Pagi itu seperti biasa Rara terlambat, gerbang sekolah sudah tertutup membuat Rara harus memajat pagar samping sekolah.
Bruk! Rara menjatuhkan tasnya, namun tak disangka tas Rara terkena salah satu guru sekolah. "Rara!" teriak laki-laki bernama lengkap Aslan Handika Pratyadi. "Kamu terlambat lagi, nggak ada bosennya kamu." Cecarnya menampilkan muka datar. Rara berdecak. "Yaelah, telat lima menit doang. Jadi guru ribet, hidup gua jadi ikut ribet." Sungut Rara malas, setiap Aslan mempergokinya, pasti dia akan mendapat masalah lebih buruk dari ini. "Kamu itu udah telat, pakai acara ngomel lagi. Yang guru kamu itu saya. Mau saya laporkan ayah kamu lagi.""Ih.. Dikit-dikit ngadu, salah sikit dihukum. Kena azab lo baru tau." Aslan sama sekali tak marah, dia berdiri tegak sambil menjewer telinga Rara. "Auh.. Gila banget nih guru!" hujat Rara. "Saya ini guru kamu yang sopan kalau bicara." Aslan menyeret tangan Rara menuju lapangan sekolah. "Sekarang ikut saya." Rara dengan muka temboknya, ia sama sekali tidak takut, dia malah santai karena terbiasa. "Untuk apa sopan, lo hukum gue terus. Gua aduin bokap yah." Ancam Rara tak digubris Aslan sama sekali membuat gadis itu kesal tak menentu, ibarat kobaran api tengah Menyala-nyala di kepalanya. "Aduin aja, paling juga ayah kamu bilang gini. 'Aslan, titip Rara ya, jaga dia kalau dia bakal hukum aja, om udah pusing dengan kelakuan Rara'." Ucap Aslan sambil meniru gaya bicara Fatir ayah dari Rara. Rara mendelik sinis, seolah-olah ingin mencekik Aslan hingga mati. "TERUS LO PIKIR BERHAK HUKUM GUE! LO ITU CUMA GURU BUKAN YANG PUNYA SEKOLAH. BELAGU LO!""Karena saya guru kamu, saya berhak menegur atau hukum. Kamu salah pasti saya hukum." Walau Rara berkata kasar, namun Aslan tetap bersikap sopan dengan posisinya sebagai guru Rara. "Kamu berdiri disini sampai jam pertama selesai, setelah itu kamu bisa menghadap saya." Perintah Aslan membuat darah Rara semakin mendidih. "LAN!" panggilan Rara berhasil membuat Aslan berbalik menatapnya tajam. "Yaelah.. Gitu amat! Iya deh Pak Aslan." Ucap Rara memperbaiki kalimatnya. "Pak Aslan, saya ada ulangan pagi ini. Nanti aja deh hukumanya." Bujuk Rara. Aslan tak perduli dia kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Rara sendiri di lapangan dengan terik panas matahari. Rara terus merutuki Aslan sembari ia menghormati bendera yang berkibar. Dia berharap sekali-kali Aslan celaka hingga hidupnya dapat tenang. Setelah tiga puluh menit usai, bel berbunyi. Rara menghempaskan napas lega, ia terduduk di lapangan lelah. "Aslan brensek!" umpatnya. "Rara.. Rara.." Panggil seorang gadis berlari kearahnya. "Ra, lo telat lagi?" tanyanya. "Menurut lo?" Loli menyengir melihat kekesalan sahabatnya. "Tadi jadi ulangan gak?" gadis itu mengangguk."Lo sih telat terus, makanya datang tepat waktu. Dihukumkan lo sama Pak Aslan. Lagian telat kok tiap hari." Komentar Loli. "Berisik ah lo!" cibir Rara sambil berdiri dari duduknya. "Kantin yuk." "Ih.. Gila lo! Gue kesini Pak Aslan yang minta." Mendengar nama Aslan, rasanya seluruh emosinya menggumpal. "Pak Aslan bilang lo harus menghadap dia." Rara berpikir Aslan tak ada puasnya menyiksa. "Sih Aslan gak ada adat! Gue minum juga belum, udah disuruh temui dia, emang dasar gak tau diri tuh orang." "Hati-hati lo benci, ntar cinta mati baru tau rasa." Mendengar penuturan asal dari sahabatnya, Rara langsung membayangkan dirinya "Idih.. Amit-amit gue cinta cowok sejenis dia."Loli tertawa geli melihat reaksi Rara seakan jijik dengan Aslan. "Awas lo benaran ntar, baru tau ra--"Rara mendekap mulut Loli kasar. "Sssttss.. Diam! Omongan lo itu seperti petir siang bolong." Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Rara. Ternyata itu Edo teman sebangkunya, penampilan laki-laki itu sangat culun, tapi dia memiliki otak yang smart dari Rara tentunya. "A.. Aa.. Duh.. Rara lo.. Lo itu dicariin Pak Aslan." Ucapnya gagap, meski pintar Edo memiliki kekurangan dalam bicara."Edo! Lo buat gua kaget. Ya.. Ya.. Bawel banget tuh Aslan, cepat tua ntar dia." Ujar Rara berlalu meninggalkan Edo dan Loli yang menggeleng melihat kelakuan gadis cantik itu. ***"Pak Aslan, panggil saya?" tanya Rara seraya melirik kanan-kiri. Hanya ada beberapa guru disana, ia bersikap sopan depan mereka. "Duduk kamu!" suruh Aslan ketus. Rara menarik kursi hadapan Aslan, lalu duduk sambil memasang muka paling menyebalkan. "Saya punya salah lagi, pak?" Aslan tak kuasa memberikan hukuman untuk Rara. Mungkin bisa dikatakan dia bosan. "Harus berapa kali saya sampaikan sepatu kamu gunakan melanggar aturan sekolah kita."Ck.. Rara berdecak malas, itu lagi. Apa Aslan tidak memiliki kerjaan lain selain memberikan hukuman untuknya. "Itu aja, Pak." Ucap Rara memastikan. "Ini surat panggilan untuk orangtua kamu, kesalahan kamu pertama sepatu, kedua kamu dengan berani memajat pagar sekolah, dan terakhir kamu tidak mengikuti ulangan." Rara tergangga lebar, ia begitu sebaliknya dengan Aslan. Bisa-bisanya mengatakan tiga hal tadi kesalahan. "Pak, bukannya tadi saya udah dihukum. Jadi masih kurang juga, kalau bapak gak hukum saya, pasti saya bisa ikut ulangan. Masa orangtua saya dipanggil lagi." Protes Rara tak terima. Aslan muka yang datar, ia tetap menyodorkan surat panggilan untuk Rara. "Kamu boleh keluar sekarang."Rara menggeleng tak percaya, semudah itu Aslan memberikan surat panggilan untuknya. Alasan apalagi coba yang harus Rara berikan kepada Fatir ayahnya, terakhir kali saja Rara dimarahin habis-habisan. Dan sekarang... Ah tidak! Bisa ditampar berpuluh kali dia. Kemudian Rara berjalan lemas kearah kelasnya, ia duduk samping Edo tak bersemangat. "Huft..""Ra, egh.. Ka..mu kamu kenapa?" tanya Edo yang tadinya membaca buku untuk pelajaran selanjutnya. "Gue tebak ya. Pasti orangtua lo kena panggil Pak Aslan lagi." Ujar laki-laki tengil duduk di atas meja Rara. "Sok tempe lo!" hardik Rara kesal. "Ram, gua pulang ke rumah lo ya," lanjut Rara. Rama mendelik malas, setiap Rara kesal atau berdebat sengit dengan Aslan pasti larinya kepada Rama. "Kalau bokap lo nanya gimana? Terus lo pikir di rumah gua gak ada Aslan, lupa lo gua adik Pak Aslan."Keluarga Rama dan Rara memang dari dulu bersahabat baik. Keduanya bersahabat tapi tidak dengan Aslan, dia sudah menjadi musuh Rara sejak lama. Kadang dia berpikir Rama dan Aslan wataknya jauh berbeda, mungkin Aslan anak angkat atau sebaliknya. "Huh.. Abang lo itu nyebelin banget. Gue do'ain dia cepat mati." Sontak Rama langsung memukuli kepala Rara spontan. "Enak aja lo! Galak gitu dia tetap abang gua." Kenapa juga Rara bodoh, tentu Rama membela Aslan. Sejelek apapun kelakuannya tetap saudaraan. Sedangkan dia hanya sahabatnya. "Bilangin abang lo jangan panggil bokap gua terus." "Bang Aslan gak mungkin hukum lo, kalau lo gak salah." "Bela terus abang kesayangan lo itu." "Idih.. Ngambek. Cepat tua lo!" "Bodo ah." Rara menenggelamkan wajahnya kesal. Sekarang yang dia pikirkan bagaimana cara memberitahukan ayahnya, jika dia harus ke sekolah lagi. Padahal Rara cuma melakukan kesalahan kecil.Sebelum Rara memberikan surat panggilan. Ia justru terkejut kehadiran dokter keluarganya, saat memasuki perkarangan rumahnya.Rara langsung berlari menghampiri Halimah, ia melihat muka letih wanita paruh baya itu. "Bun, kok ada dokter Bram?" tanyanya.Halimah menghembuskan napas panjang, sebenarnya dia tak ingin memberitahu hal ini kepada Rara. "Sini, sayang. Duduk dulu." Ia merengkuh tangan putri duduk di sofa bersamanya."Bun, jangan buat Rara khawatir deh." Ujar Rara masih memasang muka cemasnya.Halimah mengelus rambut panjang Rara, ia ingin berkata dari hati ke hati karena pastinya takut Rara shock. "Ehmm...""Iih.. Bunda. Sebenarnya ada apa sih?" sambar Lala tak sabar."Sebenarnya ayah kamu sakit jantungnya semakin parah, harusnya ayah diminta bawa ke rumah sakit.""Terus kenapa ayah gak mau?" Halimah bisa apa jika suaminya dengan tegas menolak saran dari dokter."Karena ayah nggak mau buat kamu
"What?"Mata Rara terbelalak mendengar penuturan Loli, ia bergegas menuju ruangan guru. Tak disangka memang benar Fatir ada di ruangan Aslan. Dari celah jendela Rara dapat melihat mimik wajah marah ayahnya. Mampus lo, Ra! Belum juga 24 jam dia berjanji sudah melanggarnya. Walau dia sudah tahu hukumannya harus menikah bersama Rama, whatever lah.. Rara merasa tetap tenang, dia yakin Rama tidak keberatan, lagi pula mereka sudah bersahabat sejak kecil. "Ra, kira-kira kali apa lagi salah lo?" bisik Loli. Rara memutar kepalanya setengah menatap Loli, kemudian ia perlahan jalan depan pintu, dia yakin mereka bicara suatu yang penting. Ini tak bisa dilewatkan! "Eh.. Bego lo ngapain dekat situ, ketahuan aja ntar habis lo." Peringat Loli. Namun Rara tak mau mendengar, dia tetap menyelinap depan pintu agar lebih jelas mendengar pembicaraan mereka. "Sekali lagi maaf, bukan maksud saya untuk menghukum Rara. Tapi Rara udah keterlaluan." Ucap Aslan. Keterlaluan ap
Ini adalah hari terburuk bagi Rara, dia harus terlihat cantik depan Aslan. Paksaan Halimah membuatnya jengkel. Rara dan sekeluarga disambut dengan ramah oleh Indrawan.Belum apa-apa Rara sudah menumpang toilet, lebih tepatnya dia malas mendengar prihal perjodohan itu.Sambil memasuki toilet Rara memainkan ponselnya, "kenapa gua terjebak disini sih?" dumel Rara tidak bisa santai saat dia masih dalam toilet.Seperti orang linglung Rara mondar-mandir tak tentu arah sembari mengenggam ponsel, namun tiba-tiba Rara tersandung membuat handphoneya terlempar memasuki kloset. "Aaaaaa..." Rara berteriak histeris membuat Rama dan Aslan mendekati toilet. "Taik! Pakai acara jatuh lagi. Gimana gua ngambilnya?" omelnya sendiri."Siapa di dalam, bang?" tanya Rama yang tak mengetahui kedatangan Rara."Teman lo Rara." Jawab Aslan seadanya.Sebenarnya Aslan orangnya sangat simple, apalagi saat luar sekolah dia bisa jadi sosok abang sekal
Ibarat kutukan yang harus Rara lakukan, dia mau tapi tak mau. Untuk apa nilai tinggi akhirnya dia menikah. Nilai jelek pasti ia akan dapat ejekan dari Aslan. Makin belagu dong sih guru menyebalkan!Bahkan dia hampir tidak pernah mengunjungi perpustakaan, dan berakhir duduk disini. Rara seminggu ini belajar sungguh-sungguh untuk mencapai nilai terbaik, itu juga atas desakan sang ayah.Terpaksa Rara menurut lantaran Fatir drama sakit membuatnya pasrah. Ia mana tega melihat ayahnya sakit, ataupun sedih. Dia ingin belajar atas bentuk kasih sayang kepada ayahnya."Tumben kamu belajar." Tegur Aslan yang kebetulan mengembalikan buku dari perpustakaan.Rara mendelik sinis.Aslan membungkukkan setengah tubuh, ia melekatkan bibirnya di telinga Rara membuat sang pemilik merasa tegang seketika. "Saya rasa kamu memang berminat jadi istri saya." Bisiknya.Rara terbelalak, ia menolehkan wajahnya tanpa sengaja membuat bibir keduanya
Atas permintaan Fatir, Rara sekarang berada di rumah sakit. Ia memang salah karena sudah menabrak adik kelasnya. Padahal baru juga masa-masa ujian berakhir. "Yah, harus gitu Rara ke rumah sakit." Rara berjalan menguntit Fatir. "Harus! Kamu itu udah nabrak orang, harus tanggung jawab," ujar Fatir tegas. Rara mendengus kasar. "Aaah... Ayah gak asik nih." "Kamu jangan protes terus, belajar tanggung jawab. Ingat sebentar lagi kamu itu akan nikah sama Aslan," hardik Fatir. Seperti ayah lain, Fatir juga ingin yang terbaik untuk kehidupan Rara. Melihat Rara masih kekanakan, jangankan mau tanggung jawab, untuk hidupnya sendiri masuk suka tidak benar. "Memang yakin Rara mau nikah sama Aslan?" Rara mencebik kesal, ia berjalan lambat mengekori kemana arah langkah kaki ayahnya. "Kamu udah janji sama Ayah, Ra." "Benaran harus nikah gitu, Rara masih muda ntar malah Rara dipikir hamil lagi sama orang-orang," ucap Rara asal. Fatir membalikkan tubuhnya, i
"Kesel... Kesel... Kesel..." Rara menutupi muka dengan bantalnya, ia masih merasa jengkel mengingat kejadian Aslan menciumnya. Jijik banget dicium Aslan! Gua harus mandi susu nih kayaknya. Suara ketukan terdengar di telinga Rara, ia bergegas turun dari ranjang dengan muka malas. Lalu dia membuka pintu, terlihat Halimah berdiri sembari menampilkan senyum lebarnya. "Bunda, ngapain senyum gitu? Rara jadi horor lihatnya," kata Rara. Halimah langsung menarik tangan Rara kembali memasuki kamar. "Sayang, kamu harus kelihatan cantik, di luar ada tamu." Rara berdecak. "Ngapain ih? Tamu Bunda, kan." "Pokoknya kamu juga harus keluar!" paksa Halimah seraya membongkar isi lemari baju Rara. "Bunda! Gak usah bongkar-bongkar dong." Rara menarik lengan Halimah agar berhenti mengacak seluruh baju dalam lemarinya. "Pakai ini." Halimah memberikan Rara dress panjang berwarna peach. "Anak bunda pasti kelihatan cantik memakainya. Bunda tunggu di bawah, ya.
Akhirnya hari yang Rara benci datang juga. Terlintas di benaknya melarikan diri, tetapi mengingat pesan Aslan tentang kebahagiaan orang tua, ia mengurungkan niat buruknya itu. "Masya Allah cantik banget ciptaan Tuhan satu ini," goda Loli tetap membuat muka Rara terlihat masih kecut. "Loli lo nyebelin! Bukan bantu gua mikir, malah ngeledek gua lagi," protes Rara. "Yaelah, jangan marah-marah, mau nikah juga.""Yaiyalah gua marah, lo datang ngeledek. Balik sana lo!" "Ngambek melulu lo, lebih baik lo pikiran malam pertama lo." Loli mengidik geli membayangkan Rara melakukan malam pertama bersama Aslan, mereka berdua kan musuh buyutan, bisa seperti kapal pecah ranjang mereka. "Eh, mikir apa lo? Enggak akan pernah perawan gua sama Aslan." "Kali! Pak Aslan kan bakal jadi suami lo, bebas dia mau ngapain lo. Ibarat kata nih, lo itu udah di beli Pak Aslan, lo otomatis milik dia seutuhnya." Rara mencebik sejenak memikirkan nasibnya setelah ini. Yang Loli
Atas permintaan Aslan yang sudah jadi suami sah Rara. Kini mereka telah pindah rumah, tidak terlalu besar, tidak juga kecil. Rumahnya cukup sederhana. Aslan tidak suka merepotkan siapa pun, termasuk keluarga Rara. Hanya rumah ini yang bisa Aslan beli untuk mereka tinggal. Selain harganya murah, rumah ini juga tidak jauh dari rumah lamanya. Dengan begitu dia kan bisa tetap memantau ayahnya. "Kamar gue di mana?" muka Rara terlihat kecut. Rumah ini terlalu sempit, dia sulit bernapas rasanya. Apa sih guru menyebalkan ini, tidak bisa cari rumah lebih bagus. "Ini bukan rumah lo yang dulu, kamarnya banyak." Bukannya bersyukur masih ada tempat untuk berteduh, di luaran sana, banyak sekali orang yang gak punya tinggal, bingung mau tidur di mana. Nah, sih ratu sejagat, tidur tinggal tidur, makan tinggal makan. Emang dasar manusia gak pandai bersyukur! "Terus?" decak Rara. "Terus apa?" Aslan kesal gadis ini, mungkin setelah dilahirkan sudah menyebabkan seperti ini. "O.
Habis basah-basahan, terpaksa mandi mendadak. Perempuan cantik ini, masih menutupi tubuhnya dengan kimono, dia pikir Aslan tak berada di kamar, ah rupanya dia mojok santai. Rara memutar bola matanya berjalan perlahan sambil netra menangkap pria itu yang sedang baca buku. Dia harus ganti baju di mana, kalau Aslan ada di kamar. Masa harus bukan semuanya depan guru dia anggap musuh ini. Ah ntar pikirannya mesum lagi, dia kan perawan ting-ting. Rara membuka lemari, tapi emang dasar kutu buku, telinganya sampai tuli. Padahal Rara sudah membanting kuat, agar pria ini membiarkannya ganti baju sejenak. Sampai hentakan kaki Rara pun tak dihiraukannya, laki-laki apaan itu? Oh jangan-jangan dia ingin mengintip. Astaga. "Aslan!" panggil Rara dengan ketus. Pria itu menoleh, dia menaikan satu alisnya. "Apa? Ngajak ribut?" pengantin baru itu harusnya nempel terus kayak prangko. Lah, Aslan dan Rara udah kayak kucing dan tikus. Boro-boro nempel, adanya berantem terus, dari hal ke
Rara tadinya ingin mengunci dirinya di kamar mandi dan akan keluar setelah makanan siap untuknya. Memang terdengar egois, dia tidak mungkin masak, pegang pisau juga tak pernah. Mentalnya terlalu lemah untuk berada di kamar mandi yang sempit, gelap pula. Terpaksa akhirnya keluar dari sana, membereskan semuanya. Ujung-ujungnya kelelahan sampai ketiduran berduaan di kamar. Ternyata tempat tidur yang tidak terlalu empuk bisa juga membuat Rara tidur nyenyak. Bangun-bangun Rara kelaparan, dia tidak melihat suaminya itu di dekatnya. Tidak penting kepergian Aslan, sekarang dia harus memikirkan perutnya yang kosong. "Aslan... Aslan... Di mana dia?" batang hidung pria itu tidak terlihat. Ah bagaimana nasib perutnya, cacingnya sudah demo. Dia pun keluar rumah mencari Aslan lagi, buruknya motor pria itu tidak ada terparkir depan rumahnya. Tidak mendapatkan Aslan di mana-mana, Rara kembali masuk rumah. Dia membuka dompetnya yang kosong. Ayahnya memang ingin membunuhnya p
Atas permintaan Aslan yang sudah jadi suami sah Rara. Kini mereka telah pindah rumah, tidak terlalu besar, tidak juga kecil. Rumahnya cukup sederhana. Aslan tidak suka merepotkan siapa pun, termasuk keluarga Rara. Hanya rumah ini yang bisa Aslan beli untuk mereka tinggal. Selain harganya murah, rumah ini juga tidak jauh dari rumah lamanya. Dengan begitu dia kan bisa tetap memantau ayahnya. "Kamar gue di mana?" muka Rara terlihat kecut. Rumah ini terlalu sempit, dia sulit bernapas rasanya. Apa sih guru menyebalkan ini, tidak bisa cari rumah lebih bagus. "Ini bukan rumah lo yang dulu, kamarnya banyak." Bukannya bersyukur masih ada tempat untuk berteduh, di luaran sana, banyak sekali orang yang gak punya tinggal, bingung mau tidur di mana. Nah, sih ratu sejagat, tidur tinggal tidur, makan tinggal makan. Emang dasar manusia gak pandai bersyukur! "Terus?" decak Rara. "Terus apa?" Aslan kesal gadis ini, mungkin setelah dilahirkan sudah menyebabkan seperti ini. "O.
Akhirnya hari yang Rara benci datang juga. Terlintas di benaknya melarikan diri, tetapi mengingat pesan Aslan tentang kebahagiaan orang tua, ia mengurungkan niat buruknya itu. "Masya Allah cantik banget ciptaan Tuhan satu ini," goda Loli tetap membuat muka Rara terlihat masih kecut. "Loli lo nyebelin! Bukan bantu gua mikir, malah ngeledek gua lagi," protes Rara. "Yaelah, jangan marah-marah, mau nikah juga.""Yaiyalah gua marah, lo datang ngeledek. Balik sana lo!" "Ngambek melulu lo, lebih baik lo pikiran malam pertama lo." Loli mengidik geli membayangkan Rara melakukan malam pertama bersama Aslan, mereka berdua kan musuh buyutan, bisa seperti kapal pecah ranjang mereka. "Eh, mikir apa lo? Enggak akan pernah perawan gua sama Aslan." "Kali! Pak Aslan kan bakal jadi suami lo, bebas dia mau ngapain lo. Ibarat kata nih, lo itu udah di beli Pak Aslan, lo otomatis milik dia seutuhnya." Rara mencebik sejenak memikirkan nasibnya setelah ini. Yang Loli
"Kesel... Kesel... Kesel..." Rara menutupi muka dengan bantalnya, ia masih merasa jengkel mengingat kejadian Aslan menciumnya. Jijik banget dicium Aslan! Gua harus mandi susu nih kayaknya. Suara ketukan terdengar di telinga Rara, ia bergegas turun dari ranjang dengan muka malas. Lalu dia membuka pintu, terlihat Halimah berdiri sembari menampilkan senyum lebarnya. "Bunda, ngapain senyum gitu? Rara jadi horor lihatnya," kata Rara. Halimah langsung menarik tangan Rara kembali memasuki kamar. "Sayang, kamu harus kelihatan cantik, di luar ada tamu." Rara berdecak. "Ngapain ih? Tamu Bunda, kan." "Pokoknya kamu juga harus keluar!" paksa Halimah seraya membongkar isi lemari baju Rara. "Bunda! Gak usah bongkar-bongkar dong." Rara menarik lengan Halimah agar berhenti mengacak seluruh baju dalam lemarinya. "Pakai ini." Halimah memberikan Rara dress panjang berwarna peach. "Anak bunda pasti kelihatan cantik memakainya. Bunda tunggu di bawah, ya.
Atas permintaan Fatir, Rara sekarang berada di rumah sakit. Ia memang salah karena sudah menabrak adik kelasnya. Padahal baru juga masa-masa ujian berakhir. "Yah, harus gitu Rara ke rumah sakit." Rara berjalan menguntit Fatir. "Harus! Kamu itu udah nabrak orang, harus tanggung jawab," ujar Fatir tegas. Rara mendengus kasar. "Aaah... Ayah gak asik nih." "Kamu jangan protes terus, belajar tanggung jawab. Ingat sebentar lagi kamu itu akan nikah sama Aslan," hardik Fatir. Seperti ayah lain, Fatir juga ingin yang terbaik untuk kehidupan Rara. Melihat Rara masih kekanakan, jangankan mau tanggung jawab, untuk hidupnya sendiri masuk suka tidak benar. "Memang yakin Rara mau nikah sama Aslan?" Rara mencebik kesal, ia berjalan lambat mengekori kemana arah langkah kaki ayahnya. "Kamu udah janji sama Ayah, Ra." "Benaran harus nikah gitu, Rara masih muda ntar malah Rara dipikir hamil lagi sama orang-orang," ucap Rara asal. Fatir membalikkan tubuhnya, i
Ibarat kutukan yang harus Rara lakukan, dia mau tapi tak mau. Untuk apa nilai tinggi akhirnya dia menikah. Nilai jelek pasti ia akan dapat ejekan dari Aslan. Makin belagu dong sih guru menyebalkan!Bahkan dia hampir tidak pernah mengunjungi perpustakaan, dan berakhir duduk disini. Rara seminggu ini belajar sungguh-sungguh untuk mencapai nilai terbaik, itu juga atas desakan sang ayah.Terpaksa Rara menurut lantaran Fatir drama sakit membuatnya pasrah. Ia mana tega melihat ayahnya sakit, ataupun sedih. Dia ingin belajar atas bentuk kasih sayang kepada ayahnya."Tumben kamu belajar." Tegur Aslan yang kebetulan mengembalikan buku dari perpustakaan.Rara mendelik sinis.Aslan membungkukkan setengah tubuh, ia melekatkan bibirnya di telinga Rara membuat sang pemilik merasa tegang seketika. "Saya rasa kamu memang berminat jadi istri saya." Bisiknya.Rara terbelalak, ia menolehkan wajahnya tanpa sengaja membuat bibir keduanya
Ini adalah hari terburuk bagi Rara, dia harus terlihat cantik depan Aslan. Paksaan Halimah membuatnya jengkel. Rara dan sekeluarga disambut dengan ramah oleh Indrawan.Belum apa-apa Rara sudah menumpang toilet, lebih tepatnya dia malas mendengar prihal perjodohan itu.Sambil memasuki toilet Rara memainkan ponselnya, "kenapa gua terjebak disini sih?" dumel Rara tidak bisa santai saat dia masih dalam toilet.Seperti orang linglung Rara mondar-mandir tak tentu arah sembari mengenggam ponsel, namun tiba-tiba Rara tersandung membuat handphoneya terlempar memasuki kloset. "Aaaaaa..." Rara berteriak histeris membuat Rama dan Aslan mendekati toilet. "Taik! Pakai acara jatuh lagi. Gimana gua ngambilnya?" omelnya sendiri."Siapa di dalam, bang?" tanya Rama yang tak mengetahui kedatangan Rara."Teman lo Rara." Jawab Aslan seadanya.Sebenarnya Aslan orangnya sangat simple, apalagi saat luar sekolah dia bisa jadi sosok abang sekal
"What?"Mata Rara terbelalak mendengar penuturan Loli, ia bergegas menuju ruangan guru. Tak disangka memang benar Fatir ada di ruangan Aslan. Dari celah jendela Rara dapat melihat mimik wajah marah ayahnya. Mampus lo, Ra! Belum juga 24 jam dia berjanji sudah melanggarnya. Walau dia sudah tahu hukumannya harus menikah bersama Rama, whatever lah.. Rara merasa tetap tenang, dia yakin Rama tidak keberatan, lagi pula mereka sudah bersahabat sejak kecil. "Ra, kira-kira kali apa lagi salah lo?" bisik Loli. Rara memutar kepalanya setengah menatap Loli, kemudian ia perlahan jalan depan pintu, dia yakin mereka bicara suatu yang penting. Ini tak bisa dilewatkan! "Eh.. Bego lo ngapain dekat situ, ketahuan aja ntar habis lo." Peringat Loli. Namun Rara tak mau mendengar, dia tetap menyelinap depan pintu agar lebih jelas mendengar pembicaraan mereka. "Sekali lagi maaf, bukan maksud saya untuk menghukum Rara. Tapi Rara udah keterlaluan." Ucap Aslan. Keterlaluan ap