Cahaya temaram, suhu yang begitu dingin membuat Meta mulai was-was. Sekelilingnya dipenuhi dengan warna putih, dan alat-alat laboratorium. Mata gadis itu membulat kala menemukan benda tajam berjejer dengan rapi, ditambah beberapa pistol.
Kakinya mulai gemetar. Meta lagi-lagi mencoba untuk kabur, dan gagal lagi. Gadis itu mulai memperkirakan sebanyak apa penjaga yang Edward sewa. Juga, mereka tahu tuannya seorang psikopat, kenapa malah diam saja? Atau memang mereka semua juga bagian dari ini. “Mau ke mana kelinci manis? Sudah kubilang, jadilah penurut, agar tetap hidup,” bisik Edward menarik paksa Meta untuk duduk di kursi. Seorang pria yang kepalanya ditutup dibawa masuk. Jantung Meta berdetak dengan cepat. Postur tubuh orang itu terlihat seperti Adam. “Jangan! Tolong jangan sakiti Papa!” Meski telah menjadikannya jaminan, Meta tidak akan sanggup melihat orang yang sangat dia sayangi, dihabisi di depan mata kepalanya sendiri. Seumur hidup, dia janji akan membenci Edward jika sampai hal itu terjadi. Edward menoleh, tersenyum miring. “Harusnya kamu senang. Dengan begitu, kekesalanmu akan berkurang. Bagaimanapun, Adam telah menjadikanmu jaminan, jadi wajar saja jika kamu ingin membalasnya,” lontar Edard santai, Meta menggeleng. masih yakin Adam punya alasan kuat untuk semua ini. “Bukankah aku jaminannya, lalu kenapa Papa jadi korbanmu juga, hah! Apa menyiksaku tak cukup!” teriak Meta histeris. Gadis itu memukuli dada pria yang masih tenang tersebut. “Hentikan, kelinci manis. Duduklah dan saksikan pertunjukannya,” bisik Edward mendorong Metaa kembali duduk di kursinya. Penutup kepala dibuka, bukan Adam. Meta menatap Edward, pria itu benar-benar tengah mempermainkannya. “Adam bukan targetku, lagipula masih terlalu cepat jika pertunjukan utamanya sekarang. Harus ada pertunjukan-pertunjukan kecil, sebelum kita memasuki intinya,” ungkap Edward seperti mengerti makna tatapan Meta. Meski bukan Adam, tetap saja jantung Meta masih belum bisa berdetak normal. Dia hadapannya, seseorang akan diakhiri hidupnya. Meta menutup mata saat Edward memulai aksinya. “Ikat tangannya!” perintah pria itu. Pengawal tersebut mengikat tangan Meta agar gadis itu tidak bisa menutup mata dengan itu. Meta menggeleng tidak percaya, Edward benar-benar ingin menyiksanya. Di hadapannya, Edward memulai aksinya. Teriakan dan rintihan memekakan telinga membuat Meta menutup matanya kuat. Namun, telinganya berfungsi dngan baik. Dia bisa mendengar suara tembakan, juga pisau yang mengenai dinding. Dia juga bisa mencium bau darah yang semakin menyengat. “Pa, hiks,” Meta menangis. “Buka matamu, nona. Ini pertunjukan begitu hebat. Jarang sekali aku menunjukkannya pada orang asing,” lontar Edward. Suara langkah kaki, membuat gadis itu was-was. Edward membuka ikatannya, memaksa Meta untuk membuka matanya. “Lihat! Indah, bukan!” bisik pria itu. Meta terduduk lemas, perutnya terasa diguncang sekarang. “Hueekkk,” Dan gadis itu mengeluarkan semua isi perutnya. Sungguh, dia tersiksa berada di ruangan itu. Meta ingin sekali pergi, tetapi sangat mustahil mengingat kondisinya untuk berdiri saja tidak mampu. “Jika tidak ingin berakhir seperti dia, maka jadilah kelinci penurut,” gumam Edward dengan suara rendah dan penuh peringatan. Meta tidak berdaya, bahkan saat Edward menarik rambutnya, agar dia mendongak, gadis itu hanya mengulas senyum kecut. “Akhiri saja, jangan menyiksaku begini,” lirih gadis itu. Meta tidak tahu letak kesalahannya, dan mengapa dia disiksa oleh Edward. Melihat pertunjukan gila yang Edward lakukan, membuatnya ingin mati saja. Sudah tidak ada gunanya lagi hidup dan menjadi tawanan seorang psikopat. “Harusnya kamu menyadari letak kesalahanmu dulu, baru ini akan berakhir. Sayangnya, kamu merasa tersiksa tanpa sadar kalau ini mungkin hukuman untuk kesalahan yang kamu perbuat,” ucap Edward lagi. Meta menoleh, memberanikan diri melihat tubuh yang sudah kehilangan nyawanya itu. “Semua sudah disiapkan tuan. Kotaknya siap dikirim,” jelas pengawal pria bermata hitam pekat itu. Edward mengangguk, hanya mengangkat tangannya, seolah mereka mengerti maksudnya, paara pengawal itu mulai bergerak membersihkan kekacauan yang dibuat tuan mereka. Kini tersisa mereka berdua di ruangan dingin itu. Dalam waktu singkat, ruangan itu kembali bersih, seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya. “Kesalahan pertama, kamu berani membuka kotak yang harusnya tidak kamu buka. Kesalahan kedua, kamu berani meneriakiku, bahkan mereka saja tidak berani melakukannya. kesalahan ketiga, kamu dengan berani menggoreskan luka di tubuh itu, di mana hanya aku yang boleh melakukannya,” lontar Edward. Mata Meta membulat sempurnya mendengar kesalahan ketiga. “Tubuh ini milikku, terserah ingin kuapakan,” gumam Meta lemah. Dia kehilangan seluruh tenaganya, dan dia yakin tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini. Meta menyaksikan aksi gila yang menghabisi nyawa seseorang. Namun, dia hanya diam saja tanpa bisa melakukan apa-apa. Edward mengangkat dagu Meta lagi, menatap dua mata indah yang ingin sekali dia lihat kehilangan harapan. “Namun mulai detik Adam menjaminkannya padaku, semua yang ada padamu adalah milikku. Jadi, jangan bermimpi bisa melukai semua yang kumiliki. Paham!” bentak pria itu menghempaskan Meta ke lantai. Sungguh, Meta berharap kegelapan merengut kesadaran saat ini juga. Sakit, seluruh tubuhnya terasa remuk, kakinya tidak mampu berdiri, dan kepalanya mulai terasa berat. “Jika kamu berani menutup mata, peluru panas itu akan membangunkanmu lagi,” ancam Edward memainkan pistol di tangannya. Meta mencoba untuk tetap sadar. Susah payah, dia mencoba untuk bisa berdiri. “Lakukan sesukamu, tembak saja kepalaku sekarang,” ucap Meta mengarahkan pistol tersebut ke kepalanya. Edward menatapnya dingin. Meta benar-benar kehilangan harapan? Ah, ini terlalu mudah, dan Edward sangat tidak suka. Keduanya masih terdiam dengan posisi pistol diarahkan ke kepala Meta. Gadis itu seperti sudah siap untuk menemui ajalnya. Dor! Dua tembakan terlepas begitu saja. Namun, Meta sama sekaali tidak merasakan apa pun. Tidak mungkin Edward meleset. Gadis itu membuka matanya, dan menemukan Edward yang menembakkan pistol lain di tangaan kirinya. Satu kali hentakan, Edward menjaauhkan tangan Meta dari pistol yang dia pegang. “Tentu tidak semudah itu, nona! Dan kamu sudah membuatku kesal, jadi harus dihukum,” ucap pria itu tidak main-main. Edward mengangkat tubuh Meta, menghempaskannya dengan kasar ke atas kasur. Tangisan memilukan terdengar. Untuk mengakhiri hidupnya saja begitu sulit untuk Meta lakukan. Edward melepas ikat pinggangnya dan mulai mencambuk punggung gadis itu. Meta berteriak kesakitan, membenamkan wajahnya di bantal, berharap bisa mengurangi rasa sakitnya. Dia sangat ingin menemui ajalnya saat ini juga. Namun, Edward seolah belum puas menyiksanya. Sebelum kegelapan merengut kesadarannya, Meta bisa merasakan saat Edward mengecup kedua matanya, memperbaiki posisinya. “Sudah kubilang jadilah penurut. Cukup nikmati permainan ini, dengan begitu kamu bisa mengakhirinya dengan mudah,” bisiknya. Tak lama kemudian beberapa orang dokter masuk ke kamar tersebut. “Besok dia harus udah sembuh. Ada banyak permainan yang harus dia saksikan,” ucapnya penuh peringatan, dokter tersebut mengangguk mengerti. Dia melukainya, tetapi dia juga mengobatinya. Edward seperti sengaja mempermaikannya. Samar-samar, Meta bisa melihat pria itu melangkah menjauh sampai hilang dari pandangannya. Meta Marfora Anastasya, seorang pemimpi kini hanya berharap malaikat maut segera menjemputnya, melepaskannya dari siksaan sang psikopat berhati dingin itu.Meta dibesarkan dengan baik, memiliki keluarga harmonis yang kapan saja selalu di sisinya. Sangkin sempurnanya hidup yang diberikan, Meta sampai lupa jika pelangi hanya datang sebentar lalu menghilang. Banyak yang mengatakan lebih baik bersusah lalu senang kemudian, daripada berakhir menyakitkan saat terbiasa menjalani hidup yang sempurna. Dia membuka matanya, menemukan cahaya yang terasa asing. “Apa aku sudah mati?” gumamnya, baru disadari masih mengenakan pakaian yang terakhir kali. Ah, tentu tidak akan semudah itu. Edward pasti akan menyembuhkan lukanya lalu memberi luka baru lagi. Begitulah cara Edward menyiksanya. Entah kapan semua akan berakhir atau mungkin tidak akan pernah sama sekali. Gadis itu menyipitkan matanya, menemukan seorang gadis berpakaian SMA yang tengah menikmati keindahan taman di hadapannya. Meta baru menyadari, tengah berada di sekolah lamanya. Perlahan, dia melangkah mendekat, bersamaan dengan gadis itu yang berbalik. “Xadira? Kamu gak apa-apa?” Meta mengh
Sepertinya tidak cukup dengan luka fisik akibat benda-benda tajam dan senjata panas yang Edward miliki. Pria itu juga berhasil membuat otak tidak seberapa Meta lelah berpikir. Bisa-bisanya pria itu malah menyuruhnya menyelesaikan soal-soal. Meta itu tidak pintar soal akademik, lebih mengeluti bidang bidng non akademik seperti model majalah misalnya. Meta mengacak rambutnya. Sungguh, dia begitu lelah berpikir sekarang, mulai menyesal dulu lebih memilih tidur saat pelajaran fisika, dan matematika. Sekarang, dia bahkan tidak mengerti apa yang ditanyakan dalam soal. Gadis itu sudah mencoba belajar otodidak menggunakan jaringan internet, tetap saja tak kunjung menemukan pencerahan. “Nih soal apa teka-teki hidup sih, susah amat,” rutuk Meta mulai menyerah. Dia membaca soal berulang kali, dan hasilnya nihil. Meta menyerah, meletakkan kepalanya di atas meja. Baru juga beristirahat, bel kembali berbunyi, bersamaan dengan notifikaasi yang masuk ke ponsel hitam tersebut. Seluruh hidup Edward
Meta Marfora Anastasya, si anggun dan sempurna. Kerumunan seketika membelah, memberi jalan bagi model kebanggaan sekolah mereka itu. Tatapan kagum tampak jelas, mulai dari atas sampai ke bawah, penampilan Meta benar-benar tidak mengecewakan. Dia hanya mengenakan seragam seperti mereka, dimodif sedikit, ditambah tubuh Meta yang terbentuk sempurna.“Meta, punya waktu buat dinner? Aku ada tiket nontong film yang lagi trending,” tanya seorang pria berwajah blasteran. Meta tersenyum manis, melambungkan harapan tinggi akan diterima oleh gadis itu.“No, aku ada pemotretan dan sangat sibuk, jadi mungkin tak akan memiliki waktu bersama pria yang tidak penting,” sahut Meta tanpa menghilangkan senyumnya. Penolakan lagi. Sudah bukan hal baru Meta yang menolak pria tampan di sekolah mereka.“Apa dia tidak suka pria?” celetuk salah satu siswa yang menyaksikan penolakan tersebut. Perkataan itu terdengar ke telinga Meta. Dia melangkah begitu anggun, mendekati siswa yang mengejeknya?“Apa kamu punya
Tangannya penuh lebam, tubuhnya sudah tidak semulus dulu, dan wajahnya penuh bekas luka. Tubuh dan wajah yang dulu begitu dia kagumi, kini hanya sisa kenangan. Mimpi yang hampir dia gapai harus terkubur. Entah bisa dia bangkitkan lagi, atau akan berakhir sia-sia.“Apa mimpi terbesarmu?” tanya Xadira.Meta berhenti sejenak, memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu begitu sempurna, keinginan kaum hawa. Namun, terkadang Meta merasa ada yang berbeda saat menatap wajahnya sendiri.Meta menoleh, menatap Xadira yang tengah merapikan seragamnya. Pagi-pagi sekali, Meta meminta gadis itu datang, membantunya bersiap ke sekolah. Xadira terlalu baik dan polos, membuat semua orang meremehkan gadis itu.“Menjadi seorang model internasional, mungkin,” jawab Meta. Pada akhirnya, dia akan melanjutkan semua yang sudah dia mulai. Xadira tersenyum bangga, membantu Meta mengenakan seragamnya.“Kamu cantik, memiliki potensi untuk menjadi model terkenal. Aku percaya kamu akan mendapatkannya. Tid
Meta pasrah, hanya perlu menunggu sampai Edward selesai dan mengakhiri hidupnya. Akan lebih mudah jika Edward salah sasaran dan peluru itu menembus kepalanya. Semua akan berakhir. Dia tidak akan merasa sakit terus menerus, ditambah rasa bersalahanya akan selesai begitu saja.“Sangat tidak menyenangkan melihatmu mengorbankan diri seperti ini. Tunggu, apa kamu tau arti sebuah pengorbanan?” oceh Edward sembari mempersiapkan pistolnya. Meta hanya diam, dengan tangan memegangi apel yang menjadi sasaran peluru Edward di atas kepalanya.Meta tidak takut, sebaliknya dia begitu siap jika hidupnya berakhir detik itu juga.“Kamu pikir aku tidak mengetahuinya? Percayalah, pergorbanan ini akan berakhir sia-sia,” lontar Edward, bersamaan dengan tikus tadi dibawa masuk oleh pengawalnya.Edward tersenyum miring “Kamu pikir bisa menyelamatkannya dengan mengorbankan dirimu sendiri?” terkanya.“Bukan, aku hanya ingin mendapat hukuman. Siapa bilang aku mengorbankan diri sendiri,” sahut Meta akhirnya. Dia
Edward menggila, bukan hanya musuh yang menjadi sasarannya, tetapi juga orang-orang yang tidak berusaha melindungi Meta. Tanpa ampun, dia menghabisi orang di sekelilingnya.“Aku akan membawanya masuk,” tukas pria yang tengah menggendong tubuh Meta, yang tidak lain pria yang diselamatkan oleh Meta secara tidak langsung.Edward ingin mencegahnya. Namun, kekuasaan Regano sama besar dengan pria itu. Dia hanya bisa melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Sampai punggung Regano menghilang, pandangan Edward masih mengawasi pria itu.“Mati kalian semua!”Selanjutnya Edward benar-benar tidak memberi ampun. Terutama untuk orang yang sudaah berani melukai tawannnya. Hanya dia yang bisa melakukannya.“Ampun!” mohon orang itu, mulai terbatuk dan mengeluarkan darah. Edward menginjak dada pria yang sudah tidak berdaya itu. Edward tersenyum miring, memohon ampun padanya justru membuat semakin senang bermain-main.“Tangan mana yang udah kamu gunakan menusuk wanitaku?”“Ampuni aku. Sungguh, aku tak
Nyawa lima orang berada di tangannya. Meta harus bangun jika ingin orang-orang yang tengah berusaha mengobati lukanya. Sungguh, Meta dibuat bimbang antara harus bertahan atau membiarkan hidupnya berakhir. Dia membuka matanya, kembali ke tempat yang sama saat di bertemu dengan Xadira.Gadis itu memilih berdiam diri, tidak siap jika harus bertemu dengan mimpi buruknya lagi. Suara langkah kaki yang mendekat membuatnya was-was.“Maafkan aku, Ta. Harusnya aku tidak pernah melibatkanmu,” mohon suara itu. Meta masih kukuh mempertahankan posisinya, tidak ingin melihat sosok itu. Dari suaranya dia bisa menebak bahwa itu adalah Xadira.“Tapi aku benar-benar butuh bantuan kamu saat itu, Ta. Edward sakit, dan aku sungguh ingin menyembuhkannya,” lirih Xadira. Masih sama, gadis lemah itu selalu menyusahkan Meta, bahkan hingga saat ini.Meta mengangkat kepalanya, menatap mata Xadira yang berkaca-kaca. Seandainya gadis itu lebih berani, semua ini tidak akan terjadi. Seandainya Xadira bisa lebih jujur
Belum juga bisa mengetahu keberadaan rumah yang lama, kini suasana baru menyambutnya. Serangan beberapa waktu lalu sepertinya menghaancurkan banyak hal, membuat Edward terpaksa memindahkan mereka ke markas baru. Meta melangkah begitu hati-hati, lukanya masih terasa sangat perih. Rasa ingin tahu, membawanya keluar kamar. Sepi, kesan pertama yang Meta temukan. “Nona Meta, apa yang anda lakukan?” tanya Ren menghampiri gadis itu. Ren terlihat cemas, memeriksa luka Meta yang belum juga mengering. “Non sebaiknya kembali ke kamar, atau Tuan Edward bisa marah,” pintanya, Meta mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Regano dan Edward. Terbesit rasa khawatir, Edward akan melakukan hal buruk pada Regano. “Aku udah dengar semua. Terima kasih sudah menolong sahabatku,” ungkap Ren tiba-tiba, Meta menautkan alisnya. Wanita itu tersenyum begitu tulus. Meta mengangguk kecil, toh akhirnya Regano akan menerima hukuman dari Edward, jadi sama saja. “Regano adalah sahabat sekaligus tangan kanan Tu