Setelah makan siang selesai, Keira seorang diri masuk ke kamarnya, karena Liny harus melaksanakan tugas piketnya.
Di dalam kamar kembali dilihatnya Vero yang tengil bersama dua anak kembar yang makin mengacaukan suasana.
“Akhirnya si pencari perhatian datang juga!”
Ucap Vero sinis dengan hidungnya yang sedikit dinaikkan, tapi Keira tak menghiraukan ucapan teman sekamarnya itu.
Ia segera meraih rok seragamnya yang tergantung di dalam lemari pakaian dan tak lama kemudian diambilnya selembar kertas dari dalam saku rok merah itu.
“Kamu itu manusia atau batu sih!” bentak Vero menghampiri Keira di depan lemarinya, dan kali ini Keira tak bisa diam.
Saat tiba-tiba tangan Vero tiba-tiba menarik liontin dari rantai kalung Keira yang menjuntai di luar bajunya, tapi semuanya sia-sia. Liontin itu cukup kuat untuk ditarik dari rantai tali kalung yang melingkar di leher Keira.
“Lepaskan tanganmu!” seru Keira pelan sembari menahan lehernya, untungnya Vero benar-benar menuruti ucapannya.
“Jangan coba-coba mengambil barang yang bukan milikmu tanpa ijin dari pemiliknya!"
"Karena jika itu kau lakukan maka seluruh dunia akan memanggilmu MALING!” tegas Keira segera berlalu dari dalam kamarnya dan melangkah keluar meninggalkan Vero yang semakin dongkol mendengar ucapannya.
Di ruang makan dilihatnya Liny dan beberapa anak lain yang sedang piket, saat Keira hendak melangkah tiba-tiba sebuah tangan menggapai pundaknya dan segera mengghentikan langkahnya.
“Keira!” seru Bu Berta dengan suara yang sedikit dipelankan.
“Ibu!” seru Keira kaget setengah mati.
“Ibu mau minta tolong padamu, tolong antarkan surat ini pada Bu Hilda!” pinta Bu Berta sambil menyodorkan sebuah amplop tertutup berwarna putih.
“Bu Hilda?” ulang Keira yang asing dengan nama itu.
“Bu Hilda, penjaga perpustakaan!” jelas Bu Berta, Keira mengiyakan permintaan kepala asrama yang terlihat lega, ia pun segera pergi.
Saat Keira melintasi pintu gerbang asrama, seorang penjaga langsung menghadangnya.
“Mau kemana?” tanya pria tua berjenggot tebal yang mungkin sudah puluhan tahun bekerja di sekolah itu, yang kemarin telah dilihatnya.“Perpustakaan!” sahut Keira menunjuk perpustakaan yang terletak di sebelah kanan lift.
“Silahkan!” seru penjaga itu mengijinkan Keira melanjutkan perjalanannya, Keira bergegas masuk ke dalam perpustakaan yang pintunya terbuka lebar.
“Permisi!” seru Keira di depan meja penjaga perpustakaan yang bentuknya melengkung setengah lingkaran.
“Silahkan masuk! Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang wanita dengan rambut yang dipenuhi uban yang tak kalah antiknya dengan pria penjaga sekolah.
“Saya mau mengantarkan surat untuk Bu Hilda! Bisakah saya bertemu beliau?” ujar Keira dengan sopan.
“Saya sendiri! Dari siapa?” tanya Bu Hilda meraih sepucuk surat yang diberikan Keira.
“Dari Bu Berta!” sahut Keira pada Bu Hilda yang terlihat senang melihat sepucuk surat yang ada di tangannya.
Keira mengalihkan pandangannya pada barisan layar komputer khusus perpustakaan yang tertata rapih di depan jendela kaca perpustakaan.
“Apa saya bisa menggunakan layanan internet di sini?” tanya Keira tiba-tiba, dan membuat Bu Hilda mengerutkan alisnya dan menatapnya dari atas bingkai kacamatanya.
“Jam perpustakan telah selesai, seharusnya tidak boleh! Tapi karena kamu telah memberi sedikit bantuan, jadi kali ini kamu diijinkan menggunakannya, tapi jangan terlalu lama! Karena perpustakaan akan ditutup pada pukul 16:30 WIB.”Keira menatap jam pohon cemara yang menempel di dinding perpustakaan yang bercat coklat, masih menunjukkan pukul 15:40 WIB.
Ia menarik sebuah kursi kayu yang menghadap pada meja komputer, jemarinya segera menari-nari di atas keyboard, dan menggerakkan mouse infra red berwarna putih dengan logo buah kesukaannya.
Sejenak ia menanti, hingga sebuah situs di internet terbuka dan ia mulai mengetikkan kata-kata yang terus terngiang saat ia mulai keluar dari kamarnya tadi.
Di kotak pencarian huruf- huruf itu mulai muncul membentuk sebuah kata ‘Teleportasi’, setelah itu telunjuk kanannya langsung menekan tombol Enter.
Keira kembali menunggu dan sesaat kemudian layar monitor di hadapannya memunculkan beberapa artikel yang membuatnya membuka mata lebar-lebar. Ia membuka salah satu artikel dari Mikipedia.
Teleportasi adalah sebuah proses perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain dalam waktu singkat dengan menggunakan sebuah kekuatan yang tidak dimiliki oleh semua orang, dan kekuatan itu dinamakan kekuatan fikiran.
Kekuatan fikiran dapat dilatih dengan memusatkan fikiran pada satu titik, dan terkadang kekuatan fikiran itu muncul saat seseorang berada dalam keadaan sangat kacau atau keadaan sangat teramat baik.
Tapi lebih tepatnya kekuatan fikiran dapat benar- benar muncul jika seseorang dalam keadaan sadar dan dapat berkonsentrasi penuh dan merasakan setiap apa yang ada dalam dirinya menjadi satu kesatuan.”
Teleportasi hanya bisa dilakukan jika tempat yang menjadi tujuannya pernah disinggahi oleh pemilik kekuatan itu, atau dia hafal betul dengan denah lokasi tujuannya.
Dan yang perlu diketahui adalah Teleportasi tidak dapat digunakan untuk pergi ketempat lain yang dipisahkan atau bersebrangan dengan lautan.
Teleportasi terkadang dirasakan hanya sebuah ilusi, dan seseorang bisa saja tak bisa kembali ke tempat semula atau hilang di dimensi lain saat melakukan teleportasi dan hal itu sering menimbulkan kegilaan sementara atau permanen.
Berikut adalah penuturan yang didapat beberapa tahun silam dari orang-orang yang meyakini bahwa dirinya mampu melakukan Teleportasi, tapi hingga saat ini mereka hilang tanpa jejak;
- Kevin Sastroso(19) ; “Aku mampu melakukan Teleportasi saat aku berusia 10 tahun, hal itu mula-mula tak kusadari. Tapi aku menikmatinya dan mulai berpetualang ketempat-tempat yang aku inginkan.”
- Venus Atmaja(18) ; “Teleportasi pertama kualami saat aku tidur dan bermimpi…,”
Keira berhenti membaca, bibirnya yang merah bergetar, raut wajahnya yang tercengang berangsur-angsur berubah.
Aa!da secerca senyuman yang mengembang di wajahnya saat ia menutup artikel lawas dalam situs internet itu.
“Apa kau sudah selesai?” Tanya Bu Hilda yang menghampiri Keira di depan komputer.
“Su…sudah Bu!” sahut Keira sedikit tergagap.
“Kalau begitu ibu bisa menutup perpustakaan ini,” lanjut Bu Hilda sembari menatap jam yang telah menunjukkan pukul 16:30 WIB.
“Terima kasih atas ijinnya!” Keira keluar dari perpustakaan itu dengan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Jangan-jangan aku memang bisa melakukan ‘Teleportasi’, tapi apa yang harus kulakukan? Selain mimpi buruk yang semakin jelas dan nyata saat aku memasuki Pinewood, apa kejadian dulu itu akan terulang lagi?"
"Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Aku ingin hidup normal!” batin Keira, memasuki asrama yang sudah sepi, tapi dari sudut asrama terdengar keramaian, ia memutuskan menghampiri keramaian di ruang santai yang belum pernah didatanginya.
Kakinya ragu saat pintu gantung di ruang santai berayun-ayun di mukanya. Suara gelak tawa segera hilang saat Keira memutuskan memasukan tubuhnya yang berbalut busana casual itu ke dalam ruang santai.
Hampir semua anak yang sedang duduk bersantai dan mengobrol itu terdiam menatap Keira.
“Keira!” panggil sebuah suara yang membuat Keira sedikit tenang.
“Liny,” Keira menghampiri Liny di pojok ruangan, ia terlihat sedang menulis sesuatu di atas buku tulis setebal 2 cm, atau lebih tepatnya seperti buku diary.
“Kamu kemana saja?” tanya Liny, segera menutup bukunya, dan melihat ke sekelilingnya. Satu persatu anak-anak yang lain keluar dari ruang santai, hal itu membuat Keira tertunduk lemas.
“Kamu lihat sendirikan! Bahkan mereka nggak mau satu ruangan dengan manusia aneh sepertimu!” seru Vero dari samping Keira sebelum ia akhirnya keluar dari ruang santai, mendengar dan mengetahui hal itu hati Keira terasa sakit.
Di ruang santai yang luas itu hanya tersisa tiga anak, Keira, Liny, dan Rion yang sepertinya tak mempedulikan sekitarnya dan terlihat sibuk membaca komik.
“Jangan diambil hati Kei! Vero mungkin sudah meracuni otak semua anak dengan cerita-cerita bohong mengenai dirimu!” ujar Liny.
“Aku tahu semua ini akan terulang kembali, dan aku juga akan lebih siap untuk menghadapinya!” gumam Keira menahan air matanya agar tidak mengalir.
“Maksud kamu apa? Kenapa kamu mengatakan ini akan terulang?” selidik Liny penasaran dan segera menarik lengan Keira untuk duduk di sampingnya.
“Aku."
Keira terhenti saat disadarinya ada orang lain di ruangan itu yang kemungkinan akan mendengar pembicaraannya. Keira beranjak dari kursinya dan menghampiri Rion yang menyadari kedatangannya.
“Apa kamu akan menguping pembicaraan kami?” tanya Keira.
“Jika diijinkan,” sahut Rion tersipu malu, dan membuat Keira tercengang.
“Mungkin kamu lebih baik keluar dari ruangan ini seperti anak- anak lain!”
“Kamu itu bener-bener nggak tahu terima kasih, Ya! Dua kali aku menolongmu, tapi sama sekali kamu nggak mengucapkan terima kasih padaku!” tegas Rion.
“Apa! Jadi itu, jadi itu masalahmu! Baik aku ucapkan terima kasih atas bantuanmu, penolongku!” Keira berkata dan segera pergi dari hadapan Rion.
“Oia, aku lupa, asal kamu tahu ya! Gara-gara kamu aku dihukum!” lanjut Keira yang segera pergi dari hadapan Rion, tapi langkahnya terhenti saat Rion mencengkeram lengannya.
“Lepas!” seru Keira segera melepaskan tangannya dari cengkraman Rion.
“Bisa nggak sih, kita berteman lebih baik!” tegas Rion membuat Keira tertunduk dan menghembuskan nafasnya keras-keras.
“Kei! Berteman sajalah! Lagipula sebenarnya kalian nggak ada masalah seriuskan?” saran Liny dari kursinya.
Kali ini Rion dan Keira saling berpandangan dan menghela nafas menyerah. Ia pun menyadari sebenarnya memang tak ada masalah serius, hanya saja Rion sering sekali menjadi sasaran Keira yang merasa kesal pada dirinya sendiri.
“Kayaknya emang nggak ada masalah serius, tapi nggak tau kenapa kita selalu bertengkar!” ujar Rion yang lebih tinggi 15 cm dari Keira dan Liny.
“Kamu pikir begitu? Pertama kali ketemu kamu itu sudah ngebuat masalah sama aku!” gerutu Keira mengingat kejadian di Gramexia.
“Tapi udahlah!” Keira terdiam sejenak tanpa sepatah katapun.
”Lupain aja! Mungkin berteman memang lebih baik!” lanjut Keira tersenyum pada Liny dan Rion yang segera mengulurkan tangan kanannya.
“Perkenalkan aku Rion!”
“Aku udah tau, teman satu kamarku yang bernama Vero selalu nyebutin namamu kok.” sahut Keira menahan tawa saat melihat pipi Rion yang memerah.
“Namanya Keira! Dia masuk Pinewood saat SMA!” Liny berkata sembari menunjuk sahabatnya.
“Keira! Pantas saja aku nggak pernah melihatmu, sebelum di Gramexia! Apa kamu ceritakan mengenai Vero padanya, Lin?” tiba-tiba saja Rion berubah menjadi sangat cerewet bahkan melebihi dua cewek di hadapannya.
“Iya,” sahut Liny pendek. Ketiga anak itu duduk kembali di ruang istirahat, sofa yang cukup empuk membuat suasana lebih terasa nyaman.
“Apa kau suka membaca komik?” tanya Rion pada Keira, saat ini mereka lebih terlihat akur dari pada beberapa hari sebelumnya.
“Aku lebih suka membaca Novel, tapi aku suka membaca semua buku yang bercerita mengenai Detektif.” Ujar Keira, sikapnya yang sedikit cuek itu membuatnya berbeda dengan cewek kebanyakan.
“Aku lebih suka mengikat rambutku sebanyak mungkin,” sambar Liny seolah tak mau ketinggalan untuk masuk dalam obrolan yang tadinya terasa kaku.
“Aku sebenernya nggak ingin masuk SMA ini!” aku Rion, cowok bertubuh tinggi itu tampak lebih tampan saat ini, rambut hitamnya yang lurus dengan potongan shaggy, dipadu dengan lesung pipit yang membuatnya semakin terlihat manis.
“Aku juga, ibuku yang memilihkan sekolah ini untukku!"
"Sebenernya aku nggak mau masuk sekolah asrama!” timpal Keira.
"Kalau aku senang sekolah di sini, karena kakakku juga sekolah di sini! Tapi aku memang kurang suka dengan asrama!” ujar Liny yang kali ini pun tak melupakan kakaknya untuk turut dalam ceritanya.
“Kakak? Kamu punya kakak?” tanya Rion sedikit kaget.
“Iya, Kakakku kelas 3, minggu depan saat acara pembukaan tahun ajaran akan kukenalkan pada kalian berdua ya!”
“Tapi, dari dulu aku baru tahu kalo kamu punya kakak perempuan,”
“Siapa bilang dia perempuan? Dia lelaki yang sangat tampan, Keira pasti menyukainya!”
“Semoga saja!” harap Keira dengan tampang bercandanya yang menggelikan.
“Ha…ha…ha…!" tiga anak itu menggema di dalam ruangan berukuran luas yang dindingnya tinggi.
Ruang santai yang semula berubah sepi kini telah ramai kembali oleh suara Liny dan Rion, bahkan Keira sejenak melupakan mimpi-mimpi buruk dan semua hal aneh yang ada dalam dirinya, yang pasti akan muncul kembali.
Malam yang dingin membuat semua penghuni asrama terlelap di balik selimut tebalnya, hanya Keira yang masih tetap terjaga. Ia mengendap-endap menyusuri ruang makan yang gelap, menuju ruang santai yang dipenuhi lukisan, beberapa komik dan sofa-sofa kecil di sekeliling meja billiard berwarna hijau. Kakinya yang beralaskan sneakers mulai menapaki lantai ubin di ruang santai, Keira mengenakan celana panjang berbahan cotton biru navy dan sweater panjang dari wol berwarna biru laut, ia segera menaiki kursi kayu yang terletak di depan meja di sudut ruangan. “Aku harus mencobanya!” perintah Keira pada dirinya sendiri. “Aku harus membuktikan, apakah ini teleportasi atau hanya mimpi saja,” tegasnya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Beberapa detik kemudian Keira memejamkan matanya dan berusaha berkonsentrasi untuk mengingat sebua
Waktu telah menunjukkan pukul 17:55 WIB, acara pembukaan tahun ajaran baru akan segera dimulai. Aula Pinewood lebih ramai dan meriah dari tadi siang, murid kelas satu yang memakai seragam merah berbaris di bagian timur. D tengah aula untuk murid kelas dua yang mengenakan seragam serupa dengan kelas satu hanya saja warnanya biru tua. Sedangkan murid kelas tiga berbaris di bagian barat dengan mengenakan seragam berwarna hitam. Seragam di SMA Pinewood memang warnanya berbeda dari kelas satu sampai tiga, tapi motif dan modelnya sama, dan itu mempermudah siswa mencari teman angkatan mereka. “Kakakmu mana, Lin?” tanya Rion pada Liny di tengah barisan. “Entahlah, dari tadi aku belum melihatnya!” sahut Liny celingukan kesana-kemari. “Kenapa dari tadi siang kau diam terus, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
Malam kian larut, tetapi ruang makan asrama kelas satu masih dipenuhi murid yang kelihatannya sudah mulai ngantuk dan lelah setelah mengikuti acara pembukaan tahun ajaran baru.Ada beberapa anak yang terlihat kesal, geram dan mulai menggerutu sendiri sembari menggosipkan Keira.“Kemana saja sih anak itu!” seru Vero kesal dan menatap Liny yang menundukkan kepalanya. Liny enggan menanggapi teman sekamarnya. Ia dan Rion gagal mengejar Keira yang berlari dan menghilang saat keluar dari aula.“Semuanya harap tenang! Kita akan menunggunya lima menit lagi, jika dia tak datang juga, maka dia akan diskorsing dari sekolah!” ungkap Bu Berta dari mejanya.“Tapi Bu…,” ujar Rion yang bangkit dari kursinya dan berusaha membela Keira yang entah berada dimana sekarang.“Rion! Sebaiknya kamu diam!” sergah Bu Berta membuat Rion terduduk kembali di bangkunya.“Skorsing?” ulan
Hari senin pagi selalu membuat semua siswa sibuk, mulai bangun pagi, kembali belajar, dan Keira akan keluar dari kamar yang membuat tubuhnya terasa kotor penuh debu.“Keira! Kamu boleh keluar!” perintah Bu Berta membuka pintu besi yang dipenuhi karat, tapi ia segera menyipitkan matanya saat melihat Keira yang sudah berdiri di tengah kamar dengan badan yang tetap segar meski sedikit kusam berdebu.“Terima kasih, Bu!” sahut Keira sembari menyembunyikan barang-barang bawaannya di balik bajunya.“Keira! Apa kamu benar-benar kuat untuk berjalan sendiri?” selidik Bu Berta pada Keira yang tidak diberi makan sejak sabtu.“Aku bahkan dapat berlari, jika itu harus!” sahut Keira dengan tenang dan sombong.“Terserah apa katamu, sebaiknya cepat mandi dan bergabung bersama teman-temanmu di ruang makan!” perintah Bu Berta yang segera berjalan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan.“Mana mungkin kuberitahu, bahwa aku masuk ke dapur dan memakan makanan dari dalam kulkas selama dua mal
Seberapa keras kamu mencoba menghindari takdir yang tak kau inginkan, takdir selalu memiliki jalannya sendiri untuk datang menghampirimu.Keira yang mencoba membuka lembaran baru, mencoba bersembunyi dan menghindari masalah sepertinya tak berdaya saat nalurinya bereaksi dengan spontan.Baru beberapa hari di sekolah asrama, Keira merasa hidupnya semakin sulit dikendalikan, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar, apalagi mimpi buruknya semakin mendekati kenyataan, saat Mrs.Ivanna datang ke Pinewood.Belati yang dilihatnya dalam mimpi juga sudah dilihatnya dalam kenyataan, hanya saja Keira belum tahu siapa pemilik belati itu, ditambah lagi dengan Evanda yang terus-terusan mengawasinya.“Mungkin dia marah, mendengar ucapanku mengenai Mrs.Ivanna yang ternyata adalah ibunya, tapi bagaimana aku meyakinkannya, bahwa ucapanku benar dan bagaimana caranya aku mencegah kejadian mengerikan itu?”Keira teringat masa lalu yang menghantuinya, bagaimana ia dituduh sebagai biang keladi atas bencana y
Mimpi dan kenyataan memang seringkali berbanding terbalik, tapi tak jarang juga mimpi menjadi kenyataan meski tak diharapkan. Bisa apa manusia jika itu terjadi? Akhir bulan ini tak ada yang bisa Keira lakukan, selain terus menyantap makan siangnya dan melihat para penghuni asrama sedikit demi sedikit berkurang. Tentu saja Keira merasa iri melihat teman- temannya pulang ke rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menghabiskan hari liburnya di dalam asrama. Dua hari libur yang berlalu pasti akan terasa seperti dua windu bai Keira “Kei! Aku pulang dulu ya, lusa aku akan kembali kesini dan membawa oleh-oleh untukmu!” “Hati-hati Lin!” “Kamu juga, jaga dirimu baik-baik!” Keira hanya mengangguk lemas, ia benar-benar ditinggal sendiri dengan beberapa pegawai dapur dan pegawai asrama yang memang tinggal di dalam asrama. Perlahan Liny menghilang di dalam kerumunan murid lain yang berantri menunggu lift, Keira segera masuk ke kamarnya saat dilihatnya Liny telah memasuki lift. Keira
Keira tak bisa berbuat apapun saat polisi membawanya dalam kasus kematian Mrs. Ivanna, dan hal itu bertambah berat saat diketahui bahwa kamera CCTV di gedung sekolah sejak semalam tak berfungsi.Keira masih tak percaya dengan kejadian tadi malam, di dalam mobil polisi ia hanya terdiam dan memandang lurus ke depan melihat jalanan yang dilaluinya dan merasakan darah yang mulai mengering di telapak tangannya.“Apa yang kamu lakukan gurumu?” tanya seorang polisi berbadan kurus kering dengan wajah dingin yang mirip anak macan.“Apa Anda menduuhku membunuhnya!” sahut Keira di depan meja polisi .“Apa karena dendam?” lanjut polisi itu dengan wajah menghina.“Sudah saya katakan, saya tidak melakukan apa yang Anda pikirkan!” jawab Keira dingin.“Lalu kenapa kamu berada di samping mayat wanita itu, dan jika kamu tak membunuhnya kenapa kamu tak melaporkannya pada polisi?""Lagipula hanya orang yang berada di dalam sekolah itu yang bisa melakukan pembunuhan itu, karena sekolah itu sangat tertutup
Mata bulatnya segera terpejam, dan pikirannya mulai bekerja untuk mengingat kembali jalanan yang dilaluinya saat menuju ke kantor polisi ini.Meskipun samar-samar tapi setidaknya Keira masih mengingat dengan baik rute perjalanan dari sekolah menuju rumahnya.“Tok...Tok...Tok...!” ketukan keras di depan pintu ruang penahanan mengagetkan Keira, dan seketika itu juga Keira membuka matanya.“Aaaa...!” jerit Keira saat sebuah sepeda merobohkan tubuhnya di tengah jalan raya.“Kalo nyebrang yang bener dong!”“Tidak punya mata ya!” bentak seorang bocah lelaki kecil yang bertengger di atas sepedanya.Keira hanya terperangah melihat bocah lelaki itu berlalu mengayuh sepedanya kembali tanpa memberikan sedikitpun bantuan pada dirinya yang tumbang.“Dasar bocil!” gerutu Keira beranjak dari jalan raya yang sepi dengan pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan raya itu.“Teleportasi yang tidak sempurna,” keluh Keira sembari menatap rumahnya yang masih berada seratus meter dari tempatnya berdiri.
Gedung sekolah siang itu sangat sepi, tak ada murid yang berlalu lalang di sepanjang koridor dan asrama. Peristiwa malam akhir bulan itu sepertinya masih mencekam seisi sekolah, bayangkan saja seorang guru dibunuh di taman. Bahkan jika mau dilihat dengan cermat, di hamparan rumput masih terlihat ceceran darah Mrs. Ivanna yang telah mengering namun belum hilang karena hujan belum juga turun sejak kemarin.Dari koridor kelas Keira bisa melihat kepala sekolah yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang asrama sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.“Dari mana saja kamu?” tanya Pak Frans dengan khawatir pada Keira yang baru saja muncul di hadapannya.“Saya,”“Cepat ikut ke kantor saya,” belum sempat Keira menyelesaikan ucapannya, Pak Frans sudah memotongnya.Dengan langkah yang berat, akhirnya Keira mengikuti perintah Pak Frans. Sampailah ia di ruang kepala sekolah, ini kedua kalinya ia memasuki ruangan itu setelah yang pertama dulu bersama ibunya, tepatnya satu
“APA???”“Apa maksudmu, kamu tahu hal ini?” selidik Keira.“Aku tidak bisa lagi menutupi ini darimu, ibuku bukan seorang guru!”“Maksudmu?”“Dia hanya menyamar menjadi guru pengganti di sekolah ini, karena salah satu kasus yang sedang diinvestigasinya!” beber Evan.“Kalau memang begitu, jadi siapa ibumu itu sebenarnya?”“Dari dulu aku benci pekerjaan ibuku, aku benci mempunyai ibu seperti dia! Dia tidak pernah jadi ibu yang baik! Dia selalu pergi dan selalu tidak ada saat aku butuhkan!”“Maksudnya???” tanya Keira bingung.“Ibuku seorang kriminolog! Mirip-mirip detektif, ibuku sering sekali membantu kasus kepolisian!”“Aku selalu merasa takut saat ia pergi melakukan investigasi! Aku takut dia tak akan pernah kembali! Aku takut penyelidikan yang dilakukannya menemui jalan buntu dan akhirnya semua itu memang terjadi! Ibuku meninggal dalam tugasnya yang konyol!” Evan tak bisa lagi menahan matanya yang mulai berkaca-kaca.“Aku tahu kau sangat menyayangi ibumu,” ungkap Keira sembari menepuk
DILEMA SEORANG ANAK“Evan!”“Untunglah, akhirnya aku menemukanmu juga!” seru Keira terlihat lega, ia segera menarik lengan Evan tanpa ragu.“LEPAS!!!” bentak Evan mengagetkan Keira.“Kamu jangan sok akrab deh! Kamu yang ngebuat semua ini kan!”“Asal kamu tahu saja ya, Kei! Aku tidak akan ngebiarin pembunuh ibuku berkeliaran bebas begitu saja!” lanjut Evan segera berlalu masuk ke asrama.“TUNGGU!” seru Keira menghentikan langkah Evan.“Kamu tidak berhak menghakimi aku begitu saja, dan kayaknya kamu benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ibumu sendiri ya?” “OK, kita memang tidak akrab dan kita baru kenal, tapi aku mohon dengarkan aku kali ini saja.” Ungkap Keira di ujung jembatan, ia memastikan tak ada orang yang menguping.Evan tak bisa melanjutkan langkahnya saat mendengar perkataan Keira itu, ia segera berbalik kembali menghampiri Keira yang kini memundurkan langkahnya beberapa inchi.“Maksudmu?” tanya Evan menatap Keira dengan tatapan menantang.“Ya! Apa kamu tahu arti semua ini?”
Hari libur telah usai, Keira menghabiskan waktu pelariannya di dalam rumah tua yang terasa dingin dan menyesakkannya. Senin pagi ini rencananya, ia akan kembali ke Pinewood dan memulai awal bulan keduanya di sekolah itu dengan dirinya yang baru. “Apa aku harus ke sana? Bagaimana jika polisi-polisi itu menangkapku?” “Aduuhh, kenapa ragu lagi?” “Hadapi saja! Lagi pula aku tidak bersalah!” tegas Keira bersiap melakukan ‘Teleportasi’. Entah apa yang sudah menunggu Keira di Pinewood, masih setengah jam lagi waktu pelajaran dimulai. Dalam beberapa menit saja Keira sudah berada di dalam kamar asrama, untung saja tak ada seorang pun di dalam kamar saat itu. Mungkin semua anak sedang sarapan di ruang makan dan masih ada waktu jika ia hendak kembali ke rumahnya seperti seorang pengecut, tapi tidak. Keira segera melangkah dari sudut kamar menuju lemarinya, ia mengambil seragamnya yang terlipat rapih di dalam lemari dan segera menggunakannya. Tapi sepertinya ada yang aneh, dengan asrama it
Mata bulatnya segera terpejam, dan pikirannya mulai bekerja untuk mengingat kembali jalanan yang dilaluinya saat menuju ke kantor polisi ini.Meskipun samar-samar tapi setidaknya Keira masih mengingat dengan baik rute perjalanan dari sekolah menuju rumahnya.“Tok...Tok...Tok...!” ketukan keras di depan pintu ruang penahanan mengagetkan Keira, dan seketika itu juga Keira membuka matanya.“Aaaa...!” jerit Keira saat sebuah sepeda merobohkan tubuhnya di tengah jalan raya.“Kalo nyebrang yang bener dong!”“Tidak punya mata ya!” bentak seorang bocah lelaki kecil yang bertengger di atas sepedanya.Keira hanya terperangah melihat bocah lelaki itu berlalu mengayuh sepedanya kembali tanpa memberikan sedikitpun bantuan pada dirinya yang tumbang.“Dasar bocil!” gerutu Keira beranjak dari jalan raya yang sepi dengan pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan raya itu.“Teleportasi yang tidak sempurna,” keluh Keira sembari menatap rumahnya yang masih berada seratus meter dari tempatnya berdiri.
Keira tak bisa berbuat apapun saat polisi membawanya dalam kasus kematian Mrs. Ivanna, dan hal itu bertambah berat saat diketahui bahwa kamera CCTV di gedung sekolah sejak semalam tak berfungsi.Keira masih tak percaya dengan kejadian tadi malam, di dalam mobil polisi ia hanya terdiam dan memandang lurus ke depan melihat jalanan yang dilaluinya dan merasakan darah yang mulai mengering di telapak tangannya.“Apa yang kamu lakukan gurumu?” tanya seorang polisi berbadan kurus kering dengan wajah dingin yang mirip anak macan.“Apa Anda menduuhku membunuhnya!” sahut Keira di depan meja polisi .“Apa karena dendam?” lanjut polisi itu dengan wajah menghina.“Sudah saya katakan, saya tidak melakukan apa yang Anda pikirkan!” jawab Keira dingin.“Lalu kenapa kamu berada di samping mayat wanita itu, dan jika kamu tak membunuhnya kenapa kamu tak melaporkannya pada polisi?""Lagipula hanya orang yang berada di dalam sekolah itu yang bisa melakukan pembunuhan itu, karena sekolah itu sangat tertutup
Mimpi dan kenyataan memang seringkali berbanding terbalik, tapi tak jarang juga mimpi menjadi kenyataan meski tak diharapkan. Bisa apa manusia jika itu terjadi? Akhir bulan ini tak ada yang bisa Keira lakukan, selain terus menyantap makan siangnya dan melihat para penghuni asrama sedikit demi sedikit berkurang. Tentu saja Keira merasa iri melihat teman- temannya pulang ke rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menghabiskan hari liburnya di dalam asrama. Dua hari libur yang berlalu pasti akan terasa seperti dua windu bai Keira “Kei! Aku pulang dulu ya, lusa aku akan kembali kesini dan membawa oleh-oleh untukmu!” “Hati-hati Lin!” “Kamu juga, jaga dirimu baik-baik!” Keira hanya mengangguk lemas, ia benar-benar ditinggal sendiri dengan beberapa pegawai dapur dan pegawai asrama yang memang tinggal di dalam asrama. Perlahan Liny menghilang di dalam kerumunan murid lain yang berantri menunggu lift, Keira segera masuk ke kamarnya saat dilihatnya Liny telah memasuki lift. Keira
Seberapa keras kamu mencoba menghindari takdir yang tak kau inginkan, takdir selalu memiliki jalannya sendiri untuk datang menghampirimu.Keira yang mencoba membuka lembaran baru, mencoba bersembunyi dan menghindari masalah sepertinya tak berdaya saat nalurinya bereaksi dengan spontan.Baru beberapa hari di sekolah asrama, Keira merasa hidupnya semakin sulit dikendalikan, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar, apalagi mimpi buruknya semakin mendekati kenyataan, saat Mrs.Ivanna datang ke Pinewood.Belati yang dilihatnya dalam mimpi juga sudah dilihatnya dalam kenyataan, hanya saja Keira belum tahu siapa pemilik belati itu, ditambah lagi dengan Evanda yang terus-terusan mengawasinya.“Mungkin dia marah, mendengar ucapanku mengenai Mrs.Ivanna yang ternyata adalah ibunya, tapi bagaimana aku meyakinkannya, bahwa ucapanku benar dan bagaimana caranya aku mencegah kejadian mengerikan itu?”Keira teringat masa lalu yang menghantuinya, bagaimana ia dituduh sebagai biang keladi atas bencana y
Hari senin pagi selalu membuat semua siswa sibuk, mulai bangun pagi, kembali belajar, dan Keira akan keluar dari kamar yang membuat tubuhnya terasa kotor penuh debu.“Keira! Kamu boleh keluar!” perintah Bu Berta membuka pintu besi yang dipenuhi karat, tapi ia segera menyipitkan matanya saat melihat Keira yang sudah berdiri di tengah kamar dengan badan yang tetap segar meski sedikit kusam berdebu.“Terima kasih, Bu!” sahut Keira sembari menyembunyikan barang-barang bawaannya di balik bajunya.“Keira! Apa kamu benar-benar kuat untuk berjalan sendiri?” selidik Bu Berta pada Keira yang tidak diberi makan sejak sabtu.“Aku bahkan dapat berlari, jika itu harus!” sahut Keira dengan tenang dan sombong.“Terserah apa katamu, sebaiknya cepat mandi dan bergabung bersama teman-temanmu di ruang makan!” perintah Bu Berta yang segera berjalan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan.“Mana mungkin kuberitahu, bahwa aku masuk ke dapur dan memakan makanan dari dalam kulkas selama dua mal