Share

BAB 3. Pertunjukan Gila

Cahaya temaram, suhu yang begitu dingin membuat Meta mulai was-was. Sekelilingnya dipenuhi dengan warna putih, dan alat-alat laboratorium. Mata gadis itu membulat kala menemukan benda tajam berjejer dengan rapi, ditambah beberapa pistol.

Kakinya mulai gemetar. Meta lagi-lagi mencoba untuk kabur, dan gagal lagi. Gadis itu mulai memperkirakan sebanyak apa penjaga yang Edward sewa. Juga, mereka tahu tuannya seorang psikopat, kenapa malah diam saja? Atau memang mereka semua juga bagian dari ini.

“Mau ke mana kelinci manis? Sudah kubilang, jadilah penurut, agar tetap hidup,” bisik Edward menarik paksa Meta untuk duduk di kursi.

Seorang pria yang kepalanya ditutup dibawa masuk. Jantung Meta berdetak dengan cepat. Postur tubuh orang itu terlihat seperti Adam.

“Jangan! Tolong jangan sakiti Papa!”

Meski telah menjadikannya jaminan, Meta tidak akan sanggup melihat orang yang sangat dia sayangi, dihabisi di depan mata kepalanya sendiri. Seumur hidup, dia janji akan membenci Edward jika sampai hal itu terjadi.

Edward menoleh, tersenyum miring.

“Harusnya kamu senang. Dengan begitu, kekesalanmu akan berkurang. Bagaimanapun, Adam telah menjadikanmu jaminan, jadi wajar saja jika kamu ingin membalasnya,” lontar Edard santai, Meta menggeleng. masih yakin Adam punya alasan kuat untuk semua ini.

“Bukankah aku jaminannya, lalu kenapa Papa jadi korbanmu juga, hah! Apa menyiksaku tak cukup!” teriak Meta histeris. Gadis itu memukuli dada pria yang masih tenang tersebut.

“Hentikan, kelinci manis. Duduklah dan saksikan pertunjukannya,” bisik Edward mendorong Metaa kembali duduk di kursinya. Penutup kepala dibuka, bukan Adam. Meta menatap Edward, pria itu benar-benar tengah mempermainkannya.

“Adam bukan targetku, lagipula masih terlalu cepat jika pertunjukan utamanya sekarang. Harus ada pertunjukan-pertunjukan kecil, sebelum kita memasuki intinya,” ungkap Edward seperti mengerti makna tatapan Meta.

Meski bukan Adam, tetap saja jantung Meta masih belum bisa berdetak normal. Dia hadapannya, seseorang akan diakhiri hidupnya. Meta menutup mata saat Edward memulai aksinya.

“Ikat tangannya!” perintah pria itu.

Pengawal tersebut mengikat tangan Meta agar gadis itu tidak bisa menutup mata dengan itu. Meta menggeleng tidak percaya, Edward benar-benar ingin menyiksanya.

Di hadapannya, Edward memulai aksinya. Teriakan dan rintihan memekakan telinga membuat Meta menutup matanya kuat. Namun, telinganya berfungsi dngan baik. Dia bisa mendengar suara tembakan, juga pisau yang mengenai dinding. Dia juga bisa mencium bau darah yang semakin menyengat.

“Pa, hiks,” Meta menangis.

“Buka matamu, nona. Ini pertunjukan begitu hebat. Jarang sekali aku menunjukkannya pada orang asing,” lontar Edward. Suara langkah kaki, membuat gadis itu was-was. Edward membuka ikatannya, memaksa Meta untuk membuka matanya.

“Lihat! Indah, bukan!” bisik pria itu.

Meta terduduk lemas, perutnya terasa diguncang sekarang.

“Hueekkk,” Dan gadis itu mengeluarkan semua isi perutnya.

Sungguh, dia tersiksa berada di ruangan itu. Meta ingin sekali pergi, tetapi sangat mustahil mengingat kondisinya untuk berdiri saja tidak mampu.

“Jika tidak ingin berakhir seperti dia, maka jadilah kelinci penurut,” gumam Edward dengan suara rendah dan penuh peringatan.

Meta tidak berdaya, bahkan saat Edward menarik rambutnya, agar dia mendongak, gadis itu hanya mengulas senyum kecut.

“Akhiri saja, jangan menyiksaku begini,” lirih gadis itu.

Meta tidak tahu letak kesalahannya, dan mengapa dia disiksa oleh Edward. Melihat pertunjukan gila yang Edward lakukan, membuatnya ingin mati saja. Sudah tidak ada gunanya lagi hidup dan menjadi tawanan seorang psikopat.

“Harusnya kamu menyadari letak kesalahanmu dulu, baru ini akan berakhir. Sayangnya, kamu merasa tersiksa tanpa sadar kalau ini mungkin hukuman untuk kesalahan yang kamu perbuat,” ucap Edward lagi.

Meta menoleh, memberanikan diri melihat tubuh yang sudah kehilangan nyawanya itu.

“Semua sudah disiapkan tuan. Kotaknya siap dikirim,” jelas pengawal pria bermata hitam pekat itu. Edward mengangguk, hanya mengangkat tangannya, seolah mereka mengerti maksudnya, paara pengawal itu mulai bergerak membersihkan kekacauan yang dibuat tuan mereka.

Kini tersisa mereka berdua di ruangan dingin itu. Dalam waktu singkat, ruangan itu kembali bersih, seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya.

“Kesalahan pertama, kamu berani membuka kotak yang harusnya tidak kamu buka. Kesalahan kedua, kamu berani meneriakiku, bahkan mereka saja tidak berani melakukannya. kesalahan ketiga, kamu dengan berani menggoreskan luka di tubuh itu, di mana hanya aku yang boleh melakukannya,” lontar Edward. Mata Meta membulat sempurnya mendengar kesalahan ketiga.

“Tubuh ini milikku, terserah ingin kuapakan,” gumam Meta lemah. Dia kehilangan seluruh tenaganya, dan dia yakin tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini.

Meta menyaksikan aksi gila yang menghabisi nyawa seseorang. Namun, dia hanya diam saja tanpa bisa melakukan apa-apa.

Edward mengangkat dagu Meta lagi, menatap dua mata indah yang ingin sekali dia lihat kehilangan harapan.

“Namun mulai detik Adam menjaminkannya padaku, semua yang ada padamu adalah milikku. Jadi, jangan bermimpi bisa melukai semua yang kumiliki. Paham!” bentak pria itu menghempaskan Meta ke lantai.

Sungguh, Meta berharap kegelapan merengut kesadaran saat ini juga. Sakit, seluruh tubuhnya terasa remuk, kakinya tidak mampu berdiri, dan kepalanya mulai terasa berat.

“Jika kamu berani menutup mata, peluru panas itu akan membangunkanmu lagi,” ancam Edward memainkan pistol di tangannya. Meta mencoba untuk tetap sadar. Susah payah, dia mencoba untuk bisa berdiri.

“Lakukan sesukamu, tembak saja kepalaku sekarang,” ucap Meta mengarahkan pistol tersebut ke kepalanya. Edward menatapnya dingin. Meta benar-benar kehilangan harapan?

Ah, ini terlalu mudah, dan Edward sangat tidak suka. Keduanya masih terdiam dengan posisi pistol diarahkan ke kepala Meta. Gadis itu seperti sudah siap untuk menemui ajalnya.

Dor!

Dua tembakan terlepas begitu saja. Namun, Meta sama sekaali tidak merasakan apa pun. Tidak mungkin Edward meleset. Gadis itu membuka matanya, dan menemukan Edward yang menembakkan pistol lain di tangaan kirinya.

Satu kali hentakan, Edward menjaauhkan tangan Meta dari pistol yang dia pegang.

“Tentu tidak semudah itu, nona! Dan kamu sudah membuatku kesal, jadi harus dihukum,” ucap pria itu tidak main-main.

Edward mengangkat tubuh Meta, menghempaskannya dengan kasar ke atas kasur. Tangisan memilukan terdengar. Untuk mengakhiri hidupnya saja begitu sulit untuk Meta lakukan.

Edward melepas ikat pinggangnya dan mulai mencambuk punggung gadis itu. Meta berteriak kesakitan, membenamkan wajahnya di bantal, berharap bisa mengurangi rasa sakitnya. Dia sangat ingin menemui ajalnya saat ini juga. Namun, Edward seolah belum puas menyiksanya.

Sebelum kegelapan merengut kesadarannya, Meta bisa merasakan saat Edward mengecup kedua matanya, memperbaiki posisinya.

“Sudah kubilang jadilah penurut. Cukup nikmati permainan ini, dengan begitu kamu bisa mengakhirinya dengan mudah,” bisiknya.

Tak lama kemudian beberapa orang dokter masuk ke kamar tersebut.

“Besok dia harus udah sembuh. Ada banyak permainan yang harus dia saksikan,” ucapnya penuh peringatan, dokter tersebut mengangguk mengerti.

Dia melukainya, tetapi dia juga mengobatinya. Edward seperti sengaja mempermaikannya. Samar-samar, Meta bisa melihat pria itu melangkah menjauh sampai hilang dari pandangannya.

Meta Marfora Anastasya, seorang pemimpi kini hanya berharap malaikat maut segera menjemputnya, melepaskannya dari siksaan sang psikopat berhati dingin itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status