Share

Bab 6: Pernikahan Batil

Penulis: Ana Sh
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pesan yang kukirim lewat inbox kepada mantan suaminya Nely belum mendapat tanggapan. Begitu pun kepada Imelda. Sepertinya mereka adalah pasangan yang kurang aktif di dunia maya. Baru saja kubatin, tak lama kemudian ada notifikasi masuk dari messenger. Alhamdulillah dari Pak Rifki. Segera kubaca isi balasannya.

Wa’alaikumussalam.

Mohon maaf saya sudah tidak ada hubungan lagi dengan Nely. Sehingga saya pun tidak mau terlibat dengan kehidupan pribadinya lagi. Urusan saya dengan dia tidak lebih hanya karena anak-anak masih dalam pengasuhannya. Selebihnya saya tidak mau ikut campur. 

Balasan dari Pak Rifki itu sedikit membuatku putus asa. Memang benar sih dia sudah tidak ada urusan lagi dengan mantan istrinya, tetapi tidak adakah sedikit empati untukku yang sekadar ingin menggali informasi?

Maka, sebelum Imelda menjawab balasan serupa sebagaimana yang dilakukan suaminya, aku mengirimkan pesan lagi kepadanya. Berharap bisa menggerakkan hatinya agar bersedia membuka sedikit informasi tentang Nely kepadaku.

Assalamu’alaikum. 

Mbak Imelda mohon maaf saya lancang menulis cerita ini. Mengapa saya membutuhkan informasi tentang Bu Nely? Karena sosoknya begitu misterius, tiba-tiba memasuki kehidupan rumah tangga saya. Suami saya sepertinya sangat percaya kepada Bu Nely bahwa ia orang baik. Salah satunya menikah bukan karena mengincar harta. Tidak pula menuntut nafkah materi. Bahkan, Bu Nely itu siap membiayai keperluan saat bersama suami saya. Saya belum paham komitmen berumahtangga seperti apa yang akan mereka bangun. Padahal suami saya juga liburnya hanya seminggu dalam sebulan. 

Kata suami, Bu Nely sanggup datang setiap kali kapal sandar. Padahal, setelah saya telusuri akunnya, jarak tempat tinggalnya ratusan kilometer ke pelabuhan. Tentu hal itu membutuhkan akomodasi yang tidak sedikit. Belum lagi sewa hotel yang harus dibayar. Anggap saja kita ambil harga hotel yang standar, 500 ribu sekali check in. Seumpama Bu Nely merapat ke pelabuhan seminggu sekali saja, minimal biaya akomdasi dan sewa hotel yang diperlukan sudah satu juta perminggunya. Sebulan bisa empat juta. Belum lagi saat pergi ke pelabuhan tidak selalu bersama anak-anak. Artinya, pengasuhan anak-anak pun terabaikan karena ibunya sering kluyuran ke luar provinsi. Saya tidak tahu Bu Nely itu kerjanya apa, kesannya kok begitu mudah mengeluarkan uang. Itu sementara uneg-uneg yang ingin saya sampaikan. Semoga rahmat Allah selalu terlimpah untuk keluarga kita.

Wassalam.

Pesan kukirim. Semoga segera mendapat respons.

Baru dua hari menginap di rumah sakit, diri ini sudah lelah jiwa dan raga. Malam ini aku meminta ART-ku, Bik Sum, untuk menemani di sini. Hasil visitasi dari dokter bedah anak tadi, insyaallah besok siang Rheza sudah diperbolehkan pulang asalkan suhu badannya sudah normal. Sebenarnya aku mengajukan pulang malam ini, tetapi belum diizinkan karena suhu badannya masih anget-anget kuku, kisaran 37,5 derajat celcius.

Bik Sum kuminta menjaga Rheza sekarang. Rasanya aku butuh merebahkan badan sebentar. Sekadar meluruskan punggung dan memejamkan mata barang sekejap. Netra ini sudah sangat sepet. Kepala pun terasa penat. Aku berpesan pas azan Isya berkumandang agar dibangunkan.

Belum lama tertidur, betisku seperti ada yang menggoyang-goyang. Kemudian samar kudengar, “Bu Alya, ada tamu.” Mendengar itu aku langsung bangun. Di sebelah ranjang anakku sudah berdiri sosok bergamis hijau botol, pun dengan warna kerudungnya. Wajah itu mengulaskan senyum.

“Ustazah Firoh –“ sapaku sedikit kaget. Tidak menyangka beliau datang. 

“Assalamu’alaikum, maaf loh Bu Alya, saya jadi ganggu waktu istirahatnya. Ini tadi saya mau langsung pamit saja. Tapi Panjenengan malah dibangunkan.”

Mboten nopo-nopo Ustazah, lagian saya belum Isya’an. Kok tahu saya di sini?”

“Iya, tadi pagi itu mau mampir ke rumah Panjenengan, anterin buletin ini. Tapi kata tetangga, Panjenengan di sini. Mohon maaf, saya baru sempat malam ini besuknya.”

Kuterima buletin yang mengangkat judul ‘Umat Wajib Membela Kehormatan Nabi SAW’ itu.

“Sendiri saja, Ustazah?” sapaku sambil tengok kanan kiri, tetapi tidak ada siapa-siapa.

“Dianter suami tadi. Kebetulan suami ada kajian di rumah teman. Nanti selesai kajian baru dijemput.”  

Mendengar pernyataan Ustazah Firoh barusan, berarti beliau agak lama menunggu suaminya di sini. Apakah ini pertanda kalau aku harus bicara dengan orang yang paham agama tentang masalah rumah tanggaku? Secara Ustazah Firoh ini pemahaman masalah fikihnya bagus. Aku tahunya setelah beberapa kali mengikuti pengajian rutin yang diadakan di musala dekat rumahnya. Beliau sebagai pengisi tetapnya.  

Segera kuminta Bik Sum untuk keluar membeli diapersnya Rheza karena stok menipis. Sambil kuberi tahu agar menunggu dulu di lobi sampai Ustazah Firoh pulang. Aku atur demikian agar aku dan Ustazah Firoh bisa leluasa bicara nantinya. Biar nanti Bik Sum kuberi tahu sendiri masalah ini.

“Ustazah, monggo duduk dulu biar tidak capek berdiri.” Kupersilakan beliau duduk di kursi dekat jendela. Sementara aku menyeret kursi jatah pasien sebelah yang sekarang lagi tidak dihuni. 

“Ustazah, ngapunten. Apa jika kita menceritakan masalah rumah tangga itu termasuk membuka aib?”

Wanita berkacamata itu tampak berpikir sejenak. Suasana kamar hening karena Rheza masih terlelap dalam tidurnya.

“Kalo menceritakannya pada orang yang tepat dengan tujuan mencari solusi pemecahan masalah, insyaallah bukan mengumbar aib. Tapi kalo menceritakannya hanya untuk bahan rasan-rasan, ya lain lagi.”

Aku mencerna kalimat itu pelan-pelan. Setelah itu kusampaikan niatku, “Rumah tangga saya dalam masalah, Ustazah. Saya ingin mengetahui pendapat Ustazah untuk masalah ini.”

“Masalah apa?”

“Suami saya nikah lagi diam-diam.”

“Astaghfirullahal’azim.…” sahut Ustazah Firoh terlihat kaget dan langsung membetulkan letak kacamatanya. Kemudian duduknya berubah tegap yang sebelumnya bersandar di punggung kursi. Kuceritakan semuanya kepada Ustazah Firoh. Awal mula aku mengetahui masalah ini hingga sikap Nely kepadaku.

“Bismillah, semoga apa yang saya sampaikan tidak melenceng dari syariat. Setiap keluarga pasti ada ujiannya, Bu Alya. Saya diuji anak yang menderita kelainan mental dari ia lahir sampai sekarang usianya sudah belasan. Panjenengan kebetulan diuji suami yang mendua,” jelas Ustadzah Firoh.

 “Satu hal yang harus Panjenengan pegang. Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha, Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya,” lanjut Ustazah Firoh.

Aku tertunduk. Ayat itu sudah kuhafal, tetapi memaknainya masih dangkal. Baru setelah dihadapkan ujian secara langsung seperti saat ini, begitu terasa kandungannya. 

“Sampai di sini Panjenengan bisa memahami? Pertama tata mind set kita dulu ketika mendapat masalah. Dan saya berharap Panjenengan pegang ayat tadi. Jika pemahaman itu Panjenengan pegang, insyaallah nanti akan terasa ringan menjalaninya.”

“Jadi saya harus positif thinking bahwa saya mampu menyelesaikan masalah ini, Ustazah?”

“Betul. Pahami faktanya! Kemudian kembalikan kepada syariat bagaimana mestinya mengatur masalah itu. Jangan pakai standar lain! Apakah Bu Alya sudah paham fakta pernikahan yang dilakoni suami seperti apa?”

“Maksudnya, Ustazah?”

“Ya pernikahan itu kan ada rukun dan syarat sahnya. Apa Bu Alya sudah memastikan semuanya terpenuhi? Ya maaf, kita harus memastikan saja terlebih dulu. Sebab pernikahannya ‘kan dilakukan diam-diam. Khawatir ada rukun dan syarat yang diabaikan.”

“Oh, inggih…inggih….kenapa saya tidak berpikir ke sana, inggih.” Aku hanya manggut-manggut kemudian menggelengkan kepala. 

“Ya wajar. Bu Alya ‘kan masih syok. Maklum jika belum bisa berpikir jernih,” ucap Ustazah Firoh disertai seulas senyum. Seolah ia paham sekali apa yang kurasakan kini.

“Trus apa yang harus saya lakukan sekarang, Ustazah?”

“Dari rukun nikah itu coba pastikan wali dari pihak perempuannya siapa? Biasanya rawan pelanggarannya di poin ini. Jika orang tua laki-laki mempelai perempuan masih hidup, berarti harus bapaknya yang menjadi wali nikah. Baru jika bapaknya meninggal, bisa diwakilkan paman dari pihak bapak, saudara laki-laki atau jalur wali berikutnya.”

“Misal, walinya tidak memenuhi syarat itu bagaimana, Ustazah?” tanyaku berhati-hati.

“Siapapun wanita yang menjalani pernikahan namun tanpa izin dari walinya, maka status nikahnya itu batil. Konsekuensi dari pernikahan yang batil ya tidak sah, maka harus dihentikan. Jika tetap dilanjutkan dan pasangan itu melakukan hubungan suami istri, maka mereka bisa dihukumi berzina. Kecuali para pengikut Imam Hanafi yang membolehkan nikah tanpa wali.”

Astaghfirullah…bulu kudukku di tengkuk langsung berdiri mendengarkan penjelasan Ustazah Firoh barusan. Aku harus cepat-cepat mendapatkan informasi perihal masalah ini. 

Inggih Ustazah, saya sekarang mulai paham apa yang harus saya lakukan.”

“Alhamdulillah, semoga dimudahkan urusannya. Nanti jika sudah mendapatkan informasi itu secara valid, kita bahas lagi langkah yang harus Panjenengan ambil berikutnya. Oya, kalau bisa cari tahu apakah orang tua laki-laki dari istri baru suami Panjenengan itu masih hidup atau sudah meninggal. Jika masih hidup langsung didatangi saja. Silaturahmi, bicarakan masalah ini baik-baik.”

Nasihat itu kusimpan baik-baik dalam benak. Tak selang berapa lama kemudian Ustazah Firoh dijemput suaminya. Kami pun bersalaman. Hendak kucium punggung tangannya tetapi beliau menghindar. Lagi-lagi doa dan semangat meluncur dari lisannya sebelum meninggalkanku. 

Lalu ponsel di atas ranjang pasien berbunyi. Panggilan video call dari Mas Wildan. Kebetulan, aku mau menanyakan siapa wali dari pihak perempuan dalam pernikahannya dengan Nely.

“Dik, gimana kabar Rheza?”

“Masih tidur, Mas. Badannya agak anget.”

“Kata dokter gimana?”

“Masih normal, itu reaksi dari pemulihan kondisi tubuhnya sehabis dioperasi.”

“Syukurlah. Oya, kamu jangan berpikir aneh-anehlah. Pake mau meninggalkan Rheza buat jalan sama teman kantor segala. Aku enggak bisa nemani ‘kan karena kerja, bukan jalan-jalan.” Mas Wildan terus saja berkilah.

“Ya, tapi kenapa pake dianter Nely segala? Biasanya 'kan naik bus,” jawabku ketus.

“Mas enggak minta, Dik. Tiba-tiba saja dia telepon kalo sudah di depan rumah sakit.”

“Lah berarti ‘kan mas cerita alamat rumah sakit ini. Halah kalian sama saja,” hardikku.

“Sudahlah jangan bahas itu. Biar masalah dengan Nely Mas urus sendiri. Kamu enggak perlu ikut-ikutan mikir.”

“Ya mana bisa begitu, Ma,” protesku.

“Ya anggap saja dia enggak ada. Selesai ‘kan, Dik? Yang penting, tidak ada hakmu yang kukurangi.” Kuabaikan ocehannya yang ngawur itu tentang pola relasi yang harus aku jalani dengan Nely.

“Oya, pas kalian nikah wali dari pihak Nely siapa, Mas?”

“Kenapa kamu tanya itu?”

“Ya tanya saja. Di sini 'kan orang tua Mas tidak tahu apa-apa. Jangan-jangan ortunya Nely juga sama.”

“Kamu jangan cari-cari kesalahanku dengan Nely, Dik! Mas tahu kamu sulit menerima Mas nikah lagi. Tapi enggak perlu bersikap begitu ‘kan?”

“Loh, kok marah sih Mas? ‘Kan tinggal jawab saja siapa walinya. Selesai, ‘kan? Jangan sampai ya wali nikahnya Nely bukan bapaknya, sementara bapaknya masih hidup. Itu sama saja kalian berzina,” ucapku mantap.

“Kamu itu, Dik! Ditelepon enggak bikin tenang, malah ngajak ribut saja!”

Video call diakhiri sepihak oleh Mas Wildan. Dadaku bergemuruh. Mas Wildan jadi emosional sekarang. Padahal selama ini ia tak pernah bicara nada tinggi kepadaku. Aneh, mengapa pertanyaanku tadi tidak dijawabnya dengan lugas? Atau jangan-jangan pernikahan mereka memang batil?

***

[Bersambung]

Bab terkait

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 7: Bertemu Si Ulat Bulu

    Pagi ini aku harus check lock finger print ke kantor. Sejenak kukesampingkan masalah dengan Mas Wildan. Sebab menjadi abdi negara tak bisa menjadikanku seenaknya bolos kerja. Meski memang ada alasan kuat sebenarnya, anak sakit. Namun, sekarang aturan kepegawaian lebih ketat. Tidak ada izin menjaga anak sakit. Jika keadaan memaksa tidak masuk, maka harus mengajukan cuti.Saat mengajukan cuti, konsekuensinya tunjangan akan dikurangi. Belum lagi mengurus kelengkapan administrasinya cukup menyita waktu. Untungnya pimpinanku pengertian. Aku hanya diminta datang pagi untuk absen digital -finger print- lalu mengecek berkas-berkas yang perlu dibubuhi tanda tanganku. Setelah itu aku diizinkan kembali mengurus keperluan Rheza yang rencananya akan pulang dari rumah sakit hari ini. Baru nanti sore aku kembali ke kantor untuk melakukan absen pulang melalui mesin sidik jari lagi.Kendaraan kupacu lebih kencang agar bergegas kembali ke rumah sakit. Meski su

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 8: Kabar dari Imelda

    Pesan dari Nely kuabaikan. Kini balon percakapan dari Imelda kuklik. Wa’alaikumussalam. Mohon maaf Mbak Alya, aku membalasnya lama. Karena sempat beda pendapat sama Mas Rifki. Namun, aku berhasil yakinkan dia. Akhirnya diizinkan juga membalas pesan Mbak Alya. Sebelumnya terima kasih sudah berbagi cerita. Aku ikut prihatin dengan rumah tangga Mbak Alya. Meski aku enggak kaget dengan perangai Nely. Pesanku hati-hati saja menghadapinya. Dia itu tipe orang bermuka dua. Dia bisa menyamar jadi perempuan yang lembut dengan suara yang mendayu-dayu, tetapi di sisi lain dia juga bisa sangat kasar kata-katanya. Aku sudah kenyang dapat terornya. Bahkan sampai sekarang. Semoga suami Mbak Alya segera tersadarkan siapa Nely sebenarnya. Tentang kelakuan Nely yang suka meninggalkan anak-anak itu bukan perkara baru, Mbak. Dari dulu dia memang suka pergi-pergi. Itulah yang jadi salah satu alasan mengapa Mas Rifki sampai hati menceraikannya padahal

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 9: Janji Pak Danu

    “Say, kok bengong, sih!” Panggilan Mila mengembalikan kesadaranku dari lamunan. “Iya Mil, sorry. Aku hari ini mau ke rumah Nely.” “Wah…bagus itu. Sama siapa?” “Mbak sama Mas iparku.” “Kudoakan lancar ya. Oya, jangan lupa bawa KTP, KK, sama buku nikah ya!” “Buat apa? Lengkap banget! Kayak mau ngelamar kerja saja.” “Wis ta bawa saja. Siapa tahu ntar butuh. Bapakku mudin, aku sudah hafal kasus-kasus kayak gini.” “Oke, makasih ya.” “Tar saling up-date kabar ya. Kutunggu hasil dari rumahnya Nely." “Siap,” jawabku mantap. Telepon kami akhiri. Kusiapkan apa yang disarankan Mila. Saat kuambil buku nikah, tanganku gemetar. Ya Allah, sampai kapan buku ini bertahan? Kubuka isinya, terpampang fotoku dan Mas Wildan. Kupejamkan mata hingga buliran bening ini menet

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 10: Tawaran ke Paranormal

    Insiden di kapal? Untuk membunuh rasa penasaranku, Mila langsung kutelepon. “Hallo Mil, ada insiden apa?” “Nely kecebur ke laut, Say.” “Hah! Kok bisa, gimana ceritanya?” “Nah itu. Aku juga belum tahu gimana kronologisnya. Tadi jam sembilan ‘kan aku ada nego sama pemilik lahan. Jadi HP kumatikan, biar enggak ganggu.” “Lah terus kamu tahu dari siapa?” “Ya pas HP mati itu Mas Dhimas telepon. Karena enggak terhubung, akhirnya cuma kirim pesan. Ya itu tadi pesannya, Nely kecebur ke laut.” “Trus enggak ada pesan lagi?” “Enggak ada. Suamiku kalo kirim pesan pendek-pendek, Say. Males dia ngetik panjang-panjang. Mending telepon katanya.” “Trus kamu enggak coba telepon balik gitu?” “Barusan ini tadi jam 12 aku telepon balik. HP Mas Dhimas dah enggak aktif. Kan kamu tahu sendiri kalo kapal sudah ke tengah laut, su

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 11: Selfie Maut

    Aku pernah mendengar laki-laki akan mengalami puber ke dua. Itulah yang kurasakan sekarang. Sejak bergabung di sebuah aplikasi grup klub mobil, hari-hari yang kujalani jadi lebih semangat. Grup itu selalu ramai, sebab ada wanita yang aktif di sana, Tante Nely. Kami biasa memanggil tante untuk member perempuan dan memanggil om untuk member laki-laki. Sikap Nely yang ceria menggelitikku untuk melakukan chat pribadi dengannya. [Hai Tante Nely cantik, lagi apa sekarang … ] Tak kusangka Nely orangnya begitu cair. Dia merespon pesan demi pesan dengan guyonan yang nyerempet-nyerempet. Sebagai lelaki normal, aku semakin kecanduan untuk terus meladeni chat-nya. Namun, pada satu titik, ia menangis. Tatkala menceritakan masa lalunya. Perceraian di usia pernikahannya yang ke sebelas. Sesuatu yang tak pernah disangkanya. Nely mengaku, jika keceriaannya di grup untuk menutupi rasa galaunya ya

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 12: Bayang-Bayang Alya

    Ternyata takdir belum mengantarkanku menjadi janda ditinggal mati. Nely berhasil diselamatkan Mas Wildan saat tercebur ke laut. Mengapa mereka tak terseret arus saja sekalian? Beberapa kasus penumpang tercebur biasanya jarang yang tertolong. Nasib baik rupanya masih memihak kepada kedua sejoli itu. Hatiku cukup panas saat mendengar Mila bercerita bahwa Mas Wildan dan Nely terlihat begitu mesra saat berada di atas sekoci. Mereka tak malu berpelukan meski menjadi sorotan penumpang lainnya. Kupencet lagi nomor Mas Wildan. Ini panggilan video call yang ke lima. Aku ingin melihat wajah suamiku setelah upaya heroiknya menyelamatkan perempuan yang lupa mengurus anaknya itu. “Ya, hallo, Dik,” sapanya yang sedang bertelanjang dada. Rambutnya basah. Aku sempat menelan saliva. Keadaan Mas Wildan seperti ini adalah kelemahanku. Ada desira

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 13: Dampak Riba

    Aku harus segera bicara sama seseorang agar beban jiwaku bisa lebih ringan. Di rumah sebenarnya masih ada Lek Titik, tetapi beliau bukan orang yang tepat untuk kumintai pendapat. Sebab solusinya selalu mengajakku ke paranormal. Bukannya aku tak percaya ada jin dan makhluk ghaib lainnya, tetapi hatiku tak nyaman saja jika harus datang kepada mereka. Maka, saat jam istirahat kerja, kuputuskan menemui Ustazah Firoh di rumahnya. Kuceritakan informasi yang kudapat saat berkunjung ke rumah Nely. Juga janji Pak Danu yang tidak akan menerima Mas Wildan. “Kalo faktanya sudah jelas begini, mau tidak mau Bu Alya harus menjelaskan kepada suami soal wali nikah itu. Ini bentuk kasih sayang antara suami dan istri. Saat istri salah suami menasihati. Pun sebaliknya,” nasihat Ustazah Firoh. Akhirnya poin ini yang kutakutkan. Pembahasan masalah wali nikah ini sudah pernah kusinggung sebelumnya. Tahu sendiri Mas

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 14: Mulai Inkonsisten

    “Al, aku tuh dukung apa pun keputusanmu asalkan kamu itu bahagia,” ujar Mila saat aku sudah balik ke meja. Belum juga jenak duduk. Mila lagi-lagi meyerangku dengan pernyataan retorisnya. “Kamu tadi pas cuci tangan lihat cermin enggak, Say?” “Kenapa kamu jadi serius sih, Mil? Aku yang jalani saja nyantai, kok.” “Sudahlah kamu jangan pura-pura ke aku. Fisikmu beda banget Al. Kapan hari pas jenguk Rheza itu pipimu masih kelihatan berisi, lihat sekarang! Kelihatan ompong, tahu enggak! Kamu berhak bahagia, Al.” “Kamu menyuruhku bercerai, Mil? Entah kamu percaya atau tidak, saat aku memikirkan perpisahan, tiba-tiba dadaku terasa sesak,” sahutku sambil mengeluarkan napas dari mulut. “Enggak lah, aku tentu berharap kalian kembali seperti dulu, tapi aku sangsi,” sahut Mila dengan nada lemas. “Say

Bab terbaru

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 98: Kelahiran (Tamat)

    Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 97: Menebus Rasa Bersalah

    Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 96: Kematian

    “Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 95: Ekspresi Terima Kasih

    Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 94: Kunci Istikamah

    “Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 93: Raungan Ibu

    “Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 92: Firasat

    “Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 91: Hakikat Ujian

    “Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 90: Nasihat Usia 40 Tahun

    “Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,

DMCA.com Protection Status