Sepanjang perjalanan Keira terus memikirkan memar yang ada di dahinya, tapi seperti biasa dia mulai memperhatikan rute jalan dan mengingat baik-baik di otaknya.
Dari halaman rumah, sedan merah itu berbelok ke kanan, melintasi jalanan yang terasa teduh dengan pohon akasia tua yang menghiasi sisi kanan dan kiri jalan.
Keira ingat bahwa itu adalah jalan yang dilaluinya kemarin saat pulang dan pergi ke pusat perbelanjaan.
Mobil itu melewati tanjakan kecil di ujung jembatan yang menghiasi sebuah lapangan basket dan segera berbelok ke kiri melintasi sebuah rumah sakit umum.
Meluncur lurus melalui jalan raya dengan dua jalur besar yang berpusat pada sebuah tugu di perempatan yang lebar.
Tidak sampai lima menit dari perempatan sedan merah itu memasuki sebuah halaman yang cukup luas, dan berhenti di tempat parkir sebuah gedung besar dan sepertinya sangat tua.
Tapi Keira sedikit terdiam saat melihat taman kota yang kemarin dilihatnya, tak begitu jauh dari gedung saat ini ia berhenti.
“Jadi gedung yang kemarin kulihat ini adalah gedung sekolahku yang baru!” seru Keira dalam hati.
Keira menurunkan sebuah koper besar berwarna abu abu tua dan sebuah ransel hitam dari bagasi mobilnya.
Sekilas ia menatap sekeliling bangunan gedung tua nan megah yang menghadap ke selatan itu, dan melihat sebuah tulisan besar yang tertera di atas dinding gedung bagian depan.
“Pinewood International School”
“Nama yang aneh!” gumam Keira yang segera mengalihkan pandangannya ke sekeliling halaman depan sekolah.
Akhirnya ia menyadari bahwa ibunya telah berjalan meninggalkannya. Dengan segera Keira menarik kopernya yang berat dan mengejar ibunya yang segera berhenti saat mengetahui putrinya itu masih tertinggal jauh di belakang.
Mereka berdua berjalan melalui koridor sepi dengan dinding yang dipenuhi berbagai macam majalah dinding karya siswa-siswi sekolah itu dan berhenti di depan sebuah ruangan yang terlihat sangat bersih dan rapi.
Seorang pria paruh baya keluar dengan sebuah senyuman ramah dari dalam ruangan itu, sesaat setelah Wendy mengetukkan pintu kacanya.
“Wendy Alamery!”
“Apa kabar?” sambut pria yang berusia lebih dari 50 tahun itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dan mempersilakan kedua tamunya masuk.
“Baik, Pak!” sahut Wendy.
“Silahkan duduk!”
“Selamat ya! Walau kau mengikuti ujian masuk di SMP mu, tapi kamu bisa mendapat nilai yang memuaskan, tak sia-sia usaha ibumu!” puji pria itu menatap Keira dengan cermat dari atas kacamatanya yang berbingkai tebal.
“Iya, Keira perkenalkan ini Pak Frans, dia adalah kepala sekolah Pinewood!”
“Keira Atlantic!” seru gadis yang memakai skinny jeans panjang dan sweater merah berlengan panjang yang menutupi kemeja putih yang hanya kelihatan kerahnya saja, sembari mengulurkan tangannya dengan sopan.
Setelah itu Pak Frans mengajak Wendy masuk ke dalam kantornya yang ada di balik dinding penyekat tempat Keira duduk, entah apa yang mereka bicarakan di dalam.
Namun tidak lama kemudian mereka berdua keluar dan menemui Keira masih terdiam menunggu sambil celingukan.
“Kalau begitu saya bisa meninggalkan dia sekarang?” tanya Wendy tampak tergesa-gesa.
“Silahkan! Tapi mungkin ada sesuatu yang ingin kalian bicarakan dulu sebelum pertemuan kalian kembali bulan depan!” seru Kepala Sekolah itu.
“Bulan depan???” ulang Keira terkejut.
“Ya, murid tahun pertama diijinkan pulang satu bulan sekali, dan di tahun kedua akan diijinkan pulang dua minggu sekali, sedangkan ditahun ketiga kamu bisa pulang satu minggu sekali.” Lanjut kepala Sekolah dengan tenang pada Keira yang sepertinya sangat terkejut.
“Tapi ibu bilang …,” keluh Keira.
“Maafkan ibu nak! Ibu lupa!” sesal Wendy sembari mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tangannya tanpa mempedulikan kekesalan Keira.
“Ini untukmu!”
“Selamat Ulang Tahun!” Wendy memberikan sebuah benda yang terbungkus rapi oleh kertas kado berwarna biru laut, warna favorit Keira.
Melihat hal itu Keira akhirnya berusaha tersenyum bahagia meski kesal, karena selalu tak didengarkan. Tapi tak seperti biasanya Wendy memeluk putrinya erat-erat sebagai salam perpisahan.
“Ibu!” seru Keira yang merasa malu mendapat pelukan dari ibunya di depan orang yang baru dikenalnya.
“Mari, saya akan mengantarkanmu ke asrama!” ajak Kepala sekolah yang memiliki kepala bulat dengan rambut tipisnya yang berwarna putih.
Gedung sekolah Pinewood terdiri dari dua buah bangunan gedung, gedung selatan dan gedung utara. Gedung selatan adalah gedung yang digunakan sebagai pusat belajar mengajar dan aaktivitas siang para siswa.
Sedangkan gedung utara yang terletak di belakang digunakan sebagai asrama semua siswa, yang dibagi menjadi dua, sebelah barat untuk putra dan sebelah timur untuk asrama putri.
Gedung utara dan selatan itu dibangun secara terpisah, jadi untuk memasukinya, harus melalui sebuah jembatan yang menghubungkan kedua gedung itu seperti jembatan penyebrangan.
Ada tiga buah jembatan yang menghubungkan masing-masing ruang kelas 1 yang ada di lantai pertama dengan asrama kelas 1, jembatan tengah menghubungkan kelas 2 dengan asrama kelas 2, dan jembatan ketiga yang paling atas menghubungkan kelas 3 dengan asrama kelas 3.
Sehingga masing-masing kelas dan asrama di sekolah ini tidak tercampur menjadi satu, dan juga tidak bisa saling memasuki gedung kelas lain tanpa mempunyai ijin dari kepala sekolah, itupun hanya bisa menggunakan lift yang dijaga oleh seorang penjaga yang sangat ketat.
Satu lagi hal menarik yang ada dalam sekolah itu adalah di antara gedung utara dan selatan terdapat sebuah taman yang sangat luas dengan pohon cemara yang menjulang tinggi hingga pertengahan lantai kelas 2.
Boleh dibilang itu mungkin hal yang paling menyejukkan yang bisa dinikmati oleh siswa-siswi Pinewood dari gedung kelas dan jendela asrama mereka.
Keira melangkah melewati sebuah aula besar dan ruang-ruang guru di lantai dasar gedung selatan, langkahnya terhenti di depan pintu antik sebuah lift tua.
“Saat awal pekan biasanya lift ini akan bekerja keras untuk menaikkan siswa-siswi yang datang dari rumah mereka, dan sebaliknya saat akhir pekan lift ini kembali bekerja keras untuk menurunkan siswa-siswi yang akan pulang ke rumahnya, tapi untung saja hari ini tidak terlalu ramai, karena sebagian siswa sudah datang dari kemarin.”
Kepala Sekolah itu menjelaskan sembari masuk kedalam lift yang ukurannya 2X3 meter, dan menekan tombol merah yang menunjukan angka 2.
“Besar sekali!” seru Keira kagum melihat lift yang lebih besar dari ukuran biasa yang pernah ia masuki.
“Karena alasan tadi lift ini di buat lebih besar, agar bisa menampung lebih banyak muatan!” lanjut Kepala Sekolah itu sembari berpegangan di dinding lift yang mengeluarkan bunyi aneh saat meluncur, mungkin karena sudah terlalu tua.
Pintu lift yang dipenuhi dengan hiasan ukiran itu terbuka lebar persis di depan sebuah lorong panjang, Keira kembali mengikuti langkah kaki pria tua yang tetap bersemangat walaupun jalannya lamban, ia memasuki lorong lurus yang atapnya tertutup rapat.
“Ini jembatan?” tanya Keira saat melalui lorong yang lebarnya tidak lebih dari 3 meter, ia menatap ke bawah melalui samping lorong yang dihalangi oleh jeruji besi tua yang kokoh.
“Para murid biasanya menyebut ini dengan jembatan satu, karena ini adalah jembatan untuk anak kelas satu, dan persis di atas ada dua jembatan lagi, jembatan dua dan tiga.”
“Jadi selama satu bulan ini aku akan ada di sini?”
“Tepat sekali, tapi kau bisa turun jika kelasmu berolahraga dan jika badanmu merasa sakit, karena ruang olahraga dan ruang kesehatan hanya ada di lantai dasar, dan di sudut asrama ada ruang bersantai!” jawab Pak Frans pada Keira yang bisa tercengang.
“Ini adalah asramamu selama satu tahun ini, untuk putri di jalur timur dan putra di jalur barat, dan meja panjang itu adalah meja makan kalian, untuk putra duduk di sebelah barat dan putri di sebelah timur,” tegas Pak Frans yang sepertinya sudah mulai lelah menjadi pemandu siswi baru itu.
“Kamu bawa kartu pelajarmu?” tanya Kepala Sekolah pada Keira yang segera saja mengaduk-aduk isi ranselnya, dan mengeluarkan sebuah kartu kecil berwarna putih yang baru kemarin didapatkan dari ibunya dan menyerahkannya pada pria di depannya yang sudah tak sabar menanti.
“221 B! Itu kamarmu, masuklah kesana dan temui teman- temanmu!” Pak Frans menunjuk sebuah kamar bernomor 221.
"Selamat menjadi bagian dari Pinewood!" Ungkap Pak Frans menepuk bahu Keira yang sedikit kaget.
Setelah Keira mangangguk, ia pun segera pergi meninggalkan siswi barunya seorang diri di tengah ruangan besar yang terbelah oleh sebuah meja panjang dan dua buah kursi panjang yang ukurannya lebih dari sepuluh meter.
Ruang asrama sangat besar, di sebelah barat dan timur saling berhadapan merupakan kamar yang lengkap dengan satu buah kamar mandi, dan lima buah ranjang kayu. Semua kamar di setiap asrama berjumlah 20 kamar.
“Permisi!” seru Keira tangannya mencoba memutar handle pintu yang terbuat dari kayu jati asli yang kokoh, perlahan daun pintu terbuka.
Diilihatnya empat orang gadis remaja yang sedang menatapnya tanpa sebuah senyuman, hal itu membuat Keira mematung dengan tangan yang masih memegang koper.
“Kamu Keira Atlantic kan, perkenalkan aku Liny Pratama, panggil saja Liny!” suara antusias itu akhirnya mampu memecah keheningan kamar.
Keira mencoba tersenyum dan menjabat tangan gadis mungil berkulit putih, dengan penampilan sedikit nyentrik. Kacamata berbingkai putih tebal menghiasi matanya yang sipit, rambutnya yang pendek dipenuhi karet, tapi gadis itu terlihat lembut dan baik.
“Dia pikir samudra Atlantik? Ngapain sih, kenalan sama anak luar!” cibir seorang gadis yang berdiri di samping Liny.
“Vero! Kamu nggak sopan banget sih! Diakan satu kamar sama kita, jadi jaga sikapmu!” ujar Liny pada seorang gadis bertubuh tinggi dengan ukuran pinggang yang sangat minimalis.
Ia bak model, gadis ini memiliki rambut yang hitam berkilau, yang setelah beberapa menit kemudian diketahui bahwa namanya adalah Veronica Ramlan.
Vero sepertinya tak menghiraukan ucapan Liny, ia ngeloyor pergi dan naik ke atas kasurnya yang terletak di urutan ke dua dari ujung dan segera menutupkan sebuah majalah fashion di mukanya.
“Lupain aja! Dia memang begitu, oia kasurmu yang B kan?” lanjut Liny menunjuk kasur ke-2 dari pintu masuk.
“Makasih yah!” sahut Keira ragu, matanya tertuju pada dua anak perempuan kembar yang kini tengah menatapnya dengan tatapan tak begitu membuat nyaman.
“Ini kasurmu, dan mereka berdua adalah si kembar Fane dan Fani Elisabeth!”
“Salam kenal!” Keira lagi-lagi mencoba tersenyum menatap dua anak kembar dengan rambut lurus panjang yang tergerai di punggungnya.
Tapi mereka segera memalingkan mukanya dengan jutek dan tak mempedulikan Keira yang hanya bisa menghembuskan nafasnya lirih.
“Jangan diambil hati mereka bertiga memang begitu! Kamu bisa membenahi barang-barang mu di lemari itu!” Liny segera mengarahkan telunjuknya pada sebuah lemari yang terletak satu meter dari ujung ranjang Keira.
Lima buah lemari berukuran sedang berada tepat di hadapan masing-masing ranjang.
“Setelah itu kita bisa keluar dan melihat-lihat tempat ini sebelum petugas jaga datang, kamu maukan?” ajak Liny ramah.
“Petugas jaga?”
“Iya, ada dua orang petugas yang akan berjaga di setiap asrama mulai pukul 12:00 WIB.”
Keira selesai membenahi semua barang bawaannya tepat pukul 11:00 WIB, dan segera keluar dari kamar bersama Liny.
Di ruang makan masih seperti tadi, sangat sepi. Dua anak itu melangkah keluar menyusuri jembatan satu, dan sampai di koridor kelas satu yang jumlah kelasnya ada lima kelas, ditambah dengan ruang pendukung pelajaran yang lengkap.
Liny menarik sebuah bangku kayu di depan ruang kelas, mereka berdua segera duduk menghadap ke utara menatap jendela-jendela kamar yang menghiasi dinding asrama di seberang.
Tapi pandangannya sedikit tertutupi oleh pohon cemara yang tumbuh menjulang melintasi kelas satu.
Keira beranjak dari kursinya dan meraih daun cemara yang jaraknya tak ada satu meter dari pagar besi yang terpasang di pinggiran koridor kelas.
“Oia, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Keira sedikit ragu.
"Kenapa Vero menyebutku anak luar?”
“Dia memang begitu, kamu tahukan kalo ‘Pinewood International School’ adalah jenis sekolah parallel, sehingga sebagian besar muridnya setelah lulus dari TK, SD Pinewood mereka akan melanjutkan di SMP Pinewood, dan begitu juga setelah lulus SMP mereka akan meneruskan pendidikannya di SMA Pinewood,"
"Nah karena Pinewood dikenal sebagai salah satu sekolah elit, jadi beberapa anak seperti Vero, si kembar Fane dan Fani merasa lebih berkelas dari pada mereka yang masuk ke Pinewood saat SMA seperti kamu,"
"Tapi mereka sepertinya iri saja padamu,”
“Iri?”
“Ya, kamu tahukan bagi anak luar sulit sekali untuk menembus ujian masuk Pinewood yang super ketat, karena jumlah murid yang diterima hanya 20 orang dan kabarnya Keira masuk lima besar waktu ujian masuk kemarin,” Liny berkata sembari tersenyum meledek pada Keira.
“Itu…,”
“Dari mana kamu tahu?” tanya Keira malu.
“Kakak ku! Dia ketua Murid Perwakilan Kelas (MPK) di sini, jadi aku bisa tahu hal-hal penting darinya, lagi pula SMP Pinewood jaraknya nggak jauh dari sini.”
“Oia, kamu berasal dari Dyeng kan?” lanjut Liny antusias.
“Iya!”
“Orang tuaku dulu sempat tinggal di sana, karena saat kakakku lahir hingga usia 2 tahun mereka tinggal di Dyeng sebelum akhirnya pindah ke Ibu Kota dan melahirkan aku!
“Tapi, aku merasa asing di sini, kaliankan sudah saling kenal dan berteman sejak SD, bahkan mungkin TK.”
“Tenang saja, berteman itu bukan ditentukan oleh waktu, tapi ketulusan hati,” ungkap Liny dengan bijak.
“Dan aku rasa namamu sangat unik. Oia, dahimu itu kenapa?” tanya Liny sambil mengintip dahi Keira yang masih sedikit memar karena semalam.
“Ini…, ini…, terjatuh semalam!” jawab Keira gugup, tak mungkin ia menceritakan kejadian tak masuk akal itu pada Liny, bisa-bisa dia akan mengira dirinya kurang waras.
Keira memilih diam, ia merasakan sepoi angin segar menyibak rambutnya yang tergerai seperti biasa. Mungkin ia mulai akan berpikir memotong poni atau menjepitnya agar tak menusuk mata.
Krriiiiinggggg!!!! Bel di ruang makan menjerit, Keira dan Liny segera berlari menuju ruang makan yang terletak di depan kamar asrama, yang telah siap digunakan. Dua meja kayu terbentang di tengah-tengah, disusun berurutan menjadi satu, di atas meja itu telah terhidang makanan yang cukup untuk disantap oleh lebih dari 100 orang. Ruang makan yang satu jam lalu sepi, berubah 180 derajat. Semua penghuni kamar barat dan timur keluar, dengan tertib para murid laki-laki menduduki bangku sebelah barat dan duduk menghadap ke arah timur. Sedangkan murid perempuan duduk di sebelah timur dan menghadap ke arah barat. Sepertinya petugas ruang makan telah berhasil menertibkan makan siang. Keira merasa bingung, tapi sepertinya yang lain tidak. Karena sistem asrama ini sudah biasa bagi SMP dan SMA Pinewood. Jadi tentu saja mereka yang mayoritas berasal dari SMP Pinewood sudah terb
Semua siswa kelas satu telah berkumpul di ruangan yang tadi siang digunakan untuk makan, tapi sayang di meja panjang itu saat ini belum tersaji makanan satu pun. Di ujung meja seorang wanita paruh baya sudah memegang sebuah mikrofon dan sepertinya ia akan mulai berbicara. “Perkenalkan nama saya Berta, kalian bisa memanggil saya Bu Berta, saya adalah pengawas yang ditugaskan menjadi Kepala Asrama kelas satu." "Jadi kalau kalian mempunyai keluhan atau masalah, kalian bisa membicarakannya pada saya, dan jika kalian melanggar peraturan kalian akan berhadapan dengan saya dan mendapatkan sebuah hukuman." "Ada banyak jenis hukuman yang bisa diberikan, dan hukuman terparah adalah ‘Kamar Tertutup’." "Untuk menghindari hukuman itu ada beberapa peraturan yang harus kalian patuhi selama menjadi penghuni asrama ‘Pinewood International School'." Bu Berta berbicara t
Krrrriiiiiingggggg!!! Seolah tiada lelah, bel di depan pintu asrama selalu menjerit kencang membangunkan seisi kamar asrama untuk memulai awal tahun ajaran baru. Di setiap kamar terlihat tak teratur, karena kamar mandi hanya ada satu di setiap kamar, maka lima anak harus saling bergantian, tapi bagaimana jika semua anak ingin mandi lebih dulu. “Aku yang pertama!” seru Vero pada Liny dan Keira yang bangun lebih awal. “Liny bangun lebih dulu dari kita Ve!” tegas Keira. “Tunggu! Sebaiknya kita mengundinya saja!” sambung Fane dan Fani bersamaan. “Lebih baik menggunakan urutan kartu pelajar saja!” ujar Liny dengan rambutnya yang acak-acakkan. “Terserah deh!” sahut Vero lemas menerima hasil akhir yang memutuskan Liny untuk berada di urutan mandi pertama, kedua Keira, ketiga Fane dan Fani yang memutuskan mandi bersama, dan ya
Setelah makan siang selesai, Keira seorang diri masuk ke kamarnya, karena Liny harus melaksanakan tugas piketnya. Di dalam kamar kembali dilihatnya Vero yang tengil bersama dua anak kembar yang makin mengacaukan suasana. “Akhirnya si pencari perhatian datang juga!” Ucap Vero sinis dengan hidungnya yang sedikit dinaikkan, tapi Keira tak menghiraukan ucapan teman sekamarnya itu. Ia segera meraih rok seragamnya yang tergantung di dalam lemari pakaian dan tak lama kemudian diambilnya selembar kertas dari dalam saku rok merah itu. “Kamu itu manusia atau batu sih!” bentak Vero menghampiri Keira di depan lemarinya, dan kali ini Keira tak bisa diam. Saat tiba-tiba tangan Vero tiba-tiba menarik liontin dari rantai kalung Keira yang menjuntai di luar bajunya, tapi semuanya sia-sia. Liontin itu cukup kuat untuk ditarik dari rantai tali kalu
Malam yang dingin membuat semua penghuni asrama terlelap di balik selimut tebalnya, hanya Keira yang masih tetap terjaga. Ia mengendap-endap menyusuri ruang makan yang gelap, menuju ruang santai yang dipenuhi lukisan, beberapa komik dan sofa-sofa kecil di sekeliling meja billiard berwarna hijau. Kakinya yang beralaskan sneakers mulai menapaki lantai ubin di ruang santai, Keira mengenakan celana panjang berbahan cotton biru navy dan sweater panjang dari wol berwarna biru laut, ia segera menaiki kursi kayu yang terletak di depan meja di sudut ruangan. “Aku harus mencobanya!” perintah Keira pada dirinya sendiri. “Aku harus membuktikan, apakah ini teleportasi atau hanya mimpi saja,” tegasnya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Beberapa detik kemudian Keira memejamkan matanya dan berusaha berkonsentrasi untuk mengingat sebua
Waktu telah menunjukkan pukul 17:55 WIB, acara pembukaan tahun ajaran baru akan segera dimulai. Aula Pinewood lebih ramai dan meriah dari tadi siang, murid kelas satu yang memakai seragam merah berbaris di bagian timur. D tengah aula untuk murid kelas dua yang mengenakan seragam serupa dengan kelas satu hanya saja warnanya biru tua. Sedangkan murid kelas tiga berbaris di bagian barat dengan mengenakan seragam berwarna hitam. Seragam di SMA Pinewood memang warnanya berbeda dari kelas satu sampai tiga, tapi motif dan modelnya sama, dan itu mempermudah siswa mencari teman angkatan mereka. “Kakakmu mana, Lin?” tanya Rion pada Liny di tengah barisan. “Entahlah, dari tadi aku belum melihatnya!” sahut Liny celingukan kesana-kemari. “Kenapa dari tadi siang kau diam terus, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
Malam kian larut, tetapi ruang makan asrama kelas satu masih dipenuhi murid yang kelihatannya sudah mulai ngantuk dan lelah setelah mengikuti acara pembukaan tahun ajaran baru.Ada beberapa anak yang terlihat kesal, geram dan mulai menggerutu sendiri sembari menggosipkan Keira.“Kemana saja sih anak itu!” seru Vero kesal dan menatap Liny yang menundukkan kepalanya. Liny enggan menanggapi teman sekamarnya. Ia dan Rion gagal mengejar Keira yang berlari dan menghilang saat keluar dari aula.“Semuanya harap tenang! Kita akan menunggunya lima menit lagi, jika dia tak datang juga, maka dia akan diskorsing dari sekolah!” ungkap Bu Berta dari mejanya.“Tapi Bu…,” ujar Rion yang bangkit dari kursinya dan berusaha membela Keira yang entah berada dimana sekarang.“Rion! Sebaiknya kamu diam!” sergah Bu Berta membuat Rion terduduk kembali di bangkunya.“Skorsing?” ulan
Hari senin pagi selalu membuat semua siswa sibuk, mulai bangun pagi, kembali belajar, dan Keira akan keluar dari kamar yang membuat tubuhnya terasa kotor penuh debu.“Keira! Kamu boleh keluar!” perintah Bu Berta membuka pintu besi yang dipenuhi karat, tapi ia segera menyipitkan matanya saat melihat Keira yang sudah berdiri di tengah kamar dengan badan yang tetap segar meski sedikit kusam berdebu.“Terima kasih, Bu!” sahut Keira sembari menyembunyikan barang-barang bawaannya di balik bajunya.“Keira! Apa kamu benar-benar kuat untuk berjalan sendiri?” selidik Bu Berta pada Keira yang tidak diberi makan sejak sabtu.“Aku bahkan dapat berlari, jika itu harus!” sahut Keira dengan tenang dan sombong.“Terserah apa katamu, sebaiknya cepat mandi dan bergabung bersama teman-temanmu di ruang makan!” perintah Bu Berta yang segera berjalan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan.“Mana mungkin kuberitahu, bahwa aku masuk ke dapur dan memakan makanan dari dalam kulkas selama dua mal
Gedung sekolah siang itu sangat sepi, tak ada murid yang berlalu lalang di sepanjang koridor dan asrama. Peristiwa malam akhir bulan itu sepertinya masih mencekam seisi sekolah, bayangkan saja seorang guru dibunuh di taman. Bahkan jika mau dilihat dengan cermat, di hamparan rumput masih terlihat ceceran darah Mrs. Ivanna yang telah mengering namun belum hilang karena hujan belum juga turun sejak kemarin.Dari koridor kelas Keira bisa melihat kepala sekolah yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang asrama sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.“Dari mana saja kamu?” tanya Pak Frans dengan khawatir pada Keira yang baru saja muncul di hadapannya.“Saya,”“Cepat ikut ke kantor saya,” belum sempat Keira menyelesaikan ucapannya, Pak Frans sudah memotongnya.Dengan langkah yang berat, akhirnya Keira mengikuti perintah Pak Frans. Sampailah ia di ruang kepala sekolah, ini kedua kalinya ia memasuki ruangan itu setelah yang pertama dulu bersama ibunya, tepatnya satu
“APA???”“Apa maksudmu, kamu tahu hal ini?” selidik Keira.“Aku tidak bisa lagi menutupi ini darimu, ibuku bukan seorang guru!”“Maksudmu?”“Dia hanya menyamar menjadi guru pengganti di sekolah ini, karena salah satu kasus yang sedang diinvestigasinya!” beber Evan.“Kalau memang begitu, jadi siapa ibumu itu sebenarnya?”“Dari dulu aku benci pekerjaan ibuku, aku benci mempunyai ibu seperti dia! Dia tidak pernah jadi ibu yang baik! Dia selalu pergi dan selalu tidak ada saat aku butuhkan!”“Maksudnya???” tanya Keira bingung.“Ibuku seorang kriminolog! Mirip-mirip detektif, ibuku sering sekali membantu kasus kepolisian!”“Aku selalu merasa takut saat ia pergi melakukan investigasi! Aku takut dia tak akan pernah kembali! Aku takut penyelidikan yang dilakukannya menemui jalan buntu dan akhirnya semua itu memang terjadi! Ibuku meninggal dalam tugasnya yang konyol!” Evan tak bisa lagi menahan matanya yang mulai berkaca-kaca.“Aku tahu kau sangat menyayangi ibumu,” ungkap Keira sembari menepuk
DILEMA SEORANG ANAK“Evan!”“Untunglah, akhirnya aku menemukanmu juga!” seru Keira terlihat lega, ia segera menarik lengan Evan tanpa ragu.“LEPAS!!!” bentak Evan mengagetkan Keira.“Kamu jangan sok akrab deh! Kamu yang ngebuat semua ini kan!”“Asal kamu tahu saja ya, Kei! Aku tidak akan ngebiarin pembunuh ibuku berkeliaran bebas begitu saja!” lanjut Evan segera berlalu masuk ke asrama.“TUNGGU!” seru Keira menghentikan langkah Evan.“Kamu tidak berhak menghakimi aku begitu saja, dan kayaknya kamu benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ibumu sendiri ya?” “OK, kita memang tidak akrab dan kita baru kenal, tapi aku mohon dengarkan aku kali ini saja.” Ungkap Keira di ujung jembatan, ia memastikan tak ada orang yang menguping.Evan tak bisa melanjutkan langkahnya saat mendengar perkataan Keira itu, ia segera berbalik kembali menghampiri Keira yang kini memundurkan langkahnya beberapa inchi.“Maksudmu?” tanya Evan menatap Keira dengan tatapan menantang.“Ya! Apa kamu tahu arti semua ini?”
Hari libur telah usai, Keira menghabiskan waktu pelariannya di dalam rumah tua yang terasa dingin dan menyesakkannya. Senin pagi ini rencananya, ia akan kembali ke Pinewood dan memulai awal bulan keduanya di sekolah itu dengan dirinya yang baru. “Apa aku harus ke sana? Bagaimana jika polisi-polisi itu menangkapku?” “Aduuhh, kenapa ragu lagi?” “Hadapi saja! Lagi pula aku tidak bersalah!” tegas Keira bersiap melakukan ‘Teleportasi’. Entah apa yang sudah menunggu Keira di Pinewood, masih setengah jam lagi waktu pelajaran dimulai. Dalam beberapa menit saja Keira sudah berada di dalam kamar asrama, untung saja tak ada seorang pun di dalam kamar saat itu. Mungkin semua anak sedang sarapan di ruang makan dan masih ada waktu jika ia hendak kembali ke rumahnya seperti seorang pengecut, tapi tidak. Keira segera melangkah dari sudut kamar menuju lemarinya, ia mengambil seragamnya yang terlipat rapih di dalam lemari dan segera menggunakannya. Tapi sepertinya ada yang aneh, dengan asrama it
Mata bulatnya segera terpejam, dan pikirannya mulai bekerja untuk mengingat kembali jalanan yang dilaluinya saat menuju ke kantor polisi ini.Meskipun samar-samar tapi setidaknya Keira masih mengingat dengan baik rute perjalanan dari sekolah menuju rumahnya.“Tok...Tok...Tok...!” ketukan keras di depan pintu ruang penahanan mengagetkan Keira, dan seketika itu juga Keira membuka matanya.“Aaaa...!” jerit Keira saat sebuah sepeda merobohkan tubuhnya di tengah jalan raya.“Kalo nyebrang yang bener dong!”“Tidak punya mata ya!” bentak seorang bocah lelaki kecil yang bertengger di atas sepedanya.Keira hanya terperangah melihat bocah lelaki itu berlalu mengayuh sepedanya kembali tanpa memberikan sedikitpun bantuan pada dirinya yang tumbang.“Dasar bocil!” gerutu Keira beranjak dari jalan raya yang sepi dengan pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan raya itu.“Teleportasi yang tidak sempurna,” keluh Keira sembari menatap rumahnya yang masih berada seratus meter dari tempatnya berdiri.
Keira tak bisa berbuat apapun saat polisi membawanya dalam kasus kematian Mrs. Ivanna, dan hal itu bertambah berat saat diketahui bahwa kamera CCTV di gedung sekolah sejak semalam tak berfungsi.Keira masih tak percaya dengan kejadian tadi malam, di dalam mobil polisi ia hanya terdiam dan memandang lurus ke depan melihat jalanan yang dilaluinya dan merasakan darah yang mulai mengering di telapak tangannya.“Apa yang kamu lakukan gurumu?” tanya seorang polisi berbadan kurus kering dengan wajah dingin yang mirip anak macan.“Apa Anda menduuhku membunuhnya!” sahut Keira di depan meja polisi .“Apa karena dendam?” lanjut polisi itu dengan wajah menghina.“Sudah saya katakan, saya tidak melakukan apa yang Anda pikirkan!” jawab Keira dingin.“Lalu kenapa kamu berada di samping mayat wanita itu, dan jika kamu tak membunuhnya kenapa kamu tak melaporkannya pada polisi?""Lagipula hanya orang yang berada di dalam sekolah itu yang bisa melakukan pembunuhan itu, karena sekolah itu sangat tertutup
Mimpi dan kenyataan memang seringkali berbanding terbalik, tapi tak jarang juga mimpi menjadi kenyataan meski tak diharapkan. Bisa apa manusia jika itu terjadi? Akhir bulan ini tak ada yang bisa Keira lakukan, selain terus menyantap makan siangnya dan melihat para penghuni asrama sedikit demi sedikit berkurang. Tentu saja Keira merasa iri melihat teman- temannya pulang ke rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menghabiskan hari liburnya di dalam asrama. Dua hari libur yang berlalu pasti akan terasa seperti dua windu bai Keira “Kei! Aku pulang dulu ya, lusa aku akan kembali kesini dan membawa oleh-oleh untukmu!” “Hati-hati Lin!” “Kamu juga, jaga dirimu baik-baik!” Keira hanya mengangguk lemas, ia benar-benar ditinggal sendiri dengan beberapa pegawai dapur dan pegawai asrama yang memang tinggal di dalam asrama. Perlahan Liny menghilang di dalam kerumunan murid lain yang berantri menunggu lift, Keira segera masuk ke kamarnya saat dilihatnya Liny telah memasuki lift. Keira
Seberapa keras kamu mencoba menghindari takdir yang tak kau inginkan, takdir selalu memiliki jalannya sendiri untuk datang menghampirimu.Keira yang mencoba membuka lembaran baru, mencoba bersembunyi dan menghindari masalah sepertinya tak berdaya saat nalurinya bereaksi dengan spontan.Baru beberapa hari di sekolah asrama, Keira merasa hidupnya semakin sulit dikendalikan, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar, apalagi mimpi buruknya semakin mendekati kenyataan, saat Mrs.Ivanna datang ke Pinewood.Belati yang dilihatnya dalam mimpi juga sudah dilihatnya dalam kenyataan, hanya saja Keira belum tahu siapa pemilik belati itu, ditambah lagi dengan Evanda yang terus-terusan mengawasinya.“Mungkin dia marah, mendengar ucapanku mengenai Mrs.Ivanna yang ternyata adalah ibunya, tapi bagaimana aku meyakinkannya, bahwa ucapanku benar dan bagaimana caranya aku mencegah kejadian mengerikan itu?”Keira teringat masa lalu yang menghantuinya, bagaimana ia dituduh sebagai biang keladi atas bencana y
Hari senin pagi selalu membuat semua siswa sibuk, mulai bangun pagi, kembali belajar, dan Keira akan keluar dari kamar yang membuat tubuhnya terasa kotor penuh debu.“Keira! Kamu boleh keluar!” perintah Bu Berta membuka pintu besi yang dipenuhi karat, tapi ia segera menyipitkan matanya saat melihat Keira yang sudah berdiri di tengah kamar dengan badan yang tetap segar meski sedikit kusam berdebu.“Terima kasih, Bu!” sahut Keira sembari menyembunyikan barang-barang bawaannya di balik bajunya.“Keira! Apa kamu benar-benar kuat untuk berjalan sendiri?” selidik Bu Berta pada Keira yang tidak diberi makan sejak sabtu.“Aku bahkan dapat berlari, jika itu harus!” sahut Keira dengan tenang dan sombong.“Terserah apa katamu, sebaiknya cepat mandi dan bergabung bersama teman-temanmu di ruang makan!” perintah Bu Berta yang segera berjalan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan.“Mana mungkin kuberitahu, bahwa aku masuk ke dapur dan memakan makanan dari dalam kulkas selama dua mal