Memiliki sedikit hati nurani? Xadira menyayanginya? Pertanyaan yang menghantui Edward sejak mendengar kalimat itu dari bibir Meta. Pria itu menghembuskan asap rokoknya ke udara. Langkah kaki mendekat membuat dia mendongak. Raut marah dari Azzura tampak jelas saat menatapnya. “Kamu membebaskannya begitu saja?” tanya wanita paruh baya itu. Edward mengalihkan tatapannya. Asnaf bukan orang yang bisa dikekang dengan mudah. Pria itu akan lebih nekat jika merasa butuh melampiaskan hasrat yang membuncah dalam dadanya. Edward pernah merasakannya. Keinginan untuk melihat korbannya menderita. “Kamu tau kalau dia akan terus membuat masalah, kenapa membiarkannya bebas di luar sana?” cecar wanita itu masih belum puas. “Xadira pernah jadi korban, begitu pun Meta, siapa selanjutnya? Apa kamu tidak pernah memikirkannya?” “Kalau begitu izinkan aku membunuhnya,” Azzura duduk di samping putranya. Tanpa sadar rasa dalam hatinya terus menerus tumbuh. Rasa cinta yang membuatnya buta, dan mempertahankan
Meta terus memikirkannya. Azura yang tidak percaya pada putranya sendiri. Asnaf yang memiliki gen psikopat, menjadi awal penderitaan untuk Xadira dan Edward sendiri. Perhatiannya teralih saat pintu ruangannya dibuka. “Bagaimana keadaan kamu?” tanyanya menaruh buah yang dia bawa di atas nakas. Pria itu menarik kursi untuk duduk di sebelah Meta. Pergerakan Regano tidak lepas dari perhatian Meta. Raut wajah lesu ditambah punggung Regano yang tidak tampak seteguh biasanya, menimbulkan tanda tanya besar. “Bagaimana dengan kamu?” Sebelum mengunjungi Meta di rumah sakit, pria itu lebih dulu singgah ke makan seseorang yang dulu meninggalkan luka yang tidak kunjung sembuh. Seseorang yang menjadi alasan dia tetap bertahan di sisi Edward hingga saat ini. “Regano, kamu gak baik-baik aja,” ucap Meta. Pria itu menghela napas. Meta cukup peka dengan keadaan. Gadis itu memperbaiki posisi agar lebih nyaman mengobrol dengan Regano. Ada banyak hal yang mungkin ingin pria itu sampaikan. “Apa akan ad
Sejak masuk rumah sakit, hingga masa pemulihan, Edward sama sekali tidak mengunjunginya. Bahkan Regano juga menghilang sejak bercerita tentang masa lalunya yang kelam. Hanya Ren yang sesekali mengunjunginya. Pernah satu kali dia menanyakan kedua pria itu pada Ren dan jawaban wanita itu benar-benar membuat Meta kesal. “Bukankah harusnya kamu senang? Edward gak ada artinya kamu bisa merasa tenang, tidur dengan nyaman dan sembuh tanpa siksaan dari dia, meski hanya sementara waktu, bukan?” “Apa tidak bisa jawab saja di mana mereka?” tanya Meta berusaha menahan kekesalan. “Kalau mau tau, segeralah sembuh dan kembali ke neraka, tempat tinggalmu!” Kata-kata yang mengakhiri perdebatan mereka saat itu. meski begitu, Ren selalu hadir, menemani Meta hingga gadis itu pulih dan diizinkan pulang. Meta menggoyangkan kakinya yang menggantung, sembari menunggu Ren menjemputnya. Beberapa kali dia menghela napas. Ada banyak hal yang dia lewatkan sejak masuk rumah sakit. “Udah siap?” tanya suara itu.
Aneh! Satu kata yang menggambarkan tingkah Meta saat ini. Gadis itu sejak pagi melakukan hal-hal di luar dugaan, mengekor ke mana pun Edward pergi, mengantarkan sarapan bahkan bersedia menunggu Edward selesai sarapan, meski tidak diminta.“Hari ini ada kegiatan di luar?” tanyanya.“Mau pakai setelan jas atau pakaian kasual?”Gadis itu membuka lemari pakaian milik Edward, memilah pakaian yang kebanyak berwarna hitam, entah kaus maupun setelan kemeja. Persis seperti hidup Edward yang selalu dalam kegelapan.“Bagaimana kalau pesan setelan yang lebih berwana, biar gak hitam terus?”Meta terkut saat berbalik, Edward sudah berdiri di depannya, menatapnya tajam. Mata coklatnya seolah tenggelam dalam kepekatan netra hitam milik Edward. Cukup lama, sampai Edward melangkah maju, membuat punggung Meta membentur lemari.“Ed,” gumamnya.Pria itu masih diam. Hembusan napas Edward terasa saat pria itu mendekatkan wajahnya. Dia masih diam dengan pandangan hanya terfokus pada wajah gadis di depannya.
Mimpi menjadi seorang model sudah tercipta sejak kecil. Ulang tahun pertama, saat diminta memilih benda yang menjadi masa depannya. Meta memilih foto model terkenal. Dia semakin bertumbuh dengan tubuh serta wajah yang mendukung untuk mewujudkan mimpinya. “Meta menang, Ma!”Piala pertama dalam fashion show cilik membawa dia ke mimpi yang lebih besar. Orang tuanya juga menjadi pendukung setianya. Dia bertumbuh di keluarga yang tepat. Meta mulai rutin olahraga, menjaga penampilan dan pola makan, bahkan mengikuti ekstrakulikuler yang berhubungan dengan mimpinya.Jalan yang dia lalui tentu tidak selalu lurus, pasti ada tikungan atau bahkan perempatan yang membuat dia kesulitan untuk memilih. Saat memasuki junior high school, dia mencapai titik nadir. Titik di mana dia tidak memiliki harapan untuk bangkit. Sebuah acara yang cukup besar, menjadi langkah awal bagi mereka yang ingin terjun di dunia fashion. Acara penentu ke mana dia akan melangkah selanjutnya. Meta sudah disiapkan sedemikia
Janji ditepati. Edward mempertemukan Meta kembali pada mimpi lamanya. Tidak banyak yang berubah dari temat itu, rumah kedua, juga tempatnya memperjuangkan mimpi. Sebuah agensi yang menaunginya, memperkenalkannya lebih jauh tentang dunia modelling. Seorang wanita paruh baya yang amat familiar menyambut mereka. “Meta, akhirnya kamu kembali juga. Kamu tau, semua orang merindukanmu! Ke mna aja? Aku mencoba menghubungi Keith, tetapi dia juga tidak tau ke mana kamu pergi. Apa yang sebenarnya terjadi?” cecar wanita itu. Vilia namanya, manajer Meta dulu. Meta mengulas senyum kecut. Banyak orang yang menunggu dia kembali. Kariernya sedang melejit saat satu kesalahan kecil membawanya ke titik kehancuran. Dia menoleh, bertukar pandang dengan Edward. “Tidak apa! Kita bisa memulai lagi dari awal. Ehm, kita bisa memulai dengan mengadakan konferensi pers atau acara kecil untuk merayakan kembalinya kamu. Pasti berhasil, nama kamu akan segera kembali,” ucapnya penuh semangat. Vilia sudah banyak ber
Dia menghela napas berkali-kali, melirik ke luar jendela dengan tangan yang meremas kaus yang dikenakannya. Rasa percaya dirinya berkurang sejak melihat dirinya yang berbeda jauh dari beberapa bulan lalu. Dia mencoba menggunakan highhills kembali. Namun, kakinya justru terasa keram dan tidak terbiasa. Satu bulan mengubah banyak hal dalam hidupnya.“Kita pulang aja, lagi pula kamu tidak perlu mengikuti setiap tahapannya,” ucap Regano hendak menyetir mobil, dan putar arah.“Tidak perlu! Ini adalah kali terakhir yang gak akan pernah terulang lagi,”Meta menegarkan hatinya, sebelum memutuskan untuk turun dari mobil. Orang-orang di lapangan tampak begitu sempurna dengan setelan dari desainer masing-masing. Gadis itu menoleh kala pergelangan tangannya ditahan oleh Regano.“Kenapa harus mengakhirinya? Apa ini ada hubungannya dengan Xadira?”Sudah sejak lama Reganoo ingin menanyakan hal itu. Meta akan melepas mimpi sebagai seorang model, mimpi yang bukan satu atau dua tahun dia tekuni. Meta m
Insiden di mana Meta hampir menjadi konjadi korban pengendara motor yang ugal-ugalan. Saat itu juga tahap pertama dihentikan. Akan dilanjut setelah persiapan yang lebih matang. Termasuk dari segi keamanan. Seorang model hampir celaka karena keamanan yang kurang ketat.Masalahnya, para penjaga seolah lenyap dari setiap sudut, dan cctv di sepanjang jalan melakukan catwalk pun rusak, seolah disengaja. Akibatnya pengendara bisa lolos begitu saja.“Tidak perlu beritahu dia. Aku akan dalam masalah,” bujuk Meta. Jangan sampai Edward berubah pikiran dan melarangnya ikut fashion week di new york, puncak dari acara tersebut. Dia sudah berada sejauh ini.“Bagaimana kalau batalkan saja? Ada yang mengincar kamu, itu jelas gak aman. Edward pasti gak akan diam aja, kalau tau masalah ini,”“Oleh karena itu, sebaiknya dia tidak perlu mengetahuinya. Anggap saja tidak terjadi apa pun hari ini,” bujuk Meta lagi. Dia menatap penuh harap pada Regano.“Kita pulang,”Tidak ada jawaban yang pasti. Regano hany