Meta bersenandung kecil, memasuki rumah kediaman keluarga Scott. Namun, dia mengernyitkan dahi begitu melihat banyaknya tamu yang berkunjung hari ini.
Sontak, Meta mendekati Adam Scott, papanya sendiri. “Ada apa, Pa? Kenapa ramai sekali? Mereka siapa?”
Adam tampak gelisah, tetapi dengan cepat mengatur raut wajahnya. Pria paruh baya itu tersenyum, mengelus rambut putrinya.
“Papa pasti akan melindungi kamu, apa pun yang terjadi, jadi jangan khawatir.”
Selanjutnya Adam Scott memilih untuk menemui para tamunya. Sedikitnya, Meta bisa mendengar pembicaraan mereka. Kotak rahasia, setidaknya itulah yang Meta tangkap beberapa kali dari pembicaraan mereka.
“Non,” ucap seseorang mengejutkan gadis itu.
Meta memberengut, menempatkan jari di bibir, meminta pembantunya itu untuk ikut diam. Sayangnya, sia-sia sudah, semua tatapan kini tertuju pada Meta. Gadis itu terpaksa keluar dari persembunyiannya, duduk di sebelah Adam Scott.
“Dia Meta putriku,” ucap Adam memperkenalkan.
Meta mendongak, memperhatikan raut wajah satu per satu tamunya. Dia bertemu pandang dengan mata hitam pekat tanpa kehangatan. Mata itu begitu pekat, seperti dalam kegelapan yang tidak ada dasar.
“Dia begitu memukau,” ucap pria itu. Suara berat dan sedikit serak itu tanpa izin mengalun di telinga Meta. Gadis itu terkejut kala Adam merangkulnya begitu erat, seolah menjaganya.
Meta menoleh, raut cemas terlihat begitu jelas di wajah yang mulai menua itu. Gadis itu mulai merasa ada yang tidak beres.
“Kotaknya sudah siap, kalian bisa membawanya pergi sekarang,” lontar Adam, lebih ke mengusir dibanding memberitahu. Para tamu berpakaian hitam itu seolah mengerti, mereka tampak lebih puas sekarang.
“Kotak apa, Pa?” tanya Meta, Adam menggeleng, mengulas senyum hangat. Meta menyadari ada rahasia yang coba Adam sembunyikan darinya.
Gadis itu memutuskan untuk berpamitan, dan masuk ke dalam kamar. Dari balkon, dia bisa melihat orang-orang itu masuk ke mobil, dan membawa satu kotak.
“Apa mereka datang hanya untuk kotak itu? Aneh,” gumam Meta.
Rasa penasaran yang tinggi membuat Meta memasuki ruang rahasia. Lebih tepatnya, sebuah jalan menuju taman belakang tanpa harus turun tangga. Semacam jalan di bawah tanah.
Meta bergegas masuk ke bagasi tempat kotak tersebut disimpan. Dia benar-benar penasaran dengan isi kotak tersebut. Dia menyadari ada rahasia yang Adam sembunyikan, pasti berhubungan dengan ibunya yang baru saja meninggal dunia.
Yup, Yoona Scott, wanita paruh baya itu meninggal dengan cara begitu tragis. Sampai saat ini pelakunya belum ditemukan. Valerie mengambil gunting dengan hati-hati, mencoba membuka kotak tersebut. Tempat yang sempit membuat dia kesulitan bergerak.
“Aaaak!” teriak Meta setelah melihat isi kotak tersebut. Kotak yang seharusnya tidak pernah dia buka. Pandora box, sebutan yang tepat untuk kotak tersebut. Meta menutup mulutnya dengan tangan.
Dia bisa merasakan mobil yang berhenti. Habislah sudah, Meta dalam masalah sekarang. Pintu bagasi dibuka. Pria bermata hitam pekat itu kini menatapnya datar. Pria itu memasukkan kembali sesuatu tersebut ke dalam kotak, menyerahkan kotak tersebut kepada yang lainnya.
“Kamu masuk tanpa permisi, jadi jangan harap bisa keluar dengan mudah, nona manis!”
Meta mendongak, tubuhnya bergetar hebat. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat.
“I..itu organ manusia?” gumamnya terbata-bata.
Kotak pandora, kotak yang menjadi petaka bagi siapa saja yang membukanya. Raut wajah pria itu masih tenang, tidak terpengaruh sama sekali dengan teriakannya.
“Seharusnya kamu tidak perlu mengetahuinya. Usiamu masih terlalu muda, hanya saja mungkin lebih cepat, lebih baik,” sahutnya lagi.
Dia mengangkat tubuh Meta tanpa izin. Gadis itu tentu saja memberontak. Dia bisa dengan mudah menebaknya. Mereka bukan orang biasa, terutama pria yang sedang mengikat tangannya dan menutup matanya dengan kain tersebut.
“Kalian psiko!” teriak Meta, tanpa sadar membangkitkan kemarahan pria bermata hitam pekat tersebut.
“Dengar baik-baik, sekali lagi berani berteriak padaku, bibirmu akan robek!” bisiknya, membuat bulu kuduk Meta berdiri. Apa-apaan! Seharusnya Meta tidak menuruti rasa penasarannya dan sekarang hanya penyesalan yang tersisa.
“Tidak ada gunanya menyesal, kelinci manis,” ucapnya lagi.
Meta tahu mobil sudah kembali bergerak, membawanya menjauh dari kedamaian. Meta sadar dia sudah masuk ke kandang singa, dan tentu tidak akan mudah untuk keluar dari sana.
Meta merasa tubuhnya dibopong keluar. Sungguh, dia tidak bisa melihat apa pun. Dia juga tidak tahu ke mana dia dibawa. Meta hanya bisa berharap Adam akan menyelamatkannya, sesuai janji pria itu.
Tubuh Meta dihempaskan begitu saja ke atas kasur. Gadis itu berusaha bangkit, hendak berlari keluar, saat penutup matanya dibuka.
Dorr!
Meta terjerembeb ke lantai. Gadis itu meringis saat peluru panas tersebut, menembus pahanya. Dia menangis, menatap darah yang mengalir begitu deras, mewarnai lantai dingin.
Pria itu melangkah mendekat, berjongkok di hadapan Meta. Tangan kekarnya menarik dagu Meta dengan kasar, membuat gadis itu semakin merasa sakit.
“Adam Scott sudah menjadikanmu jaminan, jadi jangan berharap akan bisa keluar dari sini, kelinci manis,” ungkap pria itu lagi.
Meta hancur berkeping-keping. Adam menjadikannya jaminana? Itu artinya, dia tidak memiliki harapan untuk bebas lagi.
Pria itu tersenyum miring, menghapus jejak air mata Meta begitu lembut. Berbeda dari beberapa waktu lalu.
“Jadilah kelinci penurut, dengan begitu kamu tidak akan berakhir seperti isi kotak pandora itu,” sambungnya lagi.
Untuk membalas ucapan pria itu pun Meta tidak lagi mampu. Rasa pedih di kaki, ditambah fakta bahwa Adam telah menjadikannya jaminan membuatnya semakin hancur.
“Aku tidak menyangka, kamu akan datang sendiri padaku. Aku akan memberitahu berita baik ini pada Adam,” ungkapnya.
Mata tajamnya menatap luka akibat pistol di tangannya. Dia tersenyum miring.
“Tuan Edward, sudah waktunya,” ucap salah satu pengawal memberitahu.
Edward, setidaknya itulah nama pria itu. Meta memukul lantai, sampai menyisakan lebam di tangannya. Dia bahkan tidak bisa berdiri sekarang.
Kelinci manis katanya? Edward sepertinya tidak mengenal Meta. Gadis itu tidak akan menyerah begitu saja.
Menangisi keadaan, membuat Meta mulai kelelahan. Luka di pahanya masih mengeluarkan darah, tidak ada niatan untuk menghentikan cairan kental tersebut terus mengalir. Sebaliknya, Meta justru beraharap akan berakhir detik itu juga. Dia cukup mengerti kalau dia tidak memiliki rumah untuk pulang lagi. Lalu, untuk apa bertahan.
Meski samar, Meta bisa melihat pintu terbuka. Sosok pria bermaata pekat itu sudah kembali. Meta menyeringai pelan.
“Aku tidak akan pernah sudi jadi kelinci manismu, Tuan Edward yang terhormat,” lontar Meta. Gadis itu terbatuk, perlahan mengeluarkan cairan kental. Edward menatap Meta datar.
“Jangan bodoh, nona. Ini adalah pilihanmu. Kamu yang memilih untuk masuk tanpa izin, jadi jangan salahkan aku jika kamu tidak pernah bisa mengakhirinya,” sahut Edward.
Dia mengangkat tubuh Meta, meletakkannya di atas kasur. Tanpa memberi obat bius, Edward mulai mengeluarkan peluru dari paha gadis itu, lalu menjahit luka tersebut. Meta mengigit bibirnya kuat, untuk berteriak pun dia sudah tidak mampu.
“Dasar psikopat gila! Aku membencimu!” teriak Meta sebelum kesadarannya direnggut paksa.
Meta Marfora Anastasya, serangkaian nama yang begitu indah. Namun, nama bukan jaminan untuk sifat seseorang menjadi baik. Meta, gadis yang cukup sempurna dari segi fisik. Mungkin terlalu sempurna sampai dia merasa dunia hanyalah miliknya.“Meta, seorang model majalah remaja, Tuan,” jelas salah seorang pengawal berpakaian hitam. Edward membaca data gadis yang tengah dia jadikan tawanan tersebut. Meta memiliki prestasi yang bagus. Gadis itu benar-benar memanfaatkan kecantikannya dengan baik.Harus Edward akui kecantikan gadis itu memang begitu mengagumkan, ditambah tubuh yang amat proporsional. Fisik yang selalu jadi idaman kaum hawa. Sayangnya, kecantikan bukanlah jaminan.“Jangankan melakukan pemotretan, untuk berjalan saja dia mungkin tidak lagi mampu,” gumamnya disertai senyum miring. Kaki mulus yang jadi idaman itu kini memiliki bekas jahitan.“Dia tidak akan bisa jadi model lagi, sekarang,” sambung Edward meneguk minuman berkadar alkohol tinggi tersebut. Pada akhirnya tanpa dimi
Cahaya temaram, suhu yang begitu dingin membuat Meta mulai was-was. Sekelilingnya dipenuhi dengan warna putih, dan alat-alat laboratorium. Mata gadis itu membulat kala menemukan benda tajam berjejer dengan rapi, ditambah beberapa pistol. Kakinya mulai gemetar. Meta lagi-lagi mencoba untuk kabur, dan gagal lagi. Gadis itu mulai memperkirakan sebanyak apa penjaga yang Edward sewa. Juga, mereka tahu tuannya seorang psikopat, kenapa malah diam saja? Atau memang mereka semua juga bagian dari ini. “Mau ke mana kelinci manis? Sudah kubilang, jadilah penurut, agar tetap hidup,” bisik Edward menarik paksa Meta untuk duduk di kursi. Seorang pria yang kepalanya ditutup dibawa masuk. Jantung Meta berdetak dengan cepat. Postur tubuh orang itu terlihat seperti Adam. “Jangan! Tolong jangan sakiti Papa!” Meski telah menjadikannya jaminan, Meta tidak akan sanggup melihat orang yang sangat dia sayangi, dihabisi di depan mata kepalanya sendiri. Seumur hidup, dia janji akan membenci Edward jika
Meta dibesarkan dengan baik, memiliki keluarga harmonis yang kapan saja selalu di sisinya. Sangkin sempurnanya hidup yang diberikan, Meta sampai lupa jika pelangi hanya datang sebentar lalu menghilang. Banyak yang mengatakan lebih baik bersusah lalu senang kemudian, daripada berakhir menyakitkan saat terbiasa menjalani hidup yang sempurna. Dia membuka matanya, menemukan cahaya yang terasa asing. “Apa aku sudah mati?” gumamnya, baru disadari masih mengenakan pakaian yang terakhir kali. Ah, tentu tidak akan semudah itu. Edward pasti akan menyembuhkan lukanya lalu memberi luka baru lagi. Begitulah cara Edward menyiksanya. Entah kapan semua akan berakhir atau mungkin tidak akan pernah sama sekali. Gadis itu menyipitkan matanya, menemukan seorang gadis berpakaian SMA yang tengah menikmati keindahan taman di hadapannya. Meta baru menyadari, tengah berada di sekolah lamanya. Perlahan, dia melangkah mendekat, bersamaan dengan gadis itu yang berbalik. “Xadira? Kamu gak apa-apa?” Meta mengh
Sepertinya tidak cukup dengan luka fisik akibat benda-benda tajam dan senjata panas yang Edward miliki. Pria itu juga berhasil membuat otak tidak seberapa Meta lelah berpikir. Bisa-bisanya pria itu malah menyuruhnya menyelesaikan soal-soal. Meta itu tidak pintar soal akademik, lebih mengeluti bidang bidng non akademik seperti model majalah misalnya. Meta mengacak rambutnya. Sungguh, dia begitu lelah berpikir sekarang, mulai menyesal dulu lebih memilih tidur saat pelajaran fisika, dan matematika. Sekarang, dia bahkan tidak mengerti apa yang ditanyakan dalam soal. Gadis itu sudah mencoba belajar otodidak menggunakan jaringan internet, tetap saja tak kunjung menemukan pencerahan. “Nih soal apa teka-teki hidup sih, susah amat,” rutuk Meta mulai menyerah. Dia membaca soal berulang kali, dan hasilnya nihil. Meta menyerah, meletakkan kepalanya di atas meja. Baru juga beristirahat, bel kembali berbunyi, bersamaan dengan notifikaasi yang masuk ke ponsel hitam tersebut. Seluruh hidup Edward
Meta Marfora Anastasya, si anggun dan sempurna. Kerumunan seketika membelah, memberi jalan bagi model kebanggaan sekolah mereka itu. Tatapan kagum tampak jelas, mulai dari atas sampai ke bawah, penampilan Meta benar-benar tidak mengecewakan. Dia hanya mengenakan seragam seperti mereka, dimodif sedikit, ditambah tubuh Meta yang terbentuk sempurna.“Meta, punya waktu buat dinner? Aku ada tiket nontong film yang lagi trending,” tanya seorang pria berwajah blasteran. Meta tersenyum manis, melambungkan harapan tinggi akan diterima oleh gadis itu.“No, aku ada pemotretan dan sangat sibuk, jadi mungkin tak akan memiliki waktu bersama pria yang tidak penting,” sahut Meta tanpa menghilangkan senyumnya. Penolakan lagi. Sudah bukan hal baru Meta yang menolak pria tampan di sekolah mereka.“Apa dia tidak suka pria?” celetuk salah satu siswa yang menyaksikan penolakan tersebut. Perkataan itu terdengar ke telinga Meta. Dia melangkah begitu anggun, mendekati siswa yang mengejeknya?“Apa kamu punya
Tangannya penuh lebam, tubuhnya sudah tidak semulus dulu, dan wajahnya penuh bekas luka. Tubuh dan wajah yang dulu begitu dia kagumi, kini hanya sisa kenangan. Mimpi yang hampir dia gapai harus terkubur. Entah bisa dia bangkitkan lagi, atau akan berakhir sia-sia.“Apa mimpi terbesarmu?” tanya Xadira.Meta berhenti sejenak, memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu begitu sempurna, keinginan kaum hawa. Namun, terkadang Meta merasa ada yang berbeda saat menatap wajahnya sendiri.Meta menoleh, menatap Xadira yang tengah merapikan seragamnya. Pagi-pagi sekali, Meta meminta gadis itu datang, membantunya bersiap ke sekolah. Xadira terlalu baik dan polos, membuat semua orang meremehkan gadis itu.“Menjadi seorang model internasional, mungkin,” jawab Meta. Pada akhirnya, dia akan melanjutkan semua yang sudah dia mulai. Xadira tersenyum bangga, membantu Meta mengenakan seragamnya.“Kamu cantik, memiliki potensi untuk menjadi model terkenal. Aku percaya kamu akan mendapatkannya. Tid
Meta pasrah, hanya perlu menunggu sampai Edward selesai dan mengakhiri hidupnya. Akan lebih mudah jika Edward salah sasaran dan peluru itu menembus kepalanya. Semua akan berakhir. Dia tidak akan merasa sakit terus menerus, ditambah rasa bersalahanya akan selesai begitu saja.“Sangat tidak menyenangkan melihatmu mengorbankan diri seperti ini. Tunggu, apa kamu tau arti sebuah pengorbanan?” oceh Edward sembari mempersiapkan pistolnya. Meta hanya diam, dengan tangan memegangi apel yang menjadi sasaran peluru Edward di atas kepalanya.Meta tidak takut, sebaliknya dia begitu siap jika hidupnya berakhir detik itu juga.“Kamu pikir aku tidak mengetahuinya? Percayalah, pergorbanan ini akan berakhir sia-sia,” lontar Edward, bersamaan dengan tikus tadi dibawa masuk oleh pengawalnya.Edward tersenyum miring “Kamu pikir bisa menyelamatkannya dengan mengorbankan dirimu sendiri?” terkanya.“Bukan, aku hanya ingin mendapat hukuman. Siapa bilang aku mengorbankan diri sendiri,” sahut Meta akhirnya. Dia
Edward menggila, bukan hanya musuh yang menjadi sasarannya, tetapi juga orang-orang yang tidak berusaha melindungi Meta. Tanpa ampun, dia menghabisi orang di sekelilingnya.“Aku akan membawanya masuk,” tukas pria yang tengah menggendong tubuh Meta, yang tidak lain pria yang diselamatkan oleh Meta secara tidak langsung.Edward ingin mencegahnya. Namun, kekuasaan Regano sama besar dengan pria itu. Dia hanya bisa melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Sampai punggung Regano menghilang, pandangan Edward masih mengawasi pria itu.“Mati kalian semua!”Selanjutnya Edward benar-benar tidak memberi ampun. Terutama untuk orang yang sudaah berani melukai tawannnya. Hanya dia yang bisa melakukannya.“Ampun!” mohon orang itu, mulai terbatuk dan mengeluarkan darah. Edward menginjak dada pria yang sudah tidak berdaya itu. Edward tersenyum miring, memohon ampun padanya justru membuat semakin senang bermain-main.“Tangan mana yang udah kamu gunakan menusuk wanitaku?”“Ampuni aku. Sungguh, aku tak