Home / Pernikahan / Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut / Bab 7: Bertemu Si Ulat Bulu

Share

Bab 7: Bertemu Si Ulat Bulu

Author: Ana Sh
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Pagi ini aku harus check lock finger print ke kantor. Sejenak kukesampingkan masalah dengan Mas Wildan. Sebab menjadi abdi negara tak bisa menjadikanku seenaknya bolos kerja. Meski memang ada alasan kuat sebenarnya, anak sakit. Namun, sekarang aturan kepegawaian lebih ketat. Tidak ada izin menjaga anak sakit. Jika keadaan memaksa tidak masuk, maka harus mengajukan cuti.

Saat mengajukan cuti, konsekuensinya tunjangan akan dikurangi. Belum lagi mengurus kelengkapan administrasinya cukup menyita waktu. Untungnya pimpinanku pengertian. Aku hanya diminta datang pagi untuk absen digital -finger print- lalu mengecek berkas-berkas yang perlu dibubuhi tanda tanganku. Setelah itu aku diizinkan kembali mengurus keperluan Rheza yang rencananya akan pulang dari rumah sakit hari ini. Baru nanti sore aku kembali ke kantor untuk melakukan absen pulang melalui mesin sidik jari lagi.

Kendaraan kupacu lebih kencang agar bergegas kembali ke rumah sakit. Meski sudah ada kakak perempuanku dan Bik Sum di sana, tetap saja hati ini tidak tenang. Ketika sampai di rumah sakit, persetujuan dari dokter untuk kepulangan Rheza sudah didapat. Urusan administrasi dan obat dari apotek pun sudah selesai. Rheza segera kugendong menuju parkiran mobil. Kemudian kuserahkan ke Bik Sum karena aku harus memegang kemudi. Kontak mobil kumasukkan ke lubangnya. Mesin mobil menyala seiring ponselku yang berkedip-kedip tanda ada panggilan masuk. Rupanya ada telepon dari Bu Lek Titik, adiknya ibu mertua.

“Hallo Mbak Alya, ini Lek Titik.”

Inggih, Bu Lek. Ada apa?”

“Lek sekarang sebenarnya mau berangkat jenguk Rheza, tapi ---“ bicara Bu Lek terjeda. Seperti ada yang mau disampaikan tetapi ditahan.

“Rheza sudah pulang ini, Lek. Mboten usah dijenguk. Nanti saja Rheza yang main ke sana,” terangku. Aku khawatir saja beliau merasa sungkan, barangkali memang masih ada kerepotan.

“Ini loh Mbak Alya, wanita yang ngaku istrinya Mas Wildan itu loh datang ke rumah ibu mertua Sampean.”

Astaghfirullah, wanita itu lagi. Kemarin menjemput suamiku kemudian mengantar ke pelabuhan. Sekarang balik ke sini lagi, mendatangi ibu mertuaku. Benar-benar enggak punya capek orang ini.

Sampean mau ke sini ta? Kalo iya, Lek tunggu. Kalo tidak, Lek berangkat ke sana.”

Rumah tempat tinggal Bu Lek memang berhimpitan dan satu halaman dengan rumah ibu mertua. Jadi, sudah bisa dipastikan informasi ini valid. “Hm…gini saja, Lek. Panjenengan di rumah saja. Tolong pantau perkembangan di sana. Nanti saya hubungi lagi. Ini saya masih di jalan.”

Kulihat dari kaca spion dalam, kakakku memandangku penuh tanya. “Telepon dari siapa, Al?” Hmm…mati aku. Aku tak mungkin membohonginya. Tapi bercerita kepadanya sekarang juga tidak mungkin kulakukan.

“Bu Lek Titik, Mbak.” Kulihat kembali ekspresi wajahnya dari kaca spion dalam. Sepertinya dia paham kalau aku masih enggan bercerita. Kuda besi ini sudah melaju di jalan raya. Pikiranku kurang fokus saat ini. Hingga hampir saja lampu merah di perempatan tak kuhiraukan. Akibatnya mobil kurem mendadak.

“Astaghfirullah….” ucap kami hampir berbarengan. Kulirik Bik Sum mengelus dadanya.

“Kamu enggak apa-apa, Al?” Lagi-lagi pertanyaan kakak memancingku untuk bercerita lebih.

“Ya, Mbak. Maaf sedikit kurang konsentrasi. Ada masalah di rumah ibu mertua. Habis ini aku mau ke sana. Minta tolong Panjenengan tinggal dulu di rumah temani Bik Sum, inggih.” Aku putuskan untuk mendatangi Nely saja. Daripada aku di sini, tetapi pikiranku melayang ke sana. Percuma, itu membuatku tidak fokus melakukan pekerjaan. Seperti lampu merah yang nyaris kuterjang barusan.

***

Benar saja, di halaman rumah ibu mertuaku sudah terparkir mobil warna putih. Tak hanya warna, merknya pun sama persis dengan yang kutunggangi. Berarti benar kata kakak laki-lakiku kapan hari saat bilang melihat Mas Wildan naik mobil yang sama dengan mobilku. Akhirnya, aku yang mengalah parkir di pinggir jalan. Sebab pekarangan depan itu hanya cukup dihuni satu buah kendaraan roda empat. Sisanya ada pohon mangga dan jambu yang cukup memakan tempat namun membuat teduh. Rindangnya pohon di halaman sedikit menyuplai oksigen ke otakku yang mulai terasa panas.

Saat kubuka pintu mobil, terlihat beberapa tetangga melongok dari teras rumahnya. Sepertinya mereka bersiap melihat perhelatan yang seru. Apakah mereka sudah mengendus siapa wanita yang datang duluan ke rumah ibu mertuaku itu? Kuulaskan senyum kepada tetangga yang sempat bertatapan denganku.

Aku melangkah ke rumah Mbah Uti di mana Bu Lek Titik juga tinggal satu atap dengannya. Beliau yang duduk di teras segera berdiri mengetahui kedatanganku. Segera kucopot alas kaki dan mengucapkan salam kepada wanita yang sudah berusia kepala delapan itu.  Lalu kucium punggung tangannya, kulitnya yang sudah keriput terasa agak kasar.

“Sendiri ae, Nak? Yo opo kabare Rheza, sudah sehat ta? Buyut belum bisa jenguk…huk… huk….,” sapa Mbah Uti.

Inggih, Mbah. Alhamdulillah Rheza sampun sehat.” Wanita yang telah melahirkan enam anak itu kutuntun masuk ke ruang tamu. Agar angin bercampur debu jalanan tak mengganggu pernapasannya. Sebelum masuk ke rumah Mbah Uti, sekilas kulirik ruang tamu ibu mertua. Ada sekelebat bayangan orang, mungkin Nely.

“Mbak Alya, Lek gregeten sama ibu Sampean iku. Begitu ngerti wanita itu turun dari mobil bawa parsel, langsung disambut ramah. Seandainya Lek yang jadi mertua Sampean, sudah Lek usir wanita enggak punya malu itu!” Bu Lek Titik yang keluar dari kamarnya langsung emosi menceritakan situasi terakhir.

Inggih, Lek. Saya ke rumah ibu dulu.” Tanpa banyak bicara kuangkat bokongku yang tadi sempat mendarat di kursi tamu ini. Kuambil napas dalam-dalam lalu kehembuskan perlahan. Semoga diri ini cukup tenang menghadapi wanita yang telah lancang masuk dalam mahligai rumah tanggaku ini.

Cukup sepuluh langkah kakiku sudah menjejak di ruang tamu ibu mertua. “Assalamu’alaikum, Bu.” Salamku tak ada yang menjawab. Ruang tamu ini kosong. Berarti Nely sudah sangat diterima keberadaannya di rumah ini. Secara untuk ukuran tamu, dia sudah masuk ke ruang keluarga, tak hanya duduk manis di ruang tamu.

“Wa’alaikumussalam. Eh … Mbak Alya. A-ada apa kok tiba-tiba ke sini?” Ada nada gemetar mengiringi kalimat basa-basi yang barusan keluar dari lisan mertuaku. Segera kuraih tangannya dan kucium seperti biasa.

“Saya mau ketemu Nely, Bu. Dia masih di sini, ‘kan?” sahutku tegas. Baru kali ini aku bicara kepada ibu mertua dengan nada datar dan sorot mata tajam. Aku masih berdiri karena belum dipersilakan duduk.

Hmm … iya di dalam. Ayo ke dalam saja ta!” ajak ibu mertuaku. Namun, aku ingin menempatkan Nely sebagaimana tamu. Maka, kuputuskan menemuinya di sini saja. Jika aku menemuinya di ruang keluarga, itu artinya aku sudah menganggapnya menjadi bagian anggota keluarga. Aku tak sudi melakukannya.

“Di sini saja, Bu. Tolong Panjenengan panggilkan, saya tunggu.” Akhirnnya ibu mertua mempersilakanku duduk. Beliau segera berbalik ke ruang keluarga. Selang beberapa detik kemudian muncullah wanita dengan gamis nuansa putih. Tingginya kutaksir sekitar 155 cm. Masih lebih tinggi diriku. Kulitnya sawo matang layaknya kulit wanita Jawa pada umumnya. Masih lebih bening kulitku yang kuning langsat. Wajahnya bulat, seimbang dengan bola matanya yang lebar. Kata orang Jawa blolak-blolok. Mungkin itu kelebihannya secara fisik dibandingkan netraku. Aku tak punya mata selebar itu. Sepertinya dia merasa kutelanjangi dari ujung kepala hingga kaki. Namun, ia tetap tenang. Nely mengambil posisi duduk di kursi yang menghadap ke halaman, kursi yang biasa ditempati tuan rumah. Secara etika, dia sudah melewati batas sebagai sesama tamu di rumah ini.

“Mbak Nely, ya?” Kusapa ia terlebih dulu dengan embel-embel ‘mbak’ agar lebih menghargai usianya yang sepertinya lebih tua dua atau tiga tahun dariku.

“Ya, Mbak Alya, ya? Salam kenal,” sahutnya tetap dengan wajah terangkat. Aku salut dengan mentalnya yang begitu kuat. Sepertinya dia sudah terlatih benkonfrontasi dengan orang lain. Oya, bukankah mantan suaminya sudah menikah lagi? Aku yakin dia sudah berpengalaman berkonflik dengan perempuan lain. Sementara aku, baru kali ini mau ngelabrak orang.

“Apa maksudmu tiba-tiba masuk ke dalam rumah tanggaku?” tanyaku sinis.

Dia tersenyum, lalu menjawab, “Tanyakan saja sama suamimu. Dia yang lebih dulu menggodaku.”

“Oh ya? Trus kamu meladeni godaannya?”

Dia membuang muka. Sepertinya tidak menduga seranganku secepat itu. Aku memang tanpa jeda langsung merespon pernyataannya.

“Ya, kenapa? Aku merasa nyaman dengan perhatian yang diberikan Mas Wildan. Dia pun merasakan hal yang sama,” selorohnya diiringi seringai di wajah. Semakin memperlihatkan wataknya, licik.

“Sejak kapan?”

Oh...apa suamimu tak pernah cerita sama sekali tentang diriku? Kami kenal di klub mobil.” Nely tetap tenang menjawab setiap pertanyaanku.

Astaga, memoriku langsung teringat momen kisaran tiga bulan lalu. Saat Mas Wildan meminta izin untuk bergabung di klub mobil agar menambah teman dan informasi tentang seluk beluk kendaraan yang kami miliki. Dan aku mengiyakannya saja waktu itu. Karena pikirku anggota klub mobil biasanya bapak-bapak. Enggak tahu kalau terselip Si Ulat Bulu juga di dalamnya.

Memoriku kembali terbuka. Mas Wildan juga pernah mengenalkan anggota klub yang sudah bergabung terlebih dahulu. Salah satunya si Nely ini. Saat itu ditunjukkan gambar Nely dengan dua anak perempuannya. Aku hanya meliriknya sekilas. Lalu terlontar dari mulut suamiku, “Ini loh Dik, kasihan. Janda anak dua ditinggal suaminya karena kepincut perawan.”

Loh kok tahu kalo kepincut perawan?” tanyaku spontan kala itu.

“Sudah umum di grup, semua sudah tahu ceritanya. Sering jadi bahan bully-an juga.”

Aku pun merespon biasa saja. Karena merasa tidak kenal. Juga percaya enggak mungkin Mas Wildan tergoda janda dua anak itu. Namun, tak kusangka rasa kasihan itu menjadi awal mula petaka.    

Oh ya, aku ingat. Kamu janda yang ditinggal suamimu nikah lagi sama perawan itu, ‘kan? Ka-si-han! Trus kamu kesepian? Akhirnya mencari pelampiasan?” Kulontarkan pertanyaan retoris yang pasti mengusik harga diri Nely. Itu jika dia masih merasa punya kehormatan. Kulihat wajah Nely mulai bersungut-sungut.

Lalu kutambahi, “Sama laki-laki beristri lagi. Sepertinya kamu sudah siap disebut rondo gatel.” Kulontarkan semua kesimpulan ini dengan nada yang mantap. Hingga membuat Nely muntab. Lalu ia bangun dari kursinya dan menuju ke arahku. Tangannya hampir saja meraih paksa kerudungku. Namun, tiba-tiba Bu Lek Titik muncul menjadi tamengku.

Eh…eh…eh....jangan sentuh keponakanku! Sampean itu tamu di sini kok ngajak gelut.” Lek Titik segera menghempaskan kasar tangan Nely yang hampir menyambar kerudungku.

“Kalo enggak terima disebut rondo gatel, cari laki-laki single sana! Bukan suami orang.” Lek Titik masih meluapkan emosinya. Rupanya tadi suaraku terdengar ke luar. Sampai Lek Titik mengetahui apa yang kuucapkan. Ibu mertua akhirnya juga ikut ke ruang tamu mendengar ada keributan di sini.

“Aku ya pernah jadi janda, Mbak. Tapi masih bisa jaga sikap. Enggak kayak Sampean. Buktinya aku sekarang ya menikah, tapi sama duda. Nikah resmi. Enggak kayak Sampean, nikah siri sama suami orang lagi. Jelek-jelekin janda lainnya saja.” Lek Titik masih saja mengata-ngatai Nely.

Sementara Nely menggerakkan bibirnya ke samping. Kata orang Jawa mencep. Tanda ia tak terima atas tuduhan yang diberikan kepadanya.

“Sudah…sudah…jangan ribut di sini! Ibu malu.” Ibu mertuaku tergugu. Nely mencoba menenangkannya. Hm…pintar sekali dia mencari peluang. Sementara itu, gawaiku berbunyi. Kakakku telepon menyuruh segera kembali karena Rheza menangis mencariku.

“Keributan ini enggak akan terjadi Yu, jika wanita ini langsung diusir,” ucap Lek Titik menyalahkan ibu mertuaku.

“Sudah Lek, sudah. Biarkan saja jika ibu mau menerimanya.”

Aku pun segera berdiri dan pamit kepada ibu mertua yang masih duduk terisak. Sementara Nely kulewati begitu saja. Saat aku menuju teras, tetangga tampak membubarkan diri. Mereka habis dapat hiburan live sinetron rupanya.

Saat kuambil kontak di dalam tas, tampak ponselku menyala. Ada balon percakapan dari Imelda, semoga kabar baik. Kemudian juga ada notifikasi pesan dari Nely. Kuklik pesan dari Nely terlebih dahulu.

[Tunggu pembalasanku]

Duh...mau apa lagi ini Si Ulat Bulu.

***

[Bersambung]

Related chapters

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 8: Kabar dari Imelda

    Pesan dari Nely kuabaikan. Kini balon percakapan dari Imelda kuklik. Wa’alaikumussalam. Mohon maaf Mbak Alya, aku membalasnya lama. Karena sempat beda pendapat sama Mas Rifki. Namun, aku berhasil yakinkan dia. Akhirnya diizinkan juga membalas pesan Mbak Alya. Sebelumnya terima kasih sudah berbagi cerita. Aku ikut prihatin dengan rumah tangga Mbak Alya. Meski aku enggak kaget dengan perangai Nely. Pesanku hati-hati saja menghadapinya. Dia itu tipe orang bermuka dua. Dia bisa menyamar jadi perempuan yang lembut dengan suara yang mendayu-dayu, tetapi di sisi lain dia juga bisa sangat kasar kata-katanya. Aku sudah kenyang dapat terornya. Bahkan sampai sekarang. Semoga suami Mbak Alya segera tersadarkan siapa Nely sebenarnya. Tentang kelakuan Nely yang suka meninggalkan anak-anak itu bukan perkara baru, Mbak. Dari dulu dia memang suka pergi-pergi. Itulah yang jadi salah satu alasan mengapa Mas Rifki sampai hati menceraikannya padahal

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 9: Janji Pak Danu

    “Say, kok bengong, sih!” Panggilan Mila mengembalikan kesadaranku dari lamunan. “Iya Mil, sorry. Aku hari ini mau ke rumah Nely.” “Wah…bagus itu. Sama siapa?” “Mbak sama Mas iparku.” “Kudoakan lancar ya. Oya, jangan lupa bawa KTP, KK, sama buku nikah ya!” “Buat apa? Lengkap banget! Kayak mau ngelamar kerja saja.” “Wis ta bawa saja. Siapa tahu ntar butuh. Bapakku mudin, aku sudah hafal kasus-kasus kayak gini.” “Oke, makasih ya.” “Tar saling up-date kabar ya. Kutunggu hasil dari rumahnya Nely." “Siap,” jawabku mantap. Telepon kami akhiri. Kusiapkan apa yang disarankan Mila. Saat kuambil buku nikah, tanganku gemetar. Ya Allah, sampai kapan buku ini bertahan? Kubuka isinya, terpampang fotoku dan Mas Wildan. Kupejamkan mata hingga buliran bening ini menet

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 10: Tawaran ke Paranormal

    Insiden di kapal? Untuk membunuh rasa penasaranku, Mila langsung kutelepon. “Hallo Mil, ada insiden apa?” “Nely kecebur ke laut, Say.” “Hah! Kok bisa, gimana ceritanya?” “Nah itu. Aku juga belum tahu gimana kronologisnya. Tadi jam sembilan ‘kan aku ada nego sama pemilik lahan. Jadi HP kumatikan, biar enggak ganggu.” “Lah terus kamu tahu dari siapa?” “Ya pas HP mati itu Mas Dhimas telepon. Karena enggak terhubung, akhirnya cuma kirim pesan. Ya itu tadi pesannya, Nely kecebur ke laut.” “Trus enggak ada pesan lagi?” “Enggak ada. Suamiku kalo kirim pesan pendek-pendek, Say. Males dia ngetik panjang-panjang. Mending telepon katanya.” “Trus kamu enggak coba telepon balik gitu?” “Barusan ini tadi jam 12 aku telepon balik. HP Mas Dhimas dah enggak aktif. Kan kamu tahu sendiri kalo kapal sudah ke tengah laut, su

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 11: Selfie Maut

    Aku pernah mendengar laki-laki akan mengalami puber ke dua. Itulah yang kurasakan sekarang. Sejak bergabung di sebuah aplikasi grup klub mobil, hari-hari yang kujalani jadi lebih semangat. Grup itu selalu ramai, sebab ada wanita yang aktif di sana, Tante Nely. Kami biasa memanggil tante untuk member perempuan dan memanggil om untuk member laki-laki. Sikap Nely yang ceria menggelitikku untuk melakukan chat pribadi dengannya. [Hai Tante Nely cantik, lagi apa sekarang … ] Tak kusangka Nely orangnya begitu cair. Dia merespon pesan demi pesan dengan guyonan yang nyerempet-nyerempet. Sebagai lelaki normal, aku semakin kecanduan untuk terus meladeni chat-nya. Namun, pada satu titik, ia menangis. Tatkala menceritakan masa lalunya. Perceraian di usia pernikahannya yang ke sebelas. Sesuatu yang tak pernah disangkanya. Nely mengaku, jika keceriaannya di grup untuk menutupi rasa galaunya ya

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 12: Bayang-Bayang Alya

    Ternyata takdir belum mengantarkanku menjadi janda ditinggal mati. Nely berhasil diselamatkan Mas Wildan saat tercebur ke laut. Mengapa mereka tak terseret arus saja sekalian? Beberapa kasus penumpang tercebur biasanya jarang yang tertolong. Nasib baik rupanya masih memihak kepada kedua sejoli itu. Hatiku cukup panas saat mendengar Mila bercerita bahwa Mas Wildan dan Nely terlihat begitu mesra saat berada di atas sekoci. Mereka tak malu berpelukan meski menjadi sorotan penumpang lainnya. Kupencet lagi nomor Mas Wildan. Ini panggilan video call yang ke lima. Aku ingin melihat wajah suamiku setelah upaya heroiknya menyelamatkan perempuan yang lupa mengurus anaknya itu. “Ya, hallo, Dik,” sapanya yang sedang bertelanjang dada. Rambutnya basah. Aku sempat menelan saliva. Keadaan Mas Wildan seperti ini adalah kelemahanku. Ada desira

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 13: Dampak Riba

    Aku harus segera bicara sama seseorang agar beban jiwaku bisa lebih ringan. Di rumah sebenarnya masih ada Lek Titik, tetapi beliau bukan orang yang tepat untuk kumintai pendapat. Sebab solusinya selalu mengajakku ke paranormal. Bukannya aku tak percaya ada jin dan makhluk ghaib lainnya, tetapi hatiku tak nyaman saja jika harus datang kepada mereka. Maka, saat jam istirahat kerja, kuputuskan menemui Ustazah Firoh di rumahnya. Kuceritakan informasi yang kudapat saat berkunjung ke rumah Nely. Juga janji Pak Danu yang tidak akan menerima Mas Wildan. “Kalo faktanya sudah jelas begini, mau tidak mau Bu Alya harus menjelaskan kepada suami soal wali nikah itu. Ini bentuk kasih sayang antara suami dan istri. Saat istri salah suami menasihati. Pun sebaliknya,” nasihat Ustazah Firoh. Akhirnya poin ini yang kutakutkan. Pembahasan masalah wali nikah ini sudah pernah kusinggung sebelumnya. Tahu sendiri Mas

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 14: Mulai Inkonsisten

    “Al, aku tuh dukung apa pun keputusanmu asalkan kamu itu bahagia,” ujar Mila saat aku sudah balik ke meja. Belum juga jenak duduk. Mila lagi-lagi meyerangku dengan pernyataan retorisnya. “Kamu tadi pas cuci tangan lihat cermin enggak, Say?” “Kenapa kamu jadi serius sih, Mil? Aku yang jalani saja nyantai, kok.” “Sudahlah kamu jangan pura-pura ke aku. Fisikmu beda banget Al. Kapan hari pas jenguk Rheza itu pipimu masih kelihatan berisi, lihat sekarang! Kelihatan ompong, tahu enggak! Kamu berhak bahagia, Al.” “Kamu menyuruhku bercerai, Mil? Entah kamu percaya atau tidak, saat aku memikirkan perpisahan, tiba-tiba dadaku terasa sesak,” sahutku sambil mengeluarkan napas dari mulut. “Enggak lah, aku tentu berharap kalian kembali seperti dulu, tapi aku sangsi,” sahut Mila dengan nada lemas. “Say

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 15: Menghadap Pak Carik

    Setelah semua tanggung jawab di kantor bisa dikondisikan, juga izin internal kepada atasan sudah dikantongi, akhirnya kuda besi ini mengantarkanku ke kota tempat tinggalnya Mila. Baru kali ini aku nekat ke luar kota menyetir sendiri. Biasanya lariku paling banter ke rumah ibu dan mertua yang masih sekabupaten. Berbekal bantuan aplikasi pencari lokasi, aku tidak mengalami kesulitan menemukan letak rumah Mila dari share lokasi yang dikirimnya. Ini untuk pertama kali aku bertandang ke rumahnya. Sebuah bangunan baru didirikan di atas lahan cukup luas sebab berada di lingkungan perkampungan. Bahkan dekat dengan kebun tebu. Owner property tetapi rumahnya tidak di kawasan perumahan elite. Rencananya kendaraanku akan ditinggal di rumah Mila. Sementara untuk ke kantor kelurahan kami akan memakai kendaraannya Mila karena akan dia

Latest chapter

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 98: Kelahiran (Tamat)

    Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 97: Menebus Rasa Bersalah

    Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 96: Kematian

    “Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 95: Ekspresi Terima Kasih

    Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 94: Kunci Istikamah

    “Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 93: Raungan Ibu

    “Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 92: Firasat

    “Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 91: Hakikat Ujian

    “Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 90: Nasihat Usia 40 Tahun

    “Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,

DMCA.com Protection Status