Beranda / Fantasi / Teleportasi / Chapter 6: Hari Pertama Sekolah

Share

Chapter 6: Hari Pertama Sekolah

Penulis: Khansa Maria
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Krrrriiiiiingggggg!!!

Seolah tiada lelah, bel di depan pintu asrama selalu menjerit kencang membangunkan seisi kamar asrama untuk memulai awal tahun ajaran baru. 

Di setiap kamar terlihat tak teratur, karena kamar mandi hanya ada satu di setiap kamar, maka lima anak harus saling bergantian, tapi bagaimana jika semua anak ingin mandi lebih dulu.

“Aku yang pertama!” seru Vero pada Liny dan Keira yang bangun lebih awal.

“Liny bangun lebih dulu dari kita Ve!” tegas Keira.

“Tunggu! Sebaiknya kita mengundinya saja!” sambung Fane dan Fani bersamaan.

“Lebih baik menggunakan urutan kartu pelajar saja!” ujar Liny dengan rambutnya yang acak-acakkan.

“Terserah deh!” sahut Vero lemas menerima hasil akhir yang memutuskan Liny untuk berada di urutan mandi pertama, kedua Keira, ketiga Fane dan Fani yang memutuskan mandi bersama, dan yang terakhir adalah Vero yang masih menggerutu dengan handuk pink yang tersangkut di lehernya.

Semua murid kelas satu, berjalan melewati jembatan menyusuri koridor kelas untuk mencari nama mereka masing-masing yang tertera di daftar siswa yang ditempelkan di depan pintu setiap kelas. 

Keira berjalan berdampingan bersama Liny, mereka berdua membawa peralatan tulis dan buku pelajaran, dengan mengenakan seragam berwarna merah, rok kotak-kotak berwarna merah tua.

Sangat serasi dipadu dengan kemeja lengan pendek berwarna putih yang dilapisi rompi sweater berwarna merah dengan lambang Pinewood di dada kiri rompi sweater v neck mereka.

Kemudian pita hitam yang menyilang di kerah kemeja putih, terlihat melengkapi seragam. Semua siswa terlihat semakin rapih dengan sepasang sepatu vantovel hitam dan kaos kaki hitam panjang yang keduanya memiliki lambang Pinewood. 

Sedangkan murid laki-laki mengenakan celana yang corak dan warnanya sama, kemeja putih, sepatu vantovel bertali, kaos kaki hitam panjang dan rompi sweater berlambang Pinewood.

Hanya saja dasi untuk murid laki-laki bentuknya panjang bercorak garis-garis merah tua dan hitam yang dimasukkan ke dalam sweater, sehingga hanya terlihat setengahnya saja dari luar.

Akhirnya Keira dan Liny menghentikan langkahnya di depan kelas 1E. Mereka segera memasukinya, setelah yakin namanya tercantum di daftar siswa. 

Liny berjalan menuju bangku pertama di baris ke dua yang masih kosong, diikuti oleh Keira yang duduk persis di belakangnya. 

Dua anak itu segera membuka laci yang terletak di samping meja dan memasukkan peralatan tulis mereka kedalam laci meja yang terbuat dari kayu berwarna coklat tua mengkilap.

Di dalam laci itu sudah tersedia sebuah tas berwarna hitam dengan penutup tas tertempel lambang Pinewood yang dimiliki semua murid. 

Sekilas Liny memalingkan wajahnya ke belakang dan menggerakkan alisnya sembari melirik ke arah pojok kanan, saat menatap Keira yang segera mengikuti arah pandangan Liny. 

Di pojok kanan dilihatnya Vero yang sedang mencoba menarik perhatian seseorang yang duduk di bangku lain di sebelah kirinya, dengan melambai-lambaikan tangannya meski tak dihiraukan.

“Dia lagi!” gerutu Keira melihat Rion yang ada di dalam kelas yang sama dengannya.

“Vero cewek yang agresif abisss!” seru Liny terkekah. 

Keira hanya menarik bibirnya tanpa mencoba tersenyum. Ia lebih fokus pada Rion yang tak diduga akan satu kelas dengannya.

Jam berbentuk pohon cemara yang terpasang di dinding kelas menunjukkan pukul 07:30 WIB saat seorang wanita yang mungkin seumuran dengan ibu Keira masuk ke kelas.

Wanita itu berambut coklat dengan wajah oval, kacamata berbingkai perak yang menghiasi matanya yang kecil, dan hidung mancung yang berada tepat di atas bibirnya yang merah dan tipis. 

Dengan senyuman ramah ia berjalan tegap di atas high heels nya yang hitam mengkilap, serasi dengan kemeja lengan panjang dan rok selututnya yang pas di tubuh tingginya.

“Morning Class!” seru wanita yang terlihat blesteran itu di depan semua siswa.

“My name is Lindsay Smith, call me Mrs.Lindsay!” lanjutnya pada murid-murid yang terpana melihatnya.

“Morning Mrs.Lindsay!” seru semua murid.

“Apa dia tidak bisa Bahasa Indonesia sama sekali?” gerutu Liny kesal, meski sudah sejak lama bersekolah di sekolah internasional, tetap saja ia tidak begitu suka bahasa Inggris.

“Mungkin bisa, tapi karena ini pelajaran Bahasa Inggris jadi dia memakai Bahasa Inggris,” bisik Keira pada Liny yang memundurkan kursinya beberapa senti ke meja Keira.

“Aduuuh! Benar-benar membuatku pusing!” keluh Liny mengacak-acak rambutnya yang mulai mengembang karena tak dijepit.

Dua jam berlalu pelajaran Bahasa Inggris berakhir, tapi sebelum Mrs.Lindsay melangkah keluar, ia berdiri di depan kelas dan menatap murid-muridnya yang sudah tak sabar untuk keluar kelas.

“Untuk tugas minggu depan, buatlah sebuah cerita pendek yang berhubungan dengan sekolah baru kalian!” perintah Mrs.Lindsay menggunakan Bahasa Indonesia yang sempurna.

“Ah…akhirnya dia mengatakan hal yang kumengerti,” 

Lniny lega mendengarnya, Keira melihat wanita itu keluar dari kelas, tapi di sudut pintu Mrs.Lindsay tiba-tiba berhenti dan segera melemparkan pandangannya pada Keira yang sedikit kaget karena bertabrak pandang dengan Mrs.Lindsay. 

Tapi tatapan gurunya itu justru membuatnya sedikit bingung dan merinding.

“Kei! Kei!” panggil Liny yang berjalan di samping Keira saat menyusuri koridor kelas menuju Perpustakaan.

“Ya?” sahut Keira terlihat bingung.

“Kamu kenapa sih dari tadi ngelamun terus? Masih mikirin tugas dari Mrs.Lindsay?”

“Nggak!” sahut Keira teringat tatapan aneh Mrs.Lindsay yang terekam jelas di otaknya.

“Setelah ini pelajaran apa?”

“Ilmu Psikologi!” jawab Liny yang makin aneh dengan sikap temannya.

Ruang perpustakaan yang dilengkapi dengan jaringan internet itu dijaga oleh seorang wanita tua bernama Hilda. 

Perpustakaan sekolah memiliki koleksi buku yang sangat lengkap, lemari-lemari besar yang tingginya tak lebih dari dua meter berjejer dengan buku-buku yang tertata rapih. 

Murid kelas E segera mengambil tempat masing-masing di deretan kursi dan meja yang tertata di tengah ruangan, saat seorang pria kecil memasuki ruang perpustakaan.

“Selamat siang semuanya!” 

”Siang pak!”

”Perkenalkan nama saya Guna, Pak Guna! Selamat datang di kelas Psikologi, dan karena kalian murid tahun pertama, maka saya ucapkan Selamat Datang di Pinewood!” seru pria kecil berkulit putih.

Pak Guna memiliki garis wajah keras yang terukir di tulang rahang dan pipinya yang tanpa lemak itu, suaranya terdengar melengking dan tangannya seringkali direntangkan lebar-lebar, membuat semua murid meringis. 

“Apa yang kalian tau tentang Psikologi?” Tanya Pak Guna yang langsung masuk ke materi pelajaran. Tapi sayang, tak ada satu pun murid yang menjawab pertanyaan guru itu, sebagian dari mereka hanya mendecih bosan.

“Baiklah! Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang keadaan jiwa, perilaku, dan juga proses mental seseorang. Dan biasanya seorang Psikolog akan mencoba membaca apa yang difikirkan dan mendengarkan apa yang diungkapkan oleh klien atau pasiennya dan dari situ maka akan diketahui keadaan jiwa atau pun mental pasien tersebut”.

“Apa yang dia bicarakan?” gumam Keira menatap Pak Guna tanpa semangat, ia masih membayangkan wajah Mrs.Lindsay yang belum mau beranjak dari otaknya.

“Kamu kenapa sih, Kei?” tanya Liny lagi.

“Apa dengan begitu seorang Psikolog bisa membaca fikiran seseorang dengan akurat?” 

Keira bangkit dari kursinya, semua murid tercengang menatapnya. Pak guru itu terlihat kaget saat mendengar pertanyaan muridnya, ia melebarkan matanya sesaat dan menelan ludah sebelum akhirnya ia mulai bicara.

“Asalkan dia bisa memahami dengan sungguh-sungguh perasaan orang itu, berkonsentrasi penuh, dan yang utama adalah mengacu pada apa yang telah dipelajarinya dan komunikasi, maka seorang psikolog akan tahu apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan oleh seseorang itu!”

“Tapi ada sebuah kata-kata yang biasa disebut ‘Kekuatan Pikiran’! Karena setiap orang mempunyai kekuatan dalam fikirannya masing-masing dan antara orang satu dan yang lainnya berbeda! Jadi sulit untuk mengetahui isi fikiran setiap orang secara akurat.” lanjut Pak Guna sembari tersenyum pada Keira.

“Kekuatan Pikiran?” ulang Keira terduduk kembali di kursinya. 

Entah apa yang ada di otak Keira, sehingga ia menanyakan hal aneh itu pada guru Psikologi yang baru mengajar di kelasnya.

Pelajaran telah usai, semua murid kembali ke asrama, di pintu gerbang asrama seorang penjaga telah bersiap melakukan tugasnya dan tak ada satu pun yang menyapa petugas yang berdiri seperti patung.

Sesekali beberapa murid mencoba meledek sang petugas, tapi tak ada yang berhasil, mungkin dia pikir dia penjaga istana kerajaan Inggris. 

Dan karena peristiwa kemarin sore dan tadi di kelas psikologi, beberapa murid di sepanjang jalan mulai mengosipkan Keira.

“Dia itu nggak waras!”

“Dia lagi cari perhatian kali!” bisik beberapa murid perempuan sambil menatap Keira dan Liny yang sedang berjalan di hadapan mereka.

“Kei! Aku duluan ya!” 

Liny memutuskan berjalan cepat meninggalkan Keira yang hanya bisa melihat temannya pergi meninggalkannya.

“Ternyata ini terulang lagi!” batin Keira melangkahkan kakinya yang terasa lemas, hingga ia tak bisa menahan beban tubuhnya.

Keira melihat kembali pintu kayu yang kemarin dimasukinya, matanya terpejam dan beberapa detik kemudian telunjuk kanannya mulai bergerak saat di dalam fikirannya terlihat tangga putar yang sangat tinggi.

Tanpa disadari telunjuknya terus bergerak menyusuri tangga putar itu, hingga sampai di pintu besi, dilihatnya pintu besi itu terkunci.

Tapi tak sulit bagi Keira untuk melihat dalam bayangannya pintu itu terbuka dan telunjuknya sampai di atap gedung selatan. Keira membuka matanya dan menyadari dirinya benar-benar ada di atap gedung selatan.

Dan kini ia melihat dengan jelas pemandangan yang sangat cerah dan hembusan angin di atap gedung membelai wajahnya. Tapi tiba-tiba selembar kertas terbang dan hinggap di wajahnya, tangannya segera meremas kertas itu.

Tapi saat hendak melemparnya sesuatu menarik perhatiannya. Keira membuka lembaran kertas lusuh itu dan memicingkan matanya untuk membaca tulisan besar yang tertera jelas di atasnya.

‘TELEPORTASI’

“Teleportasi?” ulang Keira kembali meremas kertas di tangannya dan saat itu juga langit menjadi mendung dan hujan mulai turun membasahi tubuhnya, dan terdengar suara samar-samar di telinganya.

“Keira! Kei!” panggil suara itu semakin jelas.

“Keira! Sadar Kei!” seru Liny memercikan air ke wajah Keira. 

“Liny?”

“Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga! Aku minta maaf ya, tadi meninggalkanmu berjalan sendiri!” ujar Liny merasa bersalah.

“Memangnya aku kenapa?” tanya Keira.

“Kamu tadi pingsan di koridor kelas! Untung ada Rion,” 

"Rion?” ulang Keira.

“Iya, untung saja ada dia! Dia yang membawamu ke ruang kesehatan di lantai satu, menggunakan lift.”

"Apa?!?!” 

Keira segera beranjak dari kasur di ruang kesehatan, tapi ia terhenti saat merasakan sesuatu yang mengganjal di tangannya. 

Keira tak bisa berkata apapun saat dilihatnya sebuah kertas yang terremas kucel di genggamannya.

“Sudahlah Kei, jangan marah! Lagi pula dia sudah menolongmu!” saran Liny tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Kamu sudah baikan? Kalau sudah lebih baik, sebaiknya kita kembali ke asrama, atau kita akan kehilangan makan siang kita!” ucapan Liny membangunkan Keira dari lamunannya.

“Benar, sepertinya aku merasa lebih baik!”

“Kamu sudah sadar?” tanya seorang wanita berbaju putih yang muncul dari tirai di samping ranjang ruang kesehatan.

“Apa dia sakit, Dok!” tanya Liny pada dokter sekolah  yang terlihat masih muda dan segar.

“Dia hanya terlalu lelah dan kurang tidur saja! Sebaiknya saat ada waktu senggang disiang hari gunakanlah untuk istirahat dan malam hari cukupkanlah tidur minimal 8 jam, dan karena cuaca sedang buruk maka jangan keluar saat hujan dan jangan terkena angin kencang, minum saja multivitamin untuk menambah daya tahan tubuhmu!”

“Mana mungkin aku bisa tidur nyenyak jika mimpi-mimpi itu masih mengikutiku!” batin Keira sembari memasukan kertas dalam genggamannya itu ke dalam saku rok nya.

Dengan langkah yang terasa hampa, Keira masuk ke dalam Lift bersama Liny, dalam 30 detik lift sudah berhenti di kelas satu, pintu lift terbuka. 

Keira dan Liny masih mengenakan seragam saat dilihatnya ruang makan asrama telah dipenuhi murid yang telah mengenakan pakaian casual mereka.

“Untung saja makanan dan Bu Berta belum datang,” celetuk Liny, mempercepat langkahnya menarik lengan Keira untuk segera masuk ke dalam kamar.

“Apa kau tetap mau jadi sahabatku, walaupun teman-teman yang lain selalu membicarakanku?” tanya Keira tiba-tiba di depan lemarinya yang menganga.

“Kei! Maafkan aku ya, atas kejadian tadi! Aku nggak peduli mereka mau ngomong apa tentang kamu, tapi yang jelas kamu teman yang baik!” ungkap Liny.

“Mau bersahabat denganku?” ujar Liny mengulurkan lengan kanannya yang segera disambut oleh Keira.

“Sebaiknya kita bergegas, sebelum Bu Berta memergoki kita di sini!” lanjut Liny yang mengenakan t-shirt berwarna hijau tua dengan skinny jeans yang menutupi mata kakinya.

Di ruang makan, lagi-lagi semua pandangan tertuju pada Keira, tatapan mereka seolah-olah melihat hantu atau alien saja. 

Keira dan Liny segera duduk di bangku mereka, sekilas terlihat Vero menatap Keira dengan geram, tapi untung saja Keira tak menanggapinya. 

Suasana ruang makan sangat riuh, tapi Bu Berta belum juga menunjukkan batang hidungnya, bahkan para pegawai dapurpun belum terlihat, tapi tak lama kemudian sebuah suara yang tak asing lagi menggelegar, dan membuat semua murid terdiam.

“Ada pengumuman penting, semua perhatikan! Karena ibu tak akan mengulangnya!” perintah Bu Berta dari ujung meja dan langsung dipatuhi oleh seisi ruang makan.

“Karena hari ini adalah tahun ajaran baru, maka akan diadakan acara awal tahun ajaran dan bagi murid kelas satu juga ada acara penyambutan,” ungkap Bu Berta, membuat semua murid senang.

“Acara itu akan diadakan sabtu depan di aula Pinewood yang berada di lantai dasar gedung selatan, pada pukul 18:00 WIB, semua murid Pinewood harus ikut serta dari kelas 1 sampai 3, dan kenakanlah pakaian seragam kalian dengan lengkap!” lanjut Bu Berta. 

Keira menatap Rion yang sedang sibuk mengobrol bersama teman-temannya, tapi Keira segera teringat dengan kata-kata yang tertulis di kertas itu.

“Apa itu mimpi? Tapi kenapa aku bisa membawa benda yang kupegang didalam mimpi ke dalam dunia nyata? Atau ada seseorang yang meletakkannya di tanganku? Tapi mana mungkin tepat seperti mimpiku?” tanya Keira dalam hati.

“Kei!” panggil Liny segera menyadarkan Keira dari lamunannya. 

“Kamu nggak makan?” lanjutnya pada Keira yang terlihat linglung saat melihat seonggok nasi yang tercetak rapi dan satu mangkuk sup ayam yang masih mengepulkan asapnya.

Bab terkait

  • Teleportasi   Chapter 7: Teleportasi

    Setelah makan siang selesai, Keira seorang diri masuk ke kamarnya, karena Liny harus melaksanakan tugas piketnya. Di dalam kamar kembali dilihatnya Vero yang tengil bersama dua anak kembar yang makin mengacaukan suasana. “Akhirnya si pencari perhatian datang juga!” Ucap Vero sinis dengan hidungnya yang sedikit dinaikkan, tapi Keira tak menghiraukan ucapan teman sekamarnya itu. Ia segera meraih rok seragamnya yang tergantung di dalam lemari pakaian dan tak lama kemudian diambilnya selembar kertas dari dalam saku rok merah itu. “Kamu itu manusia atau batu sih!” bentak Vero menghampiri Keira di depan lemarinya, dan kali ini Keira tak bisa diam. Saat tiba-tiba tangan Vero tiba-tiba menarik liontin dari rantai kalung Keira yang menjuntai di luar bajunya, tapi semuanya sia-sia. Liontin itu cukup kuat untuk ditarik dari rantai tali kalu

  • Teleportasi   Chapter 8: Wanita Dalam Mimpi

    Malam yang dingin membuat semua penghuni asrama terlelap di balik selimut tebalnya, hanya Keira yang masih tetap terjaga. Ia mengendap-endap menyusuri ruang makan yang gelap, menuju ruang santai yang dipenuhi lukisan, beberapa komik dan sofa-sofa kecil di sekeliling meja billiard berwarna hijau. Kakinya yang beralaskan sneakers mulai menapaki lantai ubin di ruang santai, Keira mengenakan celana panjang berbahan cotton biru navy dan sweater panjang dari wol berwarna biru laut, ia segera menaiki kursi kayu yang terletak di depan meja di sudut ruangan. “Aku harus mencobanya!” perintah Keira pada dirinya sendiri. “Aku harus membuktikan, apakah ini teleportasi atau hanya mimpi saja,” tegasnya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Beberapa detik kemudian Keira memejamkan matanya dan berusaha berkonsentrasi untuk mengingat sebua

  • Teleportasi   Chapter 9: Malam Perkenalan Pinewood

    Waktu telah menunjukkan pukul 17:55 WIB, acara pembukaan tahun ajaran baru akan segera dimulai. Aula Pinewood lebih ramai dan meriah dari tadi siang, murid kelas satu yang memakai seragam merah berbaris di bagian timur. D tengah aula untuk murid kelas dua yang mengenakan seragam serupa dengan kelas satu hanya saja warnanya biru tua. Sedangkan murid kelas tiga berbaris di bagian barat dengan mengenakan seragam berwarna hitam. Seragam di SMA Pinewood memang warnanya berbeda dari kelas satu sampai tiga, tapi motif dan modelnya sama, dan itu mempermudah siswa mencari teman angkatan mereka. “Kakakmu mana, Lin?” tanya Rion pada Liny di tengah barisan. “Entahlah, dari tadi aku belum melihatnya!” sahut Liny celingukan kesana-kemari. “Kenapa dari tadi siang kau diam terus, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”

  • Teleportasi   Chapter 10: Hukuman Kamar Tertutup

    Malam kian larut, tetapi ruang makan asrama kelas satu masih dipenuhi murid yang kelihatannya sudah mulai ngantuk dan lelah setelah mengikuti acara pembukaan tahun ajaran baru.Ada beberapa anak yang terlihat kesal, geram dan mulai menggerutu sendiri sembari menggosipkan Keira.“Kemana saja sih anak itu!” seru Vero kesal dan menatap Liny yang menundukkan kepalanya. Liny enggan menanggapi teman sekamarnya. Ia dan Rion gagal mengejar Keira yang berlari dan menghilang saat keluar dari aula.“Semuanya harap tenang! Kita akan menunggunya lima menit lagi, jika dia tak datang juga, maka dia akan diskorsing dari sekolah!” ungkap Bu Berta dari mejanya.“Tapi Bu…,” ujar Rion yang bangkit dari kursinya dan berusaha membela Keira yang entah berada dimana sekarang.“Rion! Sebaiknya kamu diam!” sergah Bu Berta membuat Rion terduduk kembali di bangkunya.“Skorsing?” ulan

  • Teleportasi   Chapter 11: Wanita dan Anaknya

    Hari senin pagi selalu membuat semua siswa sibuk, mulai bangun pagi, kembali belajar, dan Keira akan keluar dari kamar yang membuat tubuhnya terasa kotor penuh debu.“Keira! Kamu boleh keluar!” perintah Bu Berta membuka pintu besi yang dipenuhi karat, tapi ia segera menyipitkan matanya saat melihat Keira yang sudah berdiri di tengah kamar dengan badan yang tetap segar meski sedikit kusam berdebu.“Terima kasih, Bu!” sahut Keira sembari menyembunyikan barang-barang bawaannya di balik bajunya.“Keira! Apa kamu benar-benar kuat untuk berjalan sendiri?” selidik Bu Berta pada Keira yang tidak diberi makan sejak sabtu.“Aku bahkan dapat berlari, jika itu harus!” sahut Keira dengan tenang dan sombong.“Terserah apa katamu, sebaiknya cepat mandi dan bergabung bersama teman-temanmu di ruang makan!” perintah Bu Berta yang segera berjalan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan.“Mana mungkin kuberitahu, bahwa aku masuk ke dapur dan memakan makanan dari dalam kulkas selama dua mal

  • Teleportasi   Chapter 12: Takdir Selalu Menemukan Jalannya

    Seberapa keras kamu mencoba menghindari takdir yang tak kau inginkan, takdir selalu memiliki jalannya sendiri untuk datang menghampirimu.Keira yang mencoba membuka lembaran baru, mencoba bersembunyi dan menghindari masalah sepertinya tak berdaya saat nalurinya bereaksi dengan spontan.Baru beberapa hari di sekolah asrama, Keira merasa hidupnya semakin sulit dikendalikan, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar, apalagi mimpi buruknya semakin mendekati kenyataan, saat Mrs.Ivanna datang ke Pinewood.Belati yang dilihatnya dalam mimpi juga sudah dilihatnya dalam kenyataan, hanya saja Keira belum tahu siapa pemilik belati itu, ditambah lagi dengan Evanda yang terus-terusan mengawasinya.“Mungkin dia marah, mendengar ucapanku mengenai Mrs.Ivanna yang ternyata adalah ibunya, tapi bagaimana aku meyakinkannya, bahwa ucapanku benar dan bagaimana caranya aku mencegah kejadian mengerikan itu?”Keira teringat masa lalu yang menghantuinya, bagaimana ia dituduh sebagai biang keladi atas bencana y

  • Teleportasi   Chapter 13: Saat Mimpi Menjadi Kenyataan

    Mimpi dan kenyataan memang seringkali berbanding terbalik, tapi tak jarang juga mimpi menjadi kenyataan meski tak diharapkan. Bisa apa manusia jika itu terjadi? Akhir bulan ini tak ada yang bisa Keira lakukan, selain terus menyantap makan siangnya dan melihat para penghuni asrama sedikit demi sedikit berkurang. Tentu saja Keira merasa iri melihat teman- temannya pulang ke rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menghabiskan hari liburnya di dalam asrama. Dua hari libur yang berlalu pasti akan terasa seperti dua windu bai Keira “Kei! Aku pulang dulu ya, lusa aku akan kembali kesini dan membawa oleh-oleh untukmu!” “Hati-hati Lin!” “Kamu juga, jaga dirimu baik-baik!” Keira hanya mengangguk lemas, ia benar-benar ditinggal sendiri dengan beberapa pegawai dapur dan pegawai asrama yang memang tinggal di dalam asrama. Perlahan Liny menghilang di dalam kerumunan murid lain yang berantri menunggu lift, Keira segera masuk ke kamarnya saat dilihatnya Liny telah memasuki lift. Keira

  • Teleportasi   Chapter 14: Tawanan Polisi

    Keira tak bisa berbuat apapun saat polisi membawanya dalam kasus kematian Mrs. Ivanna, dan hal itu bertambah berat saat diketahui bahwa kamera CCTV di gedung sekolah sejak semalam tak berfungsi.Keira masih tak percaya dengan kejadian tadi malam, di dalam mobil polisi ia hanya terdiam dan memandang lurus ke depan melihat jalanan yang dilaluinya dan merasakan darah yang mulai mengering di telapak tangannya.“Apa yang kamu lakukan gurumu?” tanya seorang polisi berbadan kurus kering dengan wajah dingin yang mirip anak macan.“Apa Anda menduuhku membunuhnya!” sahut Keira di depan meja polisi .“Apa karena dendam?” lanjut polisi itu dengan wajah menghina.“Sudah saya katakan, saya tidak melakukan apa yang Anda pikirkan!” jawab Keira dingin.“Lalu kenapa kamu berada di samping mayat wanita itu, dan jika kamu tak membunuhnya kenapa kamu tak melaporkannya pada polisi?""Lagipula hanya orang yang berada di dalam sekolah itu yang bisa melakukan pembunuhan itu, karena sekolah itu sangat tertutup

Bab terbaru

  • Teleportasi   Chapter 19: Ancaman untuk Keira

    Gedung sekolah siang itu sangat sepi, tak ada murid yang berlalu lalang di sepanjang koridor dan asrama. Peristiwa malam akhir bulan itu sepertinya masih mencekam seisi sekolah, bayangkan saja seorang guru dibunuh di taman. Bahkan jika mau dilihat dengan cermat, di hamparan rumput masih terlihat ceceran darah Mrs. Ivanna yang telah mengering namun belum hilang karena hujan belum juga turun sejak kemarin.Dari koridor kelas Keira bisa melihat kepala sekolah yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang asrama sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.“Dari mana saja kamu?” tanya Pak Frans dengan khawatir pada Keira yang baru saja muncul di hadapannya.“Saya,”“Cepat ikut ke kantor saya,” belum sempat Keira menyelesaikan ucapannya, Pak Frans sudah memotongnya.Dengan langkah yang berat, akhirnya Keira mengikuti perintah Pak Frans. Sampailah ia di ruang kepala sekolah, ini kedua kalinya ia memasuki ruangan itu setelah yang pertama dulu bersama ibunya, tepatnya satu

  • Teleportasi   Chapter 18: Penolakan Evanda

    “APA???”“Apa maksudmu, kamu tahu hal ini?” selidik Keira.“Aku tidak bisa lagi menutupi ini darimu, ibuku bukan seorang guru!”“Maksudmu?”“Dia hanya menyamar menjadi guru pengganti di sekolah ini, karena salah satu kasus yang sedang diinvestigasinya!” beber Evan.“Kalau memang begitu, jadi siapa ibumu itu sebenarnya?”“Dari dulu aku benci pekerjaan ibuku, aku benci mempunyai ibu seperti dia! Dia tidak pernah jadi ibu yang baik! Dia selalu pergi dan selalu tidak ada saat aku butuhkan!”“Maksudnya???” tanya Keira bingung.“Ibuku seorang kriminolog! Mirip-mirip detektif, ibuku sering sekali membantu kasus kepolisian!”“Aku selalu merasa takut saat ia pergi melakukan investigasi! Aku takut dia tak akan pernah kembali! Aku takut penyelidikan yang dilakukannya menemui jalan buntu dan akhirnya semua itu memang terjadi! Ibuku meninggal dalam tugasnya yang konyol!” Evan tak bisa lagi menahan matanya yang mulai berkaca-kaca.“Aku tahu kau sangat menyayangi ibumu,” ungkap Keira sembari menepuk

  • Teleportasi   Chapter 17: Dilema Seorang Anak

    DILEMA SEORANG ANAK“Evan!”“Untunglah, akhirnya aku menemukanmu juga!” seru Keira terlihat lega, ia segera menarik lengan Evan tanpa ragu.“LEPAS!!!” bentak Evan mengagetkan Keira.“Kamu jangan sok akrab deh! Kamu yang ngebuat semua ini kan!”“Asal kamu tahu saja ya, Kei! Aku tidak akan ngebiarin pembunuh ibuku berkeliaran bebas begitu saja!” lanjut Evan segera berlalu masuk ke asrama.“TUNGGU!” seru Keira menghentikan langkah Evan.“Kamu tidak berhak menghakimi aku begitu saja, dan kayaknya kamu benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ibumu sendiri ya?” “OK, kita memang tidak akrab dan kita baru kenal, tapi aku mohon dengarkan aku kali ini saja.” Ungkap Keira di ujung jembatan, ia memastikan tak ada orang yang menguping.Evan tak bisa melanjutkan langkahnya saat mendengar perkataan Keira itu, ia segera berbalik kembali menghampiri Keira yang kini memundurkan langkahnya beberapa inchi.“Maksudmu?” tanya Evan menatap Keira dengan tatapan menantang.“Ya! Apa kamu tahu arti semua ini?”

  • Teleportasi   Chapter 16: Back To Pinewood

    Hari libur telah usai, Keira menghabiskan waktu pelariannya di dalam rumah tua yang terasa dingin dan menyesakkannya. Senin pagi ini rencananya, ia akan kembali ke Pinewood dan memulai awal bulan keduanya di sekolah itu dengan dirinya yang baru. “Apa aku harus ke sana? Bagaimana jika polisi-polisi itu menangkapku?” “Aduuhh, kenapa ragu lagi?” “Hadapi saja! Lagi pula aku tidak bersalah!” tegas Keira bersiap melakukan ‘Teleportasi’. Entah apa yang sudah menunggu Keira di Pinewood, masih setengah jam lagi waktu pelajaran dimulai. Dalam beberapa menit saja Keira sudah berada di dalam kamar asrama, untung saja tak ada seorang pun di dalam kamar saat itu. Mungkin semua anak sedang sarapan di ruang makan dan masih ada waktu jika ia hendak kembali ke rumahnya seperti seorang pengecut, tapi tidak. Keira segera melangkah dari sudut kamar menuju lemarinya, ia mengambil seragamnya yang terlipat rapih di dalam lemari dan segera menggunakannya. Tapi sepertinya ada yang aneh, dengan asrama it

  • Teleportasi   Chapter 15: Pesan dari Ibu

    Mata bulatnya segera terpejam, dan pikirannya mulai bekerja untuk mengingat kembali jalanan yang dilaluinya saat menuju ke kantor polisi ini.Meskipun samar-samar tapi setidaknya Keira masih mengingat dengan baik rute perjalanan dari sekolah menuju rumahnya.“Tok...Tok...Tok...!” ketukan keras di depan pintu ruang penahanan mengagetkan Keira, dan seketika itu juga Keira membuka matanya.“Aaaa...!” jerit Keira saat sebuah sepeda merobohkan tubuhnya di tengah jalan raya.“Kalo nyebrang yang bener dong!”“Tidak punya mata ya!” bentak seorang bocah lelaki kecil yang bertengger di atas sepedanya.Keira hanya terperangah melihat bocah lelaki itu berlalu mengayuh sepedanya kembali tanpa memberikan sedikitpun bantuan pada dirinya yang tumbang.“Dasar bocil!” gerutu Keira beranjak dari jalan raya yang sepi dengan pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan raya itu.“Teleportasi yang tidak sempurna,” keluh Keira sembari menatap rumahnya yang masih berada seratus meter dari tempatnya berdiri.

  • Teleportasi   Chapter 14: Tawanan Polisi

    Keira tak bisa berbuat apapun saat polisi membawanya dalam kasus kematian Mrs. Ivanna, dan hal itu bertambah berat saat diketahui bahwa kamera CCTV di gedung sekolah sejak semalam tak berfungsi.Keira masih tak percaya dengan kejadian tadi malam, di dalam mobil polisi ia hanya terdiam dan memandang lurus ke depan melihat jalanan yang dilaluinya dan merasakan darah yang mulai mengering di telapak tangannya.“Apa yang kamu lakukan gurumu?” tanya seorang polisi berbadan kurus kering dengan wajah dingin yang mirip anak macan.“Apa Anda menduuhku membunuhnya!” sahut Keira di depan meja polisi .“Apa karena dendam?” lanjut polisi itu dengan wajah menghina.“Sudah saya katakan, saya tidak melakukan apa yang Anda pikirkan!” jawab Keira dingin.“Lalu kenapa kamu berada di samping mayat wanita itu, dan jika kamu tak membunuhnya kenapa kamu tak melaporkannya pada polisi?""Lagipula hanya orang yang berada di dalam sekolah itu yang bisa melakukan pembunuhan itu, karena sekolah itu sangat tertutup

  • Teleportasi   Chapter 13: Saat Mimpi Menjadi Kenyataan

    Mimpi dan kenyataan memang seringkali berbanding terbalik, tapi tak jarang juga mimpi menjadi kenyataan meski tak diharapkan. Bisa apa manusia jika itu terjadi? Akhir bulan ini tak ada yang bisa Keira lakukan, selain terus menyantap makan siangnya dan melihat para penghuni asrama sedikit demi sedikit berkurang. Tentu saja Keira merasa iri melihat teman- temannya pulang ke rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menghabiskan hari liburnya di dalam asrama. Dua hari libur yang berlalu pasti akan terasa seperti dua windu bai Keira “Kei! Aku pulang dulu ya, lusa aku akan kembali kesini dan membawa oleh-oleh untukmu!” “Hati-hati Lin!” “Kamu juga, jaga dirimu baik-baik!” Keira hanya mengangguk lemas, ia benar-benar ditinggal sendiri dengan beberapa pegawai dapur dan pegawai asrama yang memang tinggal di dalam asrama. Perlahan Liny menghilang di dalam kerumunan murid lain yang berantri menunggu lift, Keira segera masuk ke kamarnya saat dilihatnya Liny telah memasuki lift. Keira

  • Teleportasi   Chapter 12: Takdir Selalu Menemukan Jalannya

    Seberapa keras kamu mencoba menghindari takdir yang tak kau inginkan, takdir selalu memiliki jalannya sendiri untuk datang menghampirimu.Keira yang mencoba membuka lembaran baru, mencoba bersembunyi dan menghindari masalah sepertinya tak berdaya saat nalurinya bereaksi dengan spontan.Baru beberapa hari di sekolah asrama, Keira merasa hidupnya semakin sulit dikendalikan, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar, apalagi mimpi buruknya semakin mendekati kenyataan, saat Mrs.Ivanna datang ke Pinewood.Belati yang dilihatnya dalam mimpi juga sudah dilihatnya dalam kenyataan, hanya saja Keira belum tahu siapa pemilik belati itu, ditambah lagi dengan Evanda yang terus-terusan mengawasinya.“Mungkin dia marah, mendengar ucapanku mengenai Mrs.Ivanna yang ternyata adalah ibunya, tapi bagaimana aku meyakinkannya, bahwa ucapanku benar dan bagaimana caranya aku mencegah kejadian mengerikan itu?”Keira teringat masa lalu yang menghantuinya, bagaimana ia dituduh sebagai biang keladi atas bencana y

  • Teleportasi   Chapter 11: Wanita dan Anaknya

    Hari senin pagi selalu membuat semua siswa sibuk, mulai bangun pagi, kembali belajar, dan Keira akan keluar dari kamar yang membuat tubuhnya terasa kotor penuh debu.“Keira! Kamu boleh keluar!” perintah Bu Berta membuka pintu besi yang dipenuhi karat, tapi ia segera menyipitkan matanya saat melihat Keira yang sudah berdiri di tengah kamar dengan badan yang tetap segar meski sedikit kusam berdebu.“Terima kasih, Bu!” sahut Keira sembari menyembunyikan barang-barang bawaannya di balik bajunya.“Keira! Apa kamu benar-benar kuat untuk berjalan sendiri?” selidik Bu Berta pada Keira yang tidak diberi makan sejak sabtu.“Aku bahkan dapat berlari, jika itu harus!” sahut Keira dengan tenang dan sombong.“Terserah apa katamu, sebaiknya cepat mandi dan bergabung bersama teman-temanmu di ruang makan!” perintah Bu Berta yang segera berjalan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan.“Mana mungkin kuberitahu, bahwa aku masuk ke dapur dan memakan makanan dari dalam kulkas selama dua mal

DMCA.com Protection Status