Dia terlahir dengan julukan monster, tatapan benci bercampur rasa takut yang sering dijumpainya. Bukan hanya orang-orang, bahkan ibunya tak pernah mau menatapnya sebagai seorang putra. Bertahun-tahun, dia hidup dalam kegelapan. Edward Leonardo, namanya. Si pria berhati dingin dan beku. Tidak ada cinta, bahkan tidak ada rasa sedikit pun. Ditolak oleh orang-orang memaksa kepribadian gelapnya muncul. Asnaf adalah role model yang dia miliki, satu-satunya. Hanya Asnaf-yang sama dengannya- yang mau dekat dengan Edward. Asnaf membesarkannya dengan cara yang salah, hingga Edward tumbuh sesuai keinginan pria psikopat tersebut. Waktu berjalan begitu cepat. Edward yang tanpa perasaan, dinobatkan sebagai leader dalam organisasi besar dunia. Mafia yang akan mengambil organ milik orang lain yang tak mampu memenuhi target. Apa saja, termasuk hidup mereka jadi jaminannya. “Kamu hanya perlu menjalani hukuman penjara selama dua tahun, leader,” ucap Mr. Secret A. Tidak ada pilihan. Masalah sudah mera
Dua tahun berlalu begitu saja. Dengan sedikit bantuan dari world agency hukumannya bisa selesai lebih cepat. Dia kini bisa menghirup udara dengan bebas. Tangannya terentang, menyambut dunia barunya.Mobil hitam berhenti, membuat senyumnya semakin lebar.“Selamat datang kembali, Edward,” sapa Regano.Tidak ada embel-embel ‘tuan’ lagi, karena sejak hari itu mereka hanyalah saudara yang akan memulai hidup baru. Edward terkekeh, lantas masuk ke dalam mobil, mendahului sang supir.“Bagaimana keadaannya?”Sebulan yang lalu, dia akhirnya mendengar berita terbaiknya. Meta akhirnya bangun setelah tidur cukup lama. Edward sungguh berpikir tidak memiliki kesempatan untuk bersama wanitanya lagi. Namun, harapan itu sedikit memudar kala mengetahui kalau Meta kehilangan cukup banyak kenangannya.“Keadaannya mulai membaik, meski harus menjalani latihan untuk bisa berjalan lagi,” jelas Regano.Selain memori, Meta juga sempat tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya atau disebut lumpuh total. Sebulan t
Meta bersenandung kecil, memasuki rumah kediaman keluarga Scott. Namun, dia mengernyitkan dahi begitu melihat banyaknya tamu yang berkunjung hari ini. Sontak, Meta mendekati Adam Scott, papanya sendiri. “Ada apa, Pa? Kenapa ramai sekali? Mereka siapa?” Adam tampak gelisah, tetapi dengan cepat mengatur raut wajahnya. Pria paruh baya itu tersenyum, mengelus rambut putrinya. “Papa pasti akan melindungi kamu, apa pun yang terjadi, jadi jangan khawatir.” Selanjutnya Adam Scott memilih untuk menemui para tamunya. Sedikitnya, Meta bisa mendengar pembicaraan mereka. Kotak rahasia, setidaknya itulah yang Meta tangkap beberapa kali dari pembicaraan mereka. “Non,” ucap seseorang mengejutkan gadis itu. Meta memberengut, menempatkan jari di bibir, meminta pembantunya itu untuk ikut diam. Sayangnya, sia-sia sudah, semua tatapan kini tertuju pada Meta. Gadis itu terpaksa keluar dari persembunyiannya, duduk di sebelah Adam Scott. “Dia Meta putriku,” ucap Adam memperkenalkan. Meta mendongak, m
Meta Marfora Anastasya, serangkaian nama yang begitu indah. Namun, nama bukan jaminan untuk sifat seseorang menjadi baik. Meta, gadis yang cukup sempurna dari segi fisik. Mungkin terlalu sempurna sampai dia merasa dunia hanyalah miliknya.“Meta, seorang model majalah remaja, Tuan,” jelas salah seorang pengawal berpakaian hitam. Edward membaca data gadis yang tengah dia jadikan tawanan tersebut. Meta memiliki prestasi yang bagus. Gadis itu benar-benar memanfaatkan kecantikannya dengan baik.Harus Edward akui kecantikan gadis itu memang begitu mengagumkan, ditambah tubuh yang amat proporsional. Fisik yang selalu jadi idaman kaum hawa. Sayangnya, kecantikan bukanlah jaminan.“Jangankan melakukan pemotretan, untuk berjalan saja dia mungkin tidak lagi mampu,” gumamnya disertai senyum miring. Kaki mulus yang jadi idaman itu kini memiliki bekas jahitan.“Dia tidak akan bisa jadi model lagi, sekarang,” sambung Edward meneguk minuman berkadar alkohol tinggi tersebut. Pada akhirnya tanpa dimi
Cahaya temaram, suhu yang begitu dingin membuat Meta mulai was-was. Sekelilingnya dipenuhi dengan warna putih, dan alat-alat laboratorium. Mata gadis itu membulat kala menemukan benda tajam berjejer dengan rapi, ditambah beberapa pistol. Kakinya mulai gemetar. Meta lagi-lagi mencoba untuk kabur, dan gagal lagi. Gadis itu mulai memperkirakan sebanyak apa penjaga yang Edward sewa. Juga, mereka tahu tuannya seorang psikopat, kenapa malah diam saja? Atau memang mereka semua juga bagian dari ini. “Mau ke mana kelinci manis? Sudah kubilang, jadilah penurut, agar tetap hidup,” bisik Edward menarik paksa Meta untuk duduk di kursi. Seorang pria yang kepalanya ditutup dibawa masuk. Jantung Meta berdetak dengan cepat. Postur tubuh orang itu terlihat seperti Adam. “Jangan! Tolong jangan sakiti Papa!” Meski telah menjadikannya jaminan, Meta tidak akan sanggup melihat orang yang sangat dia sayangi, dihabisi di depan mata kepalanya sendiri. Seumur hidup, dia janji akan membenci Edward jika
Meta dibesarkan dengan baik, memiliki keluarga harmonis yang kapan saja selalu di sisinya. Sangkin sempurnanya hidup yang diberikan, Meta sampai lupa jika pelangi hanya datang sebentar lalu menghilang. Banyak yang mengatakan lebih baik bersusah lalu senang kemudian, daripada berakhir menyakitkan saat terbiasa menjalani hidup yang sempurna. Dia membuka matanya, menemukan cahaya yang terasa asing. “Apa aku sudah mati?” gumamnya, baru disadari masih mengenakan pakaian yang terakhir kali. Ah, tentu tidak akan semudah itu. Edward pasti akan menyembuhkan lukanya lalu memberi luka baru lagi. Begitulah cara Edward menyiksanya. Entah kapan semua akan berakhir atau mungkin tidak akan pernah sama sekali. Gadis itu menyipitkan matanya, menemukan seorang gadis berpakaian SMA yang tengah menikmati keindahan taman di hadapannya. Meta baru menyadari, tengah berada di sekolah lamanya. Perlahan, dia melangkah mendekat, bersamaan dengan gadis itu yang berbalik. “Xadira? Kamu gak apa-apa?” Meta mengh
Sepertinya tidak cukup dengan luka fisik akibat benda-benda tajam dan senjata panas yang Edward miliki. Pria itu juga berhasil membuat otak tidak seberapa Meta lelah berpikir. Bisa-bisanya pria itu malah menyuruhnya menyelesaikan soal-soal. Meta itu tidak pintar soal akademik, lebih mengeluti bidang bidng non akademik seperti model majalah misalnya. Meta mengacak rambutnya. Sungguh, dia begitu lelah berpikir sekarang, mulai menyesal dulu lebih memilih tidur saat pelajaran fisika, dan matematika. Sekarang, dia bahkan tidak mengerti apa yang ditanyakan dalam soal. Gadis itu sudah mencoba belajar otodidak menggunakan jaringan internet, tetap saja tak kunjung menemukan pencerahan. “Nih soal apa teka-teki hidup sih, susah amat,” rutuk Meta mulai menyerah. Dia membaca soal berulang kali, dan hasilnya nihil. Meta menyerah, meletakkan kepalanya di atas meja. Baru juga beristirahat, bel kembali berbunyi, bersamaan dengan notifikaasi yang masuk ke ponsel hitam tersebut. Seluruh hidup Edward
Meta Marfora Anastasya, si anggun dan sempurna. Kerumunan seketika membelah, memberi jalan bagi model kebanggaan sekolah mereka itu. Tatapan kagum tampak jelas, mulai dari atas sampai ke bawah, penampilan Meta benar-benar tidak mengecewakan. Dia hanya mengenakan seragam seperti mereka, dimodif sedikit, ditambah tubuh Meta yang terbentuk sempurna.“Meta, punya waktu buat dinner? Aku ada tiket nontong film yang lagi trending,” tanya seorang pria berwajah blasteran. Meta tersenyum manis, melambungkan harapan tinggi akan diterima oleh gadis itu.“No, aku ada pemotretan dan sangat sibuk, jadi mungkin tak akan memiliki waktu bersama pria yang tidak penting,” sahut Meta tanpa menghilangkan senyumnya. Penolakan lagi. Sudah bukan hal baru Meta yang menolak pria tampan di sekolah mereka.“Apa dia tidak suka pria?” celetuk salah satu siswa yang menyaksikan penolakan tersebut. Perkataan itu terdengar ke telinga Meta. Dia melangkah begitu anggun, mendekati siswa yang mengejeknya?“Apa kamu punya