Share

Tawanan Pewaris Psikopat
Tawanan Pewaris Psikopat
Author: authorsemesta

BAB 1. Pandora Box

Meta bersenandung kecil, memasuki rumah kediaman keluarga Scott. Namun, dia mengernyitkan dahi begitu melihat banyaknya tamu yang berkunjung hari ini.

Sontak, Meta mendekati Adam Scott, papanya sendiri. “Ada apa, Pa? Kenapa ramai sekali? Mereka siapa?”

Adam tampak gelisah, tetapi dengan cepat mengatur raut wajahnya. Pria paruh baya itu tersenyum, mengelus rambut putrinya.

“Papa pasti akan melindungi kamu, apa pun yang terjadi, jadi jangan khawatir.”

Selanjutnya Adam Scott memilih untuk menemui para tamunya. Sedikitnya, Meta bisa mendengar pembicaraan mereka. Kotak rahasia, setidaknya itulah yang Meta tangkap beberapa kali dari pembicaraan mereka.

“Non,” ucap seseorang mengejutkan gadis itu.

Meta memberengut, menempatkan jari di bibir, meminta pembantunya itu untuk ikut diam. Sayangnya, sia-sia sudah, semua tatapan kini tertuju pada Meta. Gadis itu terpaksa keluar dari persembunyiannya, duduk di sebelah Adam Scott.

“Dia Meta putriku,” ucap Adam memperkenalkan.

Meta mendongak, memperhatikan raut wajah satu per satu tamunya. Dia bertemu pandang dengan mata hitam pekat tanpa kehangatan. Mata itu begitu pekat, seperti dalam kegelapan yang tidak ada dasar.

“Dia begitu memukau,” ucap pria itu. Suara berat dan sedikit serak itu tanpa izin mengalun di telinga Meta. Gadis itu terkejut kala Adam merangkulnya begitu erat, seolah menjaganya.

Meta menoleh, raut cemas terlihat begitu jelas di wajah yang mulai menua itu. Gadis itu mulai merasa ada yang tidak beres.

“Kotaknya sudah siap, kalian bisa membawanya pergi sekarang,” lontar Adam, lebih ke mengusir dibanding memberitahu. Para tamu berpakaian hitam itu seolah mengerti, mereka tampak lebih puas sekarang.

“Kotak apa, Pa?” tanya Meta, Adam menggeleng, mengulas senyum hangat. Meta menyadari ada rahasia yang coba Adam sembunyikan darinya.

Gadis itu memutuskan untuk berpamitan, dan masuk ke dalam kamar. Dari balkon, dia bisa melihat orang-orang itu masuk ke mobil, dan membawa satu kotak.

“Apa mereka datang hanya untuk kotak itu? Aneh,” gumam Meta.

Rasa penasaran yang tinggi membuat Meta memasuki ruang rahasia. Lebih tepatnya, sebuah jalan menuju taman belakang tanpa harus turun tangga. Semacam jalan di bawah tanah.

Meta bergegas masuk ke bagasi tempat kotak tersebut disimpan. Dia benar-benar penasaran dengan isi kotak tersebut. Dia menyadari ada rahasia yang  Adam sembunyikan, pasti berhubungan dengan ibunya yang baru saja meninggal dunia.

Yup, Yoona Scott, wanita paruh baya itu meninggal dengan cara begitu tragis. Sampai saat ini pelakunya belum ditemukan. Valerie mengambil gunting dengan hati-hati, mencoba membuka kotak tersebut. Tempat yang sempit membuat dia kesulitan bergerak.

“Aaaak!” teriak Meta setelah melihat isi kotak tersebut. Kotak yang seharusnya tidak pernah dia buka. Pandora box, sebutan yang tepat untuk kotak tersebut. Meta menutup mulutnya dengan tangan.

Dia bisa merasakan mobil yang berhenti. Habislah sudah, Meta dalam masalah sekarang. Pintu bagasi dibuka. Pria bermata hitam pekat itu kini menatapnya datar. Pria itu memasukkan kembali sesuatu tersebut ke dalam kotak, menyerahkan kotak tersebut kepada yang lainnya.

“Kamu masuk tanpa permisi, jadi jangan harap bisa keluar dengan mudah, nona manis!”

Meta mendongak, tubuhnya bergetar hebat. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat.

“I..itu organ manusia?” gumamnya terbata-bata.

Kotak pandora, kotak yang menjadi petaka bagi siapa saja yang membukanya. Raut wajah pria itu masih tenang, tidak terpengaruh sama sekali dengan teriakannya.

“Seharusnya kamu tidak perlu mengetahuinya. Usiamu masih terlalu muda, hanya saja mungkin lebih cepat, lebih baik,” sahutnya lagi.

Dia mengangkat tubuh Meta tanpa izin. Gadis itu tentu saja memberontak. Dia bisa dengan mudah menebaknya. Mereka bukan orang biasa, terutama pria yang sedang mengikat tangannya dan menutup matanya dengan kain tersebut.

“Kalian psiko!” teriak Meta, tanpa sadar membangkitkan kemarahan pria bermata  hitam pekat tersebut.

“Dengar baik-baik, sekali lagi berani berteriak padaku, bibirmu akan robek!” bisiknya, membuat bulu kuduk Meta berdiri. Apa-apaan! Seharusnya Meta tidak menuruti rasa penasarannya dan sekarang hanya penyesalan yang tersisa.

“Tidak ada gunanya menyesal, kelinci manis,” ucapnya lagi.

Meta tahu mobil sudah kembali bergerak, membawanya menjauh dari kedamaian. Meta sadar dia sudah masuk ke kandang singa, dan tentu tidak akan mudah untuk keluar dari sana.

Meta merasa tubuhnya dibopong keluar. Sungguh, dia tidak bisa melihat apa pun. Dia juga tidak tahu ke mana dia dibawa. Meta hanya bisa berharap Adam akan menyelamatkannya, sesuai janji pria itu.

Tubuh Meta dihempaskan begitu saja ke atas kasur. Gadis itu berusaha bangkit, hendak berlari keluar, saat penutup matanya dibuka.

Dorr!

Meta terjerembeb ke lantai. Gadis itu meringis saat peluru panas tersebut, menembus pahanya. Dia menangis, menatap darah yang mengalir begitu deras, mewarnai lantai dingin.

Pria itu melangkah mendekat, berjongkok di hadapan Meta. Tangan kekarnya menarik dagu Meta dengan kasar, membuat gadis itu semakin merasa sakit.

“Adam Scott sudah menjadikanmu jaminan, jadi jangan berharap akan bisa keluar dari sini, kelinci manis,” ungkap pria itu lagi.

Meta hancur berkeping-keping. Adam menjadikannya jaminana? Itu artinya, dia tidak memiliki harapan untuk bebas lagi.

Pria itu tersenyum miring, menghapus jejak air mata Meta begitu lembut. Berbeda dari beberapa waktu lalu.

“Jadilah kelinci penurut, dengan begitu kamu tidak akan berakhir seperti isi kotak pandora itu,” sambungnya lagi.

Untuk membalas ucapan pria itu pun Meta tidak lagi mampu. Rasa pedih di kaki, ditambah fakta bahwa Adam telah menjadikannya jaminan membuatnya semakin hancur.

“Aku tidak menyangka, kamu akan datang sendiri padaku. Aku akan memberitahu berita baik ini pada Adam,” ungkapnya.

Mata tajamnya menatap luka akibat pistol di tangannya. Dia tersenyum miring.

“Tuan Edward, sudah waktunya,” ucap salah satu pengawal memberitahu.

Edward, setidaknya itulah nama pria itu. Meta memukul lantai, sampai menyisakan lebam di tangannya. Dia bahkan tidak bisa berdiri sekarang.

Kelinci manis katanya? Edward sepertinya tidak mengenal Meta. Gadis itu tidak akan menyerah begitu saja.

Menangisi keadaan, membuat Meta mulai kelelahan. Luka di pahanya masih mengeluarkan darah, tidak ada niatan untuk menghentikan cairan kental tersebut  terus mengalir. Sebaliknya, Meta justru beraharap akan berakhir detik itu juga. Dia cukup mengerti kalau dia tidak memiliki rumah untuk pulang lagi. Lalu, untuk apa bertahan.

Meski samar, Meta bisa melihat pintu terbuka. Sosok pria bermaata pekat itu sudah kembali. Meta menyeringai pelan.

“Aku tidak akan pernah sudi jadi kelinci manismu, Tuan Edward yang terhormat,” lontar Meta. Gadis itu terbatuk, perlahan mengeluarkan cairan kental. Edward menatap Meta datar.

“Jangan bodoh, nona. Ini adalah pilihanmu. Kamu yang memilih untuk masuk tanpa izin, jadi jangan salahkan aku jika kamu  tidak pernah bisa mengakhirinya,” sahut Edward.

Dia mengangkat tubuh Meta, meletakkannya di atas kasur. Tanpa memberi obat bius, Edward mulai mengeluarkan peluru dari paha gadis itu, lalu menjahit luka tersebut. Meta mengigit bibirnya kuat, untuk berteriak pun dia sudah tidak mampu.

“Dasar psikopat gila! Aku membencimu!” teriak Meta sebelum kesadarannya direnggut paksa.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nietha
menurut q aga aneh adegan meta keluar kamar, dan buka bagasi terus liat kotaknya... kecuali meta dri luar terus mau msuk rumh nmpk kotak gitu lebih lues kyknya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status