Pesan dari Nely kuabaikan. Kini balon percakapan dari Imelda kuklik.
Wa’alaikumussalam.
Mohon maaf Mbak Alya, aku membalasnya lama. Karena sempat beda pendapat sama Mas Rifki. Namun, aku berhasil yakinkan dia. Akhirnya diizinkan juga membalas pesan Mbak Alya. Sebelumnya terima kasih sudah berbagi cerita. Aku ikut prihatin dengan rumah tangga Mbak Alya. Meski aku enggak kaget dengan perangai Nely. Pesanku hati-hati saja menghadapinya. Dia itu tipe orang bermuka dua. Dia bisa menyamar jadi perempuan yang lembut dengan suara yang mendayu-dayu, tetapi di sisi lain dia juga bisa sangat kasar kata-katanya. Aku sudah kenyang dapat terornya. Bahkan sampai sekarang. Semoga suami Mbak Alya segera tersadarkan siapa Nely sebenarnya.
Tentang kelakuan Nely yang suka meninggalkan anak-anak itu bukan perkara baru, Mbak. Dari dulu dia memang suka pergi-pergi. Itulah yang jadi salah satu alasan mengapa Mas Rifki sampai hati menceraikannya padahal sudah punya anak dua. Alasan lain yang lebih parah ada, lain kali saja aku ceritakan. Kalau bicara ke orang lain, Nely bilang kalau suaminya kurebut. Tak jarang orang akan percaya begitu saja tanpa tahu masalah yang ada di dalam rumah tangganya.
Aku juga sering dapat laporan dari gurunya anak-anak di sekolah. Pas waktu menjemput pulang sekolah sering terlambat. Kemudian tiba-tiba ada tukang ojek yang menjemput tanpa ada konfirmasi lebih dulu. Tentu itu menjadikan gurunya khawatir, sehingga lebih memilih mengantarnya sendiri. Kalau terjadi penculikan nanti pihak sekolah yang disalahkan.
Oh ya, ini rencananya pengiriman jatah bulanan anak-anak ke depannya akan kami alihkan ke Mbah kakungnya anak-anak saja. Selama ini kami kirim ke Nely langsung. Setelah cerita dari Mbak Alya, kami merasa khawatir jatah anak-anak digunakan untuk urusan lainnya. Ada pikiran juga untuk mengambil hak asuh anak-anak jika memang Nely sering mengabaikan mereka.
Terimakasih Mbak atas informasinya. Semoga Mbak Alya diberi kemudahan menghadapi ujian ini.
Wassalam.
Alhamdulillah, Imelda bersedia membuka komunikasi. Ngeri membaca informasi tentang Nely darinya. Nanti akan kusampaikan kepada Mas Wildan, semoga ia sadar siapa wanita yang sedang dihadapinya.
***
“Alhamdulillah, itu bunda sudah datang,” seru kakakku kepada Rheza yang sedang rewel.
“Ya sayang, maaf ya bunda tadi masih ada perlu.” Kucoba mengambil alih Rheza setelah cuci tangan.
“Sepertinya dia ngantuk Al, kamu keloni saja biar tidur!” saran kakakku. Akhirnya, kubopong Rheza ke kamar sambil nenen. Aku memang memunyai prinsip anak-anak harus minum ASI sampai usia dua tahun. Menjadi wanita bekerja tak boleh mengantarkanku mengabaikan hak anak tentang asupan makanan terbaiknya ini. Sebulan lagi Rheza baru kusapih. Tetapi sepertinya air susuku sekarang sudah tak terlalu bancar. Mungkin karena selera makanku turun drastis akhir–akhir ini. Bisa jadi juga aku stres sehingga menghambat keluarnya.
Benar, Rheza tenyata ngantuk. Hanya saja dia tidak bisa memulai tidur, makanya rewel. Lima menit aku keloni dia sudah terlelap. Sementara itu kakak perempuanku sepertinya sudah siap menanyakan masalah yang yang ingin diketahuinya dari tadi.
“Al, ada masalah apa di rumah mertuamu?”
Tuh kan benar dugaanku. Dia langsung to the point ke inti masalah. Aku sudah tak bisa mengelak dari pertanyaan kakakku. Maka, kuajak ia pindah ke kamar sebelah agar tak mengganggu Rheza yang baru saja terlelap. Kucerikatan semuanya dari awal hingga peristiwa barusan di rumah ibu mertua.
“Edan itu si Wildan, hidupnya baru enak dikit saja sudah banyak tingkah.” Sudah kuduga respon kakakku pasti berang. Apalagi Mas Wildan ada tanggungan utang padanya.
“Oya, bilang ke suamimu itu Al, suruh lunasi utangnya sekarang juga. Cash enggak pake dicicil.” Inilah yang membuat kakakku enggak terima. Mas Wildan masih punya pinjaman untuk tambahan biaya sekolahnya beberapa waktu lalu. Utang belum lunas, sudah bikin ulah.
Layaknya pekerjaan di bidang lain, di kapal pun anak buah kapal –ABK, yang mau naik jabatan juga harus sekolah lagi. Selama sekolah tentu tak mendapat gaji. Di sinilah kebutuhan membengkak sementara pemasukan berkurang. Sehingga kami terpaksa utang untuk mencukupi kebutuhan. Kami berjanji akan mengangsurnya setiap bulan saat gajian. Namun, karena kakakku geram dengan tingkah Mas Wildan, ia meminta pinjamannya dikembalikan sekaligus. Sekarang juga.
“Enggak ada yang melarang orang nikah lagi. Tapi kalo sudah pantas. Lah nyukupi kebutuhan anak istri saja masih kau rewangi bekerja, kok nambah istri. Wis keblinger bojomu iku, Al.” Tuduhan kakakku itu tak berlebihan. Aku jadi enggak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluargaku yang lain jika tahu masalah ini. Kakakku yang terkenal kalem saja bisa sebegini emosinya. Lantas bagaimana Bapak dan Ibuku?
“Oya, kamu tahu alamat wanita itu?”
“Sepertinya di Instagramnya ada foto yang disertai lokasi rumanhnya, Mbak.” Segera kubuka ponsel. Kuklik aplikasi berlogo kamera dengan background warna degradasi ungu ke jingga itu. Begitu ketemu akunnya Nely, segera ku-scroll foto-foto yang telah di-upload-nya. Kutunjukkan gambar itu kepada kakakku.
“Oalah, arek’e biasa. Masih cakepan kamu. Sudah jangan minder. Besok kita datangi rumahnya.”
“Tapi di sini cuma tertera desa, kecamatan, dan kabupatennya, Mbak.”
“Ya dicarilah, Al. Nanti kusampaikan ke Masmu. Sepertinya dia punya kenalan dari daerah itu. Nanti diajak sekalian buat bantu gantiin nyopir kalo Masmu capek.”
Jarak rumahku ke rumah Nely bisa dibilang tidak dekat. Meski masih satu provinsi, tetapi harus melewati tiga kabupaten lagi baru sampai. Tak kusangka kakakku punya pikiran sejauh itu. Aku memang mendapat saran dari Ustazah Firoh kemarin agar memastikan model pernikahan yang dilakoni Mas Wildan dan Nely. Gayung bersambut kakakku mengajak mencari alamatnya Nely. Syukurlah, aku jadi enggak perlu pusing mengajak orang lain. Bertepatan besok itu hari Sabtu, sehingga aku libur kerja.
“Kita nanti ke sana ngomong apa saja, Mbak?” Jujur aku masih belum tergambar apa yang akan kami lakukan di sana nanti.
“Ya diniatkan silaturahmi ke orang tuanya. Kita ngomong baik-baiklah. Sekiranya kondisi ini bisa diperbaiki. Syukur-syukur jika orang tuanya juga nggenah. Biar bisa nasihati anaknya. Aku enggak tega lihat anakmu masih kecil-kecil trus kehilangan bapaknya.”
Kata-kata kakakku membuatku terenyuh. Tadi dia begitu emosi mendengar Mas Wildan nikah lagi, kini masih berusaha memperbaiki kondisi. Bisa jadi kalau orang lain langsung memintaku bercerai.
“Sudah sore, aku balik dulu. Jangan lupa banyak berdoa. Minta sama Allah diberi kekuatan, abot masalah iki.”
“Inggih, Mbak. Matur nuwun, ngapunten ngrepoti Panjenengan,” ucapku dari hati terdalam.
“Kamu itu adikku, Al. Masak aku tega biarkan kamu kena masalah sendirian. Sudah enggak usah sungkan gitu.” Kakakku lalu pamit. Dia memelukku erat dan kurasakan air matanya jatuh membasahi kerudungku.
“Wis ya Al, yang kuat!” pesan kakakku dengan matanya yang basah, menjadikanku ikut berkaca-kaca. Bukan karena masalah yang menimpa, tetapi rasa pedulinya yang ingin keluargaku tetap utuh.
Aku bingung harus mencari informasi kepada siapa untuk menemukan alamat lengkap Nely besok. Lalu aku teringat Imelda. Barangkali dia pernah ke rumah Nely sehingga bisa sedikit memberi gambaran. Segera kukirim pesan kepadanya. Kubilang kalau aku besok mau ke rumah Nely. Alhamdulillah, pesan segera dibalas. Malah dia menyertakan nomor ponsel agar kami bisa lebih leluasa berbicara. Tanpa menunggu lama, nomor yang dia berikan langsung kusimpan. Segera kutelepon Imelda. Panggilan segera diangkat. Dari suara salam yang diucapkan, memang kentara jika dia masih muda.
“Ya Mbak Alya, aku bisa bantu apa?” sapanya dengan logat melayu yang cukup kental.
“Iya, Mbak. Saya besok berencana ke rumah Bu Nely sama kakak saya. Barangkali Mbak Imelda pernah ke sana. Bisa minta tolong kasih petunjuk.”
Imelda lalu menyebutkan gang yang harus kumasuki dari jalan provinsi. Katanya rumahnya hanya berjarak dua ratus meteran dari jalan raya dan menghadap ke utara.
“Oya, Mbak. Kalo karakter orang tuanya Bu Nely gimana, ya? Biar saya siap-siap juga hadapi mereka.”
“Kalo ibunya hampir sama sikapnya kayak Nely, Mbak. Dulu sebelum Mas Rifki kenal sama aku, mereka sudah ada masalah sebenarnya. Nely sudah mau dicerai karena dia ketahuan punya hubungan dengan laki-laki lain saat ditinggal Mas Rifki tugas ke luar negeri. Tapi enggak jadi cerai karena ibunya ngancam mau bunuh diri.”
Astaghfirullah…benarkah cerita ini? Kudengarkan dengan seksama agar tak ada informasi yang terlewat. Imelda masih melanjutkan ceritanya.
“Kalo bapaknya lebih enak, Mbak. Pak Danu itu lebih bijak nyikapi masalah. Karena beliau juga ketua RT saat itu. Jadi kalo Nely salah, ya diperlakukan salah. Enggak kayak ibunya, anaknya salah masih saja dibela.”
“Oh … gitu ya, Mbak. Makasih banyak infonya.”
“Oh ya, satu lagi. Pak Danu sama istrinya tahun lalu pergi haji, semoga hati mereka masih bersih menyikapi ini. Jujur aku kaget Nely enggak berubah. Malah semakin menjadi.”
“Kalo menurut Mbak Imelda, kira-kira ortunya Bu Nely tahu tidak jika anaknya nikah lagi?”
“Feeling-ku mereka enggak tahu, Mbak. Enggak mungkin sepertinya mereka setuju dengan pernikahan siri. Sementara Pak Danu tokoh masyarakat yang cukup disegani di kampungnya. Beliau juga pensiunan pegawai negeri.”
“Ya, Mbak. Terima kasih ya infonya. Sangat membantu.”
“Sama-sama, semoga berhasil ya. Oya, satu lagi. Nely itu enggak punya kerjaan, Mbak. Dia sekarang pegang uang karena semua tabungan selama jadi istrinya Mas Rifki dia yang pegang. Mungkin sekarang uangnya masih banyak, makanya bisa foya-foya. Kami saja yang di sini menerima banyak tagihan utang dari teman-temannya. Pokoknya hati-hati ya, Mbak! Jangan percaya dia enggak butuh materi dari suami Mbak Alya. Itu strategi dia saja. Dia itu pinter sandiwara.”
Informasi dari Imelda ini poin yang sangat penting. Telepon dengan Imelda sudah kuakhiri dengan mengucap banyak terima kasih. Kebuka semua kedokmu sekarang, Nel. Kalau begini kondisimu enggak perlu lama kau akan kalang kabut. Ternyata dia tak se-wow yang kukira. Kupikir saja dia benar-benar wanita kaya yang enggak butuh harta. Ternyata sama saja. Janda yang cari penghidupan.
Baru saja kutaruh gawai di atas meja, panggilan telepon masuk. Ternyata Mas Wildan. Tumben tidak pakai video call. Segera kugeser ikon telepon warna hijau. Tanpa salam dia langsung bicara.
“Dik, kamu habis buat keributan ya di rumahnya Ibu?” hardiknya. Dari intonasinya dia terlihat sangat marah.
“Kata siapa?”
“Ibu barusan telepon, nangis-nangis ke aku. Ya ampun, Dik. Enggak bisa ta kamu tenang hadapi masalah ini?”
“Mana bisa aku tenang, Mas. Sementara suamiku mulai berani ganjen menggoda janda,” teriakku.
“Kamu ‘kan yang mulai pertengkaran itu? Coba kamu enggak nuduh Nely macam-macam. Pasti kalian enggak akan ribut di rumah Ibu,” berangnya. Mas Wildan menghindar dari pernyataanku barusan. Dia malah melimpahkan kesalahan kepadaku.
“Ya Allah, Mas. Sebegitunya kamu bela Nely?” Tangisku kini pecah.
“Ya enggak bela. Dia ‘kan berkunjung baik-baik ke Ibu. Tiba-tiba kamu datang bikin gaduh. Pasti Lek Titik ya yang ngabari?”
Aku diam saja tak menjawab pertanyaan yang dia sendiri sudah tahu jawabannya itu.
“Sudahlah jangan ikut-ikutan Lek Titik. Dari dulu Lek Titik sama Ibu itu kurang akur. Makanya suka kalo lihat keluarga kita hancur.”
Tak kuhiraukan masalah Lek Titik dengan ibu mertua. Lalu kualihkan pada kabar yang lebih penting. “Mas, aku barusan telepon istrinya Pak Rifki, mantan suaminya Nely. Ternyata Nely enggak sebaik yang kamu ceritakan, Mas. Dia ---“ bicaraku terpaksa terjeda sebab Mas Wildan memotongnya.
“Kamu itu, Dik. Cari informasi ke istrinya Rifki. Ya jelas saja pasti jelek-jelekin Nely,” sangkalnya.
“Ya enggak gitu, Mas. Nely itu enggak kaya Mas. Dia banyak utangnya.”
Lalu terdengar bunyi panggilan diakhiri. Entah Mas Wildan mendengar atau tidak kalimat terakhirku barusan. Namun sepertinya dia mendengar, makanya panggilan langsung ditutupnya sepihak. Mata hatimu benar-benar telah tertutup, Mas.
***
Pagi ini aku bersiap ke rumah Nely. Sebenarnya aku gerogi karena tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Apa dia akan memaki-makiku juga di rumahnya nanti? Sambil menunggu kakakku datang kubuat kopi agar pikiranku lebih rileks. Namun, niat itu kuurungkan sebab ada panggilan dari Mila.
“Ya, Mil. Ada apa?”
“Gila wanita itu, Say. Barusan suamiku telepon, katanya wanita itu mau ikut layar.”
“Hah, yang bener? Tahu dari mana?” Aku masih tak percaya dengan kabar ini.
“Iya bener, Say. Katanya Mas Dhimas, Pak Wildan lagi ngurusin free pass buat Nely. Itu, tiket gratis buat anggota keluarga ABK.”
Hm…nekat juga dia, banyak utang saja belagu. Mendengar kabar Nely mau ikut layar, hatiku gado-gado rasanya. Nyesek karena dia sama Mas Wildan, tetapi ada untungnya juga. Nanti pas aku ke rumahnya enggak perlu melihat wajahnya yang menyebalkan.
***
.
.
[Bersambung]
Makasih teman-teman sudah singgah baca kisahnya Alya. Sudi kiranya tinggalin komentar ya. Biar tambah semangat nambah babnya. Love You all.
“Say, kok bengong, sih!” Panggilan Mila mengembalikan kesadaranku dari lamunan. “Iya Mil, sorry. Aku hari ini mau ke rumah Nely.” “Wah…bagus itu. Sama siapa?” “Mbak sama Mas iparku.” “Kudoakan lancar ya. Oya, jangan lupa bawa KTP, KK, sama buku nikah ya!” “Buat apa? Lengkap banget! Kayak mau ngelamar kerja saja.” “Wis ta bawa saja. Siapa tahu ntar butuh. Bapakku mudin, aku sudah hafal kasus-kasus kayak gini.” “Oke, makasih ya.” “Tar saling up-date kabar ya. Kutunggu hasil dari rumahnya Nely." “Siap,” jawabku mantap. Telepon kami akhiri. Kusiapkan apa yang disarankan Mila. Saat kuambil buku nikah, tanganku gemetar. Ya Allah, sampai kapan buku ini bertahan? Kubuka isinya, terpampang fotoku dan Mas Wildan. Kupejamkan mata hingga buliran bening ini menet
Insiden di kapal? Untuk membunuh rasa penasaranku, Mila langsung kutelepon. “Hallo Mil, ada insiden apa?” “Nely kecebur ke laut, Say.” “Hah! Kok bisa, gimana ceritanya?” “Nah itu. Aku juga belum tahu gimana kronologisnya. Tadi jam sembilan ‘kan aku ada nego sama pemilik lahan. Jadi HP kumatikan, biar enggak ganggu.” “Lah terus kamu tahu dari siapa?” “Ya pas HP mati itu Mas Dhimas telepon. Karena enggak terhubung, akhirnya cuma kirim pesan. Ya itu tadi pesannya, Nely kecebur ke laut.” “Trus enggak ada pesan lagi?” “Enggak ada. Suamiku kalo kirim pesan pendek-pendek, Say. Males dia ngetik panjang-panjang. Mending telepon katanya.” “Trus kamu enggak coba telepon balik gitu?” “Barusan ini tadi jam 12 aku telepon balik. HP Mas Dhimas dah enggak aktif. Kan kamu tahu sendiri kalo kapal sudah ke tengah laut, su
Aku pernah mendengar laki-laki akan mengalami puber ke dua. Itulah yang kurasakan sekarang. Sejak bergabung di sebuah aplikasi grup klub mobil, hari-hari yang kujalani jadi lebih semangat. Grup itu selalu ramai, sebab ada wanita yang aktif di sana, Tante Nely. Kami biasa memanggil tante untuk member perempuan dan memanggil om untuk member laki-laki. Sikap Nely yang ceria menggelitikku untuk melakukan chat pribadi dengannya. [Hai Tante Nely cantik, lagi apa sekarang … ] Tak kusangka Nely orangnya begitu cair. Dia merespon pesan demi pesan dengan guyonan yang nyerempet-nyerempet. Sebagai lelaki normal, aku semakin kecanduan untuk terus meladeni chat-nya. Namun, pada satu titik, ia menangis. Tatkala menceritakan masa lalunya. Perceraian di usia pernikahannya yang ke sebelas. Sesuatu yang tak pernah disangkanya. Nely mengaku, jika keceriaannya di grup untuk menutupi rasa galaunya ya
Ternyata takdir belum mengantarkanku menjadi janda ditinggal mati. Nely berhasil diselamatkan Mas Wildan saat tercebur ke laut. Mengapa mereka tak terseret arus saja sekalian? Beberapa kasus penumpang tercebur biasanya jarang yang tertolong. Nasib baik rupanya masih memihak kepada kedua sejoli itu. Hatiku cukup panas saat mendengar Mila bercerita bahwa Mas Wildan dan Nely terlihat begitu mesra saat berada di atas sekoci. Mereka tak malu berpelukan meski menjadi sorotan penumpang lainnya. Kupencet lagi nomor Mas Wildan. Ini panggilan video call yang ke lima. Aku ingin melihat wajah suamiku setelah upaya heroiknya menyelamatkan perempuan yang lupa mengurus anaknya itu. “Ya, hallo, Dik,” sapanya yang sedang bertelanjang dada. Rambutnya basah. Aku sempat menelan saliva. Keadaan Mas Wildan seperti ini adalah kelemahanku. Ada desira
Aku harus segera bicara sama seseorang agar beban jiwaku bisa lebih ringan. Di rumah sebenarnya masih ada Lek Titik, tetapi beliau bukan orang yang tepat untuk kumintai pendapat. Sebab solusinya selalu mengajakku ke paranormal. Bukannya aku tak percaya ada jin dan makhluk ghaib lainnya, tetapi hatiku tak nyaman saja jika harus datang kepada mereka. Maka, saat jam istirahat kerja, kuputuskan menemui Ustazah Firoh di rumahnya. Kuceritakan informasi yang kudapat saat berkunjung ke rumah Nely. Juga janji Pak Danu yang tidak akan menerima Mas Wildan. “Kalo faktanya sudah jelas begini, mau tidak mau Bu Alya harus menjelaskan kepada suami soal wali nikah itu. Ini bentuk kasih sayang antara suami dan istri. Saat istri salah suami menasihati. Pun sebaliknya,” nasihat Ustazah Firoh. Akhirnya poin ini yang kutakutkan. Pembahasan masalah wali nikah ini sudah pernah kusinggung sebelumnya. Tahu sendiri Mas
“Al, aku tuh dukung apa pun keputusanmu asalkan kamu itu bahagia,” ujar Mila saat aku sudah balik ke meja. Belum juga jenak duduk. Mila lagi-lagi meyerangku dengan pernyataan retorisnya. “Kamu tadi pas cuci tangan lihat cermin enggak, Say?” “Kenapa kamu jadi serius sih, Mil? Aku yang jalani saja nyantai, kok.” “Sudahlah kamu jangan pura-pura ke aku. Fisikmu beda banget Al. Kapan hari pas jenguk Rheza itu pipimu masih kelihatan berisi, lihat sekarang! Kelihatan ompong, tahu enggak! Kamu berhak bahagia, Al.” “Kamu menyuruhku bercerai, Mil? Entah kamu percaya atau tidak, saat aku memikirkan perpisahan, tiba-tiba dadaku terasa sesak,” sahutku sambil mengeluarkan napas dari mulut. “Enggak lah, aku tentu berharap kalian kembali seperti dulu, tapi aku sangsi,” sahut Mila dengan nada lemas. “Say
Setelah semua tanggung jawab di kantor bisa dikondisikan, juga izin internal kepada atasan sudah dikantongi, akhirnya kuda besi ini mengantarkanku ke kota tempat tinggalnya Mila. Baru kali ini aku nekat ke luar kota menyetir sendiri. Biasanya lariku paling banter ke rumah ibu dan mertua yang masih sekabupaten. Berbekal bantuan aplikasi pencari lokasi, aku tidak mengalami kesulitan menemukan letak rumah Mila dari share lokasi yang dikirimnya. Ini untuk pertama kali aku bertandang ke rumahnya. Sebuah bangunan baru didirikan di atas lahan cukup luas sebab berada di lingkungan perkampungan. Bahkan dekat dengan kebun tebu. Owner property tetapi rumahnya tidak di kawasan perumahan elite. Rencananya kendaraanku akan ditinggal di rumah Mila. Sementara untuk ke kantor kelurahan kami akan memakai kendaraannya Mila karena akan dia
Tepat di penghujung senja, aku tiba di rumah. Pukul sepuluh malam nanti dijadwalkan kapal akan tiba. Aku terima saran Mila untuk menghubungi Bos Anton.[Assalamu’alaikum. Bos Anton, saya Alya istrinya Pak Wildan. Mohon maaf ke depannya mungkin saya akan sering mengganggu karena akan sering bertanya]Pesan masih centang satu. Berarti di kapal belum ada sinyal. Tak lupa kukirim pesan juga ke Mas Wildan.[Mas, jadi liburnya? Turun jam berapa …]Kutanyakan hal ini agar bisa mengontrol pergerakannya. Kira-kira dia sampai di rumahnya Nely jam berapa. Pesan ke Mas Wildan juga masih centang satu. Akhirnya, kuputuskan istirahat karena badan ini terasa begitu lelah meski jam di dinding belum genap menunjukkan pukul sembilan malam. Suara notifikasi pesan membangunkanku di tengah malam. Kulihat ponsel ada pesan dari Mas Wildan dan Bos Anton. Kubaca dulu pesan dari Mas Wildan
Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”
Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik
“Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul
Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.
“Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny
“Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati
“Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised
“Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 
“Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,