Sebelum Rara memberikan surat panggilan. Ia justru terkejut kehadiran dokter keluarganya, saat memasuki perkarangan rumahnya.
Rara langsung berlari menghampiri Halimah, ia melihat muka letih wanita paruh baya itu. "Bun, kok ada dokter Bram?" tanyanya. Halimah menghembuskan napas panjang, sebenarnya dia tak ingin memberitahu hal ini kepada Rara. "Sini, sayang. Duduk dulu." Ia merengkuh tangan putri duduk di sofa bersamanya. "Bun, jangan buat Rara khawatir deh." Ujar Rara masih memasang muka cemasnya. Halimah mengelus rambut panjang Rara, ia ingin berkata dari hati ke hati karena pastinya takut Rara shock. "Ehmm...""Iih.. Bunda. Sebenarnya ada apa sih?" sambar Lala tak sabar. "Sebenarnya ayah kamu sakit jantungnya semakin parah, harusnya ayah diminta bawa ke rumah sakit." "Terus kenapa ayah gak mau?" Halimah bisa apa jika suaminya dengan tegas menolak saran dari dokter. "Karena ayah nggak mau buat kamu khawatir. Ra, bunda minta sama kamu, udah deh kebiasaan nakal kamu jadi langganan dapat surat panggilan. Kamu mau ayah sakit, kasian ayah kamu." Rara menunduk bersalah. Tapi bagaimana dong, Rara merasa dia masih muda. Banyak hal yang akan terlewati jika dia menjadi gadis lugu, misalnya seperti Edo sahabatnya yang hanya belajar. "Bun, ayah nggak usah deh mikirin Rara. Lagian Rara udah gede, lihat sekarang Rara udah bisa semua sendiri. Daripada ayah ntar marah melulu lihat Rara, lebih baik Rara ngekos aja."Mendengar ide gila putrinya, sempat membuat Halimah pening. "Kamu jangan aneh-aneh! Bunda nggak mau tau kamu harus berhenti buat onar di sekolah." Kemudian Rara menatap malas Halimah, mana bisa menuruti kemauan Halimah. "Bun, Rara nggak bisa." Tolaknya seketika. "Demi ayah kamu, Ra."Rara dilema, satu sisi dia merasa tak sanggup, sisi lainnya dia tak tega juga melihat ayahnya sakit. Apalagi sekarang ia masih mengantongi surat panggilan sekolah. "Bunda, jangan maksa gitu dong!" "Masa iya kamu tega sama ayah. Masa nunggu ayah nggak ada di dunia lagi.""Iish.. Bunda apaan sih mulutnya suka asal deh." "Makanya kamu harus janji nggak akan nakal lagi." Halimah menyondorkan tangannya berharap Rara menerimanya. "Iya.. Iya.. Ya udah." Ikhlas nggak ikhlas Rara harus mau menuruti permintaan kecil Halimah, namun permintaan kecil itu sangat berat bagi Rara. "Kamu benar sayang janji sama ayah gak akan nakal lagi." Ternyata Fatir telah mendengar obrolan keduanya membuat Rara mati gaya depan sang ayah. "Ra, benaran ya kamu jangan buat ayah kecewa lagi. Pokoknya kali ini harus buktikan kalau kamu bisa jadi anak yang baik." Pinta Fatir. Jadi anak baik? Huft.. Mustahil.. Mana mungkin Rara bisa jadi anak baik, setiap hari dia telat, jarang mengerjakan tugas, buruknya lagi selalu ketahuan tidur di kelas. Guru-guru sekolahnya sendiri sudah lelah, terkecuali Aslan. Dia paling betah menghadapi Rara. "Iya ayah." Jawab Rara malas. "Janji."Fatir mendekati Rara yang masih duduk samping Halimah. "Astaga ayah kayak anak kecil deh. Rara kan udah bilang iya apa lagi sih." Rara bangkit dari duduknya hendak pergi dari hadapan dua orang ini. "Kalau kamu ingkar janji, ayah nikahi kamu sama salah satu anak Indrawan." Rara berpikir jatuhnya juga sama Rama sahabatnya. Enggak papa kali nikah sama teman sendiri, kan banyak tuh teman jadi demen. "Hem.. Rama kan. Ya udah no problem." Ujar Rara santai. "Sekarang Rara boleh masuk kamar kan." Fatir mengangguk. ***Rara membanting tubuhnya, ia sampai lupa memberikan surat panggilan untuk ayahnya. Tapi ya sudahlah, paling juga besok dia kena hukum lagi dan lagi. Gadis itu mulai mengerjapkan matanya, namun apa daya dia tak tidur. Padahal tadinya dia sangat mengantuk, apalagi tidak ada drama dirinya ketiduran di kelas. Drrrttt.. "Halo.." "Ra..." Teriak Loli membuat Rara kesal. "Jangan teriak juga kali. Tuli ntar gue." Timpal Rara yang masih berbaring malas di ranjangnya. "Maaf.. Maaf.. Lo dimana? Gak datang acara sekolah?" tanya Loli. "Acara apaan sih. Kagak ada juga." "Lo mau gak naik kelas. Bukannya Pak Aslan udah peringati untuk datang karena bisa menambah nilai ujian kita nanti." Sontak Rara terduduk menepuk jidatnya. Bego banget dia sampai lupa, bisa dapat masalah lagi dirinya.Rara dengan cepat tanpa mandi lebih dahulu, ia mengambil dress mini berwarna maroon, lalu mengenakannya. Tentu sebelumnya Rara menghias wajah polos miliknya. "Lo memang cantik." Pujinya sendiri. Tanpa pamitan Rara tergesa-gesa pergi menuju sekolahnya, bukan itu saja ia mengambil kunci mobil ayahnya. Bukan mobil menjadi masalah, tapi Rara belum mahir dalam menyetir. Dalam waktu kurang lebih 30 menit Rara sampai parkiran sekolah. Untung Loli menelponnya, kalau tidak bisa habis riwayat Rara. Saat Rara memasuki koridor sekolah, semua mata pria tertuju dengannya. Cowok mana sih yang gak tertarik dengan Rara, apalagi pesonanya memang memukau. Kalau boleh jujur Rara memang selalu mengutamakan penampilan, meski saat ini dia tidak pernah terlihat jalan dengan cowok manapun, kecuali dua nyamuk Edo dan Rama. Eits.. Jangan pikir Rara tidak punya pacar, dia punya namun sayang harus LDR. "Woy.." Rara mengejutkan tiga sahabatnya. "Gimana gua cantik gak?" serunya sambil memutari tubuhnya. "Lo bukannya mikirin nilai, malah pamer body. Temui Pak Aslan sana absen." Mod Rara yang baik dratis berubah menjadi sangat buruk. Bagaimana tidak buruk, Loli selalu menyebut nama pria tak punya hati itu. "Ogah! Kurang kerjaan banget gua." Loli menggeleng samar, lagi was-was begini masih bisa Rara menunjukan kebencian.Loli selalu khawatir dengan Rara nyaris tiap hari membuat masalah kepada guru tampannya itu. Kalau pikir lagi, Rara memang keterlaluan, ini bukan kesalahan pertama sahabatnya. "Ra, lo ntar gak naik kelas tiga loh. Gak malu?" Rara berdecak, kali ini ia mau tak mau menelan egonya untuk menemui guru paling dibencinya. Rara melangkahkan kakinya malas mencari Aslan, ia pergi ke ruang guru, tapi laki-laki itu tak tampak batang hidungnya. Lalu ia mencari lagi ke aula, masih juga belum temui. Dan sampai ia memiliki opsi lain mencari Aslan di perpustakaan, sebab ia tahu hobby guru itu berada disana. Rara mendengus kasar melihat sosok Aslan yang tengah duduk santai, sementara dia mencari pria itu seperti orang linglung kesana kemari. "Siang, Pak." Karena tak ingin mencari masalah lagi, ia berusaha bersikap baik walau sebenarnya merasa dongkol. Aslan mendongakkan kepalanya, pertama yang dia perhatikan penampilan Rara. "Siang menjelang sore maksud kamu. Mau dinner dimana kamu?" Tuh kan! Baru Rara ingin berdamai ada saja yang komentarnya, ibarat Rara ini virus yang harus dibasmi. "Siapa yang mau dinner, saya mau ke acara sekolah makanya penampilan cantik." Terang Rara memamerkan senyum palsunya. Aslan menaiki alis satunya heran. "Sehat kamu?""Yah.. Sehatlah." "Tumben kamu bicara sopan sama saya." Sopan salah, enggak sopan diomeli. Mati aja lu Aslan! Rara menatap Aslan berharap laki-laki satu ini tidak memberikan hukuman atau paling tidak dia bisa naik kelas. "Manusia itu bisa berubah, pak. Termasuk saya, bapak gak senang kalau saya berubah." Aslan tak mudah termakan omongan Rara yang omong kosong baginya. "Tapi sayangnya saya gak percaya kamu berubah. Kedatangan kamu mau apa kesini? Kalau untuk absen, nama kamu udah saya hapus." Rara membuka lebar mulutnya kesal, ia menggepal ujung deres saking menahan emosi di dadanya. "Dan kamu siap-siap tinggal kelas." Aslan meninggalkan Rara. No.. No.. Bisa jantungan bokap kalau gini caranya. "ASLAN! LO JANGAN GILA DEH! POKOKNYA GUE UDAH HADIR!" Rara berlari meneriaki Aslan yang masih terlihat punggungnya. Tidak ada murid yang berani meneriaki gurunya, kecuali Rara. Dia bahkan bisa menarik rambut Aslan hingga rontok. "ASLAN! DASAR GURU SINTING LO!"Semua mata tertuju kepada Rara yang menghujat Aslan. Beberapa murid berbisik membicarakannya, sudah menjadi hal lumrah Rara menggebu marah pada Aslan. "Sini." Rama menarik tangan Rara agar tidak semakin membicarakannya. "Ra, bang Aslan bisa panggil bokap lo lagi kalau gini ceritanya." Rara menghentakkan kakinya berulang kali meluapkan kekesalannya. "Menurut lo dia benar, gua udah baik banget. Argh.. Dia malah bilang gak hadir acara ini, emosional gak lo jadi gue." Gerutu Rara sejadi-jadinya. "Tapi, Ra--""Ah.. Diam! Jangan bela abang lo yang paliiiiing nyebelin sedunia." Sekarang mau bagaimana lagi, dia tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah dan berharap Aslan berbaik hati menaikinya kelas. "Ra.. Ra..." Loli datang dengan terengah-engah seperti orang asma. Dia menghampiri Rara dengan muka panik. "Hemm.. Gua lagi gak mood, jadi tolong lo bicara soal yang baik-baik aja." Loli menggeleng samar, dia yakin Rara tidak akan suka mendengar hal ini. "Lol, lo jangan mancing harimau yang baru keluar kandang deh." Ledek Rama. Rara berdecak jengkel."Ish.. Diam! Tapi berita ini pasti buruk bagi lo." Rara menunduk lemas. Lagi.. Berita apa lagi yang harus dia dengar saat moodnya kurang baik. "Ya udah bilang aja berita buruknya apa?""Iya apaan, gua jadi penasaran." Sahut Rama."Bokap lo..""Iya, Bokap gua kenapa?" Rara terlihat malas mendengar apapun. "Bokap lo ada di ruang guru sama Pak Aslan." "What?""What?"Mata Rara terbelalak mendengar penuturan Loli, ia bergegas menuju ruangan guru. Tak disangka memang benar Fatir ada di ruangan Aslan. Dari celah jendela Rara dapat melihat mimik wajah marah ayahnya. Mampus lo, Ra! Belum juga 24 jam dia berjanji sudah melanggarnya. Walau dia sudah tahu hukumannya harus menikah bersama Rama, whatever lah.. Rara merasa tetap tenang, dia yakin Rama tidak keberatan, lagi pula mereka sudah bersahabat sejak kecil. "Ra, kira-kira kali apa lagi salah lo?" bisik Loli. Rara memutar kepalanya setengah menatap Loli, kemudian ia perlahan jalan depan pintu, dia yakin mereka bicara suatu yang penting. Ini tak bisa dilewatkan! "Eh.. Bego lo ngapain dekat situ, ketahuan aja ntar habis lo." Peringat Loli. Namun Rara tak mau mendengar, dia tetap menyelinap depan pintu agar lebih jelas mendengar pembicaraan mereka. "Sekali lagi maaf, bukan maksud saya untuk menghukum Rara. Tapi Rara udah keterlaluan." Ucap Aslan. Keterlaluan ap
Ini adalah hari terburuk bagi Rara, dia harus terlihat cantik depan Aslan. Paksaan Halimah membuatnya jengkel. Rara dan sekeluarga disambut dengan ramah oleh Indrawan.Belum apa-apa Rara sudah menumpang toilet, lebih tepatnya dia malas mendengar prihal perjodohan itu.Sambil memasuki toilet Rara memainkan ponselnya, "kenapa gua terjebak disini sih?" dumel Rara tidak bisa santai saat dia masih dalam toilet.Seperti orang linglung Rara mondar-mandir tak tentu arah sembari mengenggam ponsel, namun tiba-tiba Rara tersandung membuat handphoneya terlempar memasuki kloset. "Aaaaaa..." Rara berteriak histeris membuat Rama dan Aslan mendekati toilet. "Taik! Pakai acara jatuh lagi. Gimana gua ngambilnya?" omelnya sendiri."Siapa di dalam, bang?" tanya Rama yang tak mengetahui kedatangan Rara."Teman lo Rara." Jawab Aslan seadanya.Sebenarnya Aslan orangnya sangat simple, apalagi saat luar sekolah dia bisa jadi sosok abang sekal
Ibarat kutukan yang harus Rara lakukan, dia mau tapi tak mau. Untuk apa nilai tinggi akhirnya dia menikah. Nilai jelek pasti ia akan dapat ejekan dari Aslan. Makin belagu dong sih guru menyebalkan!Bahkan dia hampir tidak pernah mengunjungi perpustakaan, dan berakhir duduk disini. Rara seminggu ini belajar sungguh-sungguh untuk mencapai nilai terbaik, itu juga atas desakan sang ayah.Terpaksa Rara menurut lantaran Fatir drama sakit membuatnya pasrah. Ia mana tega melihat ayahnya sakit, ataupun sedih. Dia ingin belajar atas bentuk kasih sayang kepada ayahnya."Tumben kamu belajar." Tegur Aslan yang kebetulan mengembalikan buku dari perpustakaan.Rara mendelik sinis.Aslan membungkukkan setengah tubuh, ia melekatkan bibirnya di telinga Rara membuat sang pemilik merasa tegang seketika. "Saya rasa kamu memang berminat jadi istri saya." Bisiknya.Rara terbelalak, ia menolehkan wajahnya tanpa sengaja membuat bibir keduanya
Atas permintaan Fatir, Rara sekarang berada di rumah sakit. Ia memang salah karena sudah menabrak adik kelasnya. Padahal baru juga masa-masa ujian berakhir. "Yah, harus gitu Rara ke rumah sakit." Rara berjalan menguntit Fatir. "Harus! Kamu itu udah nabrak orang, harus tanggung jawab," ujar Fatir tegas. Rara mendengus kasar. "Aaah... Ayah gak asik nih." "Kamu jangan protes terus, belajar tanggung jawab. Ingat sebentar lagi kamu itu akan nikah sama Aslan," hardik Fatir. Seperti ayah lain, Fatir juga ingin yang terbaik untuk kehidupan Rara. Melihat Rara masih kekanakan, jangankan mau tanggung jawab, untuk hidupnya sendiri masuk suka tidak benar. "Memang yakin Rara mau nikah sama Aslan?" Rara mencebik kesal, ia berjalan lambat mengekori kemana arah langkah kaki ayahnya. "Kamu udah janji sama Ayah, Ra." "Benaran harus nikah gitu, Rara masih muda ntar malah Rara dipikir hamil lagi sama orang-orang," ucap Rara asal. Fatir membalikkan tubuhnya, i
"Kesel... Kesel... Kesel..." Rara menutupi muka dengan bantalnya, ia masih merasa jengkel mengingat kejadian Aslan menciumnya. Jijik banget dicium Aslan! Gua harus mandi susu nih kayaknya. Suara ketukan terdengar di telinga Rara, ia bergegas turun dari ranjang dengan muka malas. Lalu dia membuka pintu, terlihat Halimah berdiri sembari menampilkan senyum lebarnya. "Bunda, ngapain senyum gitu? Rara jadi horor lihatnya," kata Rara. Halimah langsung menarik tangan Rara kembali memasuki kamar. "Sayang, kamu harus kelihatan cantik, di luar ada tamu." Rara berdecak. "Ngapain ih? Tamu Bunda, kan." "Pokoknya kamu juga harus keluar!" paksa Halimah seraya membongkar isi lemari baju Rara. "Bunda! Gak usah bongkar-bongkar dong." Rara menarik lengan Halimah agar berhenti mengacak seluruh baju dalam lemarinya. "Pakai ini." Halimah memberikan Rara dress panjang berwarna peach. "Anak bunda pasti kelihatan cantik memakainya. Bunda tunggu di bawah, ya.
Akhirnya hari yang Rara benci datang juga. Terlintas di benaknya melarikan diri, tetapi mengingat pesan Aslan tentang kebahagiaan orang tua, ia mengurungkan niat buruknya itu. "Masya Allah cantik banget ciptaan Tuhan satu ini," goda Loli tetap membuat muka Rara terlihat masih kecut. "Loli lo nyebelin! Bukan bantu gua mikir, malah ngeledek gua lagi," protes Rara. "Yaelah, jangan marah-marah, mau nikah juga.""Yaiyalah gua marah, lo datang ngeledek. Balik sana lo!" "Ngambek melulu lo, lebih baik lo pikiran malam pertama lo." Loli mengidik geli membayangkan Rara melakukan malam pertama bersama Aslan, mereka berdua kan musuh buyutan, bisa seperti kapal pecah ranjang mereka. "Eh, mikir apa lo? Enggak akan pernah perawan gua sama Aslan." "Kali! Pak Aslan kan bakal jadi suami lo, bebas dia mau ngapain lo. Ibarat kata nih, lo itu udah di beli Pak Aslan, lo otomatis milik dia seutuhnya." Rara mencebik sejenak memikirkan nasibnya setelah ini. Yang Loli
Atas permintaan Aslan yang sudah jadi suami sah Rara. Kini mereka telah pindah rumah, tidak terlalu besar, tidak juga kecil. Rumahnya cukup sederhana. Aslan tidak suka merepotkan siapa pun, termasuk keluarga Rara. Hanya rumah ini yang bisa Aslan beli untuk mereka tinggal. Selain harganya murah, rumah ini juga tidak jauh dari rumah lamanya. Dengan begitu dia kan bisa tetap memantau ayahnya. "Kamar gue di mana?" muka Rara terlihat kecut. Rumah ini terlalu sempit, dia sulit bernapas rasanya. Apa sih guru menyebalkan ini, tidak bisa cari rumah lebih bagus. "Ini bukan rumah lo yang dulu, kamarnya banyak." Bukannya bersyukur masih ada tempat untuk berteduh, di luaran sana, banyak sekali orang yang gak punya tinggal, bingung mau tidur di mana. Nah, sih ratu sejagat, tidur tinggal tidur, makan tinggal makan. Emang dasar manusia gak pandai bersyukur! "Terus?" decak Rara. "Terus apa?" Aslan kesal gadis ini, mungkin setelah dilahirkan sudah menyebabkan seperti ini. "O.
Rara tadinya ingin mengunci dirinya di kamar mandi dan akan keluar setelah makanan siap untuknya. Memang terdengar egois, dia tidak mungkin masak, pegang pisau juga tak pernah. Mentalnya terlalu lemah untuk berada di kamar mandi yang sempit, gelap pula. Terpaksa akhirnya keluar dari sana, membereskan semuanya. Ujung-ujungnya kelelahan sampai ketiduran berduaan di kamar. Ternyata tempat tidur yang tidak terlalu empuk bisa juga membuat Rara tidur nyenyak. Bangun-bangun Rara kelaparan, dia tidak melihat suaminya itu di dekatnya. Tidak penting kepergian Aslan, sekarang dia harus memikirkan perutnya yang kosong. "Aslan... Aslan... Di mana dia?" batang hidung pria itu tidak terlihat. Ah bagaimana nasib perutnya, cacingnya sudah demo. Dia pun keluar rumah mencari Aslan lagi, buruknya motor pria itu tidak ada terparkir depan rumahnya. Tidak mendapatkan Aslan di mana-mana, Rara kembali masuk rumah. Dia membuka dompetnya yang kosong. Ayahnya memang ingin membunuhnya p
Habis basah-basahan, terpaksa mandi mendadak. Perempuan cantik ini, masih menutupi tubuhnya dengan kimono, dia pikir Aslan tak berada di kamar, ah rupanya dia mojok santai. Rara memutar bola matanya berjalan perlahan sambil netra menangkap pria itu yang sedang baca buku. Dia harus ganti baju di mana, kalau Aslan ada di kamar. Masa harus bukan semuanya depan guru dia anggap musuh ini. Ah ntar pikirannya mesum lagi, dia kan perawan ting-ting. Rara membuka lemari, tapi emang dasar kutu buku, telinganya sampai tuli. Padahal Rara sudah membanting kuat, agar pria ini membiarkannya ganti baju sejenak. Sampai hentakan kaki Rara pun tak dihiraukannya, laki-laki apaan itu? Oh jangan-jangan dia ingin mengintip. Astaga. "Aslan!" panggil Rara dengan ketus. Pria itu menoleh, dia menaikan satu alisnya. "Apa? Ngajak ribut?" pengantin baru itu harusnya nempel terus kayak prangko. Lah, Aslan dan Rara udah kayak kucing dan tikus. Boro-boro nempel, adanya berantem terus, dari hal ke
Rara tadinya ingin mengunci dirinya di kamar mandi dan akan keluar setelah makanan siap untuknya. Memang terdengar egois, dia tidak mungkin masak, pegang pisau juga tak pernah. Mentalnya terlalu lemah untuk berada di kamar mandi yang sempit, gelap pula. Terpaksa akhirnya keluar dari sana, membereskan semuanya. Ujung-ujungnya kelelahan sampai ketiduran berduaan di kamar. Ternyata tempat tidur yang tidak terlalu empuk bisa juga membuat Rara tidur nyenyak. Bangun-bangun Rara kelaparan, dia tidak melihat suaminya itu di dekatnya. Tidak penting kepergian Aslan, sekarang dia harus memikirkan perutnya yang kosong. "Aslan... Aslan... Di mana dia?" batang hidung pria itu tidak terlihat. Ah bagaimana nasib perutnya, cacingnya sudah demo. Dia pun keluar rumah mencari Aslan lagi, buruknya motor pria itu tidak ada terparkir depan rumahnya. Tidak mendapatkan Aslan di mana-mana, Rara kembali masuk rumah. Dia membuka dompetnya yang kosong. Ayahnya memang ingin membunuhnya p
Atas permintaan Aslan yang sudah jadi suami sah Rara. Kini mereka telah pindah rumah, tidak terlalu besar, tidak juga kecil. Rumahnya cukup sederhana. Aslan tidak suka merepotkan siapa pun, termasuk keluarga Rara. Hanya rumah ini yang bisa Aslan beli untuk mereka tinggal. Selain harganya murah, rumah ini juga tidak jauh dari rumah lamanya. Dengan begitu dia kan bisa tetap memantau ayahnya. "Kamar gue di mana?" muka Rara terlihat kecut. Rumah ini terlalu sempit, dia sulit bernapas rasanya. Apa sih guru menyebalkan ini, tidak bisa cari rumah lebih bagus. "Ini bukan rumah lo yang dulu, kamarnya banyak." Bukannya bersyukur masih ada tempat untuk berteduh, di luaran sana, banyak sekali orang yang gak punya tinggal, bingung mau tidur di mana. Nah, sih ratu sejagat, tidur tinggal tidur, makan tinggal makan. Emang dasar manusia gak pandai bersyukur! "Terus?" decak Rara. "Terus apa?" Aslan kesal gadis ini, mungkin setelah dilahirkan sudah menyebabkan seperti ini. "O.
Akhirnya hari yang Rara benci datang juga. Terlintas di benaknya melarikan diri, tetapi mengingat pesan Aslan tentang kebahagiaan orang tua, ia mengurungkan niat buruknya itu. "Masya Allah cantik banget ciptaan Tuhan satu ini," goda Loli tetap membuat muka Rara terlihat masih kecut. "Loli lo nyebelin! Bukan bantu gua mikir, malah ngeledek gua lagi," protes Rara. "Yaelah, jangan marah-marah, mau nikah juga.""Yaiyalah gua marah, lo datang ngeledek. Balik sana lo!" "Ngambek melulu lo, lebih baik lo pikiran malam pertama lo." Loli mengidik geli membayangkan Rara melakukan malam pertama bersama Aslan, mereka berdua kan musuh buyutan, bisa seperti kapal pecah ranjang mereka. "Eh, mikir apa lo? Enggak akan pernah perawan gua sama Aslan." "Kali! Pak Aslan kan bakal jadi suami lo, bebas dia mau ngapain lo. Ibarat kata nih, lo itu udah di beli Pak Aslan, lo otomatis milik dia seutuhnya." Rara mencebik sejenak memikirkan nasibnya setelah ini. Yang Loli
"Kesel... Kesel... Kesel..." Rara menutupi muka dengan bantalnya, ia masih merasa jengkel mengingat kejadian Aslan menciumnya. Jijik banget dicium Aslan! Gua harus mandi susu nih kayaknya. Suara ketukan terdengar di telinga Rara, ia bergegas turun dari ranjang dengan muka malas. Lalu dia membuka pintu, terlihat Halimah berdiri sembari menampilkan senyum lebarnya. "Bunda, ngapain senyum gitu? Rara jadi horor lihatnya," kata Rara. Halimah langsung menarik tangan Rara kembali memasuki kamar. "Sayang, kamu harus kelihatan cantik, di luar ada tamu." Rara berdecak. "Ngapain ih? Tamu Bunda, kan." "Pokoknya kamu juga harus keluar!" paksa Halimah seraya membongkar isi lemari baju Rara. "Bunda! Gak usah bongkar-bongkar dong." Rara menarik lengan Halimah agar berhenti mengacak seluruh baju dalam lemarinya. "Pakai ini." Halimah memberikan Rara dress panjang berwarna peach. "Anak bunda pasti kelihatan cantik memakainya. Bunda tunggu di bawah, ya.
Atas permintaan Fatir, Rara sekarang berada di rumah sakit. Ia memang salah karena sudah menabrak adik kelasnya. Padahal baru juga masa-masa ujian berakhir. "Yah, harus gitu Rara ke rumah sakit." Rara berjalan menguntit Fatir. "Harus! Kamu itu udah nabrak orang, harus tanggung jawab," ujar Fatir tegas. Rara mendengus kasar. "Aaah... Ayah gak asik nih." "Kamu jangan protes terus, belajar tanggung jawab. Ingat sebentar lagi kamu itu akan nikah sama Aslan," hardik Fatir. Seperti ayah lain, Fatir juga ingin yang terbaik untuk kehidupan Rara. Melihat Rara masih kekanakan, jangankan mau tanggung jawab, untuk hidupnya sendiri masuk suka tidak benar. "Memang yakin Rara mau nikah sama Aslan?" Rara mencebik kesal, ia berjalan lambat mengekori kemana arah langkah kaki ayahnya. "Kamu udah janji sama Ayah, Ra." "Benaran harus nikah gitu, Rara masih muda ntar malah Rara dipikir hamil lagi sama orang-orang," ucap Rara asal. Fatir membalikkan tubuhnya, i
Ibarat kutukan yang harus Rara lakukan, dia mau tapi tak mau. Untuk apa nilai tinggi akhirnya dia menikah. Nilai jelek pasti ia akan dapat ejekan dari Aslan. Makin belagu dong sih guru menyebalkan!Bahkan dia hampir tidak pernah mengunjungi perpustakaan, dan berakhir duduk disini. Rara seminggu ini belajar sungguh-sungguh untuk mencapai nilai terbaik, itu juga atas desakan sang ayah.Terpaksa Rara menurut lantaran Fatir drama sakit membuatnya pasrah. Ia mana tega melihat ayahnya sakit, ataupun sedih. Dia ingin belajar atas bentuk kasih sayang kepada ayahnya."Tumben kamu belajar." Tegur Aslan yang kebetulan mengembalikan buku dari perpustakaan.Rara mendelik sinis.Aslan membungkukkan setengah tubuh, ia melekatkan bibirnya di telinga Rara membuat sang pemilik merasa tegang seketika. "Saya rasa kamu memang berminat jadi istri saya." Bisiknya.Rara terbelalak, ia menolehkan wajahnya tanpa sengaja membuat bibir keduanya
Ini adalah hari terburuk bagi Rara, dia harus terlihat cantik depan Aslan. Paksaan Halimah membuatnya jengkel. Rara dan sekeluarga disambut dengan ramah oleh Indrawan.Belum apa-apa Rara sudah menumpang toilet, lebih tepatnya dia malas mendengar prihal perjodohan itu.Sambil memasuki toilet Rara memainkan ponselnya, "kenapa gua terjebak disini sih?" dumel Rara tidak bisa santai saat dia masih dalam toilet.Seperti orang linglung Rara mondar-mandir tak tentu arah sembari mengenggam ponsel, namun tiba-tiba Rara tersandung membuat handphoneya terlempar memasuki kloset. "Aaaaaa..." Rara berteriak histeris membuat Rama dan Aslan mendekati toilet. "Taik! Pakai acara jatuh lagi. Gimana gua ngambilnya?" omelnya sendiri."Siapa di dalam, bang?" tanya Rama yang tak mengetahui kedatangan Rara."Teman lo Rara." Jawab Aslan seadanya.Sebenarnya Aslan orangnya sangat simple, apalagi saat luar sekolah dia bisa jadi sosok abang sekal
"What?"Mata Rara terbelalak mendengar penuturan Loli, ia bergegas menuju ruangan guru. Tak disangka memang benar Fatir ada di ruangan Aslan. Dari celah jendela Rara dapat melihat mimik wajah marah ayahnya. Mampus lo, Ra! Belum juga 24 jam dia berjanji sudah melanggarnya. Walau dia sudah tahu hukumannya harus menikah bersama Rama, whatever lah.. Rara merasa tetap tenang, dia yakin Rama tidak keberatan, lagi pula mereka sudah bersahabat sejak kecil. "Ra, kira-kira kali apa lagi salah lo?" bisik Loli. Rara memutar kepalanya setengah menatap Loli, kemudian ia perlahan jalan depan pintu, dia yakin mereka bicara suatu yang penting. Ini tak bisa dilewatkan! "Eh.. Bego lo ngapain dekat situ, ketahuan aja ntar habis lo." Peringat Loli. Namun Rara tak mau mendengar, dia tetap menyelinap depan pintu agar lebih jelas mendengar pembicaraan mereka. "Sekali lagi maaf, bukan maksud saya untuk menghukum Rara. Tapi Rara udah keterlaluan." Ucap Aslan. Keterlaluan ap