cengkramannya.
“Sorry, sorry! Aku pikir ini dijual,” sahut anak laki-laki yang kelihatannya seumuran dengan Keira.“Benda ini memang dijual, tapi aku telah mengambilnya lebih dulu!” tegas Keira sembari melepaskan lengan anak itu yang sedikit meringis kesakitan.“Sorry, ya! Soalnya di sana sudah habis, jadi aku pikir, ini bukan milikmu!” ujar anak itu mencoba membela diri, padahal sudah jelas itu di dalam keranjang orang lain.“Sudah jelas ini ada di sampingku! Berarti ini milikku!” tegas Keira merasa tersinggung.“Makanya lain kali kamu pegang barang belanjaanmu!” perintah anak itu yang membawa keranjang belanjaan yang sama penuhnya dengan keranjang Keira.“Kamu itu!” “Kei!”“Ada apa ini? Apa semuanya sudah kamu dapatkan?” tanya Wendy meredam keributan yang hampir terjadi diantara Keira dan seorang anak lelaki yang tak dikenalnya.“Ini, siapa?” lanjut Wendy mengarahkan pandangannya pada anak lelaki yang sepertinya salah tingkah.“Dia itu…,”“Maaf, Tante! Tadi saya salah mengambil barang, permisi!” anak lelaki itu memotong pembicaraan Keira yang tampak semakin kesal, bocah lelaki itu pun langsung ngeloyor pergi.“Dasar! Nggak sopan!” gerutu Keira menghembuskan nafasnya keras-keras.“Sudah, Kei!’“Ayo cepat kamu bawa keranjangmu itu ke kasir!” perintah Wendy sembari mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya dan memberikannya pada Keira.Sepanjang perjalanan pulang Keira terdiam, masih ada rasa kesal jika mengingat kejadian di toko itu. Dengan tangan yang menyilang di dada, pandangannya terus menatap ke depan untuk mengingat rute perjalanan yang menjadi hobi kecilnya setiap kali bepergian di tempat baru.Dan kali ini ia melihat taman kota yang sejuk tapi lebih tampak gelap dan sepi, lalu persis di depan taman kota itu ada gedung yang menjulang tinggi dan bisa dipastikan usianya yang sudah tua. Maklumlah, Ibu Kota memang terkenal dengan bangunan-bangunan tua berarsitektur megahnya.”Kota ini cukup indah, tapi kenapa sih ada klepto macam dia!!!” gerutu Keira.”Sudah Kei, lagi pula dia sudah minta maaf kan? Dan kamu harus ingat kalau tidak semua orang di kota ini begitu!” sahut Wendy pada Keira yang hanya mendecih dengan bibir yang bisa digantungi sebuah ember.Tidak lebih dari 15 menit Keira memasuki sebuah pintu gerbang kayu di sebuah rumah bercat putih berarsitektur artdeco yang menghadap ke selatan.Memiliki halaman hijau yang dikotori oleh guguran daun kering dari pohon beringin tua yang bertengger tepat di depan rumah, tepatnya di komplek perumahan tua dan mewah ‘RedRose’.“Sepertinya besok pagi kita harus menyuruh seorang tukang kebun untuk membenahi halaman rumah ini,” ujar Wendy sembari memasukan mobilnya ke dalam garasi di samping rumah.“Rumah ini terlalu besar untuk kita, Bu!” Keira berkata, kakinya yang beralaskan sneakers merah melangkah menaiki undakan ubin menuju serambi rumah.“Memang benar, tapi inikan rumah yang diberikan dari kantor, jadi mau bilang apa!” sahut Wendy menatap sekeliling rumah yang usianya pasti sudah seabad lebih.Keira dan ibunya masing-masing memasuki dua kamar yang bersebelahan menghadap barat, dan membiarkan dua kamar lainnya yang bersebelahan menghadap ke timur kosong. Di dalam kamarnya Keira segera membenahi semua barang yang tadi dibelinya di Gramexia, sesaat rasa kesalnya muncul kembali saat matanya menatap satu set pulpen yang tergeletak di atas meja.“Kei! Apa kamu sudah tidur?” tanya Wendy dari balik pintu kamar anaknya.“Belum! Tapi sepertinya akan.” sahut Keira yang sedang berbaring di atas ranjang barunya sembari membaca sebuah novel, tapi saat tangannya hendak menggapai handle pintu, ibunya tiba-tiba sudah masuk.“Ibu hanya ingin mengucapkan selamat malam, semoga mulai malam ini kamu takkan pernah bermimpi buruk lagi, dan besok kita akan memulai hidup kita yang baru di kota ini,” ungkap Wendy penuh harap.“Semoga saja!” Keira terdiam, matanya menelisik jauh, mencoba menembus kaca es yang menutup jendela kamarnya.“Tapi aku takut untuk memejamkan mataku, aku takut melihat kejadian mengerikan itu berulang-ulang!” keluh Keira yang segera menyembunyikan tangisnya di dalam pelukan tubuh ibunya.“Percayalah itu takkan terjadi lagi, ini malam pertama kita di rumah ini!” ujar Wendy yang memiliki senyuman lembut dan menenangkan hati siapapun yang melihatnya.Akhirnya saat tepat pukul 22:00 WIB, Keira bisa memejamkan matanya dan tertidur di atas kasur busa dengan seprai biru laut polosnya.Dari balik semak-semak yang gelap, Keira mencondongkan kepalanya untuk memperjelas penglihatannya. Dari kejauhan terlihat seorang wanita muda yang lari tergopoh-gopoh, beberapa kali wanita itu menolehkan kepalanya ke belakang, sepertinya ia sedang menghindari seseorang yang mengejarnya. Sesaat kemudian langkah wanita itu terhenti, sesuatu terjatuh dari saku baju merahnya yang dari tadi terus dipeganginya, tangannya segera memungut benda mungil yang berbentuk persegi.Tapi sayang saat wanita itu membungkukan tubuhnya, seseorang muncul dari belakangnya, dan mengayunkan sebuah belati perak ke depan dan segera menghujamkannya berkali-kali tepat di perut wanita itu hingga tak berdaya.Keira melihat pelakunya dengan jelas, dan sesaat mengamati, tak salah lagi dia adalah seorang pria, perawakannya kekar, walau ia mengenakan penutup kepala berwarna hitam.Keringat dingin membasahi tubuh Keira, wanita itu masih hidup, ia berusaha menyeret tubuhnya kedepan dan tangannya yang berlumuran darah mencengkeram kaki Keira yang tak dapat bergerak.Tubuh Keira gemetar, bibirnya terlalu kaku untuk berteriak, Keira hanya bisa melihat pria bertopeng hitam itu pergi dan menghilang dari pandangannya, seolah tak menyadari sedikitpun kehadiran Keira.“Tidaakkkk!” Keira merasakan nafasnya terasa panas dan keringat membasahi tubuhnya.“Kei! Kamu mimpi lagi?” Wendy menerobos kamar putrinya, dengan wajah panik ia segera memeluk Keira yang terlihat ketakutan.“Aku mimpi itu lagi, Bu! Hal yang sama, sejak kita membicarakan kepindahan kita ke kota ini! Aku takut!” Keira tak bisa menutupi rasa takutnya yang teramat sangat, dilihatnya jam dinding yang menunjukan pukul 02:00 WIB.Jam yang sama selalu saat ia memimpikan mimpi buruk itu berkali-kali.“Tenanglah, ibu akan tidur di sampingmu malam ini! Sebaiknya kamu tidur kembali, karena besok kita akan pergi ke sekolahmu, tapi sebelumnya berdoalah agar semua ini bukan pertanda buruk lagi!” saran Wendy mengelus dahi Keira yang basah kuyup oleh keringat.“Bukankah ini hari ulang tahunmu, jadi buatlah sebuah permohonan yang terbaik bagimu!” Semua orang percaya, bahwa dihari ulang tahun, kita bisa membuat satu permohonan yang pasti akan terkabul, tapi tentunya adalah permohonan yang terbaik.“Tuhan, Bantu aku menyelesaikan semua masalahku dan berilah petunjuk agar aku dapat mengatasi semuanya! Karena aku percaya pada Mu, pasti ada cara agar aku bisa mengatasi masalah terbesar dalam hidupku ini. Aku mohon beri aku kekuatan agar bisa mengatasi mimpi buruk ini, Amin.” Pinta Keira panjang lebar pada Tuhan.Di atas tempat tidur, Keira berusaha kembali memejamkan kedua matanya yang hitam berkilau, telunjuk tangan kanannya bergerak-gerak. Di dalam otaknya ia memikirkan jalanan yang tadi siang dilaluinya saat menuju pusat perbelanjaan.Perlahan jari telunjuknya bergerak seolah menggambarkan rute perjalanan yang terlihat jelas di dalam bayangannya, hingga terhenti saat di depannya tampak pusat perbelanjaan yang tadi siang ia datangi. Ia kembali merasakan aroma kopi dan roti yang menyebar di ruangan mall menyambut setiap pengunjung yang datang.Keira segera membuka matanya, mulutnya melongo, kedua matanya terbelalak saat dilihatnya pusat perbelanjaan itu nyata di depan matanya.“Seingatku, tadi aku ada di atas kasurku!””Tapi sekarang?” Keira mencubit pipinya yang langsung terasa sakit, ia berlari memasuki pusat perbelanjaan dan segera melangkah menuju Gramexia, setidaknya tempat itu yang paling diingatnya.“Benar-benar nyata!” seru Keira yang masih tak percaya dengan apa yang terjadi.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pramuniaga di pintu masuk Gramexia.“Tidak, terimakasih!” sahut Keira, dengan senyuman yang jarang sekali muncul di wajahnya, ia berlari keluar tak tentu arah, dan langkahnya terhenti di sebuah arena permainan. Tapi saat kakinya melangkah, tanpa ia sadari sebuah bola basket meluncur ke arahnya dan persis menghantam dahinya hingga ia terjatuh dan pingsan.“Kei! Keira!” sebuah suara samar-samar terdengar di telinganya, perlahan Keira membuka matanya yang terasa berat.“Ibu?”“Bangun sudah siang! Nanti terlambat, apa kamu lupa tadi malam ibu sudah memberitahumu bahwa kita akan kesekolahmu! Karena sehari sebelum tahun ajaran baru dimulai, semua siswa harus sudah tiba di asrama,” jelas Wendy pada Keira yang masih tampak bingung.“Begitu ya!” Keira menatap sekeliling kamarnya yang terang dimasuki sinar matahari pagi.“Jadi hanya mimpi!” sesal Keira, segera bangkit dan mengangkat kepalanya dari atas bantal yang empuk.“Auw!” seru Keira merasakan sakit yang teramat di dahinya saat ia mencoba bangun.“Kenapa Kei?” tanya Wendy panik, menatap dahi putrinya. “Memar!” ujar Wendy.“Apa terbentur sesuatu?” “Sepertinya begitu,”“Ibu akan mengambilkan air hangat untuk mengompresnya!”“Terimakasih, Bu!” seru Keira yang pasti akan merindukan perhatian ibunya yang selalu ada saat ia membutuhkannya.Wendy segera keluar dari kamar dan meninggalkan Keira yang terlihat sudah lebih segar.“Memar ini nyata, jangan-jangan kejadian itu nyata, tapi memang terasa sangat nyata, atau aku hanya terjatuh dari atas ranjang? Tapi tak mungkin, saat bangun aku tetap ada di atas! Atau jangan- jangan…,”“Cepat kompres memar itu, dan segera masukan barang yang akan kamu bawa ke asrama, jangan ada yang tertinggal, karena setelah masuk asrama tak akan diijinkan pulang, kecuali akhir pekan, itupun jika ada yang menjemputmu!”“Tapi, Ibu akan selalu menjemputku diakhir pekan kan?” celetuk Keira sembari mengompreskan kain ke dahinya, tatapannya yang penuh harap membuat gadis itu tampak seperti anak kecil yang enggan berpisah dengan ibunya.“Tenang saja, Ibu akan selalu menjemputmu!” Mendengar ucapan wanita itu, Keira sedikit tenang dan mulai menerima untuk sekolah di sekolah asrama itu, dan mencoba meyakinkan dirinya untuk memulai lembar baru dalam hidupnya, tanpa ada berbagai peristiwa mengerikan yang selalu membayangi setiap langkahnya.Sepanjang perjalanan Keira terus memikirkan memar yang ada di dahinya, tapi seperti biasa dia mulai memperhatikan rute jalan dan mengingat baik-baik di otaknya.Dari halaman rumah, sedan merah itu berbelok ke kanan, melintasi jalanan yang terasa teduh dengan pohon akasia tua yang menghiasi sisi kanan dan kiri jalan.Keira ingat bahwa itu adalah jalan yang dilaluinya kemarin saat pulang dan pergi ke pusat perbelanjaan.Mobil itu melewati tanjakan kecil di ujung jembatan yang menghiasi sebuah lapangan basket dan segera berbelok ke kiri melintasi sebuah rumah sakit umum.Meluncur lurus melalui jalan raya dengan dua jalur besar yang berpusat pada sebuah tugu di perempatan yang lebar.Tidak sampai lima menit dari perempatan sedan merah itu memasuki sebuah halaman yang cukup luas, dan berhenti di tempat parkir sebuah gedung besar dan sepertinya sangat tua.&nbs
Krriiiiinggggg!!!! Bel di ruang makan menjerit, Keira dan Liny segera berlari menuju ruang makan yang terletak di depan kamar asrama, yang telah siap digunakan. Dua meja kayu terbentang di tengah-tengah, disusun berurutan menjadi satu, di atas meja itu telah terhidang makanan yang cukup untuk disantap oleh lebih dari 100 orang. Ruang makan yang satu jam lalu sepi, berubah 180 derajat. Semua penghuni kamar barat dan timur keluar, dengan tertib para murid laki-laki menduduki bangku sebelah barat dan duduk menghadap ke arah timur. Sedangkan murid perempuan duduk di sebelah timur dan menghadap ke arah barat. Sepertinya petugas ruang makan telah berhasil menertibkan makan siang. Keira merasa bingung, tapi sepertinya yang lain tidak. Karena sistem asrama ini sudah biasa bagi SMP dan SMA Pinewood. Jadi tentu saja mereka yang mayoritas berasal dari SMP Pinewood sudah terb
Semua siswa kelas satu telah berkumpul di ruangan yang tadi siang digunakan untuk makan, tapi sayang di meja panjang itu saat ini belum tersaji makanan satu pun. Di ujung meja seorang wanita paruh baya sudah memegang sebuah mikrofon dan sepertinya ia akan mulai berbicara. “Perkenalkan nama saya Berta, kalian bisa memanggil saya Bu Berta, saya adalah pengawas yang ditugaskan menjadi Kepala Asrama kelas satu." "Jadi kalau kalian mempunyai keluhan atau masalah, kalian bisa membicarakannya pada saya, dan jika kalian melanggar peraturan kalian akan berhadapan dengan saya dan mendapatkan sebuah hukuman." "Ada banyak jenis hukuman yang bisa diberikan, dan hukuman terparah adalah ‘Kamar Tertutup’." "Untuk menghindari hukuman itu ada beberapa peraturan yang harus kalian patuhi selama menjadi penghuni asrama ‘Pinewood International School'." Bu Berta berbicara t
Krrrriiiiiingggggg!!! Seolah tiada lelah, bel di depan pintu asrama selalu menjerit kencang membangunkan seisi kamar asrama untuk memulai awal tahun ajaran baru. Di setiap kamar terlihat tak teratur, karena kamar mandi hanya ada satu di setiap kamar, maka lima anak harus saling bergantian, tapi bagaimana jika semua anak ingin mandi lebih dulu. “Aku yang pertama!” seru Vero pada Liny dan Keira yang bangun lebih awal. “Liny bangun lebih dulu dari kita Ve!” tegas Keira. “Tunggu! Sebaiknya kita mengundinya saja!” sambung Fane dan Fani bersamaan. “Lebih baik menggunakan urutan kartu pelajar saja!” ujar Liny dengan rambutnya yang acak-acakkan. “Terserah deh!” sahut Vero lemas menerima hasil akhir yang memutuskan Liny untuk berada di urutan mandi pertama, kedua Keira, ketiga Fane dan Fani yang memutuskan mandi bersama, dan ya
Setelah makan siang selesai, Keira seorang diri masuk ke kamarnya, karena Liny harus melaksanakan tugas piketnya. Di dalam kamar kembali dilihatnya Vero yang tengil bersama dua anak kembar yang makin mengacaukan suasana. “Akhirnya si pencari perhatian datang juga!” Ucap Vero sinis dengan hidungnya yang sedikit dinaikkan, tapi Keira tak menghiraukan ucapan teman sekamarnya itu. Ia segera meraih rok seragamnya yang tergantung di dalam lemari pakaian dan tak lama kemudian diambilnya selembar kertas dari dalam saku rok merah itu. “Kamu itu manusia atau batu sih!” bentak Vero menghampiri Keira di depan lemarinya, dan kali ini Keira tak bisa diam. Saat tiba-tiba tangan Vero tiba-tiba menarik liontin dari rantai kalung Keira yang menjuntai di luar bajunya, tapi semuanya sia-sia. Liontin itu cukup kuat untuk ditarik dari rantai tali kalu
Malam yang dingin membuat semua penghuni asrama terlelap di balik selimut tebalnya, hanya Keira yang masih tetap terjaga. Ia mengendap-endap menyusuri ruang makan yang gelap, menuju ruang santai yang dipenuhi lukisan, beberapa komik dan sofa-sofa kecil di sekeliling meja billiard berwarna hijau. Kakinya yang beralaskan sneakers mulai menapaki lantai ubin di ruang santai, Keira mengenakan celana panjang berbahan cotton biru navy dan sweater panjang dari wol berwarna biru laut, ia segera menaiki kursi kayu yang terletak di depan meja di sudut ruangan. “Aku harus mencobanya!” perintah Keira pada dirinya sendiri. “Aku harus membuktikan, apakah ini teleportasi atau hanya mimpi saja,” tegasnya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Beberapa detik kemudian Keira memejamkan matanya dan berusaha berkonsentrasi untuk mengingat sebua
Waktu telah menunjukkan pukul 17:55 WIB, acara pembukaan tahun ajaran baru akan segera dimulai. Aula Pinewood lebih ramai dan meriah dari tadi siang, murid kelas satu yang memakai seragam merah berbaris di bagian timur. D tengah aula untuk murid kelas dua yang mengenakan seragam serupa dengan kelas satu hanya saja warnanya biru tua. Sedangkan murid kelas tiga berbaris di bagian barat dengan mengenakan seragam berwarna hitam. Seragam di SMA Pinewood memang warnanya berbeda dari kelas satu sampai tiga, tapi motif dan modelnya sama, dan itu mempermudah siswa mencari teman angkatan mereka. “Kakakmu mana, Lin?” tanya Rion pada Liny di tengah barisan. “Entahlah, dari tadi aku belum melihatnya!” sahut Liny celingukan kesana-kemari. “Kenapa dari tadi siang kau diam terus, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
Malam kian larut, tetapi ruang makan asrama kelas satu masih dipenuhi murid yang kelihatannya sudah mulai ngantuk dan lelah setelah mengikuti acara pembukaan tahun ajaran baru.Ada beberapa anak yang terlihat kesal, geram dan mulai menggerutu sendiri sembari menggosipkan Keira.“Kemana saja sih anak itu!” seru Vero kesal dan menatap Liny yang menundukkan kepalanya. Liny enggan menanggapi teman sekamarnya. Ia dan Rion gagal mengejar Keira yang berlari dan menghilang saat keluar dari aula.“Semuanya harap tenang! Kita akan menunggunya lima menit lagi, jika dia tak datang juga, maka dia akan diskorsing dari sekolah!” ungkap Bu Berta dari mejanya.“Tapi Bu…,” ujar Rion yang bangkit dari kursinya dan berusaha membela Keira yang entah berada dimana sekarang.“Rion! Sebaiknya kamu diam!” sergah Bu Berta membuat Rion terduduk kembali di bangkunya.“Skorsing?” ulan
Gedung sekolah siang itu sangat sepi, tak ada murid yang berlalu lalang di sepanjang koridor dan asrama. Peristiwa malam akhir bulan itu sepertinya masih mencekam seisi sekolah, bayangkan saja seorang guru dibunuh di taman. Bahkan jika mau dilihat dengan cermat, di hamparan rumput masih terlihat ceceran darah Mrs. Ivanna yang telah mengering namun belum hilang karena hujan belum juga turun sejak kemarin.Dari koridor kelas Keira bisa melihat kepala sekolah yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang asrama sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.“Dari mana saja kamu?” tanya Pak Frans dengan khawatir pada Keira yang baru saja muncul di hadapannya.“Saya,”“Cepat ikut ke kantor saya,” belum sempat Keira menyelesaikan ucapannya, Pak Frans sudah memotongnya.Dengan langkah yang berat, akhirnya Keira mengikuti perintah Pak Frans. Sampailah ia di ruang kepala sekolah, ini kedua kalinya ia memasuki ruangan itu setelah yang pertama dulu bersama ibunya, tepatnya satu
“APA???”“Apa maksudmu, kamu tahu hal ini?” selidik Keira.“Aku tidak bisa lagi menutupi ini darimu, ibuku bukan seorang guru!”“Maksudmu?”“Dia hanya menyamar menjadi guru pengganti di sekolah ini, karena salah satu kasus yang sedang diinvestigasinya!” beber Evan.“Kalau memang begitu, jadi siapa ibumu itu sebenarnya?”“Dari dulu aku benci pekerjaan ibuku, aku benci mempunyai ibu seperti dia! Dia tidak pernah jadi ibu yang baik! Dia selalu pergi dan selalu tidak ada saat aku butuhkan!”“Maksudnya???” tanya Keira bingung.“Ibuku seorang kriminolog! Mirip-mirip detektif, ibuku sering sekali membantu kasus kepolisian!”“Aku selalu merasa takut saat ia pergi melakukan investigasi! Aku takut dia tak akan pernah kembali! Aku takut penyelidikan yang dilakukannya menemui jalan buntu dan akhirnya semua itu memang terjadi! Ibuku meninggal dalam tugasnya yang konyol!” Evan tak bisa lagi menahan matanya yang mulai berkaca-kaca.“Aku tahu kau sangat menyayangi ibumu,” ungkap Keira sembari menepuk
DILEMA SEORANG ANAK“Evan!”“Untunglah, akhirnya aku menemukanmu juga!” seru Keira terlihat lega, ia segera menarik lengan Evan tanpa ragu.“LEPAS!!!” bentak Evan mengagetkan Keira.“Kamu jangan sok akrab deh! Kamu yang ngebuat semua ini kan!”“Asal kamu tahu saja ya, Kei! Aku tidak akan ngebiarin pembunuh ibuku berkeliaran bebas begitu saja!” lanjut Evan segera berlalu masuk ke asrama.“TUNGGU!” seru Keira menghentikan langkah Evan.“Kamu tidak berhak menghakimi aku begitu saja, dan kayaknya kamu benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ibumu sendiri ya?” “OK, kita memang tidak akrab dan kita baru kenal, tapi aku mohon dengarkan aku kali ini saja.” Ungkap Keira di ujung jembatan, ia memastikan tak ada orang yang menguping.Evan tak bisa melanjutkan langkahnya saat mendengar perkataan Keira itu, ia segera berbalik kembali menghampiri Keira yang kini memundurkan langkahnya beberapa inchi.“Maksudmu?” tanya Evan menatap Keira dengan tatapan menantang.“Ya! Apa kamu tahu arti semua ini?”
Hari libur telah usai, Keira menghabiskan waktu pelariannya di dalam rumah tua yang terasa dingin dan menyesakkannya. Senin pagi ini rencananya, ia akan kembali ke Pinewood dan memulai awal bulan keduanya di sekolah itu dengan dirinya yang baru. “Apa aku harus ke sana? Bagaimana jika polisi-polisi itu menangkapku?” “Aduuhh, kenapa ragu lagi?” “Hadapi saja! Lagi pula aku tidak bersalah!” tegas Keira bersiap melakukan ‘Teleportasi’. Entah apa yang sudah menunggu Keira di Pinewood, masih setengah jam lagi waktu pelajaran dimulai. Dalam beberapa menit saja Keira sudah berada di dalam kamar asrama, untung saja tak ada seorang pun di dalam kamar saat itu. Mungkin semua anak sedang sarapan di ruang makan dan masih ada waktu jika ia hendak kembali ke rumahnya seperti seorang pengecut, tapi tidak. Keira segera melangkah dari sudut kamar menuju lemarinya, ia mengambil seragamnya yang terlipat rapih di dalam lemari dan segera menggunakannya. Tapi sepertinya ada yang aneh, dengan asrama it
Mata bulatnya segera terpejam, dan pikirannya mulai bekerja untuk mengingat kembali jalanan yang dilaluinya saat menuju ke kantor polisi ini.Meskipun samar-samar tapi setidaknya Keira masih mengingat dengan baik rute perjalanan dari sekolah menuju rumahnya.“Tok...Tok...Tok...!” ketukan keras di depan pintu ruang penahanan mengagetkan Keira, dan seketika itu juga Keira membuka matanya.“Aaaa...!” jerit Keira saat sebuah sepeda merobohkan tubuhnya di tengah jalan raya.“Kalo nyebrang yang bener dong!”“Tidak punya mata ya!” bentak seorang bocah lelaki kecil yang bertengger di atas sepedanya.Keira hanya terperangah melihat bocah lelaki itu berlalu mengayuh sepedanya kembali tanpa memberikan sedikitpun bantuan pada dirinya yang tumbang.“Dasar bocil!” gerutu Keira beranjak dari jalan raya yang sepi dengan pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan raya itu.“Teleportasi yang tidak sempurna,” keluh Keira sembari menatap rumahnya yang masih berada seratus meter dari tempatnya berdiri.
Keira tak bisa berbuat apapun saat polisi membawanya dalam kasus kematian Mrs. Ivanna, dan hal itu bertambah berat saat diketahui bahwa kamera CCTV di gedung sekolah sejak semalam tak berfungsi.Keira masih tak percaya dengan kejadian tadi malam, di dalam mobil polisi ia hanya terdiam dan memandang lurus ke depan melihat jalanan yang dilaluinya dan merasakan darah yang mulai mengering di telapak tangannya.“Apa yang kamu lakukan gurumu?” tanya seorang polisi berbadan kurus kering dengan wajah dingin yang mirip anak macan.“Apa Anda menduuhku membunuhnya!” sahut Keira di depan meja polisi .“Apa karena dendam?” lanjut polisi itu dengan wajah menghina.“Sudah saya katakan, saya tidak melakukan apa yang Anda pikirkan!” jawab Keira dingin.“Lalu kenapa kamu berada di samping mayat wanita itu, dan jika kamu tak membunuhnya kenapa kamu tak melaporkannya pada polisi?""Lagipula hanya orang yang berada di dalam sekolah itu yang bisa melakukan pembunuhan itu, karena sekolah itu sangat tertutup
Mimpi dan kenyataan memang seringkali berbanding terbalik, tapi tak jarang juga mimpi menjadi kenyataan meski tak diharapkan. Bisa apa manusia jika itu terjadi? Akhir bulan ini tak ada yang bisa Keira lakukan, selain terus menyantap makan siangnya dan melihat para penghuni asrama sedikit demi sedikit berkurang. Tentu saja Keira merasa iri melihat teman- temannya pulang ke rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menghabiskan hari liburnya di dalam asrama. Dua hari libur yang berlalu pasti akan terasa seperti dua windu bai Keira “Kei! Aku pulang dulu ya, lusa aku akan kembali kesini dan membawa oleh-oleh untukmu!” “Hati-hati Lin!” “Kamu juga, jaga dirimu baik-baik!” Keira hanya mengangguk lemas, ia benar-benar ditinggal sendiri dengan beberapa pegawai dapur dan pegawai asrama yang memang tinggal di dalam asrama. Perlahan Liny menghilang di dalam kerumunan murid lain yang berantri menunggu lift, Keira segera masuk ke kamarnya saat dilihatnya Liny telah memasuki lift. Keira
Seberapa keras kamu mencoba menghindari takdir yang tak kau inginkan, takdir selalu memiliki jalannya sendiri untuk datang menghampirimu.Keira yang mencoba membuka lembaran baru, mencoba bersembunyi dan menghindari masalah sepertinya tak berdaya saat nalurinya bereaksi dengan spontan.Baru beberapa hari di sekolah asrama, Keira merasa hidupnya semakin sulit dikendalikan, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar, apalagi mimpi buruknya semakin mendekati kenyataan, saat Mrs.Ivanna datang ke Pinewood.Belati yang dilihatnya dalam mimpi juga sudah dilihatnya dalam kenyataan, hanya saja Keira belum tahu siapa pemilik belati itu, ditambah lagi dengan Evanda yang terus-terusan mengawasinya.“Mungkin dia marah, mendengar ucapanku mengenai Mrs.Ivanna yang ternyata adalah ibunya, tapi bagaimana aku meyakinkannya, bahwa ucapanku benar dan bagaimana caranya aku mencegah kejadian mengerikan itu?”Keira teringat masa lalu yang menghantuinya, bagaimana ia dituduh sebagai biang keladi atas bencana y
Hari senin pagi selalu membuat semua siswa sibuk, mulai bangun pagi, kembali belajar, dan Keira akan keluar dari kamar yang membuat tubuhnya terasa kotor penuh debu.“Keira! Kamu boleh keluar!” perintah Bu Berta membuka pintu besi yang dipenuhi karat, tapi ia segera menyipitkan matanya saat melihat Keira yang sudah berdiri di tengah kamar dengan badan yang tetap segar meski sedikit kusam berdebu.“Terima kasih, Bu!” sahut Keira sembari menyembunyikan barang-barang bawaannya di balik bajunya.“Keira! Apa kamu benar-benar kuat untuk berjalan sendiri?” selidik Bu Berta pada Keira yang tidak diberi makan sejak sabtu.“Aku bahkan dapat berlari, jika itu harus!” sahut Keira dengan tenang dan sombong.“Terserah apa katamu, sebaiknya cepat mandi dan bergabung bersama teman-temanmu di ruang makan!” perintah Bu Berta yang segera berjalan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan.“Mana mungkin kuberitahu, bahwa aku masuk ke dapur dan memakan makanan dari dalam kulkas selama dua mal