“Pergi!”
Pyar!
Pyar!
Terdengar teriakan keras dari dalam kamar disertai suara benda pecah, mungkin gelas yang jatuh dari meja atau vas yang sengaja dibanting. Dua pria berpakaian serba hitam berlari menerjang pintu kamar itu.
“Dok, mari!” pinta Baron, salah satu dari pria berpakaian hitam itu, seraya menarik lengan Raanana.
Raanana mendengar dengan jelas ajakan pria di sampingnya. Namun, dia masih terpaku di sana. Napasnya turun naik, kaget bercampur bingung. Ini sudah satu bulan sejak terakhir kali pasiennya bersikap demikian. Apalagi yang salah? Raanana menelan ludahnya, “Theo?” panggilnya pada sosok yang masih mengamuk di depannya. Psikiater itu mencoba memastikan keadaan pasiennya sekali lagi.
Namun, jangankan membalas panggilan Raanana, pria satunya yang datang bersama Baron saja terlihat mulai kuwalahan menenangkan pasiennya itu.
“Dokter Raana!” panggil Baron hampir berseru.
Raanana terkejut dan menatap pria di sebelahnya yang mulai tidak sabar. Pria itu mengkhawatirkan keselamatannya, namun Raanana malah seakan-akan lupa pada nasibnya jika terus berada di kamar ini. Akhirnya, dia menarik napas dan menuruti arahan Baron. Raanana keluar dari kamar itu bersamaan dengan masuknya dua orang pria lain yang datang hendak membantu rekan Baron.
Sudah sepuluh tahun ini, Raanana bekerja pada keluarga Johansson, keluarga kaya yang masih keturunan bangsawan campuran antara pribumi asli dengan bangsa Eropa. Bahkan bisa dikatakan bahwa Raanana sudah dikontrak mati oleh keluarga itu sebagai psikiater khusus yang menangani satu-satunya putra tunggal keluarga Johansson yang telah lama menderita sejenis kelainan mental.
Secara umum, putra tunggal keluarga Johansson tampak biasa saja. Dia tumbuh sebagai seorang pria dengan fisik yang nyaris sempurna bahkan dalam pendidikan ‘home schooling’ yang dia tempuh, sang putra mendapat predikat luar biasa. Tampan, gagah, cerdas, dan kaya. Nyaris tidak ada yang bisa ditolak darinya. Hanya saja, suatu trauma masa kecil mengacaukan otaknya. Dua hingga tiga kali dalam seminggu, pria itu menggila. Dia tidak menyerang orang lain, namun lebih cenderung berusaha ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Meskipun demikian, dia tetap akan menyerang siapapun yang berusaha menolongnya.
“Mereka sudah memberikan suntikan penenang pada Tuan Muda,” lapor Baron.
Laporan itu disambut anggukan oleh Tuan Johansson yang segera meminta Baron pergi dengan isyarat tangannya.
Raanana menggigit bibir sambil memegangi kepala. Untung saja para perawat pria dan para pengawal keluarga Johansson itu sigap, jika tidak mungkin kini dia akan lebih menyalahkan dirinya yang terlalu percaya diri. Usia Raanana memang tidak lagi muda dan sudah banyak pasien sakit jiwa yang sembuh total dengan arahan tangan dinginnya. Namun, pasien kali ini, hampir membuatnya menyerah jika bukan karena ibu dari sang pasien yang merupakan sahabat dekatnya.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya istri Tuan Johansson entah pada siapa. Sementara dua orang yang berdiri di ruangan yang sama dengannya pun tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
“Kadar stresnya semakin tinggi akhir-akhir ini,” celetuk Raanana. “Tapi, anehnya dia diam. Aku pikir terapinya berfungsi, ternyata aku salah. Maafkan aku, Amanda!” pintanya seraya tertunduk.
“Tidak, Raa!” istri Tuan Johansson mendekati Raanana. “Justru kamilah yang minta maaf karena telah membuatmu ikut terjebak dalam masalah ini.”
“Aku senang bisa membantu kalian,” ujar Raanana.
“Aku bersedia melakukan apa saja. Jika saja aku bisa memutar waktu dan tidak meninggalkan mereka hari itu,” kata Tuan Johansson menyesali masa lalu.
“Sudahlah, Nick. Tidak ada gunanya penyesalan itu,” ujar Raanana.
“Lalu, aku harus apa, Raa? Seumur hidup aku mencari semua cara untuk membantunya, tapi kamu melihatnya sendiri. Dia justru semakin kehilangan jati dirinya,” suara Tuan Johansson semakin putus asa.
“Dia hanya butuh teman, Nick!” ujar Raanana lagi.
“Tapi, Raa. Siapa yang mau berteman dengan putraku?”
Raanana menarik napasnya. “Aku akan mencarikannya. Seorang teman yang juga mampu memahami kondisinya,” janji Raanana, memberi harapan di tengah asa yang mulai terkelupas itu.
***
Hari telah gelap ketika sebuah minibus berhenti di depan rumah berpagar rendah yang catnya telah kusam. Seorang wanita berusia dua puluhan turun darinya dengan tas kecil di punggung sedangkan tangannya menarik keluar sebuah koper besar. Koper itu berisi semua pakaian yang beberapa jam lalu masih tertata rapi di kamar kontrakannya. Namun, kini kamar itu telah kosong karena penyewa kontrakan terpaksa pulang sebab suatu hal yang amat mendesak.
Seorang wanita paruh baya datang tergesa menyongsong kedatangan wanita tadi. Dengan cepat dia membuka pintu gerbang dan membantu membawakan koper.
“Udahlah, Ma! Aku aja,” wanita muda tadi menolak bantuan si wanita paruh baya.
“Rora, kamu kan capek. Sini biar Mama yang bawa!”
Aurora atau sering dipanggil dengan Rora saja akhirnya membiarkan ibunya menenteng koper besar miliknya. Tangannya meraih pintu gerbang dan menutupnya sambil melihat sekeliling, rumahnya masih sama. Tidak ada yang baru bahkan justru semakin terlihat butuh renovasi di sana sini.
Sesampainya di dalam, Aurora disambut oleh seorang wanita lagi, kakaknya.
“Maaf, memintamu pulang mendadak,” pinta Riana.
Aurora mengangguk, “Dia sedang tidur?”
Riana mengangguk, “Batuknya semakin parah.”
Aurora mengusap gusar wajahnya. Seingatnya, ayahnya tidak memiliki riwayat penyakit apa-apa. Namun, sebulan terakhir ini, tiba-tiba saja ayahnya itu sering jatuh sakit.
“Jangan beritahu Sofia,” lirih Riana. “Papa nggak mau kuliah kedokterannya terganggu.”
Aurora mengangguk lagi. Dia sangat memahami bahwa ayahnya sangat memikirkan ketiga putrinya bahkan lebih dari diri sendiri.
“Gimana izin praktek mandirimu?” tanya Aurora setelah duduk berdua dengan Riana di ruang tamu cukup lama. Ibu mereka sudah kembali masuk ke kamar sang suami setelah membawakan koper Aurora ke dalam kamarnya. Tadinya ibunya hendak membuatkan minum, namun Aurora menolak. Dia tahu bahwa ibunya itu sedang ada dalam kondisi yang tidak cukup baik untuk mengurusi juga anak-anaknya yang telah dewasa.
“Masih proses,” jawab Riana. “Sebenarnya, aku menggunakan separuh biayanya untuk pengobatan Papa,” tambahnya lirih.
Aurora menghela napas berat, sepertinya bukan hanya dia satu-satunya yang harus berkorban di sini. Namun, di sisi lain dia bersyukur. Pengorbanan yang dilakukan ayahnya demi masa depan putri-putrinya telah mengajarkan pada mereka bahwa satu keluarga ini harus saling bahu membahu.
“Apa diagnosanya?” tanya Aurora lagi.
Namun, tidak ada jawaban.
“Kak?”
Masih tidak ada jawaban, kecuali air bening yang mulai meleleh di sudut mata Riana. Ruang tamu sedikit remang karena lampu utama telah dimatikan demi alasan penghematan. Namun, Aurora memiliki penglihatan yang masih sangat normal, dia dengan jelas mengetahui bahwa kakak sulungnya itu menangis.
“Ada apa?”
Terdengar isak yang berusaha ditahan, “Ada biaya yang harus dilunasi, klo nggak Sofia nggak akan bisa ikut ujiannya. Jadi, … ,” kalimat Riana terputus karena isaknya yang semakin menguasai.
“Berapa biayanya?”
“Seratus juta.”
Aurora merasakan dadanya sesak tiba-tiba. Dari mana keluarganya mendapat uang sebanyak itu di saat kritis seperti ini?
“Apa kita berhutang?” tanya Aurora seraya menatap kakaknya.
Riana menggeleng.
“Apa yang kita lakukan, Kak?” tanya Aurora lagi dengan suara mulai parau.
“Papa memberikan ginjalnya pada seorang pasien di rumah sakit dan mendapatkan uang itu sebagai imbalannya!”
Riana semakin terisak sementara Aurora mulai merasakan seluruh tubuhnya gemetar. Dia tidak ingin air matanya juga ikut keluar. Sekuat tenaga dia menahannya agar jangan sampai ibunya turut datang ke ruang tamu dan melihat kesedihan yang akan menambah berat beban hidup. Jadi, Aurora menggigit bibirnya. Dia biarkan teriakan sedihnya hanya bergema dalam hati.
****
Pagi kembali datang, Candra bisa merasakannya lewat samar-samar sinar matahari yang menembus tirai jendela kamarnya. Dengan sedikit kesulitan, Candra menarik napasnya dan mengarahkan tangan ke meja kecil di samping ranjang, dia hendak mengambil segelas air yang ada di atasnya. Pyar! Terdengar suara gelas terjatuh dan pecah berserakan. “Papa?” seseorang yang tadinya masih terlelap akhirnya bangun sebab terkejut. Itu istri Candra, Agni. “Maaf,” ucap Candra. “Aku hanya tidak ingin membangunkanmu,” jelasnya.
“Kastil?” tanya Tita seraya mengernyitkan kening. Kaira mengangguk, “Klo nggak percaya, tanya aja sama dia,” ucap wanita berambut keriting itu sambil menunjuk teman satunya. “Beneran, Ro?” tanya Tita lagi memastikan. Aurora mengangguk tidak berselera. Matanya masih sibuk dengan layar laptop dan tugas kuliah yang harus selesai secepatnya. Dia tidak seperti dua temannya yang sejak tadi santai-santai. “Ada yang tinggal di sana?” tanya Tita semakin penasaran saja. &
“Pekerjaannya adalah merawat seorang tawanan, apa Nona Aurora bersedia?” Aurora menatap Ken dengan mata bulatnya. Pria jangkung itu pun tidak memalingkan wajah darinya. “Nona?” “Panggil Aurora aja!” pinta Aurora. “Ok,” angguk Ken. “Jadi, kamu bersedia?” Aurora tidak kunjung menjawab pertanyaan yang diberikan Ken, melainkan sekali lagi menatap berkeliling. Dia masih cukup takjub dengan dekorasi dan segala orn
“Daging segar!” celetuk sebuah suara. “Cantik, sih! Tapi, tahan berapa lama?” timpal lainnya. “Dipikir wanita penghibur,” sahut yang satunya lagi. Dan setelahnya, Aurora selalu mendengar suara tawa yang amat merendahkan dari para pelayan itu. Awalnya Aurora berusaha biasa saja, namun saling lempar kalimat cibiran itu semakin lantang mereka cuitkan setiap harinya. Seakan-akan mereka menganggap pekerjaan Aurora ini adalah pekerjaan yang paling rendah di kastil ini. Aurora menyeruput minumannya. Ini adalah i
Raanana sedang termenung di depan jendela ruangannya saat Aurora masuk bersama Ken. Dia segera berbalik dan begitu terlihat khawatir saat melihat kondisi anak teman SMA-nya itu. “Mereka sudah mendapat peringatan. Jika terjadi lagi, otomatis akan diberhentikan,” ujar Ken. Raanana mengangguk, “Lanjutkan tugasmu,” katanya pada Ken. Aurora diam seraya menatap pria tinggi yang beberapa saat lalu menolongnya dari amukan para pelayan gila itu. Andai Ken terlambat, mungkin saja dirinya telah menjadi kue pie atau bahkan sup. &
Putih. Di setiap mata terbuka yang tampak hanyalah warna putih, dinding-dinding bangunan megah berwarna putih. Jenuh? Iya, namun keluar dari sana akan membahayakan lebih banyak orang lagi. Dan Aaron Theodore Johansson tidak mau melakukannya. Lagi. Tidak lagi. Lalu, dua puluh tahun ini dia habiskan di kastil megah dengan nuansa warna putih itu. Setidaknya dengan cara ini akan ada banyak orang terlindungi, termasuk orang tuanya sendiri. Dalam alam bawah sadarnya, dia paham bahwa dunia tetap harus berputar meskipun seorang pewaris kaya sepertinya mati membusuk dengan kondisi mengenaskan. Namun, semenjak p
Usianya masih muda, namun tahun ini dia akan berulang tahun untuk yang ke dua puluh lima kalinya. Tidak terasa sudah dua puluh tahun berlalu. “Gael!” Ya, Gael. Dia adalah Gael, model pria berbakat yang belakangan menjadi ikon di mana-mana. Wajahnya terpampang di banyak sampul majalah ternama. Sebenarnya, ini bukan soal uang sebab pria ini telah kaya sejak lahir di dunia. Hanya saja, pria tampan sepertinya jika tidak populer, apa gunanya? “Dia kumat lagi?” tanya Gael pada orang yang baru datang itu. Io yan
Pelan. Namun, ketika matanya terpejam Aaron merasakan indera pendengarannya semakin tajam. Dengan cepat dia membuka matanya. Dia mencoba menerka, siapa gerangan yang masuk itu. Dan betapa leganya dia ketika menyadari bahwa itu adalah perawatnya. Sejujurnya, Aaron ingin melihat keadaan wanita itu secara langsung. Namun, mungkin saja Aurora masih ketakutan. Oleh sebab itu, Aaron hanya menunggu hingga waktu minum obat tiba. Tadinya, Aurora juga ingin melihat keadaan pasiennya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangannya. Namun, ekor matanya menangkap suasana yang sedikit berbeda. Sepertinya pria itu sedang
“Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K
Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&
“Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula
Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua
Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n
“Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k
Brakh! Pria paruh baya itu terkejut mendengar suara meja yang sengaja digebrak oleh atasannya. “Hei, Pak Tua!” kata Aaron. “Aku dianggap gila selama puluhan tahun. Tapi, aku lebih cerdas darimu! Aku bahkan bisa membuat laporan semacam itu hanya dengan mata tertutup! Jadi, selama ini apa kerjamu?” teriaknya bertubi-tubi. Baron melirik pengawal yang berdiri tegap di sebelahnya, sesama rekan abdi setia yang berpindah haluan seiring tahta yang beralih dari sang ayah ke putra tunggalnya. Dia tidak sedang bermain mata, melainkan memberikan kode pada rekannya itu bahwa malam ini mereka be
Gael datang menemui Alice seusai sidang yang menjatuhkan vonis pada wanita itu bahwa dia sedang ada dalam gangguan jiwa. Kondisi Alice tidak banyak berubah, kecuali rambut yang tampak kusut dan tatapan kosongnya. Gael menggeleng lemah. Seperti itulah akhir untuk orang yang terlalu mengikuti ambisi dalam diri. “Bisa buka aja borgolnya?” pintanya pada salah seorang petugas yang mendampingi Alice. Gael merasa iba pada wanita itu. “Untuk apa kamu datang? Mau menertawakan aku?” Tidak Gael sangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan itu dari Alice yang sudah lesu dan layu.&n
Dua sepupu itu datang hampir bersamaan dan bertemu di perempatan sebuah lorong. Mereka itu Gael dan Ken yang kemudian melihat apa yang Nick lakukan pada Aurora. Mereka juga menjadi saksi bagaimana bibi mereka membela wanita itu. Tentu saja itu di luar dugaan, namun melihat dari yang terjadi sepertinya memang hati seorang ibu lebih mudah luluh daripada seorang ayah. “Aku lelah,” tutur Amanda. Nick diam menatap istrinya. Cinta pertamanya itu terlihat berbeda dari wanita yang dikenalnya selama ini. “Nyonya Johansson, Anda tidak perlu … .”&n