Tahun ajaran baru selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu setiap calon peserta didik baru. Sensasi masuk sekolah baru, dengan teman-teman baru tentu saja sangat dinanti oleh semua siswa, apalagi remaja.
Tapi sepertinya tak begitu dengan Keira, gadis 15 tahun yang tahun ini akan masuk SMA. Entah kenapa ia super malas dan enggan untuk memulai sekolah, terlebih harus masuk ke sekolah asrama untuk pertama kalinya.Malas!Satu satunya hal yang dirasakan Keira, bahkan jika diberi satu kesempatan untuk meminta, ia ingin waktu segera berhenti saat itu juga.Ia enggan bertemu teman baru, lingkurang baru yang mengharuskannya beradaptasi lagi. Apalagi sekolah dengan sistem asrama yang pasti akan sangat disiplin.Memang, bukan tanpa alasan orang tua Keira memasukan anaknya ke sekolah asrama. Karena sekolah itu seperti sekolah keluarga, dimana dahulu ayah dan ibunya juga bersekolah di sekolah asrama yang sama.Mereka berpikir bahwa sistem pendidikannya bagus dan berkualitas. Karena bagaimana pun juga pasti orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya."Masih kepikiran soal asrama?" Tanya Wendy, ibu Keira yang sepertinya menyadari gerak gerik anaknya yang tak begitu antusias untuk masuk ke sekolah asrama."Ibu serius memasukanku ke Pinewood?" Tanya Keira berulang kali pada ibunya, berharap ia mendapatkan jawaban berbeda."Ia Kei!"Pinewood High School, salah satu sekolah swasta tertua dan terbaik di negeri ini. Mereka menyediakan sistem pendidikan paralel dari jenjang TK sampai Perguruan Tinggi. Namun tetap menerima siswa dari luar Pinewood saat tahun ajaran baru.Nah, Keira adalah salah satu siswa yang diterima di Pinewood setelah melalui jalur seleksi yang cukup ketat, tak heran karena dia sebenarnya pintar dalam bidang akademis.Tapi tidak dalam pergaulan, Keira cenderung introvert dan minim emosi. Temannya pun bisa dihitung dalam hitungan jari saja.Meski Keira secara akademis mudah dan cepat menyesuaikan diri, namun kepribadiannya dan pergaulannya tidak secemerlang itu.Itulah salah satu alasan ia malas masuk sekolah baru, pergi meninggalkan kota kelahirannya dan harus menempuh ratusan kilometer ke ibukota untuk bersekolah di Pinewood.
Padahal jika dilihat secara fisik, Keira bukanlah anak remaja dengan penampilan nerd.
Bahkan boleh dibilang ia cukup piawai memadu padankan pakaian, ia juga tidak seperti gadis kutu buku dalam sinetron yang selalu berjalan menunduk di sepanjang koridor kelas untuk menghindar tatapan dengan teman sekolahnya.
Tingginya 159 cm, rambut ikalnya bergelantung di balik punggung, kebiasaannya enggan mengikat rambut dan lebih senang membiarkannya terurai, bahkan ia memiliki poni yang seringkali menutupi matanya.
Seolah tak mampu mengurus diri, Keira yang memiliki kulit putih pucat itu lebih sering tampil dengan sedikit acak-acakan.
Keira hanya menyadari bahwa dirinya memiliki hal yang aneh yang tak dimiliki orang lain, ia merasa berbeda saat berkumpul bersama teman-teman seumurannya.
Ada rasa tak nyaman yang membuatnya memilih berdiam diri atau menarik diri dari pergaulan.
“Kalau cerita pun mereka tak akan paham!” gumam Keira setiap kali menyadari keanehan yang ia miliki.
“Bu! Apakah ibu serius untuk memasukanku ke sekolah itu?” tanya Keira untuk kesekian kali dengan tampang yang sedikit kesal pada ibunya, Wendy Alamery.
Ibu Keira adalah seorang pengacara dengan perawakannya yang tinggi, mungkin itu salah satu yang diturunkannya pada Keira.
Untuk ukuran seorang ibu, Wendy memiliki tubuh langsing layaknya gadis, ini pastinya yang makin membuatnya awet muda dan tak menyangka bahwa wanita itu telah mempunyai anak gadis berumur 15 tahun.
“Ibu sangat serius! Lihat Kei, kita ada dimana sekarang!” Tegas Wendy mencoba menyadarkan anaknya bahwa mereka sudah menempuh perjalanan jauh ke ibu kota dan menempati rumah dinas baru ibunya.
“Setidaknya di sana kamu bisa berusaha untuk hidup lebih baik. Lagipula kamu telah lulus Ujian Masuk Pinewood dengan hasil yang memuaskan,” Sahut Wendy dengan bangga meyakinkan anaknya yang terlihat murung saat mendengar ucapannya itu.
“Maksud ibu?”
“Ya, maksud ibu, di asrama kamu akan belajar untuk hidup bersama dengan teman-temanmu, dan sayang juga kan sudah masuk lima besar, tapi mau disia-siakan.” tegas Wendy berharap tak ada lagi protes dari Keira, sejenak ia menaikkan kacamata berbingkai hitam yang melorot di hidungnya yang mungil.
“Aku benci teman! Mereka hanya bisa menghinaku dan menfitnahku seenaknya!” sungut Keira.
“Dan mengenai nilai ujian, aku pikir aku sudah sangat asal-asalan mengerjakannya!” keluh Keira, matanya yang bulat berkaca-kaca mengingat beberapa kejadian yang dialaminya saat SMP dan mengingat keanehan nilai yang tak disangka-sangka itu.
“Ingat baik-baik! Tak akan ada yang mengejekmu, menghinamu apalagi menfitnahmu seperti dulu di SMP! Kamu akan memulai hidup baru di sana tanpa ada yang mengenal siapa dirimu sebenarnya!”
“Dan percayalah bahwa takdir memang menginginkanmu di sana!” kembali lagi Wendy mencoba meyakinkan Keira yang semakin dibuat bingung dengan ucapan ibunya itu.
“Ibu berangkat dulu! Besok hari pertama ibu bekerja, jadi ibu harus melihat suasana di kantor baru, nanti sepulang dari kantor ibu akan menjemputmu dan kita akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli semua keperluan sekolahmu, jadi kamu bisa menunggu ibu di rumah!”
Wanita itu bergegas pergi dari hadapan anaknya yang hanya bisa terdiam lesu, sesaat kemudian suara mobil terdengar keluar dari halaman rumah yang berumput hijau.
Wanita itu benar-benar wanita karir yang sangat mengabdikaan diri pada pekerjaannya, padahal ia baru sampai di Ibu Kota, tapi pekerjaannya sudah lebih dulu menarik perhatiannya daripada anaknya atau rumah dinas barunya yang sepertinya lebih butuh pembenahan dan sentuhan seorang wanita.
Sekeras apapun Keira menolak masuk sekolah asrama itu, tapi ibunya bersikeras memasukan anak semata wayangnya ke sana.
Berbagai alasan dan pertimbangan telah dilakukan oleh Wendy, bukan karena malas atau benci pada Keira, tapi menurutnya Keira harus bisa memulai hidupnya secara lebih mandiri dan bisa bersosialisasi dengan teman, dan ada satu hal yang menjadi alasan kuat Wendy yang tak pernah Keira ketahui.
Walaupun begitu Keira tak sependapat dengan ibunya, karena berbagai kejadian yang dialami dalam hidupnya sejak ia masuk SMP, membuatnya malas bergaul dengan orang lain, dan cenderung antisosial.
“Bu! Apa ibu tak akan kesepian kalau aku nanti tinggal di asrama?” tanya Keira pada ibunya yang sedang mengemudikan sedan mungil berwarna merah menyala yang meluncur halus menuju pusat kota.
“Satu minggu sekali kamu akan pulang, dan kita akan menghabiskan akhir pekan bersama-sama! Jadi ibu tak kesepian, lagipula di kantor yang baru tadi sangat banyak kliennya, jadi mungkin ibu akan disibukkan dengan pekerjaan.” sahut Wendy tetap memandang lurus ke depan, tanpa menoleh pada Keira yang terlihat makin kecewa mendengar jawaban ibunya.
“Besok 15 Juli kan?” tanya Wendy dari balik kemudinya.
“Benar!”
“Berarti besok usiamu genap 15 tahun, Kei!”
“Sepertinya begitu!” sahut Keira tak bersemangat.
“Kamu mau hadiah apa?”
“Entahlah! Mungkin tak jadi masuk sekolah asrama itu adalah hadiah terindah buatku!” jawab Keira dengan lemas, menatap wajah ibunya dari samping yang terlihat tersenyum.
“Sepertinya nanti akan ibu pilihkan sendiri hadiah untukmu,” Keira yang sudah yakin tak akan mendapatkan apa yang dia inginkan meski ibunya menanyakan keinginannya.
BMW merah itu segera memasuki halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan besar di Ibu Kota. Beberapa menit kemudian dua orang penumpangnya terlihat keluar dari pintu depan di area parkir dan berjalan bersamaan menuju pintu masuk pusat perbelanjaan yang cukup besar.
“Ramai sekali!” gumam Keira saat memasuki pusat perbelanjaan yang baru pertama kali ia datangi, wangi kopi dari sebuah café ternama segera menyambut setiap pengunjung yang datang ke mall yang mayoritas dari mereka adalah anak muda seumuran Keira.
“Keperluan sekolahmu bisa didapatkan di lantai 2!” seru Wendy mengarahkan telunjuknya pada sebuah toko peralatan sekolah yang tampak dari lantai dasar, dan kelihatannya sangat lengkap dan ramai.
“Ibu pernah kesini sebelumnya?” tanya Keira bingung melihat ibunya yang sepertinya sudah hafal betul dengan tempat itu.
“Sebelum menikah dengan ayahmu dan pindah, ibu melanjutkan SMA dan kuliah di Ibu Kota Kei! Apa kamu lupa?”
“O,iya! Tapi, aku tak akan melupakan kisah cinta ayah dan ibu yang mengharukan itu,” seru Keira datar menyinggung kisah cinta kedua orang tuanya yang bahkan boleh dibilang berantakan.
“Sudahlah! Jangan kamu bicarakan hal itu lagi! Sebaiknya cepat cari apa yang kamu perlukan dan tunggu ibu di sana!” perintah Wendy tak ingin mendengar putrinya melanjutkan pembicaraannya.
“Memangnya ibu mau kemana?”
“Ibu mau mencari sesuatu!” sahut Wendy setengah gugup, ia segera berlalu dari samping Keira yang menatapnya penuh curiga tanpa bisa melakukan apapun.
Keira segera menuruti perintah ibunya dan mengalihkan perhantiannya ke lantai 2. Ia melihat ke sekelilingnya hingga akhirnya berujung pada hembusan nafas yang segera menghembuskan poni di dahinya.
Tempat tinggal Keira bukanlah sebuah kota kecil yang sepi, tapi jika dibandingkan dengan Ibu Kota jelas lebih kecil.
Tatapan mata Keira sejenak tertarik untuk memperhatikan beberapa gerombolan remaja yang sedang berjalan beriringan dengan tawa dan candanya.
Keira kembali menghembuskan nafasnya saat para remaja itu melaluinya tanpa mempedulikannya sama sekali. Memang apa yang diharapkannya, toh mereka tak mengenal Keira.
Dalam suasana ramai seorang diri sebenarnya membuat Keira semakin aneh dan kikuk, ia kembali hanya berdiri di antara orang- orang yang lalu lalang.
Kelemahan setiap berada di tempat baru, Keira selalu merasa asing dan ia selalu merasa seolah ada dunia baru yang ingin menyambutnya dengan penuh permasalahan.
”Aku tak boleh begini!” tegasnya dalam hati sebelum akhirnya Keira benar-benar berjalan menuju lantai 2.
”Di sini tak ada yang mengenaliku, dan tidak akan ada cerita- cerita aneh tentang kematian atau apa saja yang selalu menghantuiku, ini Ibu Kota yang jaraknya lebih dari 200 KM dari kota asalnya, mereka tak mungkin mengikutiku hingga sejauh ini.”
Keira mulai malangkahkan kakinya menuju tempat yang dimaksud oleh ibunya, dengan sedikit ragu sesekali ia menoleh menatap punggung ibunya yang semakin lama semakin menjauh dari pandangannya, bahkan sudah tak tentu rimbanya.Keira melangkah menuju escalator yang akan membawanya ke lantai 2. Masih merasa seperti seorang pendatang baru dari kota yang bersuhu tinggi, Keira tampak kikuk.Sebuah toko yang sangat ramai dipenuhi oleh remaja dan anak-anak telah menunggunya untuk dimasuki, tapi sesaat Keira berdiri di depan toko yang memajang nama Gramexia, matanya segera tertuju pada papan nama yang terpasang di atas pintu masuk.“Gramexia!” nama toko peralatan sekolah dan buku super lengkap yang memiliki jaringan terbesar di negara ini, tentu sudah tak asing lagi bagi Keira, karena di kota asalnya juga baru-baru ini sudah launching.Keira pun melangkahkan
Sepanjang perjalanan Keira terus memikirkan memar yang ada di dahinya, tapi seperti biasa dia mulai memperhatikan rute jalan dan mengingat baik-baik di otaknya.Dari halaman rumah, sedan merah itu berbelok ke kanan, melintasi jalanan yang terasa teduh dengan pohon akasia tua yang menghiasi sisi kanan dan kiri jalan.Keira ingat bahwa itu adalah jalan yang dilaluinya kemarin saat pulang dan pergi ke pusat perbelanjaan.Mobil itu melewati tanjakan kecil di ujung jembatan yang menghiasi sebuah lapangan basket dan segera berbelok ke kiri melintasi sebuah rumah sakit umum.Meluncur lurus melalui jalan raya dengan dua jalur besar yang berpusat pada sebuah tugu di perempatan yang lebar.Tidak sampai lima menit dari perempatan sedan merah itu memasuki sebuah halaman yang cukup luas, dan berhenti di tempat parkir sebuah gedung besar dan sepertinya sangat tua.&nbs
Krriiiiinggggg!!!! Bel di ruang makan menjerit, Keira dan Liny segera berlari menuju ruang makan yang terletak di depan kamar asrama, yang telah siap digunakan. Dua meja kayu terbentang di tengah-tengah, disusun berurutan menjadi satu, di atas meja itu telah terhidang makanan yang cukup untuk disantap oleh lebih dari 100 orang. Ruang makan yang satu jam lalu sepi, berubah 180 derajat. Semua penghuni kamar barat dan timur keluar, dengan tertib para murid laki-laki menduduki bangku sebelah barat dan duduk menghadap ke arah timur. Sedangkan murid perempuan duduk di sebelah timur dan menghadap ke arah barat. Sepertinya petugas ruang makan telah berhasil menertibkan makan siang. Keira merasa bingung, tapi sepertinya yang lain tidak. Karena sistem asrama ini sudah biasa bagi SMP dan SMA Pinewood. Jadi tentu saja mereka yang mayoritas berasal dari SMP Pinewood sudah terb
Semua siswa kelas satu telah berkumpul di ruangan yang tadi siang digunakan untuk makan, tapi sayang di meja panjang itu saat ini belum tersaji makanan satu pun. Di ujung meja seorang wanita paruh baya sudah memegang sebuah mikrofon dan sepertinya ia akan mulai berbicara. “Perkenalkan nama saya Berta, kalian bisa memanggil saya Bu Berta, saya adalah pengawas yang ditugaskan menjadi Kepala Asrama kelas satu." "Jadi kalau kalian mempunyai keluhan atau masalah, kalian bisa membicarakannya pada saya, dan jika kalian melanggar peraturan kalian akan berhadapan dengan saya dan mendapatkan sebuah hukuman." "Ada banyak jenis hukuman yang bisa diberikan, dan hukuman terparah adalah ‘Kamar Tertutup’." "Untuk menghindari hukuman itu ada beberapa peraturan yang harus kalian patuhi selama menjadi penghuni asrama ‘Pinewood International School'." Bu Berta berbicara t
Krrrriiiiiingggggg!!! Seolah tiada lelah, bel di depan pintu asrama selalu menjerit kencang membangunkan seisi kamar asrama untuk memulai awal tahun ajaran baru. Di setiap kamar terlihat tak teratur, karena kamar mandi hanya ada satu di setiap kamar, maka lima anak harus saling bergantian, tapi bagaimana jika semua anak ingin mandi lebih dulu. “Aku yang pertama!” seru Vero pada Liny dan Keira yang bangun lebih awal. “Liny bangun lebih dulu dari kita Ve!” tegas Keira. “Tunggu! Sebaiknya kita mengundinya saja!” sambung Fane dan Fani bersamaan. “Lebih baik menggunakan urutan kartu pelajar saja!” ujar Liny dengan rambutnya yang acak-acakkan. “Terserah deh!” sahut Vero lemas menerima hasil akhir yang memutuskan Liny untuk berada di urutan mandi pertama, kedua Keira, ketiga Fane dan Fani yang memutuskan mandi bersama, dan ya
Setelah makan siang selesai, Keira seorang diri masuk ke kamarnya, karena Liny harus melaksanakan tugas piketnya. Di dalam kamar kembali dilihatnya Vero yang tengil bersama dua anak kembar yang makin mengacaukan suasana. “Akhirnya si pencari perhatian datang juga!” Ucap Vero sinis dengan hidungnya yang sedikit dinaikkan, tapi Keira tak menghiraukan ucapan teman sekamarnya itu. Ia segera meraih rok seragamnya yang tergantung di dalam lemari pakaian dan tak lama kemudian diambilnya selembar kertas dari dalam saku rok merah itu. “Kamu itu manusia atau batu sih!” bentak Vero menghampiri Keira di depan lemarinya, dan kali ini Keira tak bisa diam. Saat tiba-tiba tangan Vero tiba-tiba menarik liontin dari rantai kalung Keira yang menjuntai di luar bajunya, tapi semuanya sia-sia. Liontin itu cukup kuat untuk ditarik dari rantai tali kalu
Malam yang dingin membuat semua penghuni asrama terlelap di balik selimut tebalnya, hanya Keira yang masih tetap terjaga. Ia mengendap-endap menyusuri ruang makan yang gelap, menuju ruang santai yang dipenuhi lukisan, beberapa komik dan sofa-sofa kecil di sekeliling meja billiard berwarna hijau. Kakinya yang beralaskan sneakers mulai menapaki lantai ubin di ruang santai, Keira mengenakan celana panjang berbahan cotton biru navy dan sweater panjang dari wol berwarna biru laut, ia segera menaiki kursi kayu yang terletak di depan meja di sudut ruangan. “Aku harus mencobanya!” perintah Keira pada dirinya sendiri. “Aku harus membuktikan, apakah ini teleportasi atau hanya mimpi saja,” tegasnya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Beberapa detik kemudian Keira memejamkan matanya dan berusaha berkonsentrasi untuk mengingat sebua
Waktu telah menunjukkan pukul 17:55 WIB, acara pembukaan tahun ajaran baru akan segera dimulai. Aula Pinewood lebih ramai dan meriah dari tadi siang, murid kelas satu yang memakai seragam merah berbaris di bagian timur. D tengah aula untuk murid kelas dua yang mengenakan seragam serupa dengan kelas satu hanya saja warnanya biru tua. Sedangkan murid kelas tiga berbaris di bagian barat dengan mengenakan seragam berwarna hitam. Seragam di SMA Pinewood memang warnanya berbeda dari kelas satu sampai tiga, tapi motif dan modelnya sama, dan itu mempermudah siswa mencari teman angkatan mereka. “Kakakmu mana, Lin?” tanya Rion pada Liny di tengah barisan. “Entahlah, dari tadi aku belum melihatnya!” sahut Liny celingukan kesana-kemari. “Kenapa dari tadi siang kau diam terus, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
Gedung sekolah siang itu sangat sepi, tak ada murid yang berlalu lalang di sepanjang koridor dan asrama. Peristiwa malam akhir bulan itu sepertinya masih mencekam seisi sekolah, bayangkan saja seorang guru dibunuh di taman. Bahkan jika mau dilihat dengan cermat, di hamparan rumput masih terlihat ceceran darah Mrs. Ivanna yang telah mengering namun belum hilang karena hujan belum juga turun sejak kemarin.Dari koridor kelas Keira bisa melihat kepala sekolah yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang asrama sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.“Dari mana saja kamu?” tanya Pak Frans dengan khawatir pada Keira yang baru saja muncul di hadapannya.“Saya,”“Cepat ikut ke kantor saya,” belum sempat Keira menyelesaikan ucapannya, Pak Frans sudah memotongnya.Dengan langkah yang berat, akhirnya Keira mengikuti perintah Pak Frans. Sampailah ia di ruang kepala sekolah, ini kedua kalinya ia memasuki ruangan itu setelah yang pertama dulu bersama ibunya, tepatnya satu
“APA???”“Apa maksudmu, kamu tahu hal ini?” selidik Keira.“Aku tidak bisa lagi menutupi ini darimu, ibuku bukan seorang guru!”“Maksudmu?”“Dia hanya menyamar menjadi guru pengganti di sekolah ini, karena salah satu kasus yang sedang diinvestigasinya!” beber Evan.“Kalau memang begitu, jadi siapa ibumu itu sebenarnya?”“Dari dulu aku benci pekerjaan ibuku, aku benci mempunyai ibu seperti dia! Dia tidak pernah jadi ibu yang baik! Dia selalu pergi dan selalu tidak ada saat aku butuhkan!”“Maksudnya???” tanya Keira bingung.“Ibuku seorang kriminolog! Mirip-mirip detektif, ibuku sering sekali membantu kasus kepolisian!”“Aku selalu merasa takut saat ia pergi melakukan investigasi! Aku takut dia tak akan pernah kembali! Aku takut penyelidikan yang dilakukannya menemui jalan buntu dan akhirnya semua itu memang terjadi! Ibuku meninggal dalam tugasnya yang konyol!” Evan tak bisa lagi menahan matanya yang mulai berkaca-kaca.“Aku tahu kau sangat menyayangi ibumu,” ungkap Keira sembari menepuk
DILEMA SEORANG ANAK“Evan!”“Untunglah, akhirnya aku menemukanmu juga!” seru Keira terlihat lega, ia segera menarik lengan Evan tanpa ragu.“LEPAS!!!” bentak Evan mengagetkan Keira.“Kamu jangan sok akrab deh! Kamu yang ngebuat semua ini kan!”“Asal kamu tahu saja ya, Kei! Aku tidak akan ngebiarin pembunuh ibuku berkeliaran bebas begitu saja!” lanjut Evan segera berlalu masuk ke asrama.“TUNGGU!” seru Keira menghentikan langkah Evan.“Kamu tidak berhak menghakimi aku begitu saja, dan kayaknya kamu benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ibumu sendiri ya?” “OK, kita memang tidak akrab dan kita baru kenal, tapi aku mohon dengarkan aku kali ini saja.” Ungkap Keira di ujung jembatan, ia memastikan tak ada orang yang menguping.Evan tak bisa melanjutkan langkahnya saat mendengar perkataan Keira itu, ia segera berbalik kembali menghampiri Keira yang kini memundurkan langkahnya beberapa inchi.“Maksudmu?” tanya Evan menatap Keira dengan tatapan menantang.“Ya! Apa kamu tahu arti semua ini?”
Hari libur telah usai, Keira menghabiskan waktu pelariannya di dalam rumah tua yang terasa dingin dan menyesakkannya. Senin pagi ini rencananya, ia akan kembali ke Pinewood dan memulai awal bulan keduanya di sekolah itu dengan dirinya yang baru. “Apa aku harus ke sana? Bagaimana jika polisi-polisi itu menangkapku?” “Aduuhh, kenapa ragu lagi?” “Hadapi saja! Lagi pula aku tidak bersalah!” tegas Keira bersiap melakukan ‘Teleportasi’. Entah apa yang sudah menunggu Keira di Pinewood, masih setengah jam lagi waktu pelajaran dimulai. Dalam beberapa menit saja Keira sudah berada di dalam kamar asrama, untung saja tak ada seorang pun di dalam kamar saat itu. Mungkin semua anak sedang sarapan di ruang makan dan masih ada waktu jika ia hendak kembali ke rumahnya seperti seorang pengecut, tapi tidak. Keira segera melangkah dari sudut kamar menuju lemarinya, ia mengambil seragamnya yang terlipat rapih di dalam lemari dan segera menggunakannya. Tapi sepertinya ada yang aneh, dengan asrama it
Mata bulatnya segera terpejam, dan pikirannya mulai bekerja untuk mengingat kembali jalanan yang dilaluinya saat menuju ke kantor polisi ini.Meskipun samar-samar tapi setidaknya Keira masih mengingat dengan baik rute perjalanan dari sekolah menuju rumahnya.“Tok...Tok...Tok...!” ketukan keras di depan pintu ruang penahanan mengagetkan Keira, dan seketika itu juga Keira membuka matanya.“Aaaa...!” jerit Keira saat sebuah sepeda merobohkan tubuhnya di tengah jalan raya.“Kalo nyebrang yang bener dong!”“Tidak punya mata ya!” bentak seorang bocah lelaki kecil yang bertengger di atas sepedanya.Keira hanya terperangah melihat bocah lelaki itu berlalu mengayuh sepedanya kembali tanpa memberikan sedikitpun bantuan pada dirinya yang tumbang.“Dasar bocil!” gerutu Keira beranjak dari jalan raya yang sepi dengan pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan raya itu.“Teleportasi yang tidak sempurna,” keluh Keira sembari menatap rumahnya yang masih berada seratus meter dari tempatnya berdiri.
Keira tak bisa berbuat apapun saat polisi membawanya dalam kasus kematian Mrs. Ivanna, dan hal itu bertambah berat saat diketahui bahwa kamera CCTV di gedung sekolah sejak semalam tak berfungsi.Keira masih tak percaya dengan kejadian tadi malam, di dalam mobil polisi ia hanya terdiam dan memandang lurus ke depan melihat jalanan yang dilaluinya dan merasakan darah yang mulai mengering di telapak tangannya.“Apa yang kamu lakukan gurumu?” tanya seorang polisi berbadan kurus kering dengan wajah dingin yang mirip anak macan.“Apa Anda menduuhku membunuhnya!” sahut Keira di depan meja polisi .“Apa karena dendam?” lanjut polisi itu dengan wajah menghina.“Sudah saya katakan, saya tidak melakukan apa yang Anda pikirkan!” jawab Keira dingin.“Lalu kenapa kamu berada di samping mayat wanita itu, dan jika kamu tak membunuhnya kenapa kamu tak melaporkannya pada polisi?""Lagipula hanya orang yang berada di dalam sekolah itu yang bisa melakukan pembunuhan itu, karena sekolah itu sangat tertutup
Mimpi dan kenyataan memang seringkali berbanding terbalik, tapi tak jarang juga mimpi menjadi kenyataan meski tak diharapkan. Bisa apa manusia jika itu terjadi? Akhir bulan ini tak ada yang bisa Keira lakukan, selain terus menyantap makan siangnya dan melihat para penghuni asrama sedikit demi sedikit berkurang. Tentu saja Keira merasa iri melihat teman- temannya pulang ke rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menghabiskan hari liburnya di dalam asrama. Dua hari libur yang berlalu pasti akan terasa seperti dua windu bai Keira “Kei! Aku pulang dulu ya, lusa aku akan kembali kesini dan membawa oleh-oleh untukmu!” “Hati-hati Lin!” “Kamu juga, jaga dirimu baik-baik!” Keira hanya mengangguk lemas, ia benar-benar ditinggal sendiri dengan beberapa pegawai dapur dan pegawai asrama yang memang tinggal di dalam asrama. Perlahan Liny menghilang di dalam kerumunan murid lain yang berantri menunggu lift, Keira segera masuk ke kamarnya saat dilihatnya Liny telah memasuki lift. Keira
Seberapa keras kamu mencoba menghindari takdir yang tak kau inginkan, takdir selalu memiliki jalannya sendiri untuk datang menghampirimu.Keira yang mencoba membuka lembaran baru, mencoba bersembunyi dan menghindari masalah sepertinya tak berdaya saat nalurinya bereaksi dengan spontan.Baru beberapa hari di sekolah asrama, Keira merasa hidupnya semakin sulit dikendalikan, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar, apalagi mimpi buruknya semakin mendekati kenyataan, saat Mrs.Ivanna datang ke Pinewood.Belati yang dilihatnya dalam mimpi juga sudah dilihatnya dalam kenyataan, hanya saja Keira belum tahu siapa pemilik belati itu, ditambah lagi dengan Evanda yang terus-terusan mengawasinya.“Mungkin dia marah, mendengar ucapanku mengenai Mrs.Ivanna yang ternyata adalah ibunya, tapi bagaimana aku meyakinkannya, bahwa ucapanku benar dan bagaimana caranya aku mencegah kejadian mengerikan itu?”Keira teringat masa lalu yang menghantuinya, bagaimana ia dituduh sebagai biang keladi atas bencana y
Hari senin pagi selalu membuat semua siswa sibuk, mulai bangun pagi, kembali belajar, dan Keira akan keluar dari kamar yang membuat tubuhnya terasa kotor penuh debu.“Keira! Kamu boleh keluar!” perintah Bu Berta membuka pintu besi yang dipenuhi karat, tapi ia segera menyipitkan matanya saat melihat Keira yang sudah berdiri di tengah kamar dengan badan yang tetap segar meski sedikit kusam berdebu.“Terima kasih, Bu!” sahut Keira sembari menyembunyikan barang-barang bawaannya di balik bajunya.“Keira! Apa kamu benar-benar kuat untuk berjalan sendiri?” selidik Bu Berta pada Keira yang tidak diberi makan sejak sabtu.“Aku bahkan dapat berlari, jika itu harus!” sahut Keira dengan tenang dan sombong.“Terserah apa katamu, sebaiknya cepat mandi dan bergabung bersama teman-temanmu di ruang makan!” perintah Bu Berta yang segera berjalan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan.“Mana mungkin kuberitahu, bahwa aku masuk ke dapur dan memakan makanan dari dalam kulkas selama dua mal