jika keadaan memaksa tidak masuk, maka harus mengajukan cuti.Saat mengajukan cuti, konsekuensinya tunjangan akan dikurangi. Belum lagi mengurus kelengkapan administrasinya cukup menyita waktu. Untungnya pimpinanku pengertian. Aku hanya diminta datang pagi untuk absen digital -finger print- lalu mengecek berkas-berkas yang perlu dibubuhi tanda tanganku. Setelah itu aku diizinkan kembali mengurus keperluan Rheza yang rencananya akan pulang dari rumah sakit hari ini. Baru nanti sore aku kembali ke kantor untuk melakukan absen pulang melalui mesin sidik jari lagi.Kendaraan kupacu lebih kencang agar bergegas kembali ke rumah sakit. Meski su
Pesan dari Nely kuabaikan. Kini balon percakapan dari Imelda kuklik. Wa’alaikumussalam. Mohon maaf Mbak Alya, aku membalasnya lama. Karena sempat beda pendapat sama Mas Rifki. Namun, aku berhasil yakinkan dia. Akhirnya diizinkan juga membalas pesan Mbak Alya. Sebelumnya terima kasih sudah berbagi cerita. Aku ikut prihatin dengan rumah tangga Mbak Alya. Meski aku enggak kaget dengan perangai Nely. Pesanku hati-hati saja menghadapinya. Dia itu tipe orang bermuka dua. Dia bisa menyamar jadi perempuan yang lembut dengan suara yang mendayu-dayu, tetapi di sisi lain dia juga bisa sangat kasar kata-katanya. Aku sudah kenyang dapat terornya. Bahkan sampai sekarang. Semoga suami Mbak Alya segera tersadarkan siapa Nely sebenarnya. Tentang kelakuan Nely yang suka meninggalkan anak-anak itu bukan perkara baru, Mbak. Dari dulu dia memang suka pergi-pergi. Itulah yang jadi salah satu alasan mengapa Mas Rifki sampai hati menceraikannya padahal
“Say, kok bengong, sih!” Panggilan Mila mengembalikan kesadaranku dari lamunan. “Iya Mil, sorry. Aku hari ini mau ke rumah Nely.” “Wah…bagus itu. Sama siapa?” “Mbak sama Mas iparku.” “Kudoakan lancar ya. Oya, jangan lupa bawa KTP, KK, sama buku nikah ya!” “Buat apa? Lengkap banget! Kayak mau ngelamar kerja saja.” “Wis ta bawa saja. Siapa tahu ntar butuh. Bapakku mudin, aku sudah hafal kasus-kasus kayak gini.” “Oke, makasih ya.” “Tar saling up-date kabar ya. Kutunggu hasil dari rumahnya Nely." “Siap,” jawabku mantap. Telepon kami akhiri. Kusiapkan apa yang disarankan Mila. Saat kuambil buku nikah, tanganku gemetar. Ya Allah, sampai kapan buku ini bertahan? Kubuka isinya, terpampang fotoku dan Mas Wildan. Kupejamkan mata hingga buliran bening ini menet
Insiden di kapal? Untuk membunuh rasa penasaranku, Mila langsung kutelepon. “Hallo Mil, ada insiden apa?” “Nely kecebur ke laut, Say.” “Hah! Kok bisa, gimana ceritanya?” “Nah itu. Aku juga belum tahu gimana kronologisnya. Tadi jam sembilan ‘kan aku ada nego sama pemilik lahan. Jadi HP kumatikan, biar enggak ganggu.” “Lah terus kamu tahu dari siapa?” “Ya pas HP mati itu Mas Dhimas telepon. Karena enggak terhubung, akhirnya cuma kirim pesan. Ya itu tadi pesannya, Nely kecebur ke laut.” “Trus enggak ada pesan lagi?” “Enggak ada. Suamiku kalo kirim pesan pendek-pendek, Say. Males dia ngetik panjang-panjang. Mending telepon katanya.” “Trus kamu enggak coba telepon balik gitu?” “Barusan ini tadi jam 12 aku telepon balik. HP Mas Dhimas dah enggak aktif. Kan kamu tahu sendiri kalo kapal sudah ke tengah laut, su
Aku pernah mendengar laki-laki akan mengalami puber ke dua. Itulah yang kurasakan sekarang. Sejak bergabung di sebuah aplikasi grup klub mobil, hari-hari yang kujalani jadi lebih semangat. Grup itu selalu ramai, sebab ada wanita yang aktif di sana, Tante Nely. Kami biasa memanggil tante untuk member perempuan dan memanggil om untuk member laki-laki. Sikap Nely yang ceria menggelitikku untuk melakukan chat pribadi dengannya. [Hai Tante Nely cantik, lagi apa sekarang … ] Tak kusangka Nely orangnya begitu cair. Dia merespon pesan demi pesan dengan guyonan yang nyerempet-nyerempet. Sebagai lelaki normal, aku semakin kecanduan untuk terus meladeni chat-nya. Namun, pada satu titik, ia menangis. Tatkala menceritakan masa lalunya. Perceraian di usia pernikahannya yang ke sebelas. Sesuatu yang tak pernah disangkanya. Nely mengaku, jika keceriaannya di grup untuk menutupi rasa galaunya ya
Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”
Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik
“Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul
Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.
“Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny
“Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati
“Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised
“Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 
“Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,