Ini adalah hari terburuk bagi Rara, dia harus terlihat cantik depan Aslan. Paksaan Halimah membuatnya jengkel. Rara dan sekeluarga disambut dengan ramah oleh Indrawan.
Belum apa-apa Rara sudah menumpang toilet, lebih tepatnya dia malas mendengar prihal perjodohan itu. Sambil memasuki toilet Rara memainkan ponselnya, "kenapa gua terjebak disini sih?" dumel Rara tidak bisa santai saat dia masih dalam toilet. Seperti orang linglung Rara mondar-mandir tak tentu arah sembari mengenggam ponsel, namun tiba-tiba Rara tersandung membuat handphoneya terlempar memasuki kloset. "Aaaaaa..." Rara berteriak histeris membuat Rama dan Aslan mendekati toilet. "Taik! Pakai acara jatuh lagi. Gimana gua ngambilnya?" omelnya sendiri. "Siapa di dalam, bang?" tanya Rama yang tak mengetahui kedatangan Rara. "Teman lo Rara." Jawab Aslan seadanya. Sebenarnya Aslan orangnya sangat simple, apalagi saat luar sekolah dia bisa jadi sosok abang sekaligus teman terbaik untuk Rama. Aslan tampak galak, tapi tidak seperti itu. Dia hanya melakukan tugasnya sebagai guru. Jika ada yang salah dia tegas, cuma memang Rara kadang suka berlebihan menanggapinya. "Rara! Kok bisa disini?" Aslan mengidikkan bahunya tak tahu. Tok.. Tok.. Tok.. Rara menoleh kearah pintu sekilas, dia masih mematung menatap ponselnya belum sama sekali ia ambil. "Ra, lo di dalam?" tanya Rama setengah teriak khawatir dari balik pintu. "Iya.""Rara, ada apa? Kenapa teriak?" Rara berdecak mendengar suara Aslan juga, ia berjongkok perlahan, lalu membuang mukanya kearah lain, ia mengambil handphonenya. "Uek.. Jijik banget gue. Belum juga ketemu Aslan gua udah sial." Ujarnya jengkel sendiri. "Ra, lo nggak kesambet kan di dalam." Ucap Rama memastikan keadaan Rara. "Sembarangan lo, oon." Lontar Rara yang sudah keluar dari toilet seraya menjinjing jijik ponselnya. Sementara Aslan pergi setelah melihat keadaan Rara baik-baik saja. "Handphone lo kenapa?" Rara mencebik sedih, "kok basah?""Ish.. Pakai nanya lagi lo. Masuk kloset tuh, baru juga gue beli minggu kemarin. Masa gua minta beli baru lagi sih." Rama tertawa, ia bisa melihat kekesalan tambah lagi galau karena ponselnya yang sudah pasti rusak. "Udahlah bokap lo kan kaya, lo minta apa aja langsung dikasih." Tapi Rara tidak yakin, apalagi akhir-akhir ini banyak kesalahan yang dia lakukan. "Tau ah. Pusing gua." "Rara, kamu dari toiletnya lama banget. Cepatan sebelum ayah kamu yang nyusul." Lontar Halimah menghampiri Rara. Rara tak merespon, ia langsung bergegas menuju ruang tamu yang sudah ada Fatir, Halimah, Indrawan, dan tentunya Aslan. "Rara, apa kabar?" sapa Indrawan yang sudah lama tidak ketemu Rara, padahal Rara sering main ke rumahnya bermain dengan Rama.Ya karena memang Indrawan lebih sering mengurung diri di kamarnya, sejak istrinya meninggal lima tahun yang lalu ia sering sakitan, tambah lagi perusahaan mengalami kebangkrutan. Bersyukur sekarang sudah ada Aslan yang bekerja, dia juga yang menolong biasa sekolah Rama. "Alhamdulillah, baik om. Om sendiri gimana? Udah sehat?" Indrawan tersenyum lebar, terpancar kebahagiaan dalam matanya. "Udah mendingan. Hemm.. Kamu benaran udah siap kan." Ucap Indrawan memastikan. Rara duduk antara ayah dan bundanya. Ia memandangi keduanya bergilir seolah meminta pertolongan, apa daya orangtuanya yang menginginkan pernikahan itu. Lalu Rara mengangguk. "Iya, om. In-syaAllah kalau Aslan juga udah siap." Aslan berdiri di belakang Indrawan. "Sekali lagi maaf, om. Bukannya Aslan menolak permintaan om Fatir, tapi Rara itu masih sekolah. Aslan rasa ini terlalu cepat takutnya Rara nggak siap." Rara tersenyum lebar mendengar respon Aslan. "Yes." Sumringah Rara pelan, namun masih terdengar jelas di telinga Fatir. "Kamu dengar kan tadi Rara bilang udah siap, Aslan. Untuk masalah biaya sekolah kamu gak usah pikirin, itu tanggungjawab om." Lalu Rara mendengus melirik Fatir tak menyerah menyakinkan Aslan. "Sekali lagi maaf banget, om. Ini bukan masalah uang, Aslan hanya gak mau nanti Rara menyesal buang waktu remajanya demi Aslan.""Hemm.. Udah paling betul tuh, yah." Celetuk Rara malah mendapat tatapan maut dari Fatir. Ia menunduk kesal. Rama mengerut dahinya bingung, dari semua yang dia simak, ia sama sekali tak mengerti topik pembicaraan mereka. "Nak Aslan, tante paham maksud kamu. Tapi coba deh pikirin lagi, ini juga buat kebaikan Rara." Lontar Halimah kali ini. "Kebaikan Rara apaan. Kebaikan ayah dan bunda mungkin." Celetuk Rara. "Tuh kan om, tante, Rara belum siap. Lebih baik jangan sekarang. Paling tidak tunggu Rara selesai kuliah." Beh.. Udah paling benar tuh. Kalau bisa sih jangan sama sekali. Rara membatin kegirangan. Ternyata Aslan juga tidak tertarik dengannya. Baguslah. "Kelamaan kalau tunggu Rara selesai kuliah." Komentar Indrawan membuat Rara memajukan bibirnya. "Tapi, pa--""Udah kamu pikirin lagi, kamu dan Rara itu udah saling kenal sejak kecil, gak usahlah pikir panjang lagi untuk nikah." "Nikah? Bang Aslan dan Rara mau nikah?" Rama kaget bukan main, dia membayangkan kucing anggora dinikahi dengan kucing kampung, apa jadinya. Rama bangkit melekati Rara. "Lo mau, Ra?" bisiknya. "Ya enggaklah. Gila kali gue nikah sama abang lo." Balasnya pelan membuat Rama terkikih. Aslan menghempuskan napas panjang, ia tak habis pikir dengan pemikiran orangtua zaman sekarang. Bukannya suruh anak sekolah, malah suruh married, dikira kasih makan anak orang gampang kali ya. Apalagi modelnya kayak Rara. "Gini aja, kalau ujian minggu depan Rara bisa dapat nilai tinggi. Saya akan pikirkan lagi untuk rencana pernikahan ini." Rara dan Rama saling pandang, mana pernah sih Rara dapat nilai tinggi, mentok-mentoknya enam udah paling tinggi, syukur kalau gak nyontek. "Sayang, kamu bisa dapat nilai tinggi ujian kalian ini." Ujar Fatir penuh harapan. Muka Rara sudah berekspresi kecut. "Semoga ya, yah." Ucapnya sembari mengangguk ragu. "Yang tegas dong. Yakin bisa, ntar nyontek lagi." Sindir Aslan terang-terangan. Gadis itu bangkit dari duduknya kesal, "bisalah lo gak percaya sama kemampuan gua.""Buktiin dong kalau lo memang bisa, jangan ngomong doang." "Oke. Lo liat aja, gua bisa dapat nilai tertinggi.""Kalau lo bisa dapat nilai tertinggi, baru kita nikah."Astaga.. Apaan ini? Bego amat sih, ngapain terpancing dengan ucapan Aslan. Iih.. Gua gak mau nikah sama Aslan! "Ra, kamu jangan kecewain ayah kali. Ingat udah janji sama ayah." Rara kembali duduk mendengar kata-kata Fatir, kakinya terasa lemas. Satu sisi ia tak mau nikah muda, dan dia juga sudah janji gak akan kecewain Fatir. "Iya, yah." Rama terkekeh melihat kepasrahan yang Rara tunjukan. Seumur-umur belum pernah Rara pasrah dengan keadaan, lucu kali ya kalau sahabatnya jadi kakak iparnya. "Kasian banget sih nasib lo, Ra." Bisiknya meledek. Rara menarik rambut Rara sekilas. "Gelo!"Ibarat kutukan yang harus Rara lakukan, dia mau tapi tak mau. Untuk apa nilai tinggi akhirnya dia menikah. Nilai jelek pasti ia akan dapat ejekan dari Aslan. Makin belagu dong sih guru menyebalkan!Bahkan dia hampir tidak pernah mengunjungi perpustakaan, dan berakhir duduk disini. Rara seminggu ini belajar sungguh-sungguh untuk mencapai nilai terbaik, itu juga atas desakan sang ayah.Terpaksa Rara menurut lantaran Fatir drama sakit membuatnya pasrah. Ia mana tega melihat ayahnya sakit, ataupun sedih. Dia ingin belajar atas bentuk kasih sayang kepada ayahnya."Tumben kamu belajar." Tegur Aslan yang kebetulan mengembalikan buku dari perpustakaan.Rara mendelik sinis.Aslan membungkukkan setengah tubuh, ia melekatkan bibirnya di telinga Rara membuat sang pemilik merasa tegang seketika. "Saya rasa kamu memang berminat jadi istri saya." Bisiknya.Rara terbelalak, ia menolehkan wajahnya tanpa sengaja membuat bibir keduanya
Atas permintaan Fatir, Rara sekarang berada di rumah sakit. Ia memang salah karena sudah menabrak adik kelasnya. Padahal baru juga masa-masa ujian berakhir. "Yah, harus gitu Rara ke rumah sakit." Rara berjalan menguntit Fatir. "Harus! Kamu itu udah nabrak orang, harus tanggung jawab," ujar Fatir tegas. Rara mendengus kasar. "Aaah... Ayah gak asik nih." "Kamu jangan protes terus, belajar tanggung jawab. Ingat sebentar lagi kamu itu akan nikah sama Aslan," hardik Fatir. Seperti ayah lain, Fatir juga ingin yang terbaik untuk kehidupan Rara. Melihat Rara masih kekanakan, jangankan mau tanggung jawab, untuk hidupnya sendiri masuk suka tidak benar. "Memang yakin Rara mau nikah sama Aslan?" Rara mencebik kesal, ia berjalan lambat mengekori kemana arah langkah kaki ayahnya. "Kamu udah janji sama Ayah, Ra." "Benaran harus nikah gitu, Rara masih muda ntar malah Rara dipikir hamil lagi sama orang-orang," ucap Rara asal. Fatir membalikkan tubuhnya, i
"Kesel... Kesel... Kesel..." Rara menutupi muka dengan bantalnya, ia masih merasa jengkel mengingat kejadian Aslan menciumnya. Jijik banget dicium Aslan! Gua harus mandi susu nih kayaknya. Suara ketukan terdengar di telinga Rara, ia bergegas turun dari ranjang dengan muka malas. Lalu dia membuka pintu, terlihat Halimah berdiri sembari menampilkan senyum lebarnya. "Bunda, ngapain senyum gitu? Rara jadi horor lihatnya," kata Rara. Halimah langsung menarik tangan Rara kembali memasuki kamar. "Sayang, kamu harus kelihatan cantik, di luar ada tamu." Rara berdecak. "Ngapain ih? Tamu Bunda, kan." "Pokoknya kamu juga harus keluar!" paksa Halimah seraya membongkar isi lemari baju Rara. "Bunda! Gak usah bongkar-bongkar dong." Rara menarik lengan Halimah agar berhenti mengacak seluruh baju dalam lemarinya. "Pakai ini." Halimah memberikan Rara dress panjang berwarna peach. "Anak bunda pasti kelihatan cantik memakainya. Bunda tunggu di bawah, ya.
Akhirnya hari yang Rara benci datang juga. Terlintas di benaknya melarikan diri, tetapi mengingat pesan Aslan tentang kebahagiaan orang tua, ia mengurungkan niat buruknya itu. "Masya Allah cantik banget ciptaan Tuhan satu ini," goda Loli tetap membuat muka Rara terlihat masih kecut. "Loli lo nyebelin! Bukan bantu gua mikir, malah ngeledek gua lagi," protes Rara. "Yaelah, jangan marah-marah, mau nikah juga.""Yaiyalah gua marah, lo datang ngeledek. Balik sana lo!" "Ngambek melulu lo, lebih baik lo pikiran malam pertama lo." Loli mengidik geli membayangkan Rara melakukan malam pertama bersama Aslan, mereka berdua kan musuh buyutan, bisa seperti kapal pecah ranjang mereka. "Eh, mikir apa lo? Enggak akan pernah perawan gua sama Aslan." "Kali! Pak Aslan kan bakal jadi suami lo, bebas dia mau ngapain lo. Ibarat kata nih, lo itu udah di beli Pak Aslan, lo otomatis milik dia seutuhnya." Rara mencebik sejenak memikirkan nasibnya setelah ini. Yang Loli
Atas permintaan Aslan yang sudah jadi suami sah Rara. Kini mereka telah pindah rumah, tidak terlalu besar, tidak juga kecil. Rumahnya cukup sederhana. Aslan tidak suka merepotkan siapa pun, termasuk keluarga Rara. Hanya rumah ini yang bisa Aslan beli untuk mereka tinggal. Selain harganya murah, rumah ini juga tidak jauh dari rumah lamanya. Dengan begitu dia kan bisa tetap memantau ayahnya. "Kamar gue di mana?" muka Rara terlihat kecut. Rumah ini terlalu sempit, dia sulit bernapas rasanya. Apa sih guru menyebalkan ini, tidak bisa cari rumah lebih bagus. "Ini bukan rumah lo yang dulu, kamarnya banyak." Bukannya bersyukur masih ada tempat untuk berteduh, di luaran sana, banyak sekali orang yang gak punya tinggal, bingung mau tidur di mana. Nah, sih ratu sejagat, tidur tinggal tidur, makan tinggal makan. Emang dasar manusia gak pandai bersyukur! "Terus?" decak Rara. "Terus apa?" Aslan kesal gadis ini, mungkin setelah dilahirkan sudah menyebabkan seperti ini. "O.
Rara tadinya ingin mengunci dirinya di kamar mandi dan akan keluar setelah makanan siap untuknya. Memang terdengar egois, dia tidak mungkin masak, pegang pisau juga tak pernah. Mentalnya terlalu lemah untuk berada di kamar mandi yang sempit, gelap pula. Terpaksa akhirnya keluar dari sana, membereskan semuanya. Ujung-ujungnya kelelahan sampai ketiduran berduaan di kamar. Ternyata tempat tidur yang tidak terlalu empuk bisa juga membuat Rara tidur nyenyak. Bangun-bangun Rara kelaparan, dia tidak melihat suaminya itu di dekatnya. Tidak penting kepergian Aslan, sekarang dia harus memikirkan perutnya yang kosong. "Aslan... Aslan... Di mana dia?" batang hidung pria itu tidak terlihat. Ah bagaimana nasib perutnya, cacingnya sudah demo. Dia pun keluar rumah mencari Aslan lagi, buruknya motor pria itu tidak ada terparkir depan rumahnya. Tidak mendapatkan Aslan di mana-mana, Rara kembali masuk rumah. Dia membuka dompetnya yang kosong. Ayahnya memang ingin membunuhnya p
Habis basah-basahan, terpaksa mandi mendadak. Perempuan cantik ini, masih menutupi tubuhnya dengan kimono, dia pikir Aslan tak berada di kamar, ah rupanya dia mojok santai. Rara memutar bola matanya berjalan perlahan sambil netra menangkap pria itu yang sedang baca buku. Dia harus ganti baju di mana, kalau Aslan ada di kamar. Masa harus bukan semuanya depan guru dia anggap musuh ini. Ah ntar pikirannya mesum lagi, dia kan perawan ting-ting. Rara membuka lemari, tapi emang dasar kutu buku, telinganya sampai tuli. Padahal Rara sudah membanting kuat, agar pria ini membiarkannya ganti baju sejenak. Sampai hentakan kaki Rara pun tak dihiraukannya, laki-laki apaan itu? Oh jangan-jangan dia ingin mengintip. Astaga. "Aslan!" panggil Rara dengan ketus. Pria itu menoleh, dia menaikan satu alisnya. "Apa? Ngajak ribut?" pengantin baru itu harusnya nempel terus kayak prangko. Lah, Aslan dan Rara udah kayak kucing dan tikus. Boro-boro nempel, adanya berantem terus, dari hal ke
Plak!Hampir setiap hari Rara mendapat tamparan dari Fatir ayahnya. Bahkan ia sudah merasa seperti asupan gizi dari sang ayah."Auh.. Ayah, sakit! Kenapa gak sekalian bunuh Rara?" ucap Rara gamblang."Rara!" bentak Fatir yang nyaris jantungan mendengar perkataan putri satu-satunya."Ya Allah.. Rara, kamu gak boleh ngomong gitu ah, pamali tau apalagi sama ayah kamu." Omel wanita paruh baya membawakan sang suami secangkir teh untuk meredakan amarahnya."Habis ayah gitu sih, bun. Rara ini tiap hari dapat tamparan ayah, mending uang jajan ditambah." Balas Rara mengadukan kepada Halimah bundanya."Kamu udah keterlaluan, masa ayah harus ke sekolah kamu tiap hari." Ujar Halimah."Ayah itu malu loh sama Aslan, Ra. Kamu dan kamu terus dapat teguran, ayah sampai gak punya muka sama Aslan.""Dasar Aslan yang berlebihan tuh, mentang jadi guru di sekolah Rara terus seenaknya
Habis basah-basahan, terpaksa mandi mendadak. Perempuan cantik ini, masih menutupi tubuhnya dengan kimono, dia pikir Aslan tak berada di kamar, ah rupanya dia mojok santai. Rara memutar bola matanya berjalan perlahan sambil netra menangkap pria itu yang sedang baca buku. Dia harus ganti baju di mana, kalau Aslan ada di kamar. Masa harus bukan semuanya depan guru dia anggap musuh ini. Ah ntar pikirannya mesum lagi, dia kan perawan ting-ting. Rara membuka lemari, tapi emang dasar kutu buku, telinganya sampai tuli. Padahal Rara sudah membanting kuat, agar pria ini membiarkannya ganti baju sejenak. Sampai hentakan kaki Rara pun tak dihiraukannya, laki-laki apaan itu? Oh jangan-jangan dia ingin mengintip. Astaga. "Aslan!" panggil Rara dengan ketus. Pria itu menoleh, dia menaikan satu alisnya. "Apa? Ngajak ribut?" pengantin baru itu harusnya nempel terus kayak prangko. Lah, Aslan dan Rara udah kayak kucing dan tikus. Boro-boro nempel, adanya berantem terus, dari hal ke
Rara tadinya ingin mengunci dirinya di kamar mandi dan akan keluar setelah makanan siap untuknya. Memang terdengar egois, dia tidak mungkin masak, pegang pisau juga tak pernah. Mentalnya terlalu lemah untuk berada di kamar mandi yang sempit, gelap pula. Terpaksa akhirnya keluar dari sana, membereskan semuanya. Ujung-ujungnya kelelahan sampai ketiduran berduaan di kamar. Ternyata tempat tidur yang tidak terlalu empuk bisa juga membuat Rara tidur nyenyak. Bangun-bangun Rara kelaparan, dia tidak melihat suaminya itu di dekatnya. Tidak penting kepergian Aslan, sekarang dia harus memikirkan perutnya yang kosong. "Aslan... Aslan... Di mana dia?" batang hidung pria itu tidak terlihat. Ah bagaimana nasib perutnya, cacingnya sudah demo. Dia pun keluar rumah mencari Aslan lagi, buruknya motor pria itu tidak ada terparkir depan rumahnya. Tidak mendapatkan Aslan di mana-mana, Rara kembali masuk rumah. Dia membuka dompetnya yang kosong. Ayahnya memang ingin membunuhnya p
Atas permintaan Aslan yang sudah jadi suami sah Rara. Kini mereka telah pindah rumah, tidak terlalu besar, tidak juga kecil. Rumahnya cukup sederhana. Aslan tidak suka merepotkan siapa pun, termasuk keluarga Rara. Hanya rumah ini yang bisa Aslan beli untuk mereka tinggal. Selain harganya murah, rumah ini juga tidak jauh dari rumah lamanya. Dengan begitu dia kan bisa tetap memantau ayahnya. "Kamar gue di mana?" muka Rara terlihat kecut. Rumah ini terlalu sempit, dia sulit bernapas rasanya. Apa sih guru menyebalkan ini, tidak bisa cari rumah lebih bagus. "Ini bukan rumah lo yang dulu, kamarnya banyak." Bukannya bersyukur masih ada tempat untuk berteduh, di luaran sana, banyak sekali orang yang gak punya tinggal, bingung mau tidur di mana. Nah, sih ratu sejagat, tidur tinggal tidur, makan tinggal makan. Emang dasar manusia gak pandai bersyukur! "Terus?" decak Rara. "Terus apa?" Aslan kesal gadis ini, mungkin setelah dilahirkan sudah menyebabkan seperti ini. "O.
Akhirnya hari yang Rara benci datang juga. Terlintas di benaknya melarikan diri, tetapi mengingat pesan Aslan tentang kebahagiaan orang tua, ia mengurungkan niat buruknya itu. "Masya Allah cantik banget ciptaan Tuhan satu ini," goda Loli tetap membuat muka Rara terlihat masih kecut. "Loli lo nyebelin! Bukan bantu gua mikir, malah ngeledek gua lagi," protes Rara. "Yaelah, jangan marah-marah, mau nikah juga.""Yaiyalah gua marah, lo datang ngeledek. Balik sana lo!" "Ngambek melulu lo, lebih baik lo pikiran malam pertama lo." Loli mengidik geli membayangkan Rara melakukan malam pertama bersama Aslan, mereka berdua kan musuh buyutan, bisa seperti kapal pecah ranjang mereka. "Eh, mikir apa lo? Enggak akan pernah perawan gua sama Aslan." "Kali! Pak Aslan kan bakal jadi suami lo, bebas dia mau ngapain lo. Ibarat kata nih, lo itu udah di beli Pak Aslan, lo otomatis milik dia seutuhnya." Rara mencebik sejenak memikirkan nasibnya setelah ini. Yang Loli
"Kesel... Kesel... Kesel..." Rara menutupi muka dengan bantalnya, ia masih merasa jengkel mengingat kejadian Aslan menciumnya. Jijik banget dicium Aslan! Gua harus mandi susu nih kayaknya. Suara ketukan terdengar di telinga Rara, ia bergegas turun dari ranjang dengan muka malas. Lalu dia membuka pintu, terlihat Halimah berdiri sembari menampilkan senyum lebarnya. "Bunda, ngapain senyum gitu? Rara jadi horor lihatnya," kata Rara. Halimah langsung menarik tangan Rara kembali memasuki kamar. "Sayang, kamu harus kelihatan cantik, di luar ada tamu." Rara berdecak. "Ngapain ih? Tamu Bunda, kan." "Pokoknya kamu juga harus keluar!" paksa Halimah seraya membongkar isi lemari baju Rara. "Bunda! Gak usah bongkar-bongkar dong." Rara menarik lengan Halimah agar berhenti mengacak seluruh baju dalam lemarinya. "Pakai ini." Halimah memberikan Rara dress panjang berwarna peach. "Anak bunda pasti kelihatan cantik memakainya. Bunda tunggu di bawah, ya.
Atas permintaan Fatir, Rara sekarang berada di rumah sakit. Ia memang salah karena sudah menabrak adik kelasnya. Padahal baru juga masa-masa ujian berakhir. "Yah, harus gitu Rara ke rumah sakit." Rara berjalan menguntit Fatir. "Harus! Kamu itu udah nabrak orang, harus tanggung jawab," ujar Fatir tegas. Rara mendengus kasar. "Aaah... Ayah gak asik nih." "Kamu jangan protes terus, belajar tanggung jawab. Ingat sebentar lagi kamu itu akan nikah sama Aslan," hardik Fatir. Seperti ayah lain, Fatir juga ingin yang terbaik untuk kehidupan Rara. Melihat Rara masih kekanakan, jangankan mau tanggung jawab, untuk hidupnya sendiri masuk suka tidak benar. "Memang yakin Rara mau nikah sama Aslan?" Rara mencebik kesal, ia berjalan lambat mengekori kemana arah langkah kaki ayahnya. "Kamu udah janji sama Ayah, Ra." "Benaran harus nikah gitu, Rara masih muda ntar malah Rara dipikir hamil lagi sama orang-orang," ucap Rara asal. Fatir membalikkan tubuhnya, i
Ibarat kutukan yang harus Rara lakukan, dia mau tapi tak mau. Untuk apa nilai tinggi akhirnya dia menikah. Nilai jelek pasti ia akan dapat ejekan dari Aslan. Makin belagu dong sih guru menyebalkan!Bahkan dia hampir tidak pernah mengunjungi perpustakaan, dan berakhir duduk disini. Rara seminggu ini belajar sungguh-sungguh untuk mencapai nilai terbaik, itu juga atas desakan sang ayah.Terpaksa Rara menurut lantaran Fatir drama sakit membuatnya pasrah. Ia mana tega melihat ayahnya sakit, ataupun sedih. Dia ingin belajar atas bentuk kasih sayang kepada ayahnya."Tumben kamu belajar." Tegur Aslan yang kebetulan mengembalikan buku dari perpustakaan.Rara mendelik sinis.Aslan membungkukkan setengah tubuh, ia melekatkan bibirnya di telinga Rara membuat sang pemilik merasa tegang seketika. "Saya rasa kamu memang berminat jadi istri saya." Bisiknya.Rara terbelalak, ia menolehkan wajahnya tanpa sengaja membuat bibir keduanya
Ini adalah hari terburuk bagi Rara, dia harus terlihat cantik depan Aslan. Paksaan Halimah membuatnya jengkel. Rara dan sekeluarga disambut dengan ramah oleh Indrawan.Belum apa-apa Rara sudah menumpang toilet, lebih tepatnya dia malas mendengar prihal perjodohan itu.Sambil memasuki toilet Rara memainkan ponselnya, "kenapa gua terjebak disini sih?" dumel Rara tidak bisa santai saat dia masih dalam toilet.Seperti orang linglung Rara mondar-mandir tak tentu arah sembari mengenggam ponsel, namun tiba-tiba Rara tersandung membuat handphoneya terlempar memasuki kloset. "Aaaaaa..." Rara berteriak histeris membuat Rama dan Aslan mendekati toilet. "Taik! Pakai acara jatuh lagi. Gimana gua ngambilnya?" omelnya sendiri."Siapa di dalam, bang?" tanya Rama yang tak mengetahui kedatangan Rara."Teman lo Rara." Jawab Aslan seadanya.Sebenarnya Aslan orangnya sangat simple, apalagi saat luar sekolah dia bisa jadi sosok abang sekal
"What?"Mata Rara terbelalak mendengar penuturan Loli, ia bergegas menuju ruangan guru. Tak disangka memang benar Fatir ada di ruangan Aslan. Dari celah jendela Rara dapat melihat mimik wajah marah ayahnya. Mampus lo, Ra! Belum juga 24 jam dia berjanji sudah melanggarnya. Walau dia sudah tahu hukumannya harus menikah bersama Rama, whatever lah.. Rara merasa tetap tenang, dia yakin Rama tidak keberatan, lagi pula mereka sudah bersahabat sejak kecil. "Ra, kira-kira kali apa lagi salah lo?" bisik Loli. Rara memutar kepalanya setengah menatap Loli, kemudian ia perlahan jalan depan pintu, dia yakin mereka bicara suatu yang penting. Ini tak bisa dilewatkan! "Eh.. Bego lo ngapain dekat situ, ketahuan aja ntar habis lo." Peringat Loli. Namun Rara tak mau mendengar, dia tetap menyelinap depan pintu agar lebih jelas mendengar pembicaraan mereka. "Sekali lagi maaf, bukan maksud saya untuk menghukum Rara. Tapi Rara udah keterlaluan." Ucap Aslan. Keterlaluan ap