Sudah cukup lama sejak peristiwa kegilaan yang hampir merenggut nyawa seseorang yang begitu dekat dengannya terjadi. Selama itu pula Azuura, tidak lagi pernah menemui suaminya yang sengaja dikurung di ruang bawah tanah.Edward melakukannya untuk mencegah lebih banyak korban yang jatuh di tangan Asnaf. Azura kembali memberanikan diri untuk pergi ke ruangan itu. dia merasa gelisah, seperti sesuatu akan terjadi, sama seperti beberapa tahun lalu.Ketika hasrat untuk melihat korbannya menderita muncul, Asnaf tidak akan bisa mengendalikan diri dan menghabisi siapa saja yang ada di depan matanya.“Nyonya, gawat!”Azura menautkan alisnya saat salah satu penjaga datang menghadapnya dengan wajah panik. Wanita itu mempercepat langkahnya. Benar saja, penjara yang disiapkan untuk Asnaf berhasil dibuka, dan beberapa orang penjaga sudah tergeletak tidak berdaya di dalam ruangan tersebut.Wanita paruh baya itu berdecak. Asnaf pasti sudah tidak bisa menahan hasrat dalam dirinya. Kalau sudah begitu, ke
Kelopak matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Kepala gadis itu terasa berputar dan pandangannya yang masih buram. Dia ingin bergerak dan baru menyadari kondisi tubuhnya yang ditahan oleh sesuatu. Meta yang baru mengingat sesuatu bergegas mengedarkan pandangannya. Sebuah ruangan yang didominasi oleh warna putih, persiss seperti tempat Edward mengeksekusi para korbaannya. Mengingatnya saja sudah membuat Meta merinding. Kini, dia berada di tempat yang sama sebagai korban.Pada akhirnya, bukan di tangan Edward dia akan berakhir tetapi di tangan seseorang yang jauh lebih mengerikan.Pintu ruangan terbuka, memunculkan seorang pria yang tersenyum sangat manis. Kalau melihatnya dalam situasi normal mungkin, Meta tidak akan berpikir kalau pria itu adalah seorang psikopat.Edward dan pria itu jelas berbeda. Edward yang memiliki hasrat menggebu, sangat temperamental dan menunjukkan dirinya yang begitu ditakuti banyak orang. Edward yang dijuluki leader. Berban
Bugh! Satu pukulan mendarat dengan keras di wajah Edward, membuat pria itu terpental. “Kamu melakukan kesalahan yang sama lagi!” tukas Regano. Pria itu menyambut Edward dengan pukulan dan tatapan penuh kebencian. Edward yang keras kepala, dan tidak pernah memikirkan dampak dari segala perbuatannya. “Apa harus dengan cara memindahkannya ke tempat ini? Xadira bahkan hampir mati gara-gara kamu mengasingkannya ke tempat ini. Tidak sedetik pun kamu memikirkannya? Setiap hal yang kamu ambil selalu tanpa pertimbangan, lalu apa gunanya kami selalu berusaha untuk di sisimu, Ed?” cecar Regano. Kekecewaan yang terbesar adalah tidak mendapatkan kepercayaan Edward sepenuhnya. “Meta pengecualian, seharusnya kamu juga tau batasannya,” sahut Edward. Pria itu memilih untuk memeriksa kondisi rumah yang sudah berantakan. Keganasan Asnaf memang tidak memiliki tanding. Jika sudah menginginkan sesuatu pria paruh baya itu akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya. “Sepertinya aku tau ke mana dia mem
Memiliki sedikit hati nurani? Xadira menyayanginya? Pertanyaan yang menghantui Edward sejak mendengar kalimat itu dari bibir Meta. Pria itu menghembuskan asap rokoknya ke udara. Langkah kaki mendekat membuat dia mendongak. Raut marah dari Azzura tampak jelas saat menatapnya. “Kamu membebaskannya begitu saja?” tanya wanita paruh baya itu. Edward mengalihkan tatapannya. Asnaf bukan orang yang bisa dikekang dengan mudah. Pria itu akan lebih nekat jika merasa butuh melampiaskan hasrat yang membuncah dalam dadanya. Edward pernah merasakannya. Keinginan untuk melihat korbannya menderita. “Kamu tau kalau dia akan terus membuat masalah, kenapa membiarkannya bebas di luar sana?” cecar wanita itu masih belum puas. “Xadira pernah jadi korban, begitu pun Meta, siapa selanjutnya? Apa kamu tidak pernah memikirkannya?” “Kalau begitu izinkan aku membunuhnya,” Azzura duduk di samping putranya. Tanpa sadar rasa dalam hatinya terus menerus tumbuh. Rasa cinta yang membuatnya buta, dan mempertahankan
Meta terus memikirkannya. Azura yang tidak percaya pada putranya sendiri. Asnaf yang memiliki gen psikopat, menjadi awal penderitaan untuk Xadira dan Edward sendiri. Perhatiannya teralih saat pintu ruangannya dibuka. “Bagaimana keadaan kamu?” tanyanya menaruh buah yang dia bawa di atas nakas. Pria itu menarik kursi untuk duduk di sebelah Meta. Pergerakan Regano tidak lepas dari perhatian Meta. Raut wajah lesu ditambah punggung Regano yang tidak tampak seteguh biasanya, menimbulkan tanda tanya besar. “Bagaimana dengan kamu?” Sebelum mengunjungi Meta di rumah sakit, pria itu lebih dulu singgah ke makan seseorang yang dulu meninggalkan luka yang tidak kunjung sembuh. Seseorang yang menjadi alasan dia tetap bertahan di sisi Edward hingga saat ini. “Regano, kamu gak baik-baik aja,” ucap Meta. Pria itu menghela napas. Meta cukup peka dengan keadaan. Gadis itu memperbaiki posisi agar lebih nyaman mengobrol dengan Regano. Ada banyak hal yang mungkin ingin pria itu sampaikan. “Apa akan ad
Sejak masuk rumah sakit, hingga masa pemulihan, Edward sama sekali tidak mengunjunginya. Bahkan Regano juga menghilang sejak bercerita tentang masa lalunya yang kelam. Hanya Ren yang sesekali mengunjunginya. Pernah satu kali dia menanyakan kedua pria itu pada Ren dan jawaban wanita itu benar-benar membuat Meta kesal. “Bukankah harusnya kamu senang? Edward gak ada artinya kamu bisa merasa tenang, tidur dengan nyaman dan sembuh tanpa siksaan dari dia, meski hanya sementara waktu, bukan?” “Apa tidak bisa jawab saja di mana mereka?” tanya Meta berusaha menahan kekesalan. “Kalau mau tau, segeralah sembuh dan kembali ke neraka, tempat tinggalmu!” Kata-kata yang mengakhiri perdebatan mereka saat itu. meski begitu, Ren selalu hadir, menemani Meta hingga gadis itu pulih dan diizinkan pulang. Meta menggoyangkan kakinya yang menggantung, sembari menunggu Ren menjemputnya. Beberapa kali dia menghela napas. Ada banyak hal yang dia lewatkan sejak masuk rumah sakit. “Udah siap?” tanya suara itu.
Aneh! Satu kata yang menggambarkan tingkah Meta saat ini. Gadis itu sejak pagi melakukan hal-hal di luar dugaan, mengekor ke mana pun Edward pergi, mengantarkan sarapan bahkan bersedia menunggu Edward selesai sarapan, meski tidak diminta.“Hari ini ada kegiatan di luar?” tanyanya.“Mau pakai setelan jas atau pakaian kasual?”Gadis itu membuka lemari pakaian milik Edward, memilah pakaian yang kebanyak berwarna hitam, entah kaus maupun setelan kemeja. Persis seperti hidup Edward yang selalu dalam kegelapan.“Bagaimana kalau pesan setelan yang lebih berwana, biar gak hitam terus?”Meta terkut saat berbalik, Edward sudah berdiri di depannya, menatapnya tajam. Mata coklatnya seolah tenggelam dalam kepekatan netra hitam milik Edward. Cukup lama, sampai Edward melangkah maju, membuat punggung Meta membentur lemari.“Ed,” gumamnya.Pria itu masih diam. Hembusan napas Edward terasa saat pria itu mendekatkan wajahnya. Dia masih diam dengan pandangan hanya terfokus pada wajah gadis di depannya.
Mimpi menjadi seorang model sudah tercipta sejak kecil. Ulang tahun pertama, saat diminta memilih benda yang menjadi masa depannya. Meta memilih foto model terkenal. Dia semakin bertumbuh dengan tubuh serta wajah yang mendukung untuk mewujudkan mimpinya. “Meta menang, Ma!”Piala pertama dalam fashion show cilik membawa dia ke mimpi yang lebih besar. Orang tuanya juga menjadi pendukung setianya. Dia bertumbuh di keluarga yang tepat. Meta mulai rutin olahraga, menjaga penampilan dan pola makan, bahkan mengikuti ekstrakulikuler yang berhubungan dengan mimpinya.Jalan yang dia lalui tentu tidak selalu lurus, pasti ada tikungan atau bahkan perempatan yang membuat dia kesulitan untuk memilih. Saat memasuki junior high school, dia mencapai titik nadir. Titik di mana dia tidak memiliki harapan untuk bangkit. Sebuah acara yang cukup besar, menjadi langkah awal bagi mereka yang ingin terjun di dunia fashion. Acara penentu ke mana dia akan melangkah selanjutnya. Meta sudah disiapkan sedemikia