Raanana sedang termenung di depan jendela ruangannya saat Aurora masuk bersama Ken. Dia segera berbalik dan begitu terlihat khawatir saat melihat kondisi anak teman SMA-nya itu.
“Mereka sudah mendapat peringatan. Jika terjadi lagi, otomatis akan diberhentikan,” ujar Ken.
Raanana mengangguk, “Lanjutkan tugasmu,” katanya pada Ken.
Aurora diam seraya menatap pria tinggi yang beberapa saat lalu menolongnya dari amukan para pelayan gila itu. Andai Ken terlambat, mungkin saja dirinya telah menjadi kue pie atau bahkan sup.
Raanana tidak lekas bicara. Dia cukup lama memandangi Aurora yang juga diam saja. Sampai akhirnya, “Maafkan aku,” ucapnya pada Aurora.
“Ini bukan salah Dokter,” sahut Aurora.
“Sebelumnya tidak sampai seperti ini. Mereka hanya mengancam perawat yang aku tempatkan khusus di ruangan Theo. Aku juga tidak percaya ini terjadi,” papar Raanana seraya tertunduk. Kedua tangannya terlipat ke dada. Dia memperhatikan sampai kaki Aurora yang diplester juga.
Aurora menarik napas berat. Bukan merasakan sakit yang dia derita, namun lebih pada penyesalan terhadap sikap para pelayan itu. Dia tahu bahwa Tuan Muda kastil ini begitu menawan. Namun, apakah harus seperti itu sikap mereka? Lagipula, si Theo itu mana peduli kalau dipuja sampai sebegitu dalamnya?
“Mereka meneriakimu sebagai pelacur?” tanya Raanana.
Aurora mengangguk.
“Tapi, kamu bukan pelacur.”
“Saya tahu. Mereka hanya cemburu.”
Raanana mengangguk, “Kamu pasti ingin bertanya sesuatu. Iya, kan?”
Aurora menatap Raanana tanpa berkata-kata.
Raanana menatap mata bulat Aurora untuk sejenak, namun kemudian segera berpaling dan berjalan mendekati jendela. Dia berdiri tenang di sana sambil memandangi sebuah ruangan. Ruangan yang terpisah oleh taman bunga juga air mancur cantik dengan ruangannya.
“Aku menempatkan seorang perawat di ruangan Theo bukan tanpa alasan,” ucap Raanana seraya berbalik. “Aku pikir, Theo butuh teman, Rora.”
“Kenapa harus seorang perawat? Bukan dokter atau pengawal atau para pelayan itu?” tanya Aurora.
“Sebab perawat lebih ahli dalam hal ini. Mereka sudah terbiasa dengan segala tingkah polah pasien.”
Aurora tertunduk. Raanana adalah orang yang sudah ahli dalam hal kejiwaan dan keputusannya ini memang tidak salah. Aurora diam-diam membenarkan.
“Itulah sebabnya aku memintamu di awal perjumpaan kita. Jika bisa, jadilah teman Theo!”
“Tapi, kenapa harus wanita?”
Raanana menatap Aurora lekat-lekat. “Jangan salah paham,” katanya. “Ini bukan berarti aku ingin kamu mendekati Theo untuk mengambil hatinya. Tapi, menurutku wanita jauh lebih lunak daripada pria. Siapa tahu dengan cara itu, Theo pun menjadi lunak,” pungkas Raanana.
Sebuah napas berat Aurora hempaskan. Semua yang dikatakan Raanana terdengar seperti upaya terakhir yang bisa si ahli kejiwaan itu lakukan. Ya, waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Raanana pasti telah mencoba banyak cara sebelumnya. Sekali lagi, Aurora tidak bisa membantah.
“Tapi, sejauh ini, Theo tidak mau saya sentuh, Dok!” kata Aurora.
“Theo itu jika tidak sedang kumat, dia adalah orang biasa, Rora. Dia paham benar bahwa posisimu itu sulit. Ada seorang perawat yang pernah mengatakan itu kepadanya sebelum berhenti. Jadi, Theo hanya ingin kamu tahu bahwa dia tidak memaksamu untuk merawatnya. Kamu hanya perlu bersabar jika masih ingin melanjutkan ini,” ujar Raanana panjang lebar.
Malam telah mulai merajai suasana saat Aurora kembali ke ruangannya. Para perawat lain telah melaksanakan tugasnya. Theo telah terurus sepenuhnya. Para pelayan bar-bar itu benar bahwa tanpa kehadiran Aurora, Theo sudah bisa hidup juga. Namun, dari penjelasan Raanana, tugas Aurora sebenarnya bukanlah sekedar menjadi perawat saja, melainkan juga menjadi teman pasiennya.
Teman? Ah, bagaimana caranya tanya Aurora dalam batinnya. Jika diingat-ingat lagi, Aurora termasuk orang yang tidak terlalu memiliki banyak teman dalam hidupnya. Semua karena statusnya yang dari keluarga sederhana juga karena Aurora memang tidak terlalu terbuka pada orang lain. Dia memang cukup mudah bergaul, namun itu bukan untuk tujuan tertentu. Hanya sekedar mengakrabkan diri secukupnya saja. Namun, kini dia harus mencoba mengajak seseorang berteman, pria pula, dengan tujuan tertentu. Apakah aku bisa tanyanya lagi pada diri sendiri.
Pip. Pip. Pip.
Aurora tersadar dari percakapan dengan batinnya saat suara alarm di meja kecilnya berbunyi. Ini saatnya pasiennya minum obat lagi. Dengan sedikit jengah Aurora mengangkat tubuhnya berdiri. Tangan dan kakinya masih terasa sedikit nyeri akibat insiden di dapur tadi. Dia mengambil napas dan menanamkan dalam-dalam inti sari pembicaraannya dengan Raanana. Lalu, dia memutuskan untuk tidak memanggil perawat jaga dan melangkah menuju tempat Theo berada.
“Pergi!” hardik Theo begitu mendengar langkah suara Aurora.
“Minumlah ini lebih dulu,” pinta Aurora dengan segenap keberaniannya.
“Panggil perawat jaga!” perintah Theo. Suaranya dingin dan sedikit pun dia tidak menoleh juga.
“Beri aku kesempatan,” pinta Aurora.
“Untuk apa?”
“Untuk melakukan apa yang seharusnya aku lakukan di sini,” jawab Aurora. Dia mencoba setenang mungkin. Ini pertama kalinya pasiennya itu berdialog cukup panjang dengannya.
“Kamu tau klo kehadiranmu nggak penting?”
“Bagimu nggak, bagiku iya!”
Grompyang!
Pyar!
Gelas berisi air dan mangkuk obat-obatan lainnya jatuh berserakan di lantai. Aurora seperti mendapat satu sambaran petir. Jantungnya mulai berdetak cepat. Seketika panik menguasainya, namun dia masih berusaha menguatkan diri.
“Pergi!” teriak Theo dengan mata merah menyala. Pria yang posturnya bahkan jauh lebih jangkung dari Ken itu mulai terlihat tidak pada tempatnya.
Aurora memejamkan mata. Dia ingin berlari meraih alarm yang mungkin akan mempermudah keadaan, namun entah mengapa kakinya tiba-tiba kaku.
“Jangan pedulikan aku! Pergi!” teriak Theo dan … .
Pyang!
Mangkuk obat di lantai ditendangnya hingga menghantam lemari kaca. Pecahannya mulai ikut menambah kepanikan Aurora. ‘Self-Injuiry’ Theo akan sangat mudah untuk membunuhnya dengan semua benda tajam itu. Namun, Aurora belum juga mampu menggerakkan kakinya. Ini mungkin juga karena efek nyeri yang sebelumnya.
Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba Theo tertawa.
“Mereka semua pergi dan aku juga akan segera menyusul mereka, kamu tau itu?”
Aurora menelan ludah. Gawat! Apa ini saatnya pria itu menggila? Bukankah obatnya diminum dengan baik? Tapi, kenapa? Aurora tidak punya waktu lagi untuk bertanya-tanya. Sejak kapan kegilaan seperti yang Theo derita bisa diprediksi? Tidak ada cara lainnya lagi. Aurora harus menekan alarm itu secepatnya.
Pyar!
Suara pecah lagi. Kali ini sebuah vas sengaja dilempar Theo ketika orang itu menyadari Aurora sedang berusaha menghampiri alarm.
“Jangan hentikan aku, Aurora!” teriak Theo di wajahnya. Satu tangan Theo telah mencengkeram erat leher baju yang Aurora kenakan.
Aurora mulai ketakutan sendiri.
“Klo kamu nggak mau pergi maka aku yang akan pergi!” kata Theo seraya mendorong tubuh Aurora hingga tersungkur ke belakang.
Aurora merasakan tubuhnya makin nyeri. Sementara itu pasiennya mulai meracau tidak karuan. Suara benda-benda dijatuhkan, pecah, dan berantakan. Aurora hendak meneruskan tujuannya, namun tubuhnya tidak luput dari amukan vas juga benda yang Theo lemparkan dengan membabi buta.
Papa, kenapa Papa harus menyelamatkan orang gila seperti dia? Aurora bertanya dalam hati dengan air mata penyesalan atas apa yang telah terjadi. Matanya yang basah itu menangkap bayangan pasiennya yang telah keluar batas. Ceracauannya makin tidak karuan saja dengan sebuah pecahan kaca di tangannya.
“Jangan!” teriak Aurora.
****
Putih. Di setiap mata terbuka yang tampak hanyalah warna putih, dinding-dinding bangunan megah berwarna putih. Jenuh? Iya, namun keluar dari sana akan membahayakan lebih banyak orang lagi. Dan Aaron Theodore Johansson tidak mau melakukannya. Lagi. Tidak lagi. Lalu, dua puluh tahun ini dia habiskan di kastil megah dengan nuansa warna putih itu. Setidaknya dengan cara ini akan ada banyak orang terlindungi, termasuk orang tuanya sendiri. Dalam alam bawah sadarnya, dia paham bahwa dunia tetap harus berputar meskipun seorang pewaris kaya sepertinya mati membusuk dengan kondisi mengenaskan. Namun, semenjak p
Usianya masih muda, namun tahun ini dia akan berulang tahun untuk yang ke dua puluh lima kalinya. Tidak terasa sudah dua puluh tahun berlalu. “Gael!” Ya, Gael. Dia adalah Gael, model pria berbakat yang belakangan menjadi ikon di mana-mana. Wajahnya terpampang di banyak sampul majalah ternama. Sebenarnya, ini bukan soal uang sebab pria ini telah kaya sejak lahir di dunia. Hanya saja, pria tampan sepertinya jika tidak populer, apa gunanya? “Dia kumat lagi?” tanya Gael pada orang yang baru datang itu. Io yan
Pelan. Namun, ketika matanya terpejam Aaron merasakan indera pendengarannya semakin tajam. Dengan cepat dia membuka matanya. Dia mencoba menerka, siapa gerangan yang masuk itu. Dan betapa leganya dia ketika menyadari bahwa itu adalah perawatnya. Sejujurnya, Aaron ingin melihat keadaan wanita itu secara langsung. Namun, mungkin saja Aurora masih ketakutan. Oleh sebab itu, Aaron hanya menunggu hingga waktu minum obat tiba. Tadinya, Aurora juga ingin melihat keadaan pasiennya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangannya. Namun, ekor matanya menangkap suasana yang sedikit berbeda. Sepertinya pria itu sedang
Aaron membuka matanya. Semalam adalah malam yang sedikit berbeda, terutama tentang bagaimana caranya melihat dunia. Tadinya Aaron pikir pagi ini semua akan kembali seperti semula, namun ternyata tidak. Dia masih melihat dunia sebagaimana orang lain di sekitarnya. Bisikan-bisikan itu memang masih terdengar di waktu-waktu sepi. Namun, setiap bisikan itu muncul suara perawatnya selalu mengimbangi. “Kamu tau, hidupmu berharga bagi banyak orang.” Aaron menghembuskan napasnya lalu dengan satu tangan dia menyibakkan tirai jendela besar yang sejauh ini masih menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Dia kembali te
“Jadi, yang tinggal di kastil itu manusia?” “Ck!” terdengar bunyi decakan kesal dari mulut wanita berambut keriting itu, Kaira. “Seriusan ini aku!” “Gosh!” seru Kaira seraya menatap temannya. “Kamu gampang banget sih kemakan cerita-cerita ‘halu’ kayak begitu. Vampir dan semua yang ada kaitannya dengan itu cuma mitos, Tita! Do you understand what I mean?” Tita, wanita yang memang dasarnya penakut itu meringis.  
Wajah yang sejak tadi tampak lelap dalam tidur itu tiba-tiba berubah airnya. Ada kerutan yang dalam di dahinya pertanda datangnya mimpi buruk yang beberapa hari berusaha ditekan mati-matian. Dan Aaron mencengkeram erat selimut yang memeluk tubuhnya berharap mendapat kekuatan dari sana. Namun, bayangan anak-anak kecil terus berlarian memenuhi kepalanya dan rasanya semakin lama semakin sesak saja. “Arggh!” Bak mendengar suara petir yang tidak tahu dari mana, Aurora terbangun juga dari tidurnya yang sebenarnya tidak begitu dalam itu. Dia selalu ingat bahwa jam kerjanya adalah dua puluh empat jam. Oleh karena itu selama waktu dinasnya ini dia tidak boleh lengah sedikit pun. Aurora bangkit dari r
“Semua baik-baik aja?” tanya Maria pada pria yang sedang duduk diam di sebelahnya. “Apa maksudmu?” tanya balik pria itu. “Sikapmu sedikit grusa-grusu seharian ini.” Ken menghela napasnya. Dia dan Maria sudah kenal sejak lama bahkan jauh sebelum keduanya bekerja di kastil ini. Selain itu mereka juga masih ada hubungan sepupu, jadi rasanya percuma menyembunyikan sesuatu. “Kamu suka sama dia?” tanya Maria tiba-tiba. &
“Habis melacur yach semalam?” Pedas. Namun, Aurora sangat enggan menanggapinya. Dia berusaha menembus tubuh-tubuh pelayan yang menghalangi langkahnya. “Senikmat itu sampai nggak bisa berkata-kata?” Kali ini tangan Agatha menahan lengannya. “Lepas!” “Tambah berani sekarang karena udah jadi wanitanya Tuan Muda!” kata Agatha lagi disertai tawa sinis.  
“Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K
Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&
“Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula
Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua
Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n
“Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k
Brakh! Pria paruh baya itu terkejut mendengar suara meja yang sengaja digebrak oleh atasannya. “Hei, Pak Tua!” kata Aaron. “Aku dianggap gila selama puluhan tahun. Tapi, aku lebih cerdas darimu! Aku bahkan bisa membuat laporan semacam itu hanya dengan mata tertutup! Jadi, selama ini apa kerjamu?” teriaknya bertubi-tubi. Baron melirik pengawal yang berdiri tegap di sebelahnya, sesama rekan abdi setia yang berpindah haluan seiring tahta yang beralih dari sang ayah ke putra tunggalnya. Dia tidak sedang bermain mata, melainkan memberikan kode pada rekannya itu bahwa malam ini mereka be
Gael datang menemui Alice seusai sidang yang menjatuhkan vonis pada wanita itu bahwa dia sedang ada dalam gangguan jiwa. Kondisi Alice tidak banyak berubah, kecuali rambut yang tampak kusut dan tatapan kosongnya. Gael menggeleng lemah. Seperti itulah akhir untuk orang yang terlalu mengikuti ambisi dalam diri. “Bisa buka aja borgolnya?” pintanya pada salah seorang petugas yang mendampingi Alice. Gael merasa iba pada wanita itu. “Untuk apa kamu datang? Mau menertawakan aku?” Tidak Gael sangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan itu dari Alice yang sudah lesu dan layu.&n
Dua sepupu itu datang hampir bersamaan dan bertemu di perempatan sebuah lorong. Mereka itu Gael dan Ken yang kemudian melihat apa yang Nick lakukan pada Aurora. Mereka juga menjadi saksi bagaimana bibi mereka membela wanita itu. Tentu saja itu di luar dugaan, namun melihat dari yang terjadi sepertinya memang hati seorang ibu lebih mudah luluh daripada seorang ayah. “Aku lelah,” tutur Amanda. Nick diam menatap istrinya. Cinta pertamanya itu terlihat berbeda dari wanita yang dikenalnya selama ini. “Nyonya Johansson, Anda tidak perlu … .”&n