“Daging segar!” celetuk sebuah suara.
“Cantik, sih! Tapi, tahan berapa lama?” timpal lainnya.
“Dipikir wanita penghibur,” sahut yang satunya lagi.
Dan setelahnya, Aurora selalu mendengar suara tawa yang amat merendahkan dari para pelayan itu. Awalnya Aurora berusaha biasa saja, namun saling lempar kalimat cibiran itu semakin lantang mereka cuitkan setiap harinya. Seakan-akan mereka menganggap pekerjaan Aurora ini adalah pekerjaan yang paling rendah di kastil ini.
Aurora menyeruput minumannya. Ini adalah istirahat hari keduanya. Sebenarnya tidak ada waktu istirahat resmi, mengingat jam kerja Aurora yang nonstop. Namun, sebagai manusia, Aurora tetap butuh itu. Dia melihat ke jendela, memandangi deretan bangunan kastil yang megah itu. Tempat yang seepik ini dibangun hanya untuk menjadi topeng, jadi yang tersisa hanyalah kesunyian.
Sejak dulu, Aurora tidak bisa mencerna. Bagaimana orang-orang kaya suka menggunakan uangnya untuk alasan yang hampir di luar nalarnya. Sedang di tempat lain, orang seperti ayahnya berusaha sampai titik darah penghabisan demi hal lain.
Dengan berat Aurora menarik napas dan membawa langkahnya masuk untuk kembali menemui perawat jaga.
“Cepat sekali?” tanya Maria, perawat yang sudah dua hari ini berbaik hati. Dia selalu mengingatkannya untuk mengambil setidaknya lima belas menit ‘me time’ .
Aurora mengangguk, “Terima kasih,” katanya.
Wanita dua anak itu mengangkat bahunya. “Kamu tau?” tanyanya lagi.
“Apa?”
“Dari sekian banyak ‘perawat kamar khusus’ itu, cuma kamu yang ‘cukup ringan’ langkahnya.”
“Aku nggak punya alasan untuk mundur,” ucap Aurora dengan senyum. Dia sedikit merasa geli dengan sebutan ‘perawat kamar khusus’ dari Maria.
Cukup lama kiranya Maria dalam hening. Dia menatap Aurora. Lalu katanya, “Saranku, jangan pernah dengarkan ucapan-ucapan para pelayan itu!”
Maria pergi seraya menepuk pundak Aurora.
Aurora sempat terkejut, dia bahkan belum cerita pada siapapun soal cibiran-cibiran yang dia terima. Namun, seolah-olah hal yang Aurora alami sudah terjadi sebelumnya. Jadi, dia mengangguk saja.
Hari berikutnya, Maria sedang cuti. Ini adalah hari ketiga Aurora bekerja. Dia mencoba bekerja seperti protokol yang ada. Bekerja sesuai aturan yang ditetapkan padanya, meskipun pasiennya sendiri sulit menerima keberadaannya. Ya, sudah tiga hari ini, Theo menolaknya. Pria itu hanya mau dilayani oleh perawat jaga atau lebih tepatnya siapapun selain dirinya. Aneh. Aurora pikir, ucapannya yang begitu percaya diri hari itu akan membuat hati pasiennya tersentuh, namun Theo tidak demikian.
Tiba waktunya makan siang, namun tidak ada satu pun pelayan yang datang membawa makanan untuk Theo. Aurora menengok pasiennya, seperti biasa Theo hanya termenung di depan jendela. Dia selalu seperti itu, lalu malam harinya kembali ke ranjangnya untuk tidur. Jangankan melirik Aurora, pria itu benar-benar hanya menganggapnya angin.
Namun, setidak suka apapun Theo padanya, pasiennya itu tetap butuh makan. Jadi, tidak ada cara lain, Aurora harus ke dapur.
“Di mana makan siang untuk pasien?” tanyanya pada salah seorang pelayan.
Sayangnya, tidak ada satu pun pelayan yang menjawabnya. Mereka hanya menatap Aurora dengan wajah datar. Aurora mencoba sabar dan mencari sendiri apa yang dia butuhkan. Walaupun ini sangat mengherankan, tidakkah terlalu lucu saat seorang perawat sepertinya harus beradu otot dengan bagian dapur?
Datanglah seseorang yang membantu Aurora, sekedar mengambilkan nampan. Namun, tiba-tiba datang sebuah hardikan.
“Kamu lagi apa, Thea?”
“Aku mengambilkannya nampan, Agatha!” ucap pelayan yang dipanggil Thea itu.
“Kan udah aku bilang, sih. Nggak usah bantu ‘wanita penghibur’ ini!”
Aurora menggigit bibirnya, namun hendak dijungkir balikkan macam apa, stigma ‘wanita penghibur’ sangat terdengar miring untuknya.
“Kamu keterlaluan, Tha!” ucap Thea lagi dan pergi.
Dengan satu mata, Aurora melirik langkah kesal pelayan yang hendak berbaik hati padanya itu. Sepertinya, pelayan itu kasihan padanya yang diperlakukan secara tidak wajar.
“Heh, Pelacur!” hardik Agatha lagi.
Aurora masih diam. Dia mencoba mengurusi urusannya sendiri dan ingin secepat mungkin pergi dari dapur.
Grompyaang!
Mendapat cibiran, makian, juga kata-kata yang tidak sopan itu, Aurora masih bisa menerima. Namun, pelayan bernama Agatha itu sudah sangat keterlaluan saat dengan sengaja menyenggol nampan berisi makan siang pasiennya.
“Apa maksud kamu sebenarnya?” tanya Aurora.
Agatha tertawa sinis, “Kamu berani juga, Pelacur?”
“Aku bukan pelacur!” tegas Aurora.
“Terus apa sebutan untuk seorang wanita yang sekamar dengan seorang pria yang nggak punya hubungan apapun dengannya?”
“Kalian semua jelas tau kenapa aku harus melakukan itu. Aku datang sebagai perawat bukan untuk hal lain, paham?” Aurora mulai menunjukkan kekesalannya.
“Udahlah,” kata Agatha. “Kamu pergi aja seperti perawat lainnya. Jelas-jelas, Tuan Muda nggak suka sama kamu.”
“Apa masalahmu sebenarnya?” tanya Aurora.
Agatha menghela napasnya, seolah-olah dia menganggap Aurora adalah orang bodoh.
“Aurora. Itu namamu, kan?” tatap Agatha seraya mendekat.
“Memangnya kenapa klo namaku Aurora?”
“Aurora, dengarkan aku baik-baik. Jangan karena kamu cantik, kamu bisa seenaknya di sini. Asal kamu tau, aku adalah kepala pelayan di kastil khusus ini. Semua perawat jaga dan pengawal Tuan Muda tau itu. Jadi, sopanlah sedikit.”
“Sejak tadi, aku berusaha sopan. Semua orang tau, klo kamu yang membuat keributan.”
“Jangan lancang!” bentak Agatha.
Aurora menggelengkan kepalanya. Sebenarnya, ada berapa banyak orang gila di kastil ini batinnya.
“Apa mau kamu?”
“Pergi dari sini! Jangan pernah kembali!” kata Agatha.
“Bukan kamu yang berhak mengatur pekerjaanku.”
“Hanya kami yang boleh melayani Tuan Muda!”
“Astaga! Jadi, ini cuma soal itu?” desis Aurora. Dia akhirnya paham maksud para pelayan ini. Keberadaan Aurora yang dua puluh empat jam itu ternyata membuat para pelayan ini cemburu.
“Kami memang pelayan di sini. Tapi, kami dibekali semua hal khusus yang bisa membuat orang seperti kamu menjadi nggak penting di tempat ini. Para perawat jaga itu telah cukup dan Tuan Muda nggak pernah suka dengan pelacur macam kamu!”
Aurora menghela napasnya, “Hei, Agatha!” katanya. “Aku datang atas rekomendasi dokter Raanana. Dia yang menangani secara khusus Tuan Muda kalian itu. Pasti ada alasan mengapa seorang perawat sepertiku dibutuhkan. Jadi, mulai sekarang jangan ganggu aku. Mari kita kembali ke ‘jobdesk’ masing-masing!”
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi Aurora.
“Dibilangin bukannya nurut, malah nantang! Kasih wanita ini pelajaran!” seru Agatha.
Aurora melihat seisi dapur, ada lebih dari lima orang di sana selain Agatha. Dan sayangnya, mereka semua ada di bawah kendali pelayan gila itu. Aurora kalah jumlah. Detik berikutnya, dia mulai mendapatkan perlakuan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuhnya. Para pelayan itu bagai sekelompok wanita yang melabraknya seperti seorang wanita yang mencuri pria idola mereka. Aurora memejamkan matanya sembari menahan semua rasa sakit yang diterimanya. Terjawab sudah mengapa perawat-perawat sebelumnya lari tunggang langgang. Rupanya di dalam kastil ini banyak sekali orang dengan gangguan jiwa.
****
Raanana sedang termenung di depan jendela ruangannya saat Aurora masuk bersama Ken. Dia segera berbalik dan begitu terlihat khawatir saat melihat kondisi anak teman SMA-nya itu. “Mereka sudah mendapat peringatan. Jika terjadi lagi, otomatis akan diberhentikan,” ujar Ken. Raanana mengangguk, “Lanjutkan tugasmu,” katanya pada Ken. Aurora diam seraya menatap pria tinggi yang beberapa saat lalu menolongnya dari amukan para pelayan gila itu. Andai Ken terlambat, mungkin saja dirinya telah menjadi kue pie atau bahkan sup. &
Putih. Di setiap mata terbuka yang tampak hanyalah warna putih, dinding-dinding bangunan megah berwarna putih. Jenuh? Iya, namun keluar dari sana akan membahayakan lebih banyak orang lagi. Dan Aaron Theodore Johansson tidak mau melakukannya. Lagi. Tidak lagi. Lalu, dua puluh tahun ini dia habiskan di kastil megah dengan nuansa warna putih itu. Setidaknya dengan cara ini akan ada banyak orang terlindungi, termasuk orang tuanya sendiri. Dalam alam bawah sadarnya, dia paham bahwa dunia tetap harus berputar meskipun seorang pewaris kaya sepertinya mati membusuk dengan kondisi mengenaskan. Namun, semenjak p
Usianya masih muda, namun tahun ini dia akan berulang tahun untuk yang ke dua puluh lima kalinya. Tidak terasa sudah dua puluh tahun berlalu. “Gael!” Ya, Gael. Dia adalah Gael, model pria berbakat yang belakangan menjadi ikon di mana-mana. Wajahnya terpampang di banyak sampul majalah ternama. Sebenarnya, ini bukan soal uang sebab pria ini telah kaya sejak lahir di dunia. Hanya saja, pria tampan sepertinya jika tidak populer, apa gunanya? “Dia kumat lagi?” tanya Gael pada orang yang baru datang itu. Io yan
Pelan. Namun, ketika matanya terpejam Aaron merasakan indera pendengarannya semakin tajam. Dengan cepat dia membuka matanya. Dia mencoba menerka, siapa gerangan yang masuk itu. Dan betapa leganya dia ketika menyadari bahwa itu adalah perawatnya. Sejujurnya, Aaron ingin melihat keadaan wanita itu secara langsung. Namun, mungkin saja Aurora masih ketakutan. Oleh sebab itu, Aaron hanya menunggu hingga waktu minum obat tiba. Tadinya, Aurora juga ingin melihat keadaan pasiennya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangannya. Namun, ekor matanya menangkap suasana yang sedikit berbeda. Sepertinya pria itu sedang
Aaron membuka matanya. Semalam adalah malam yang sedikit berbeda, terutama tentang bagaimana caranya melihat dunia. Tadinya Aaron pikir pagi ini semua akan kembali seperti semula, namun ternyata tidak. Dia masih melihat dunia sebagaimana orang lain di sekitarnya. Bisikan-bisikan itu memang masih terdengar di waktu-waktu sepi. Namun, setiap bisikan itu muncul suara perawatnya selalu mengimbangi. “Kamu tau, hidupmu berharga bagi banyak orang.” Aaron menghembuskan napasnya lalu dengan satu tangan dia menyibakkan tirai jendela besar yang sejauh ini masih menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Dia kembali te
“Jadi, yang tinggal di kastil itu manusia?” “Ck!” terdengar bunyi decakan kesal dari mulut wanita berambut keriting itu, Kaira. “Seriusan ini aku!” “Gosh!” seru Kaira seraya menatap temannya. “Kamu gampang banget sih kemakan cerita-cerita ‘halu’ kayak begitu. Vampir dan semua yang ada kaitannya dengan itu cuma mitos, Tita! Do you understand what I mean?” Tita, wanita yang memang dasarnya penakut itu meringis.  
Wajah yang sejak tadi tampak lelap dalam tidur itu tiba-tiba berubah airnya. Ada kerutan yang dalam di dahinya pertanda datangnya mimpi buruk yang beberapa hari berusaha ditekan mati-matian. Dan Aaron mencengkeram erat selimut yang memeluk tubuhnya berharap mendapat kekuatan dari sana. Namun, bayangan anak-anak kecil terus berlarian memenuhi kepalanya dan rasanya semakin lama semakin sesak saja. “Arggh!” Bak mendengar suara petir yang tidak tahu dari mana, Aurora terbangun juga dari tidurnya yang sebenarnya tidak begitu dalam itu. Dia selalu ingat bahwa jam kerjanya adalah dua puluh empat jam. Oleh karena itu selama waktu dinasnya ini dia tidak boleh lengah sedikit pun. Aurora bangkit dari r
“Semua baik-baik aja?” tanya Maria pada pria yang sedang duduk diam di sebelahnya. “Apa maksudmu?” tanya balik pria itu. “Sikapmu sedikit grusa-grusu seharian ini.” Ken menghela napasnya. Dia dan Maria sudah kenal sejak lama bahkan jauh sebelum keduanya bekerja di kastil ini. Selain itu mereka juga masih ada hubungan sepupu, jadi rasanya percuma menyembunyikan sesuatu. “Kamu suka sama dia?” tanya Maria tiba-tiba. &
“Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K
Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&
“Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula
Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua
Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n
“Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k
Brakh! Pria paruh baya itu terkejut mendengar suara meja yang sengaja digebrak oleh atasannya. “Hei, Pak Tua!” kata Aaron. “Aku dianggap gila selama puluhan tahun. Tapi, aku lebih cerdas darimu! Aku bahkan bisa membuat laporan semacam itu hanya dengan mata tertutup! Jadi, selama ini apa kerjamu?” teriaknya bertubi-tubi. Baron melirik pengawal yang berdiri tegap di sebelahnya, sesama rekan abdi setia yang berpindah haluan seiring tahta yang beralih dari sang ayah ke putra tunggalnya. Dia tidak sedang bermain mata, melainkan memberikan kode pada rekannya itu bahwa malam ini mereka be
Gael datang menemui Alice seusai sidang yang menjatuhkan vonis pada wanita itu bahwa dia sedang ada dalam gangguan jiwa. Kondisi Alice tidak banyak berubah, kecuali rambut yang tampak kusut dan tatapan kosongnya. Gael menggeleng lemah. Seperti itulah akhir untuk orang yang terlalu mengikuti ambisi dalam diri. “Bisa buka aja borgolnya?” pintanya pada salah seorang petugas yang mendampingi Alice. Gael merasa iba pada wanita itu. “Untuk apa kamu datang? Mau menertawakan aku?” Tidak Gael sangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan itu dari Alice yang sudah lesu dan layu.&n
Dua sepupu itu datang hampir bersamaan dan bertemu di perempatan sebuah lorong. Mereka itu Gael dan Ken yang kemudian melihat apa yang Nick lakukan pada Aurora. Mereka juga menjadi saksi bagaimana bibi mereka membela wanita itu. Tentu saja itu di luar dugaan, namun melihat dari yang terjadi sepertinya memang hati seorang ibu lebih mudah luluh daripada seorang ayah. “Aku lelah,” tutur Amanda. Nick diam menatap istrinya. Cinta pertamanya itu terlihat berbeda dari wanita yang dikenalnya selama ini. “Nyonya Johansson, Anda tidak perlu … .”&n