Beranda / Fantasi / Teleportasi / Chapter 4: Jalan Rahasia

Share

Chapter 4: Jalan Rahasia

Penulis: Khansa Maria
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Krriiiiinggggg!!!!

Bel di ruang makan menjerit, Keira dan Liny segera berlari menuju ruang makan yang terletak di depan kamar asrama, yang telah siap digunakan.

Dua meja kayu terbentang di tengah-tengah, disusun berurutan menjadi satu, di atas meja itu telah terhidang makanan yang cukup untuk disantap oleh lebih dari 100 orang. 

Ruang makan yang satu jam lalu sepi, berubah 180 derajat. Semua penghuni kamar barat dan timur keluar, dengan tertib para murid laki-laki menduduki bangku sebelah barat dan duduk menghadap ke arah timur.

Sedangkan murid perempuan duduk di sebelah timur dan menghadap ke arah barat. Sepertinya petugas ruang makan telah berhasil menertibkan makan siang.

Keira merasa bingung, tapi sepertinya yang lain tidak. Karena sistem asrama ini sudah biasa bagi SMP dan SMA Pinewood. Jadi tentu saja mereka yang mayoritas berasal dari SMP Pinewood sudah terbiasa.

“Perhatian-perhatian! Hari ini siswa kelas satu telah berkumpul semua! Jadi ibu memasakkan masakan spesial untuk kalian!” 

Seorang wanita yang usianya sekitar 40 tahun dari ujung meja makan dengan menggunakan pengeras suara yang ditentengnya. Padahal aslinya suaranya sudah berat dan keras tanpa pengeras.

“Dia Bu Salma! Dia koki di SMA Pinewood, katanya semua masakan yang dimasaknya selalu enak, tapi sayang hidupnya tak seenak masakannya,” beber Liny dari balik mejanya.

“Kenapa?”

“Kata Kakakku, sampai saat ini dia belum menikah!” 

“Apa? Apakah seorang ketua MPK tahu segalanya!” Keira seolah tak percaya, ia mulai berpikir bahwa Liny sepertinya bisa menjadi sumber gosip segala hal.

“Mungkin! Tapi sebentar lagi kakakku akan melepaskan jabatan yang menurutku aneh dan berat itu, karena dia sudah kelas tiga, jadi mungkin lebih terfokus pada ujian akhirnya.”

Percakapan mereka berhenti saat di hadapan Keira terhidang sepiring tempura udang yang berwarna kuning keemasan yang langsung membuat perutnya keroncongan. 

Tapi sayangnya Bu Salma belum mempersilakan anak-anak itu untuk makan. Jadi sepertinya harus bersabar sebentar.

Sedangkan di bangku putra tak bisa sabar menunggu, ada beberapa anak yang sembunyi-sembunyi mengambil secuil makanan dan segera memasukannya ke dalam mulut.

“Keluarkan!” gertak sebuah suara yang membuat kaget.

Seorang anak dengan muka memerah langsung mengeluarkan makanan yang sudah setengah hancur dari dalam mulutnya.

“Perhatian semuanya! Di ruang makan ini berlaku etika makan yang baik dan benar, jadi sebelum ibu memerintahkan untuk makan, maka tidak ada satu pun yang boleh memakan makanan yang tersaji di hadapan kalian!"

"Karena itu tidak sopan! Dan jika itu dilanggar maka tidak ada makanan untuk kalian yang melanggar, selama satu hari.” Tegas Bu Salma menggunakan kembali pengeras suaranya.

“Tapi karena ini hari pertama, maka ibu akan memaafkan!”

“Tapi tidak untuk hari esok dan seterusnya!” paling tidak Bu Salma telah membuat anak lelaki gendut yang duduk persis di depan Keira itu terlihat lega.

“Pantas saja kalau dia belum menikah, mungkin karena sifatnya itu!” gumam Liny.

Lima menit setelah kejadian itu, Bu Salma memberi aba-aba kepada para siswa untuk memulai berdoa dan menyantap hidangan yang ada di meja makan. 

Tapi sepertinya bocah gendut itu sudah kehilangan nafsu makannya, pipinya yang tembem hampir jatuh ke atas piring yang sekarang hanya dipandanginya dengan tampang lemas, mungkin masih merasa malu dan kaget atas kejadian tadi. 

Berbeda dengan Liny yang duduk di sebelah Keira, ia mulai menyantap tempura yang ada di piringnya, di sisi lain Keira mengarahkan pandangannya pada seorang anak lelaki yang duduk tak jauh dari bocah gendut di depannya. 

Keira langsung merasa kesal saat teringat dengan wajah anak itu.

“Anak itu, dia sekolah di sini?” gumam Keira mencoba menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatannya.

“Siapa- siapa?” Sahut Liny antusias.

“Dia!” Keira mengarahkan pandangannya pada anak lelaki yang segera sadar bahwa ada yang sedang menatapnya, Keira pun segera menundukkan kepalanya dalam-dalam agar tak ketahuan.

“Oh, dia! Namanya Rion, dia satu sekolah denganku sejak SMP, tapi kami tidak begitu dekat.” Jawab Liny tanpa melepaskan tempura di tangannya.

“Dari Pinewood?”

“Iya, dan lucunya Vero naksir dia dari SMP, tapi sayang nggak pernah ditanggapi.” Ujar Liny menahan tawa dan melirikkan matanya ke kanan, terlihat jelas Vero sedang menatap Rion dengan genitnya.

“Pantes aja, dia tuh cowok nyebelin yang nggak sopan!” gerutu Keira teringat kejadian beberapa waktu lalu.

“Maksudmu? Memang kamu kenal Rion?” selidik Liny penasaran. 

“Kemarin aku ketemu dia di Gramexia, dia hampir megambil pulpen dari keranjangku, dan terjadi keributan diantara kami. Tapi untungnya ibuku datang dan meredam semuanya."

“Gramexia ya, itu toko buku dan perlengkapan sekolah paling lengkap di Ibu Kota, aku juga membeli semua keperluan sekolahku disana, barangnya juga bagus- bagus.” beber Liny, sama sekali tak menanggapi apapun mengenai kekesalan Keira pada Rion.

“Kalian berdua, saat di meja makan tidak boleh mengobrol!” seru Bu Salma yang tiba-tiba muncul di belakang Keira dan Liny yang kaget setengah mati mendengar suara Bu Salma.

Dan tentu saja hal itu membuat semua siswa menatap ke arah mereka, dan sepertinya Keira tak bisa menyembunyikan wajahnya lagi dari Rion yang sedang menatapnya.

Setelah makan siang yang menegangkan itu selesai, semua penghuni asrama kelas satu diberi selembar kertas oleh Bu Salma, yang berisi jadwal piket asrama. 

Setiap siswa mendapat bagian piket satu minggu satu kali dan pada saat hari libur sabtu dan minggu piket dikerjakan bersama-sama. 

Dan yang harus dilakukan adalah membersihkan kamar, dan membersihkan meja makan, karena ada 20 kamar dan setiap harinya ada satu anak yang piket dari masing- masing kamar, tapi khusus untuk meja makan dibersihkan bersama- sama. Jadwal itu berlaku mulai tahun ajaran baru.

“Aku dapat hari Senin! Kamu?” tanya Liny pada Keira yang masih sibuk mencari-cari namanya.

“Aku, aku hari Selasa.” Sahut Keira yang telah menemukan namanya diurutan terakhir.

“Besok hari pertamaku sekolah dan harus piket pula!” keluh Liny dengan lemas memasuki kamar nomor 221 yang ada di tengah- tengah.

“Apa ini pertama kalinya kamu di asrama?” tanya Keira, dari bawah poni tipis yang menutupi matanya yang bulat, sembari melirik Liny yang masih cemberut.

“Benar, karena saat SMP kita tidak diharuskan tinggal di asrama, jadi aku memilih tinggal di rumah, tapi saat di SMA kita diwajibkan tinggal di asrama! Jadi apa boleh buat!"

"Mungkin Vero sudah biasa dengan ini, karena sejak SD dia tinggal di asrama.” Liny mengarahkan pandangannya pada Vero yang sedang nikmat berbaring di atas kasurnya sambil mendengarkan musik melalui IPod pinknya.

“Sepertinya dia sedang menikmati hidupnya,” sahut Keira melihat Vero yang saat itu dipastikan telinganya tak bisa mendengar apapun selain musik.

Satu jam berlalu, semua anak di kamar 221 terlelap dalam tidur siangnya. Kecuali Keira yang sama sekali tak berusaha memejamkan matanya.

Ia masih teringat dua mimpinya semalam, dan walau dahinya sudah tak terasa sakit lagi, tapi ia tetap takut untuk tertidur.

“Aku nggak boleh tidur, mimpi itu sungguh nyata, dan bukannya nggak mungkin aku akan benar-benar dibunuh seperti wanita itu.” tegas Keira dalam hati, ia berusaha keras membuang rasa kantuk yang teramat sangat.

Kakinya melangkah menuju lemari yang ada di depan ranjangnya, ia segera membuka pintu lemari dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru, kado dari ibunya. 

Perlahan lapisan kertas kado itu dibukanya dan di dalam kotak kecil itu terlihat sebuah benda mengkilap.

“Kalung!” seru Keira mengambil sebuah kalung berantai hitam panjang dengan liontin hitam berbentuk koin dengan ornamen bintang dan bulan sabit kecil di tengahnya yang menyerupai sebuah mata.

Keira tersenyum melihat kado ulang tahunnya, dan yang unik adalah bingkai lingkaran hitam yang ada di pinggirnya, sehingga koin berornamen itu bisa diputar kekanan atau kekiri.

Keira tak mengedipkan matanya sedikitpun saat menatap hadiah yang terlihat antik dan mahal dari ibunya itu. 

Ia sedikit merasa aneh, karena sebelum ini ibunya tak pernah memberikan benda-benda seperti itu dihari ulang tahunnya, paling sering mungkin adalah baju dan novel ‘Hercule Poirot’ dan ‘Holmes’.

Keira mengamati ukiran yang ada di atas koin sebesar uang logam seribu rupiah itu.

“Sangat unik dan menarik!” batin Keira segera memakai kalung itu di lehernya tanpa perlu membuka ujung rantai, tangannya kembali memutar-mutar koin di liontin itu.

Jam dinding menunjukkan pukul 15:00 WIB, Keira menatap empat teman barunya yang masih tertidur lelap. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar dengan sneakers merah bernomor 37 yang masih melekat di kakinya.

Sepatu kumalnya itu segera menemaninya keluar dari pintu kamar, melewati ruang makan yang telah sepi kembali. Tapi, belum jauh kakinya melangkah sudah ada yang menghentikannya. 

Di depan pintu yang menuju jembatan satu berdiri seorang pria dengan tubuhnya yang tinggi besar.

“Jangan-jangan dia penjaga yang diceritakan Liny,” gumam Keira dalam hati, ia pun segera menyembunyikan tubuhnya di depan pintu kamar yang sedikit menjorok ke dalam. 

Sesaat kemudian penjaga itu menyadari keberadaan Keira dan segera mengayunkan langkahnya menuju pintu dimana Keira bersembunyi.

“Panggilan untuk penjaga satu, ditunggu di aula!” seru sebuah suara yang berasal dari speaker yang terpasang di langit-langit jembatan satu. 

Mendengar panggilan itu, pria berjenggot tebal itu pun segera pergi menjauh dari asrama, memasuki lift yang terletak di ujung jembatan dengan langkah kaki yang sudah tidak begitu gesit.

Keira merasa lega, ia segera meluncur melalui jembatan menuju gedung kelas satu. Dengan penuh semangat Keira menyusuri gedung kelas yang ditopang oleh pilar-pilar besar dan kokoh.

ia berhenti sejenak di depan ruangan yang di atas pintunya tertulis ‘Lab.Science’ dari kaca yang tak bertirai terlihat sebuah ruangan yang bersih dipenuhi berbagai alat peraga tubuh manusia.

Tak hanya itu, ada juga kerangka hewan, dan bermacam-macam gelas ukur beserta mikroskop yang ditata berjejer di depan jendela yang menghadap ke selatan. 

Selanjutnya ke arah timur berurutan ‘Lab.Language’, ‘Lab.Computer’, dan ‘Lab.Art’.

Tak begitu lama Keira sudah sampai di sudut koridor, ia melangkah menuju pagar besi, dan menatap ke bawah. Halaman hijau yang terbentang luas di bawah sejenak membuat Keira terdiam untuk mengamatinya. 

Rerumputan hijau dan semak-semak di bawah membuat otaknya terasa bekerja keras. Ia mulai merasa familiar dengan tempat itu.

“Apa aku pernah ke sini sebelumnya?” pikirnya tiba-tiba meski ia sadar betul bahwa ini adalah kali pertama Keira memasuki sekolah Pinewood.

“Tapi hamparan pemandangan di bawah itu, rasanya tak asing lagi bagiku,” pikiran Keira berkecamuk tak karuan saat berlama-lama melihat taman di bawah.

Tangannya memetik beberapa daun cemara yang menjulang di sampingnya, daun itu terasa segar dan harum, meski tak seharum aromaterapi yang menenangkan hati.

Kakinya beranjak dari tempat itu, tapi Keira segera berbalik saat sebuah pintu kayu di sudut koridor tiba-tiba menarik perhatiannya. 

Ada senyuman di wajahnya, saat tangannya terulur dan memutar handle pintu yang segera terbuka dalam hitungan detik, tampak sebuah tangga putar telah menantinya. 

Tanpa ragu Keira menaiki anak tangga yang berputar ke atas dan senyumnya kembali muncul saat sebuah pintu telah terlihat di ujung tangga. 

Keira mendorong pintu kecil berukuran satu kali satu meter yang terbuat dari besi, dan seketika itu juga terdengar sebuah teriakan yang mengagetkanya.

“Aaauuww!!!"

Keira melepaskan tangannya, pintu itu segera terbuka, dan sepasang mata langsung menatapnya dengan penuh amarah.

“Keluar!!!” perintah seorang anak laki-laki, menarik keluar Keira yang terhipnotis melihat langit biru yang terbentang luas di atasnya.

“Hei, kamu!” teriak suara itu lagi seolah menyadarkan Keira. Sontak beberapa saat kemudian dua anak itu saling menatap sebelum akhirnya.

“KAMU!!!” teriak mereka bersamaan.

“Kamu itu punya mata nggak sih!” bentak anak itu pada Keira yang kini tak kalah kesal.

“Dasar! Kamu sendiri gimana? Oia kamu yang kemarin mau mencuri pulpenku kan?” balas Keira geram.

“Waktu itu, waktu itu kan sudah kubilang aku tidak sengaja dan aku juga sudah minta maaf!” lanjut Rion yang terlihat malu mengingat kejadian kemarin.

“Kalau begitu impas, sekarang aku bisa bilang, bahwa tadi aku tidak sengaja dan aku minta maaf!” tegas Keira dengan santainya berjalan menjauh dari Rion yang memegangi dahinya.

“Kamu itu nggak punya perasaan ya, dahiku memar gara-gara ulahmu tau!” bentak Rion membuntuti langkah Keira yang segera berhenti di tengah atap gedung selatan.

“Hei, kamu itu laki-laki, hanya memar nanti juga sembuh! Nggak akan ngebuat kamu gegar otak, kok!” balas Keira menatap Rion dengan tajam. 

Seketika itu keadaan berubah, langit biru yang cerah menghilang diganti dengan awan hitam yang menggelayut di atas gedung Pinewood. 

Keira tak menghiraukan Rion yang sedang menggerutu di belakangnya, ucapannya terdengar samar-samar di telinga Keira.

“Hei, cewek aneh! Sebentar lagi hujan turun, apa kamu akan tetap berdiri di situ dan menunggu petir menyambarmu?” teriak Rion keras-keras, kali ini Keira menoleh padanya dan kembali menatap Rion dengan tatapan dingin.

“Apa pedulimu! Pergilah dari tempat ini sebelum kita kembali bertengkar!” tegas Keira tak mempedulikan Rion yang tampak khawatir.

“Terserah, deh! Lagipula aku tak mengenalmu!” Rion berlalu meninggalkan Keira di atap gedung seorang diri.

Dari pinggir gedung yang dipagari oleh dinding setinggi 1,5 meter, Keira bisa melihat jalan raya dan halaman yang tadi pagi dilalui bersama ibunya dengan menggunakan sedan merah.

Udara segar bercampur aroma daun cemara terasa menyejukkan, Keira membentangkan kedua lengannya lebar-lebar merasakan dirinya bagai bintang utama film Titanic, hembusan angin membuat rambut ikalnya berantakan, perlahan ia memejamkan matanya.

“Aku akan memulai hidup baruku, semoga tak akan ada lagi mimpi-mimpi buruk yang mengacaukan semuanya. Semoga tak ada lagi yang mengejekku karena hal itu, dan semoga semuanya baik- baik saja!” pinta Keira dalam hati, air hujan mengguyur tubuhnya.

Tapi ia belum beranjak dari tempatnya, kakinya terasa berat untuk digerakkan dan matanya terlalu sulit dibuka.

“Kamu mau mati kedinginan?” Keira segera tersadar, dan merasakan tubuhnya yang menggigil dan rambutnya yang telah diluruskan oleh air hujan yang sangat deras.

“Cepat turun sebelum penjaga menemukan dan memberikan hukuman untuk kita!!!” 

Rion berteriak, suaranya terdengar kacau diantara hujan, tanpa menunggu lama anak lelaki yang mengenakan kaos oblong berbalut jaket dan celana panjang yang basah kuyup itu segera menarik lengan Keira yang masih terdiam.

Keira dan Rion segera berlari, menunduk memasuki pintu besi berukuran kecil dan menuruni tangga putar yang tingginya lebih dari sepuluh meter, yang menembus gedung kelas 2 dan 3. 

Saat sampai di pintu kayu, Rion mencoba mengeluarkan kepalanya untuk melihat keadaan di koridor kelas. Tanpa disadari, Keira mau mengikuti Rion yang kemarin sempat membuatnya kesal.

“Aman!” seru Rion memastikan keadaan, Keira berlari mengikuti langkah Rion yang belum melepaskan tangannya.

”Untung saja nggak ada penjaga di pintu gerbang asrama.” Di ujung jembatan mereka berdua menghentikan langkahnya, seperti baru tersadar dari lamunan panjang. 

Keira dan Rion saling melepaskan genggaman tangan mereka dan menjauh beberapa senti. 

“Kamu nggak perlu ngelakuin hal tadi! Aku bisa kembali kesini sendiri kok!” tegas Keira terlihat kesal.

“Sudah ditolong, bukannya terima kasih atau apa, malah marah-marah!” balas Rion tak kalah kesal.

“Siapa yang minta ditolong!” seru Keira.

“Kamu nyadar nggak sih? Tadi di atas, kamu hanya diam seperti orang tidur! Kamu tahu nggak? Kalo ada petir yang menyambar tubuhmu yang basah kuyup itu bagaimana?” 

Rion mencerca Keira yang hanya tertunduk merasakan tubuhnya yang kedinginan. Tanpa mengucapkan apapun Keira berlari menuju kamarnya dan meninggalkan Rion di ujung jembatan.

“Dasar tak tahu terima kasih!” gerutu Rion.

Krriiiiinggg!!!

Bel asrama menjerit kembali, mengagetkan Rion yang segera masuk ke kamar 255 yang berhadapan dengan kamar 221. Langsung saja pintu kamar 221 dan 225 tertutup kembali, Keira segera mengambil baju dan handuk dari dalam lemarinya.

Ia segera memasukan dirinya kedalam bathtube yang diisi dengan air hangat. Seisi kamar yang telah bangun hanya tercengang melihat Keira.

“Keira! Kamu dari mana sih?” tanya Liny dari balik pintu kamar mandi.

Tak ada jawaban, Keira belum beranjak dari dalam air hangat yang terasa nyaman, berulangkali ia membenamkan kepalanya ke dalam air hangat yang terasa seperti selimut tebal.

“Aku harap ini bukan awal yang buruk,” batin Keira saat ia mengangkat kepalanya dari air.

“Cepetan Kei, kita harus berkumpul jam lima, katanya ada pengumuman penting!”

“Sebentar lagi selesai kok Lin!”

Tak terasa setelah dua puluh menit berlalu, Keira keluar dari dalam kamar mandi menggunakan kaos putih dengan jaket kaos berwarna biru dan celana skaters kesayangannya yang dihiasi saku di kanan kirinya. Tangannya membawa sebuah keranjang merah berisi baju kotor.

“Letakkan saja di sudut kamar, besok pagi seorang petugas laundry akan mengambilnya,”

“Petugas Laundry?” ulang Keira tak yakin pada ucapan Liny yang segera menganggukkan kepalanya dari atas kasur.

Entah berapa uang yang harus dikeluarkan oleh setiap orang tua agar anaknya bisa bersekolah di sekolah super elit seperti ini! 

Semua kebutuhan tercukupi, fasilitas sekolah nomer satu, tapi sayang tak ada kebebasan untuk keluar masuk sekolah dan asrama, mungkin itu konsekuensi yang harus ditaati.

Bab terkait

  • Teleportasi   Chapter 5: Perlahan Menjadi Kenyataan

    Semua siswa kelas satu telah berkumpul di ruangan yang tadi siang digunakan untuk makan, tapi sayang di meja panjang itu saat ini belum tersaji makanan satu pun. Di ujung meja seorang wanita paruh baya sudah memegang sebuah mikrofon dan sepertinya ia akan mulai berbicara. “Perkenalkan nama saya Berta, kalian bisa memanggil saya Bu Berta, saya adalah pengawas yang ditugaskan menjadi Kepala Asrama kelas satu." "Jadi kalau kalian mempunyai keluhan atau masalah, kalian bisa membicarakannya pada saya, dan jika kalian melanggar peraturan kalian akan berhadapan dengan saya dan mendapatkan sebuah hukuman." "Ada banyak jenis hukuman yang bisa diberikan, dan hukuman terparah adalah ‘Kamar Tertutup’." "Untuk menghindari hukuman itu ada beberapa peraturan yang harus kalian patuhi selama menjadi penghuni asrama ‘Pinewood International School'." Bu Berta berbicara t

  • Teleportasi   Chapter 6: Hari Pertama Sekolah

    Krrrriiiiiingggggg!!! Seolah tiada lelah, bel di depan pintu asrama selalu menjerit kencang membangunkan seisi kamar asrama untuk memulai awal tahun ajaran baru. Di setiap kamar terlihat tak teratur, karena kamar mandi hanya ada satu di setiap kamar, maka lima anak harus saling bergantian, tapi bagaimana jika semua anak ingin mandi lebih dulu. “Aku yang pertama!” seru Vero pada Liny dan Keira yang bangun lebih awal. “Liny bangun lebih dulu dari kita Ve!” tegas Keira. “Tunggu! Sebaiknya kita mengundinya saja!” sambung Fane dan Fani bersamaan. “Lebih baik menggunakan urutan kartu pelajar saja!” ujar Liny dengan rambutnya yang acak-acakkan. “Terserah deh!” sahut Vero lemas menerima hasil akhir yang memutuskan Liny untuk berada di urutan mandi pertama, kedua Keira, ketiga Fane dan Fani yang memutuskan mandi bersama, dan ya

  • Teleportasi   Chapter 7: Teleportasi

    Setelah makan siang selesai, Keira seorang diri masuk ke kamarnya, karena Liny harus melaksanakan tugas piketnya. Di dalam kamar kembali dilihatnya Vero yang tengil bersama dua anak kembar yang makin mengacaukan suasana. “Akhirnya si pencari perhatian datang juga!” Ucap Vero sinis dengan hidungnya yang sedikit dinaikkan, tapi Keira tak menghiraukan ucapan teman sekamarnya itu. Ia segera meraih rok seragamnya yang tergantung di dalam lemari pakaian dan tak lama kemudian diambilnya selembar kertas dari dalam saku rok merah itu. “Kamu itu manusia atau batu sih!” bentak Vero menghampiri Keira di depan lemarinya, dan kali ini Keira tak bisa diam. Saat tiba-tiba tangan Vero tiba-tiba menarik liontin dari rantai kalung Keira yang menjuntai di luar bajunya, tapi semuanya sia-sia. Liontin itu cukup kuat untuk ditarik dari rantai tali kalu

  • Teleportasi   Chapter 8: Wanita Dalam Mimpi

    Malam yang dingin membuat semua penghuni asrama terlelap di balik selimut tebalnya, hanya Keira yang masih tetap terjaga. Ia mengendap-endap menyusuri ruang makan yang gelap, menuju ruang santai yang dipenuhi lukisan, beberapa komik dan sofa-sofa kecil di sekeliling meja billiard berwarna hijau. Kakinya yang beralaskan sneakers mulai menapaki lantai ubin di ruang santai, Keira mengenakan celana panjang berbahan cotton biru navy dan sweater panjang dari wol berwarna biru laut, ia segera menaiki kursi kayu yang terletak di depan meja di sudut ruangan. “Aku harus mencobanya!” perintah Keira pada dirinya sendiri. “Aku harus membuktikan, apakah ini teleportasi atau hanya mimpi saja,” tegasnya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Beberapa detik kemudian Keira memejamkan matanya dan berusaha berkonsentrasi untuk mengingat sebua

  • Teleportasi   Chapter 9: Malam Perkenalan Pinewood

    Waktu telah menunjukkan pukul 17:55 WIB, acara pembukaan tahun ajaran baru akan segera dimulai. Aula Pinewood lebih ramai dan meriah dari tadi siang, murid kelas satu yang memakai seragam merah berbaris di bagian timur. D tengah aula untuk murid kelas dua yang mengenakan seragam serupa dengan kelas satu hanya saja warnanya biru tua. Sedangkan murid kelas tiga berbaris di bagian barat dengan mengenakan seragam berwarna hitam. Seragam di SMA Pinewood memang warnanya berbeda dari kelas satu sampai tiga, tapi motif dan modelnya sama, dan itu mempermudah siswa mencari teman angkatan mereka. “Kakakmu mana, Lin?” tanya Rion pada Liny di tengah barisan. “Entahlah, dari tadi aku belum melihatnya!” sahut Liny celingukan kesana-kemari. “Kenapa dari tadi siang kau diam terus, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”

  • Teleportasi   Chapter 10: Hukuman Kamar Tertutup

    Malam kian larut, tetapi ruang makan asrama kelas satu masih dipenuhi murid yang kelihatannya sudah mulai ngantuk dan lelah setelah mengikuti acara pembukaan tahun ajaran baru.Ada beberapa anak yang terlihat kesal, geram dan mulai menggerutu sendiri sembari menggosipkan Keira.“Kemana saja sih anak itu!” seru Vero kesal dan menatap Liny yang menundukkan kepalanya. Liny enggan menanggapi teman sekamarnya. Ia dan Rion gagal mengejar Keira yang berlari dan menghilang saat keluar dari aula.“Semuanya harap tenang! Kita akan menunggunya lima menit lagi, jika dia tak datang juga, maka dia akan diskorsing dari sekolah!” ungkap Bu Berta dari mejanya.“Tapi Bu…,” ujar Rion yang bangkit dari kursinya dan berusaha membela Keira yang entah berada dimana sekarang.“Rion! Sebaiknya kamu diam!” sergah Bu Berta membuat Rion terduduk kembali di bangkunya.“Skorsing?” ulan

  • Teleportasi   Chapter 11: Wanita dan Anaknya

    Hari senin pagi selalu membuat semua siswa sibuk, mulai bangun pagi, kembali belajar, dan Keira akan keluar dari kamar yang membuat tubuhnya terasa kotor penuh debu.“Keira! Kamu boleh keluar!” perintah Bu Berta membuka pintu besi yang dipenuhi karat, tapi ia segera menyipitkan matanya saat melihat Keira yang sudah berdiri di tengah kamar dengan badan yang tetap segar meski sedikit kusam berdebu.“Terima kasih, Bu!” sahut Keira sembari menyembunyikan barang-barang bawaannya di balik bajunya.“Keira! Apa kamu benar-benar kuat untuk berjalan sendiri?” selidik Bu Berta pada Keira yang tidak diberi makan sejak sabtu.“Aku bahkan dapat berlari, jika itu harus!” sahut Keira dengan tenang dan sombong.“Terserah apa katamu, sebaiknya cepat mandi dan bergabung bersama teman-temanmu di ruang makan!” perintah Bu Berta yang segera berjalan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan.“Mana mungkin kuberitahu, bahwa aku masuk ke dapur dan memakan makanan dari dalam kulkas selama dua mal

  • Teleportasi   Chapter 12: Takdir Selalu Menemukan Jalannya

    Seberapa keras kamu mencoba menghindari takdir yang tak kau inginkan, takdir selalu memiliki jalannya sendiri untuk datang menghampirimu.Keira yang mencoba membuka lembaran baru, mencoba bersembunyi dan menghindari masalah sepertinya tak berdaya saat nalurinya bereaksi dengan spontan.Baru beberapa hari di sekolah asrama, Keira merasa hidupnya semakin sulit dikendalikan, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar, apalagi mimpi buruknya semakin mendekati kenyataan, saat Mrs.Ivanna datang ke Pinewood.Belati yang dilihatnya dalam mimpi juga sudah dilihatnya dalam kenyataan, hanya saja Keira belum tahu siapa pemilik belati itu, ditambah lagi dengan Evanda yang terus-terusan mengawasinya.“Mungkin dia marah, mendengar ucapanku mengenai Mrs.Ivanna yang ternyata adalah ibunya, tapi bagaimana aku meyakinkannya, bahwa ucapanku benar dan bagaimana caranya aku mencegah kejadian mengerikan itu?”Keira teringat masa lalu yang menghantuinya, bagaimana ia dituduh sebagai biang keladi atas bencana y

Bab terbaru

  • Teleportasi   Chapter 19: Ancaman untuk Keira

    Gedung sekolah siang itu sangat sepi, tak ada murid yang berlalu lalang di sepanjang koridor dan asrama. Peristiwa malam akhir bulan itu sepertinya masih mencekam seisi sekolah, bayangkan saja seorang guru dibunuh di taman. Bahkan jika mau dilihat dengan cermat, di hamparan rumput masih terlihat ceceran darah Mrs. Ivanna yang telah mengering namun belum hilang karena hujan belum juga turun sejak kemarin.Dari koridor kelas Keira bisa melihat kepala sekolah yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang asrama sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.“Dari mana saja kamu?” tanya Pak Frans dengan khawatir pada Keira yang baru saja muncul di hadapannya.“Saya,”“Cepat ikut ke kantor saya,” belum sempat Keira menyelesaikan ucapannya, Pak Frans sudah memotongnya.Dengan langkah yang berat, akhirnya Keira mengikuti perintah Pak Frans. Sampailah ia di ruang kepala sekolah, ini kedua kalinya ia memasuki ruangan itu setelah yang pertama dulu bersama ibunya, tepatnya satu

  • Teleportasi   Chapter 18: Penolakan Evanda

    “APA???”“Apa maksudmu, kamu tahu hal ini?” selidik Keira.“Aku tidak bisa lagi menutupi ini darimu, ibuku bukan seorang guru!”“Maksudmu?”“Dia hanya menyamar menjadi guru pengganti di sekolah ini, karena salah satu kasus yang sedang diinvestigasinya!” beber Evan.“Kalau memang begitu, jadi siapa ibumu itu sebenarnya?”“Dari dulu aku benci pekerjaan ibuku, aku benci mempunyai ibu seperti dia! Dia tidak pernah jadi ibu yang baik! Dia selalu pergi dan selalu tidak ada saat aku butuhkan!”“Maksudnya???” tanya Keira bingung.“Ibuku seorang kriminolog! Mirip-mirip detektif, ibuku sering sekali membantu kasus kepolisian!”“Aku selalu merasa takut saat ia pergi melakukan investigasi! Aku takut dia tak akan pernah kembali! Aku takut penyelidikan yang dilakukannya menemui jalan buntu dan akhirnya semua itu memang terjadi! Ibuku meninggal dalam tugasnya yang konyol!” Evan tak bisa lagi menahan matanya yang mulai berkaca-kaca.“Aku tahu kau sangat menyayangi ibumu,” ungkap Keira sembari menepuk

  • Teleportasi   Chapter 17: Dilema Seorang Anak

    DILEMA SEORANG ANAK“Evan!”“Untunglah, akhirnya aku menemukanmu juga!” seru Keira terlihat lega, ia segera menarik lengan Evan tanpa ragu.“LEPAS!!!” bentak Evan mengagetkan Keira.“Kamu jangan sok akrab deh! Kamu yang ngebuat semua ini kan!”“Asal kamu tahu saja ya, Kei! Aku tidak akan ngebiarin pembunuh ibuku berkeliaran bebas begitu saja!” lanjut Evan segera berlalu masuk ke asrama.“TUNGGU!” seru Keira menghentikan langkah Evan.“Kamu tidak berhak menghakimi aku begitu saja, dan kayaknya kamu benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ibumu sendiri ya?” “OK, kita memang tidak akrab dan kita baru kenal, tapi aku mohon dengarkan aku kali ini saja.” Ungkap Keira di ujung jembatan, ia memastikan tak ada orang yang menguping.Evan tak bisa melanjutkan langkahnya saat mendengar perkataan Keira itu, ia segera berbalik kembali menghampiri Keira yang kini memundurkan langkahnya beberapa inchi.“Maksudmu?” tanya Evan menatap Keira dengan tatapan menantang.“Ya! Apa kamu tahu arti semua ini?”

  • Teleportasi   Chapter 16: Back To Pinewood

    Hari libur telah usai, Keira menghabiskan waktu pelariannya di dalam rumah tua yang terasa dingin dan menyesakkannya. Senin pagi ini rencananya, ia akan kembali ke Pinewood dan memulai awal bulan keduanya di sekolah itu dengan dirinya yang baru. “Apa aku harus ke sana? Bagaimana jika polisi-polisi itu menangkapku?” “Aduuhh, kenapa ragu lagi?” “Hadapi saja! Lagi pula aku tidak bersalah!” tegas Keira bersiap melakukan ‘Teleportasi’. Entah apa yang sudah menunggu Keira di Pinewood, masih setengah jam lagi waktu pelajaran dimulai. Dalam beberapa menit saja Keira sudah berada di dalam kamar asrama, untung saja tak ada seorang pun di dalam kamar saat itu. Mungkin semua anak sedang sarapan di ruang makan dan masih ada waktu jika ia hendak kembali ke rumahnya seperti seorang pengecut, tapi tidak. Keira segera melangkah dari sudut kamar menuju lemarinya, ia mengambil seragamnya yang terlipat rapih di dalam lemari dan segera menggunakannya. Tapi sepertinya ada yang aneh, dengan asrama it

  • Teleportasi   Chapter 15: Pesan dari Ibu

    Mata bulatnya segera terpejam, dan pikirannya mulai bekerja untuk mengingat kembali jalanan yang dilaluinya saat menuju ke kantor polisi ini.Meskipun samar-samar tapi setidaknya Keira masih mengingat dengan baik rute perjalanan dari sekolah menuju rumahnya.“Tok...Tok...Tok...!” ketukan keras di depan pintu ruang penahanan mengagetkan Keira, dan seketika itu juga Keira membuka matanya.“Aaaa...!” jerit Keira saat sebuah sepeda merobohkan tubuhnya di tengah jalan raya.“Kalo nyebrang yang bener dong!”“Tidak punya mata ya!” bentak seorang bocah lelaki kecil yang bertengger di atas sepedanya.Keira hanya terperangah melihat bocah lelaki itu berlalu mengayuh sepedanya kembali tanpa memberikan sedikitpun bantuan pada dirinya yang tumbang.“Dasar bocil!” gerutu Keira beranjak dari jalan raya yang sepi dengan pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan raya itu.“Teleportasi yang tidak sempurna,” keluh Keira sembari menatap rumahnya yang masih berada seratus meter dari tempatnya berdiri.

  • Teleportasi   Chapter 14: Tawanan Polisi

    Keira tak bisa berbuat apapun saat polisi membawanya dalam kasus kematian Mrs. Ivanna, dan hal itu bertambah berat saat diketahui bahwa kamera CCTV di gedung sekolah sejak semalam tak berfungsi.Keira masih tak percaya dengan kejadian tadi malam, di dalam mobil polisi ia hanya terdiam dan memandang lurus ke depan melihat jalanan yang dilaluinya dan merasakan darah yang mulai mengering di telapak tangannya.“Apa yang kamu lakukan gurumu?” tanya seorang polisi berbadan kurus kering dengan wajah dingin yang mirip anak macan.“Apa Anda menduuhku membunuhnya!” sahut Keira di depan meja polisi .“Apa karena dendam?” lanjut polisi itu dengan wajah menghina.“Sudah saya katakan, saya tidak melakukan apa yang Anda pikirkan!” jawab Keira dingin.“Lalu kenapa kamu berada di samping mayat wanita itu, dan jika kamu tak membunuhnya kenapa kamu tak melaporkannya pada polisi?""Lagipula hanya orang yang berada di dalam sekolah itu yang bisa melakukan pembunuhan itu, karena sekolah itu sangat tertutup

  • Teleportasi   Chapter 13: Saat Mimpi Menjadi Kenyataan

    Mimpi dan kenyataan memang seringkali berbanding terbalik, tapi tak jarang juga mimpi menjadi kenyataan meski tak diharapkan. Bisa apa manusia jika itu terjadi? Akhir bulan ini tak ada yang bisa Keira lakukan, selain terus menyantap makan siangnya dan melihat para penghuni asrama sedikit demi sedikit berkurang. Tentu saja Keira merasa iri melihat teman- temannya pulang ke rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menghabiskan hari liburnya di dalam asrama. Dua hari libur yang berlalu pasti akan terasa seperti dua windu bai Keira “Kei! Aku pulang dulu ya, lusa aku akan kembali kesini dan membawa oleh-oleh untukmu!” “Hati-hati Lin!” “Kamu juga, jaga dirimu baik-baik!” Keira hanya mengangguk lemas, ia benar-benar ditinggal sendiri dengan beberapa pegawai dapur dan pegawai asrama yang memang tinggal di dalam asrama. Perlahan Liny menghilang di dalam kerumunan murid lain yang berantri menunggu lift, Keira segera masuk ke kamarnya saat dilihatnya Liny telah memasuki lift. Keira

  • Teleportasi   Chapter 12: Takdir Selalu Menemukan Jalannya

    Seberapa keras kamu mencoba menghindari takdir yang tak kau inginkan, takdir selalu memiliki jalannya sendiri untuk datang menghampirimu.Keira yang mencoba membuka lembaran baru, mencoba bersembunyi dan menghindari masalah sepertinya tak berdaya saat nalurinya bereaksi dengan spontan.Baru beberapa hari di sekolah asrama, Keira merasa hidupnya semakin sulit dikendalikan, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar, apalagi mimpi buruknya semakin mendekati kenyataan, saat Mrs.Ivanna datang ke Pinewood.Belati yang dilihatnya dalam mimpi juga sudah dilihatnya dalam kenyataan, hanya saja Keira belum tahu siapa pemilik belati itu, ditambah lagi dengan Evanda yang terus-terusan mengawasinya.“Mungkin dia marah, mendengar ucapanku mengenai Mrs.Ivanna yang ternyata adalah ibunya, tapi bagaimana aku meyakinkannya, bahwa ucapanku benar dan bagaimana caranya aku mencegah kejadian mengerikan itu?”Keira teringat masa lalu yang menghantuinya, bagaimana ia dituduh sebagai biang keladi atas bencana y

  • Teleportasi   Chapter 11: Wanita dan Anaknya

    Hari senin pagi selalu membuat semua siswa sibuk, mulai bangun pagi, kembali belajar, dan Keira akan keluar dari kamar yang membuat tubuhnya terasa kotor penuh debu.“Keira! Kamu boleh keluar!” perintah Bu Berta membuka pintu besi yang dipenuhi karat, tapi ia segera menyipitkan matanya saat melihat Keira yang sudah berdiri di tengah kamar dengan badan yang tetap segar meski sedikit kusam berdebu.“Terima kasih, Bu!” sahut Keira sembari menyembunyikan barang-barang bawaannya di balik bajunya.“Keira! Apa kamu benar-benar kuat untuk berjalan sendiri?” selidik Bu Berta pada Keira yang tidak diberi makan sejak sabtu.“Aku bahkan dapat berlari, jika itu harus!” sahut Keira dengan tenang dan sombong.“Terserah apa katamu, sebaiknya cepat mandi dan bergabung bersama teman-temanmu di ruang makan!” perintah Bu Berta yang segera berjalan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan.“Mana mungkin kuberitahu, bahwa aku masuk ke dapur dan memakan makanan dari dalam kulkas selama dua mal

DMCA.com Protection Status