Meta Marfora Anastasya, serangkaian nama yang begitu indah. Namun, nama bukan jaminan untuk sifat seseorang menjadi baik. Meta, gadis yang cukup sempurna dari segi fisik. Mungkin terlalu sempurna sampai dia merasa dunia hanyalah miliknya.
“Meta, seorang model majalah remaja, Tuan,” jelas salah seorang pengawal berpakaian hitam. Edward membaca data gadis yang tengah dia jadikan tawanan tersebut. Meta memiliki prestasi yang bagus. Gadis itu benar-benar memanfaatkan kecantikannya dengan baik.
Harus Edward akui kecantikan gadis itu memang begitu mengagumkan, ditambah tubuh yang amat proporsional. Fisik yang selalu jadi idaman kaum hawa. Sayangnya, kecantikan bukanlah jaminan.
“Jangankan melakukan pemotretan, untuk berjalan saja dia mungkin tidak lagi mampu,” gumamnya disertai senyum miring. Kaki mulus yang jadi idaman itu kini memiliki bekas jahitan.
“Dia tidak akan bisa jadi model lagi, sekarang,” sambung Edward meneguk minuman berkadar alkohol tinggi tersebut. Pada akhirnya tanpa diminta, Meta sendiri yang masuk ke area kekuasaannya, dan yah sampai kapan pun gadis itu tidak akan bisa bebas. Pilihannya hanya ada dua, tetap tinggal atau keluar dengan tubuh tidak utuh.
“Tuan, nona Meta..”
Edward mengetahuinya. Pasti gadis itu membuat ulah lagi. Edward melangkah begitu tenang, berbeda dengan para pelayannya. Vas bunga menyambutnya, dengan mudah Edward menghindar, menatap tajam gadis yang tengah merusak furniture di kamar tersebut.
Lagi, satu benda melayang ke arah Edward. Pria itu melangkah begitu tenang, tidak terganggu dengan benda tajam yang kini Meta acungkan ke hadapannya.
Dia menyentuh tangan tangan Meta, mengangkatnya sedikit lebih tinggi.
“Kalau mau nyerang tepat di bagian sini, biar gak sia-sia. Ada urat nadi, jadi sekali tebas, lawan kamu akan mati,” jelas Edward. Seketika tangan Meta gemetaran. Tatapan Edward sungguh mengerikan. Pria itu memang tengah mengajarinya, tetapi mata hitam pekat itu tidak bisa berbohong.
Dalam sekali hentakan, pisau di tangan Meta terjatuh ke lantai.
“Keluar!” suruhnya begitu dingin.
Kini tersisa Meta dan Edward. Pria itu masih menggenggam pergelangan tangan gadis di hadapannya.
“Kenapa? Kenapa kamu menahanku seperti ini? Kenapa tidak membunuhku saja? Apa yang kamu inginkan dariku hah!” teriak Meta mulai tidak mampu mengontrol emosinya. Edward tersenyum miring, mengeratkan genggamannya sampai Meta meringis kesakitan.
“Bukankah aku sudah memperingatkanmu, kelinci manis? Jadilah penurut jika tidak ingin merasakan neraka,” ucapnya penuh penekanan. Meta menangis sejadi-jadinya.
Edward melepaskan genggamannya, menyisakan pergelangan tangan yang membiru. Melihat korbannya menangis dan memohon ampun sungguh menyenangkan baginya.
“Bersyukurlah karena masih hidup meski peluru kesayanganku sudah menembus kakimu. Belum juga kalau menembus jantung atau bahkan kepalamu,” lontarnya lagi.
Meta terduduk lemas. Edward Leonardo, akhirnya dia mengetahui nama lengkapnya. Seorang psiko yang telah menelan musuh yang mencari masalah dengannya. Dia tidak akan membiarkan mereka keluar dengan selamat, tentu setelah melakukan kesalahan besar. Edward Leonardo, bukan pria yang memiliki hati nurani.
Kesalahan terbesar Adam adalah bekerja sama dengan pria tidak memiliki hati seperti Edward, buruknya malah menjadikan Meta jaminan. Entah proyek apa yang mereka kerjakan sampai Meta sendiri jadi jaminannya.
Meta mencoba melangkah, meski tertatih, mengambil pecahan kaca akibat ulahnya. Jika tidak bisa terbebas dan tidak memiliki harapan untuk hidup normal lagi, maka dia akan mengakhiri hidupnya saat itu juga.
Gadis itu mulai mengarahkan pecahan kaca ke pergelangan tangannya.
“Jika akhirnya mati dengan mudah lebih menyenangkan, untuk apa kamu berjuang menahan rasa sakit? Bukankah kamu bermimpi ingin menjadi model internasional?” tanya Edward mengingatkan Meta pada mimpi besarnya sejak kecil.
Tangan Meta kembali gemetar, tanpa sadar dia menggenggam pecahan kaca begitu erat, sampai membuat cairan kental mulai menetes.
Edward menghembuskan napasnya, mulai geram. Hanya dia yang boleh menggoreskan luka di tubuh gadis itu. Sungguh, melihatnya melukai diri sendiri, cukup membuat Edward merasa kesal, dan dia butuh pelampiasan.
“Kamu ingin menyerah pada mimpi itu?”
“Semua udah berakhir. Mana ada model yang memiliki bekas luka. Jangankan jadi model internasional, buat ikut pemotretan aja aku udah gak bisa,” sahut Meta, memejamkan matanya erat. Dia bahkan tidak lagi bisa merasakan sakit, atau memang sengaja mengabaikannya.
“Baguslah!” Edward duduk santai di kursi, menatap gadis yang baru saja kehilangan mimpi besarnya.
“Gimana rasanya kehilangan harapan?” tanyanya, Meta membuka mata, bertemu pandang dengan mata hitam pekat itu.
“Aku salah apa? Kenapa menyiksaku begini?” teriak Meta lagi.
Edward mengerutkan dahinya. Yang Meta terima belum seberapa dibanding siksaan yang diterima para korbannya. Jika saja dia tidak ingat bahwa Meta adalah jaminan yang dia jadikan tawanan, mungkin gadis itu sudah berakhir sejak awal masuk area kekuasaannya.
“Sepertinya kamu perlu tempat sepi untuk merenungi kesalahanmu,” ungkap Edward. Mengabaikan luka di tangan Meta, Edward memopong tubuh Meta seperti karung beras, lalu memasukannya ke dalam lemari dan menguncinya. Sesak, pengap dan gelap, semuanya membuat kewarasan Meta mulai menghilang.
Dia menenggelamkan kepalanya di lipatan lutut.
Sementara Edward tersenyum puas, setelah membuat Meta menderita.
“Seharusnya kamu tidak merengut mimpi orang lain, agar mimpi besarmu juga tidak direbut, kelinci manis,” ucapnya, begitu yakin di dalam sana Meta bisa mendengar perkataannya dengan jelas.
Merebut mimpi orang lain? Sebenarnya siapa yang Edward maksud. Meta mengangkat kepalanya, otaknya tidak bisa diajak bekerja sama. Meta menarik rambutnya frustrasi. Sedikit lagi, harusnya dia sudah mendapatkan mimpi besarnya. Namun, kini dia semakin jauh bahkan tidak memiliki harapan untuk itu.
“Edward, tolong,” lirihnya mulai tidak bisa bernaapas dengan benar.
Dengan lemah dia mengetuk dinding lemari, berharap akan ada yang menolongnya. Sayangnya, dia hanya sendirian di dalam sana, tidak akan ada yang mendengar dan menolongnya.
Edward mengisap nikotinnya lalu menghembuskannya ke udara lagi. Merasa tidak cukup puas, pria itu mulai memainkan alat-alat kesayangannya.
“Sudah siap, Tuan,”
Edward mengangguk mengerti. Pria itu mematikan rokok yang belum habis begitu saja. Dia mengenakan jaket hitam, sarung tangan. Dia mengambil sebuah kotak yang diukir begitu indah. Edward tersenyum miring.
“Waktunya bersenang-senang,” gumamnya membuka kotak tersebut.
Pisau kesayangannya tampak mengkilat. Dia butuh pelampiasan setelah dibuat kesal oleh kelinci manisnya. Untungnya, korbannya datang dengan sendirinya.
“Tuan, bukankah ini tidak adil?”
“Tentu saja adil. Dia tidak mampu membayarnya, bukan? Maka ambil saja semua yang dia miliki untuk membayarnya,” sahut Edward, mengangkat pisau tersebut sampai terkena pantulan cahaya, tampak semakin menakjubkan.
“Ah, akan lebih seru jika aku bermain-main sedikit dengan kelinci manisku,” gumamnya mendapatkan ide yang teramat cemerlang.
Edward memerintahkan penjaga untuk mengeluarkan kelinci manisnya dari dalam lemari, memberi waktu sejenak untuk petugas medis mengobati lukanya. Belum juga mendapatkan kesadarannya kembali, Meta sudah dipaksa memasuki ruangan yang terasa begitu dingin.
“Selamat datang, kelinci manisku. Ada sedikit hadiah untukmu yang sudah meneriakiku,” sambut Edward terkekeh, benar-benar wajah seorang psikopat.
Hukuman apalagi yang akan Edward berikan padanya. Apakah luka di kaki, dan dikurung berjam-jam di dalam lemari tidak cukup untuknya?
“Sebelum itu, aku ingin mendengarmu memanggilku Tuan Leonardo!” suruhnya tegas.
“Tuan Leonardo? Begitukah aku harus memanggilmu? Aku bukan budakmu, jadi untuk apa aku melakukannya?” cecar Meta dengan berani.
Edward tertawa, ah kelinci manisnya membuat rasa kesalnya semakin meningkat. Lihat saja setelah ini kelinci manis itu tidak akan berani membuka mata lagi.
Cahaya temaram, suhu yang begitu dingin membuat Meta mulai was-was. Sekelilingnya dipenuhi dengan warna putih, dan alat-alat laboratorium. Mata gadis itu membulat kala menemukan benda tajam berjejer dengan rapi, ditambah beberapa pistol. Kakinya mulai gemetar. Meta lagi-lagi mencoba untuk kabur, dan gagal lagi. Gadis itu mulai memperkirakan sebanyak apa penjaga yang Edward sewa. Juga, mereka tahu tuannya seorang psikopat, kenapa malah diam saja? Atau memang mereka semua juga bagian dari ini. “Mau ke mana kelinci manis? Sudah kubilang, jadilah penurut, agar tetap hidup,” bisik Edward menarik paksa Meta untuk duduk di kursi. Seorang pria yang kepalanya ditutup dibawa masuk. Jantung Meta berdetak dengan cepat. Postur tubuh orang itu terlihat seperti Adam. “Jangan! Tolong jangan sakiti Papa!” Meski telah menjadikannya jaminan, Meta tidak akan sanggup melihat orang yang sangat dia sayangi, dihabisi di depan mata kepalanya sendiri. Seumur hidup, dia janji akan membenci Edward jika
Meta dibesarkan dengan baik, memiliki keluarga harmonis yang kapan saja selalu di sisinya. Sangkin sempurnanya hidup yang diberikan, Meta sampai lupa jika pelangi hanya datang sebentar lalu menghilang. Banyak yang mengatakan lebih baik bersusah lalu senang kemudian, daripada berakhir menyakitkan saat terbiasa menjalani hidup yang sempurna. Dia membuka matanya, menemukan cahaya yang terasa asing. “Apa aku sudah mati?” gumamnya, baru disadari masih mengenakan pakaian yang terakhir kali. Ah, tentu tidak akan semudah itu. Edward pasti akan menyembuhkan lukanya lalu memberi luka baru lagi. Begitulah cara Edward menyiksanya. Entah kapan semua akan berakhir atau mungkin tidak akan pernah sama sekali. Gadis itu menyipitkan matanya, menemukan seorang gadis berpakaian SMA yang tengah menikmati keindahan taman di hadapannya. Meta baru menyadari, tengah berada di sekolah lamanya. Perlahan, dia melangkah mendekat, bersamaan dengan gadis itu yang berbalik. “Xadira? Kamu gak apa-apa?” Meta mengh
Sepertinya tidak cukup dengan luka fisik akibat benda-benda tajam dan senjata panas yang Edward miliki. Pria itu juga berhasil membuat otak tidak seberapa Meta lelah berpikir. Bisa-bisanya pria itu malah menyuruhnya menyelesaikan soal-soal. Meta itu tidak pintar soal akademik, lebih mengeluti bidang bidng non akademik seperti model majalah misalnya. Meta mengacak rambutnya. Sungguh, dia begitu lelah berpikir sekarang, mulai menyesal dulu lebih memilih tidur saat pelajaran fisika, dan matematika. Sekarang, dia bahkan tidak mengerti apa yang ditanyakan dalam soal. Gadis itu sudah mencoba belajar otodidak menggunakan jaringan internet, tetap saja tak kunjung menemukan pencerahan. “Nih soal apa teka-teki hidup sih, susah amat,” rutuk Meta mulai menyerah. Dia membaca soal berulang kali, dan hasilnya nihil. Meta menyerah, meletakkan kepalanya di atas meja. Baru juga beristirahat, bel kembali berbunyi, bersamaan dengan notifikaasi yang masuk ke ponsel hitam tersebut. Seluruh hidup Edward
Meta Marfora Anastasya, si anggun dan sempurna. Kerumunan seketika membelah, memberi jalan bagi model kebanggaan sekolah mereka itu. Tatapan kagum tampak jelas, mulai dari atas sampai ke bawah, penampilan Meta benar-benar tidak mengecewakan. Dia hanya mengenakan seragam seperti mereka, dimodif sedikit, ditambah tubuh Meta yang terbentuk sempurna.“Meta, punya waktu buat dinner? Aku ada tiket nontong film yang lagi trending,” tanya seorang pria berwajah blasteran. Meta tersenyum manis, melambungkan harapan tinggi akan diterima oleh gadis itu.“No, aku ada pemotretan dan sangat sibuk, jadi mungkin tak akan memiliki waktu bersama pria yang tidak penting,” sahut Meta tanpa menghilangkan senyumnya. Penolakan lagi. Sudah bukan hal baru Meta yang menolak pria tampan di sekolah mereka.“Apa dia tidak suka pria?” celetuk salah satu siswa yang menyaksikan penolakan tersebut. Perkataan itu terdengar ke telinga Meta. Dia melangkah begitu anggun, mendekati siswa yang mengejeknya?“Apa kamu punya
Tangannya penuh lebam, tubuhnya sudah tidak semulus dulu, dan wajahnya penuh bekas luka. Tubuh dan wajah yang dulu begitu dia kagumi, kini hanya sisa kenangan. Mimpi yang hampir dia gapai harus terkubur. Entah bisa dia bangkitkan lagi, atau akan berakhir sia-sia.“Apa mimpi terbesarmu?” tanya Xadira.Meta berhenti sejenak, memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu begitu sempurna, keinginan kaum hawa. Namun, terkadang Meta merasa ada yang berbeda saat menatap wajahnya sendiri.Meta menoleh, menatap Xadira yang tengah merapikan seragamnya. Pagi-pagi sekali, Meta meminta gadis itu datang, membantunya bersiap ke sekolah. Xadira terlalu baik dan polos, membuat semua orang meremehkan gadis itu.“Menjadi seorang model internasional, mungkin,” jawab Meta. Pada akhirnya, dia akan melanjutkan semua yang sudah dia mulai. Xadira tersenyum bangga, membantu Meta mengenakan seragamnya.“Kamu cantik, memiliki potensi untuk menjadi model terkenal. Aku percaya kamu akan mendapatkannya. Tid
Meta pasrah, hanya perlu menunggu sampai Edward selesai dan mengakhiri hidupnya. Akan lebih mudah jika Edward salah sasaran dan peluru itu menembus kepalanya. Semua akan berakhir. Dia tidak akan merasa sakit terus menerus, ditambah rasa bersalahanya akan selesai begitu saja.“Sangat tidak menyenangkan melihatmu mengorbankan diri seperti ini. Tunggu, apa kamu tau arti sebuah pengorbanan?” oceh Edward sembari mempersiapkan pistolnya. Meta hanya diam, dengan tangan memegangi apel yang menjadi sasaran peluru Edward di atas kepalanya.Meta tidak takut, sebaliknya dia begitu siap jika hidupnya berakhir detik itu juga.“Kamu pikir aku tidak mengetahuinya? Percayalah, pergorbanan ini akan berakhir sia-sia,” lontar Edward, bersamaan dengan tikus tadi dibawa masuk oleh pengawalnya.Edward tersenyum miring “Kamu pikir bisa menyelamatkannya dengan mengorbankan dirimu sendiri?” terkanya.“Bukan, aku hanya ingin mendapat hukuman. Siapa bilang aku mengorbankan diri sendiri,” sahut Meta akhirnya. Dia
Edward menggila, bukan hanya musuh yang menjadi sasarannya, tetapi juga orang-orang yang tidak berusaha melindungi Meta. Tanpa ampun, dia menghabisi orang di sekelilingnya.“Aku akan membawanya masuk,” tukas pria yang tengah menggendong tubuh Meta, yang tidak lain pria yang diselamatkan oleh Meta secara tidak langsung.Edward ingin mencegahnya. Namun, kekuasaan Regano sama besar dengan pria itu. Dia hanya bisa melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Sampai punggung Regano menghilang, pandangan Edward masih mengawasi pria itu.“Mati kalian semua!”Selanjutnya Edward benar-benar tidak memberi ampun. Terutama untuk orang yang sudaah berani melukai tawannnya. Hanya dia yang bisa melakukannya.“Ampun!” mohon orang itu, mulai terbatuk dan mengeluarkan darah. Edward menginjak dada pria yang sudah tidak berdaya itu. Edward tersenyum miring, memohon ampun padanya justru membuat semakin senang bermain-main.“Tangan mana yang udah kamu gunakan menusuk wanitaku?”“Ampuni aku. Sungguh, aku tak
Nyawa lima orang berada di tangannya. Meta harus bangun jika ingin orang-orang yang tengah berusaha mengobati lukanya. Sungguh, Meta dibuat bimbang antara harus bertahan atau membiarkan hidupnya berakhir. Dia membuka matanya, kembali ke tempat yang sama saat di bertemu dengan Xadira.Gadis itu memilih berdiam diri, tidak siap jika harus bertemu dengan mimpi buruknya lagi. Suara langkah kaki yang mendekat membuatnya was-was.“Maafkan aku, Ta. Harusnya aku tidak pernah melibatkanmu,” mohon suara itu. Meta masih kukuh mempertahankan posisinya, tidak ingin melihat sosok itu. Dari suaranya dia bisa menebak bahwa itu adalah Xadira.“Tapi aku benar-benar butuh bantuan kamu saat itu, Ta. Edward sakit, dan aku sungguh ingin menyembuhkannya,” lirih Xadira. Masih sama, gadis lemah itu selalu menyusahkan Meta, bahkan hingga saat ini.Meta mengangkat kepalanya, menatap mata Xadira yang berkaca-kaca. Seandainya gadis itu lebih berani, semua ini tidak akan terjadi. Seandainya Xadira bisa lebih jujur