Kelopak matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Kepala gadis itu terasa berputar dan pandangannya yang masih buram. Dia ingin bergerak dan baru menyadari kondisi tubuhnya yang ditahan oleh sesuatu. Meta yang baru mengingat sesuatu bergegas mengedarkan pandangannya. Sebuah ruangan yang didominasi oleh warna putih, persiss seperti tempat Edward mengeksekusi para korbaannya. Mengingatnya saja sudah membuat Meta merinding. Kini, dia berada di tempat yang sama sebagai korban.Pada akhirnya, bukan di tangan Edward dia akan berakhir tetapi di tangan seseorang yang jauh lebih mengerikan.Pintu ruangan terbuka, memunculkan seorang pria yang tersenyum sangat manis. Kalau melihatnya dalam situasi normal mungkin, Meta tidak akan berpikir kalau pria itu adalah seorang psikopat.Edward dan pria itu jelas berbeda. Edward yang memiliki hasrat menggebu, sangat temperamental dan menunjukkan dirinya yang begitu ditakuti banyak orang. Edward yang dijuluki leader. Berban
Bugh! Satu pukulan mendarat dengan keras di wajah Edward, membuat pria itu terpental. “Kamu melakukan kesalahan yang sama lagi!” tukas Regano. Pria itu menyambut Edward dengan pukulan dan tatapan penuh kebencian. Edward yang keras kepala, dan tidak pernah memikirkan dampak dari segala perbuatannya. “Apa harus dengan cara memindahkannya ke tempat ini? Xadira bahkan hampir mati gara-gara kamu mengasingkannya ke tempat ini. Tidak sedetik pun kamu memikirkannya? Setiap hal yang kamu ambil selalu tanpa pertimbangan, lalu apa gunanya kami selalu berusaha untuk di sisimu, Ed?” cecar Regano. Kekecewaan yang terbesar adalah tidak mendapatkan kepercayaan Edward sepenuhnya. “Meta pengecualian, seharusnya kamu juga tau batasannya,” sahut Edward. Pria itu memilih untuk memeriksa kondisi rumah yang sudah berantakan. Keganasan Asnaf memang tidak memiliki tanding. Jika sudah menginginkan sesuatu pria paruh baya itu akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya. “Sepertinya aku tau ke mana dia mem
Memiliki sedikit hati nurani? Xadira menyayanginya? Pertanyaan yang menghantui Edward sejak mendengar kalimat itu dari bibir Meta. Pria itu menghembuskan asap rokoknya ke udara. Langkah kaki mendekat membuat dia mendongak. Raut marah dari Azzura tampak jelas saat menatapnya. “Kamu membebaskannya begitu saja?” tanya wanita paruh baya itu. Edward mengalihkan tatapannya. Asnaf bukan orang yang bisa dikekang dengan mudah. Pria itu akan lebih nekat jika merasa butuh melampiaskan hasrat yang membuncah dalam dadanya. Edward pernah merasakannya. Keinginan untuk melihat korbannya menderita. “Kamu tau kalau dia akan terus membuat masalah, kenapa membiarkannya bebas di luar sana?” cecar wanita itu masih belum puas. “Xadira pernah jadi korban, begitu pun Meta, siapa selanjutnya? Apa kamu tidak pernah memikirkannya?” “Kalau begitu izinkan aku membunuhnya,” Azzura duduk di samping putranya. Tanpa sadar rasa dalam hatinya terus menerus tumbuh. Rasa cinta yang membuatnya buta, dan mempertahankan
Meta terus memikirkannya. Azura yang tidak percaya pada putranya sendiri. Asnaf yang memiliki gen psikopat, menjadi awal penderitaan untuk Xadira dan Edward sendiri. Perhatiannya teralih saat pintu ruangannya dibuka. “Bagaimana keadaan kamu?” tanyanya menaruh buah yang dia bawa di atas nakas. Pria itu menarik kursi untuk duduk di sebelah Meta. Pergerakan Regano tidak lepas dari perhatian Meta. Raut wajah lesu ditambah punggung Regano yang tidak tampak seteguh biasanya, menimbulkan tanda tanya besar. “Bagaimana dengan kamu?” Sebelum mengunjungi Meta di rumah sakit, pria itu lebih dulu singgah ke makan seseorang yang dulu meninggalkan luka yang tidak kunjung sembuh. Seseorang yang menjadi alasan dia tetap bertahan di sisi Edward hingga saat ini. “Regano, kamu gak baik-baik aja,” ucap Meta. Pria itu menghela napas. Meta cukup peka dengan keadaan. Gadis itu memperbaiki posisi agar lebih nyaman mengobrol dengan Regano. Ada banyak hal yang mungkin ingin pria itu sampaikan. “Apa akan ad
Sejak masuk rumah sakit, hingga masa pemulihan, Edward sama sekali tidak mengunjunginya. Bahkan Regano juga menghilang sejak bercerita tentang masa lalunya yang kelam. Hanya Ren yang sesekali mengunjunginya. Pernah satu kali dia menanyakan kedua pria itu pada Ren dan jawaban wanita itu benar-benar membuat Meta kesal. “Bukankah harusnya kamu senang? Edward gak ada artinya kamu bisa merasa tenang, tidur dengan nyaman dan sembuh tanpa siksaan dari dia, meski hanya sementara waktu, bukan?” “Apa tidak bisa jawab saja di mana mereka?” tanya Meta berusaha menahan kekesalan. “Kalau mau tau, segeralah sembuh dan kembali ke neraka, tempat tinggalmu!” Kata-kata yang mengakhiri perdebatan mereka saat itu. meski begitu, Ren selalu hadir, menemani Meta hingga gadis itu pulih dan diizinkan pulang. Meta menggoyangkan kakinya yang menggantung, sembari menunggu Ren menjemputnya. Beberapa kali dia menghela napas. Ada banyak hal yang dia lewatkan sejak masuk rumah sakit. “Udah siap?” tanya suara itu.
Aneh! Satu kata yang menggambarkan tingkah Meta saat ini. Gadis itu sejak pagi melakukan hal-hal di luar dugaan, mengekor ke mana pun Edward pergi, mengantarkan sarapan bahkan bersedia menunggu Edward selesai sarapan, meski tidak diminta.“Hari ini ada kegiatan di luar?” tanyanya.“Mau pakai setelan jas atau pakaian kasual?”Gadis itu membuka lemari pakaian milik Edward, memilah pakaian yang kebanyak berwarna hitam, entah kaus maupun setelan kemeja. Persis seperti hidup Edward yang selalu dalam kegelapan.“Bagaimana kalau pesan setelan yang lebih berwana, biar gak hitam terus?”Meta terkut saat berbalik, Edward sudah berdiri di depannya, menatapnya tajam. Mata coklatnya seolah tenggelam dalam kepekatan netra hitam milik Edward. Cukup lama, sampai Edward melangkah maju, membuat punggung Meta membentur lemari.“Ed,” gumamnya.Pria itu masih diam. Hembusan napas Edward terasa saat pria itu mendekatkan wajahnya. Dia masih diam dengan pandangan hanya terfokus pada wajah gadis di depannya.
Mimpi menjadi seorang model sudah tercipta sejak kecil. Ulang tahun pertama, saat diminta memilih benda yang menjadi masa depannya. Meta memilih foto model terkenal. Dia semakin bertumbuh dengan tubuh serta wajah yang mendukung untuk mewujudkan mimpinya. “Meta menang, Ma!”Piala pertama dalam fashion show cilik membawa dia ke mimpi yang lebih besar. Orang tuanya juga menjadi pendukung setianya. Dia bertumbuh di keluarga yang tepat. Meta mulai rutin olahraga, menjaga penampilan dan pola makan, bahkan mengikuti ekstrakulikuler yang berhubungan dengan mimpinya.Jalan yang dia lalui tentu tidak selalu lurus, pasti ada tikungan atau bahkan perempatan yang membuat dia kesulitan untuk memilih. Saat memasuki junior high school, dia mencapai titik nadir. Titik di mana dia tidak memiliki harapan untuk bangkit. Sebuah acara yang cukup besar, menjadi langkah awal bagi mereka yang ingin terjun di dunia fashion. Acara penentu ke mana dia akan melangkah selanjutnya. Meta sudah disiapkan sedemikia
Janji ditepati. Edward mempertemukan Meta kembali pada mimpi lamanya. Tidak banyak yang berubah dari temat itu, rumah kedua, juga tempatnya memperjuangkan mimpi. Sebuah agensi yang menaunginya, memperkenalkannya lebih jauh tentang dunia modelling. Seorang wanita paruh baya yang amat familiar menyambut mereka. “Meta, akhirnya kamu kembali juga. Kamu tau, semua orang merindukanmu! Ke mna aja? Aku mencoba menghubungi Keith, tetapi dia juga tidak tau ke mana kamu pergi. Apa yang sebenarnya terjadi?” cecar wanita itu. Vilia namanya, manajer Meta dulu. Meta mengulas senyum kecut. Banyak orang yang menunggu dia kembali. Kariernya sedang melejit saat satu kesalahan kecil membawanya ke titik kehancuran. Dia menoleh, bertukar pandang dengan Edward. “Tidak apa! Kita bisa memulai lagi dari awal. Ehm, kita bisa memulai dengan mengadakan konferensi pers atau acara kecil untuk merayakan kembalinya kamu. Pasti berhasil, nama kamu akan segera kembali,” ucapnya penuh semangat. Vilia sudah banyak ber
Dua tahun berlalu begitu saja. Dengan sedikit bantuan dari world agency hukumannya bisa selesai lebih cepat. Dia kini bisa menghirup udara dengan bebas. Tangannya terentang, menyambut dunia barunya.Mobil hitam berhenti, membuat senyumnya semakin lebar.“Selamat datang kembali, Edward,” sapa Regano.Tidak ada embel-embel ‘tuan’ lagi, karena sejak hari itu mereka hanyalah saudara yang akan memulai hidup baru. Edward terkekeh, lantas masuk ke dalam mobil, mendahului sang supir.“Bagaimana keadaannya?”Sebulan yang lalu, dia akhirnya mendengar berita terbaiknya. Meta akhirnya bangun setelah tidur cukup lama. Edward sungguh berpikir tidak memiliki kesempatan untuk bersama wanitanya lagi. Namun, harapan itu sedikit memudar kala mengetahui kalau Meta kehilangan cukup banyak kenangannya.“Keadaannya mulai membaik, meski harus menjalani latihan untuk bisa berjalan lagi,” jelas Regano.Selain memori, Meta juga sempat tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya atau disebut lumpuh total. Sebulan t
Dia terlahir dengan julukan monster, tatapan benci bercampur rasa takut yang sering dijumpainya. Bukan hanya orang-orang, bahkan ibunya tak pernah mau menatapnya sebagai seorang putra. Bertahun-tahun, dia hidup dalam kegelapan. Edward Leonardo, namanya. Si pria berhati dingin dan beku. Tidak ada cinta, bahkan tidak ada rasa sedikit pun. Ditolak oleh orang-orang memaksa kepribadian gelapnya muncul. Asnaf adalah role model yang dia miliki, satu-satunya. Hanya Asnaf-yang sama dengannya- yang mau dekat dengan Edward. Asnaf membesarkannya dengan cara yang salah, hingga Edward tumbuh sesuai keinginan pria psikopat tersebut. Waktu berjalan begitu cepat. Edward yang tanpa perasaan, dinobatkan sebagai leader dalam organisasi besar dunia. Mafia yang akan mengambil organ milik orang lain yang tak mampu memenuhi target. Apa saja, termasuk hidup mereka jadi jaminannya. “Kamu hanya perlu menjalani hukuman penjara selama dua tahun, leader,” ucap Mr. Secret A. Tidak ada pilihan. Masalah sudah mera
Bagi Dion terlalu mudah mengakhiri rasa sakit hanya dengan membunuh Edward. Bertahun-tahu dia hidup dalam penderitaan setelah kehilangan gadis yang dia sayangi, sementara Edward terus beraksi tanpa takut sedikit pun. Kali ini, dia hanya ingin pria itu merasakan penderitaan yang sama dengannya. Dia ingin Edward merasakan ketakutan yang luar biasa. “Kamu pikir aku akan mudah melakukannya?” Dion terkekeh, menarik Meta agar mengikuti langkahnya. Tidak seorang pun berani melangkah. Meta menangis, menatap Adam yang semakin melemah. Dia sungguh ingin berlari dan memeluk pria tersebut. “Tolong Papa,” gumam Meta sebelum Dion memaksanya masuk ke dalam mobil. Edward menurut, menyuruh anak buahnya untuk segera membawa Adam ke rumah sakit. Dia dan Regano akan mengejar mobil yang Dion bawa. Di dalam mobil Meta hanya terus menangis, bukan karena dirinya dalam bahaya, melainkan karena takut tidak bisa melihat Adam lagi. “Kamu hebat! Aku akui itu. Kamu bisa membuat leader tergila-gila, bahkan tak
Kakinya terus melangkah, tanpa keinginan melihat ke belakang. Dia semakin jauh ke dalam kegelapan, ke tengah pepohonan yang semakin menjulang tinggi. Rasa takut kerap muncul. Namun, tekad untuk segera pergi dari tempat itu tak kalah besar. Dia terus melangkah lebar. Sebelah tangannya memegang satu-satunya pistol yang jadi alatnya untuk saat ini.Dor!Dia kembali menembak di salah satu pohon, memberi petunjuk. Dia sadar akan ada seseorang yang mencarinya nanti. Petunjuk itu akan membantunya untuk ditemukan lebih mudah.“Sssh, bertahanlah, Nak. Kita akan segera keluar dari tempat ini,” gumamnya mengelus perutnya yang semakin perih.Sesuatu yang buruk bisa terjadi jika dia terlambat keluar dari tempat itu.“Awss,”Pada akhirnya, Meta kehilangan tenaga untuk terus melangkah. Rasa sakit melanda seluruh tubuhnya, bukan hanya perut. Napasnya mulai tercekat, pelipinya dipenuhi keringat. Tubuhnya lemas, seolah tenaganya terserap habis tanpa sisa.“Ed, tolong,” gumamnya lirih. Dia bersandar di
Dari mana semua permasalahan ini bermula? Rasa cinta yang tidak bisa dikendalikan adalah awal semua dimulai. Azura jatuh hati pada pangeran kegelapan. Jika waktu diputar dan Azura tidak pernah menikah dengan Asnaf, mungkin kisah ini gak akan dimulai. Tidak ada Edward atau pewaris gen psikopat dari pria kegelapan tersebut. Satu sisi, jika saja Dion tidak jatuh hati pada gadis kecil itu, pasti tidak akan ada akar pahit, hingga sejauh ini.Rasa yang tak seharusnya hadir, terkadang menjadi sebuah kesalahan, menjadi pemicu akan skenario yang lebih rumit. Akan tetapi, apakah manusia bisa mengatur segalanya? Tentu saja tidak.Sebagai seorang anak, Edward dulunya selalu mengikuti jejak Asnaf, sampai semua semakin memburuk saat Asnaf hampir saja menjadikan Xadira-putrinya sendiri- sebagai korbannya. Edward jelas tidak terima, dan memutuskan untuk mengurung Asnaf selama bertahun-tahun. Pada awalnya, pria itu akan rutin memerintah anak buahnya mengirimkan beberapa ekor kelinci sebagai pemuas has
Meta berusaha menahan diri untuk meneriaki Dion sekarang juga. Rasa bencinya menumpuk begitu mengetahui kalau Dion yang memaksa Xadira melompat dari atas gedung. Perlahan tangannya menyusup ke sela kemeja yang dikenakannya, meraih sesuatu dari dalam sana. “Kamu tidak ingin minum dulu, manis? Bukankah kamu butuh tenaga untuk menghadapi ini semua?” Dion menyodorkan segelas susu. Awalnya Meta curiga, tetapi juga tidak memiliki pilihan lain. Dia menegok cairan kental berwarna putih itu meski sedikit. “Manis sekali,” tangan Dion terulur, membersihkan sisa susu di bibir Meta. Pria itu tersenyum hingga memunculkan lesung pipinya. Dia memperhatikan detail wajah Meta, sangat indah. Pantas saja Edward yang notabenya tidak memiliki hati, bisa luluh pada gadis itu, bahkan sampai membuat Meta mengandung keturunannya. “Seandainya kita bertemu lebih awal, mungkin aku akan jatuh cinta padamu. Sayang sekali, kamu adalah milik dari musuhku sendiri,” lontar pria itu lebih mirip seperti psikopat menge
Satu per satu kebenaran terungkap. Edward yang ternyata tidak mewarisi gen dari Asnaf. Banyak hal yang berubah akibat satu kebenaran yang disembunyikan. Azura jelas tidak terima akan kegagalan itu. Saat itu juga, dia mengajukan agar rumah sakit tersebut ditutup, didukung dengan data yang ada. Akan lebih banyak korban jika rumah sakit itu terus beroperasi. “Mulai sekarang, kamu harus hidup normal. Kalau perlu keluar saja dari world agency,” pinta Azura. “Tidak semudah yang Mama pikirkan,” Azura mengangguk paham. Perlahan, dia ingin Edward menjalani hidup selayaknya pemuda pada umumnya. Mungkin, jika Meta mau kembali, hidup putranya itu akan lebih sempurna. “Soal Meta, Mama sungguh minta maaf udah buat kalian takut memiliki anak. Sekarang, Mama justru ingin segera menimang cucu. Melihat keriput yang semakin banyak, rasanya tak sabar dipanggil nenek,” Azura terkekeh, membayangkan dirinya menimang bayi mungil. Dia bisa menebus kesalahan dengan membantu Meta membesarkan cucunya dengan
Saat kesempatan itu datang, Meta hanya ingin memperbaiki apa yang rusak di antara dia dan Edward. Mungkin cara Xadira salah, tetapi dia tetap seorang adik yang ingin saudaranya sembuh. Jika aku tidak bisa, maka setidaknya kamu harus membantu Bang Edward untuk sembuh. Tolong, wujudin mimpi aku, Ta. Meta akhirnya membuka mata. Mimpi itu kembali, mimpi yang sama di mana Xadira muncul dan memintanya untuk kembali. Xadira berkali-kali mengigatkannya untuk berhati-hati dengan Dion. “Sudah bangun, manis?” Meta menoleh, Dion tersenyum miring. Meta memegangi keningnya yang terasa pening, baru sadar ada cairan kental berwarna merah di tangannya. Benar juga, dia sempat kejar-kejaran sebelum kecelakaan itu terjadi. Rasa pusing menyerangnya, tetapi itu tidak seburuk rasa khawatir pada anaknya. Meta memegangi perutnya, bersyukur tidak terjadi hal buruk pada anak itu. “Kamu butuh sesuatu?” tanya Dion bersikap sok manis, hingga membuat Meta ingin muntah di hadapan pria itu. Si perusak yang mengha
Perkembangan baru terlihat hari ini, setelah dua bulan berlalu. Kelopak mata sang leader akhirnya menunjukkan pergerakan, sebelum akhirnya terbuka. Langit-langit putih menyambutnya. Pertama kali selam hidupnya, dia terbaring selama itu di rumah sakit.Pintu ruangan yang terbuka, menarik atensi pria itu. Wajah Azura tampak sembab, kantung matanya menghitam bersama kerutan yang menandakan usia wanita itu yang semakin menua. Sudut bibir Azura terangkat, membentuk lengkungan sabit tipis.“Akhirnya kamu bangun juga, Nak,” gumam Azura penuh haru.Dua bulan dipenuhi rasa takut akan kehilangan. Hanya Edward yang kini dia miliki. Tangan Azura terulur, membantu pria itu untuk duduk, lantas menyodorkan air minum untuknya. Meski tampak enggan, Edward tidak menolak semua bantuan wanita tersebut.“Mama baik-baik aja?”Tangis Azura pecah mendengar pertanyaan putranya. Tak menunda lagi, dia memeluk tubuh putranya dengan lembut. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan hati Azura saat ini. Hanya tangi