Sepeninggal Zoya, terjadi keheningan yang pekat antara Arvin dan Mia. "Lalu, bagaimana sekarang?" Arvin bertanya dengan suara dingin, menatap datar adiknya yang sedang menunduk."Bagaimana apanya? Ya tidak bagaimana-bagaimana, karena sejak dulu juga aku dan tuan muda tidak memiliki hubungan apa-apa." Mia menjawab pertanyaan kakaknya tanpa mengangkat wajah, suaranya gemetar meski ia berusaha tersenyum. "Kalau begitu, aku ke kamar dulu, Kak. Aku belum tidur dari kemarin."Mia bangkit dari duduknya dan langsung pergi tanpa mendengar jawaban dari sang kakak. Wanita itu memang sudah pulang ke kediaman utama Kalandra saat hasil tes DNA keluar dan mengambil semua haknya di rumah ini, termasuk kamar masa kecilnya yang direnovasi ulang dan dua pelayan pribadi yang kebetulan juga merupakan para pelayannya saat masih anak-anak. Memasuki kamar di samping kamar utama, Mia yang telah mengusir dua pelayannya untuk tidak mengganggunya sebelum Zoya datang, langsung mengunci kamar dan terduduk di lan
Kata-kata Grace membuat Arvin mundur, perlahan kembali ke ruang kerjanya dan mengunci diri. Tidak ada satu pun kata-kata Grace yang salah. Arvin sekarang mengerti dengan baik rasanya saat seseorang yang berharga baginya disakiti seseorang. Seandainya dulu Arvin mendengarkan Grace dengan benar, apa ia akan memiliki kesempatan untuk menghapus sedikit saja kesedihan Zoya?Padahal Arvin juga telah melukai dan mengabaikan Zoya, membuat wanita itu salah paham dan merasa tidak dicintai, tapi beraninya Arvin ingin memukul Kaindra yang juga melakukan hal yang sama pada adiknya? Mungkin saja yang terjadi pada Mia saat ini adalah salah satu balasan untuk Arvin. Seandainya sejak dulu Arvin tidak terpedaya oleh Aileen dan memperlakukan Zoya seperti keinginannya, memberikan semua cinta yang tidak pernah wanita itu dapatkan, Arvin mungkin akan bertemu Mia lebih cepat dan situasi di mana perasaan Mia yang terlanjur terlalu dalam pada Kaindra bisa dicegah meski sedikit."Aku benar-benar orang brengse
Wanita itu, yang dipanggil Claire oleh Kaindra adalah seseorang yang beberapa bulan lalu menghilang dari pandangan Zoya bersama identitasnya sebagai anggota sebuah organisasi bawah tanah--Rein.Sama seperti Zoya yang terkejut dengan kehadirannya, Claire juga tampak pias melihat Zoya."Kak ... kamu benar-benar tidak mendengarkan perkataanku, kan?" Zoya menghela napas perlahan. "Jawab dulu pertanyaanku, Rein. Bagaimana bisa kamu berakhir bersama Kaindra yang katamu orang berbahaya? Lalu, kenapa dia memanggilmu Claire--tunggu, kamu wanita yang dikatakan Mia?" Claire mengerjap, ingatan tentang wajah seorang wanita bernama Mia yang baru kemarin ia temui memenuhi kepalanya. "Kakak bahkan mengenal wanitanya Raz?" "Dia bukan milik siapa-siapa! Mia tidak pernah menjadi wanitanya siapa pun, jadi jangan sembarangan bicara! Lagipula, aku tidak akan pernah merestui mereka lagi." Zoya mengeratkan rahang saat mengingat Mia, sahabatnya yang beberapa waktu lalu tidak goyah meski menceritakan tenta
Zoya tidak menemukan Arvin di kamar, juga tidak ada di ruang kerja pria itu. Setelah bertanya pada salah satu pelayan, Zoya akhirnya menemukan suaminya di taman belakang, sedang bermain bersama Elvio dan Freya."Wow, sepertinya kalian bersenang-senang tanpa Mama?" Zoya mendekat, senyumnya merekah saat Elvio dan Freya menyambutnya. "Mama!""Tante!""Aduh, kompak sekali! Haruskah aku memanggilmu seperti mereka? Istriku!"Zoya terkekeh saat tidak hanya Elvio dan Freya, Arvin juga ikut memanggilnya. "Mama ingin main bersama kalian, tapi sayang sekali sekarang waktunya main dengan Papa dulu," ucapnya sembari melengkungkan bibir ke bawah, memasang raut kecewa."Lho, El kira Mama ke sini karena mau main sama kita? Padahal Tante Mia nggak ada, kalau Papa juga diambil, makin sepi, dong!" Arvin yang berada di belakang Elvio, langsung mengusak rambut kelam putranya yang dengan cepat menjauh. "Papa akan panggil Hannes untuk menemani kalian bermain, bagaimana?""Nggak usah! Hannes kan sudah tua,
Pemimpin keluarga Axton? Zoya dan Arvin tidak bisa bereaksi dengan benar sejak nama Xavier Charlile De Axton disebutkan. Meski Zoya tidak kenal dengan orang itu, tapi yang namanya pemimpin dari sebuah organisasi bawah tanah sudah pasti bukan orang baik. "Jadi, maksudmu ... bayi yang sedang kamu kandung sekarang adalah miliki lelaki itu?" Arvin bertanya untuk meyakinkan pendengarannya. Menjadi salah satu yang bekerja sama dengan Veuster membuatnya tahu sedikit tentang Axton dan para pemimpinnya. Lalu, Xavier adalah yang terkejam dari tujuh generasi terakhir."Saya kan' sudah mengatakan yang sebenarnya, kenapa Anda bertanya lagi!?" Claire menghela napas saat kemarahannya melonjak. Harus mengatakan dengan mulutnya sendiri jika bayi yang ada di kandungannya adalah milik 'Tuan' yang ia layani bukanlah prestasi membanggakan. "Kakak ingat saat aku berpamitan, kan? Saat itu aku kembali ke markas pusat, tapi ternyata Tuan Xavier sedang ada di Rusia, jadi aku menyusulnya ke sana. Semuanya bai
"Sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Zoya seraya bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangan pada Claire yang segera menyambut. "Ada sesuatu yang kamu inginkan sekarang? Apa kamu lapar?" Claire menggeleng, sejak tadi ia memang tidak menyentuh teh dan camilan yang dihidangkan karena sudah menjadi kebiasaannya untuk berhati-hati, apalagi ia sedang berada di sarang musuh Axton sekarang. Claire hanya pernah melakukan kesalahan satu kali, meminum alkohol yang ditawarkan targetnya dan beginilah situasi yang terjadi setelahnya, ia harus melarikan diri dari Xavier demi melindungi bayinya yang tidak berdosa.Mungkin seseorang yang tangannya sudah dilumuri darah seperti dirinya, membicarakan dosa hanya akan ditertawakan, tapi bagaimana pun Claire tidak pernah membunuh anak-anak. "Aku mau tidur saja, Kak, perutku sedikit kram."Zoya menghela napas, tangannya terulur dan mengusap kepala Claire dengan lembut. Saat mengandung Elvio, Zoya juga sering merasakan kram pada perutnya yang diakibatkan
Zoya kembali ke ruangan di mana Arvin dan Mia berada, menghela napas saat merasakan suasana canggung dan keheningan yang melanda mereka. Ia tahu Mia ingin segera mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi dan Arvin juga pasti menahan diri untuk menceritakannya sebelum Zoya datang.“Jadi, pada akhirnya kamu menangis, kan?” Zoya langsung dudukdi sisi Arvin dan menatap lurus pada Mia.“A-aku tidak menangis! Aku baru saja bangun tidur dan berniat meminta izin untuk keluar membeli sesuatu, tapi katanya kalian sedang ada tamu, jadi aku menunggu!”Zoya mendengus, Mia selalu payah dalam berbohong. “Yah, baiklah, anggap aku mempercayai alasanmu, tapi kamu tidak boleh keluar rumah ini sekarang, setidaknya sampai Kaindra datang dan menyatakan situasinya sudah baik.”“Situasi apa? Sebenarnya … bisakah aku mendengar apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu bisa mengenal Nona Claire?”Zoya menghela napas, merasa lelah hanya dengan membayangkan harus menceritakan panjang lebar tentang hubungannya dan
"Sejak kapan kamu di sana?! Tolong jangan mengagetkanku!" Zoya merengut melihat Grace sedang berusaha menahan tawanya. "Saya ingin memberitahukan jika sudah waktunya untuk makan siang, Nyonya. Anda ingin makan di mana? Kami bisa menyiapkannya di mana pun Anda menginginkannya." Zoya langsung melihat arloji di pergelangan tangannya dan menghela napas saat ternyata memang sudah waktunya untuk makan siang. Rasanya sejak pagi ia tidak sesibuk itu, tapi waktu berlalu dengan cepat. "Tunggu di ruang makan saja, sekalian tolong panggilkan Mia dan tamu kita juga," ucap Zoya memberi perintah.Grace mengangguk sebelum beranjak dari tempatnya, kembali ke dalam untuk melaksanakan titah Zoya. "Nah, anak-anak, kalian dengar yang dikatakan Grace tadi, kan? Meski sudah kenyang dengan camilan, kalian tetap harus makan makanan pokok sesuai jadwal. Ayo masuk!" Elvio yang sejak awal menyadari kehadiran Grace dan langsung bergerak lebih jauh ke belakang Hannes, langsung mengembungkan pipi saat Zoya men
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,