Aaron membuka matanya. Semalam adalah malam yang sedikit berbeda, terutama tentang bagaimana caranya melihat dunia. Tadinya Aaron pikir pagi ini semua akan kembali seperti semula, namun ternyata tidak. Dia masih melihat dunia sebagaimana orang lain di sekitarnya.
Bisikan-bisikan itu memang masih terdengar di waktu-waktu sepi. Namun, setiap bisikan itu muncul suara perawatnya selalu mengimbangi.
“Kamu tau, hidupmu berharga bagi banyak orang.”
Aaron menghembuskan napasnya lalu dengan satu tangan dia menyibakkan tirai jendela besar yang sejauh ini masih menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Dia kembali termenung di sana, mengamati setiap benda yang ada di taman di depannya. Air mancur, bunga-bunga, kupu-kupu, juga beberapa pelayan yang senantiasa merawatnya. Dia selama dua puluh tahun ini ada di balik jendela mengamati itu semua. Dan mungkin kini saatnya dia memulai langkah baru.
“Ini waktunya minum obat.”
Dengan sedikit terkejut, Aaron membalikkan tubuhnya. Dilihatnya orang yang berdiri tegak dengan nampan di depannya. Tentu saja, ini harapan pertama yang Aaron miliki, Aurora. Dengan langkah pasti Aaron mendekati wanita itu. Dia tidak mengucapkan apapun dan langsung meminum obatnya. Baru setelah ritual itu selesai dia berkata, “Aku ingin mandi.”
“Baik. Para perawat jaga akan datang sebentar lagi,” jawab Aurora.
“Aku ingin ke taman.”
Aurora tidak langsung menjawab, dia menatap orang di depannya untuk beberapa lama.
“Kenapa?” tanya Aaron membalas pandangan terkejut Aurora.
“Ah, nggak. Aku akan minta seorang pelayan untuk menemani,” kata Aurora seraya melangkah pergi. Namun, … .
“Kamu yakin itu tugas mereka?”
Aurora terhenti, dia kembali menatap pasiennya.
“Aku mau kamu yang menemani aku ke taman. Bukankah itu yang ditugaskan oleh Raanana padamu? Menemaniku?”
***
Raanana memang benar tentang pasiennya. Si Aaron itu sudah stabil sejauh ini. Namun, dalam benak Aurora tidak akan sampai sejauh ini.
“Ini kemajuan yang baik,” ucap Raanana.
“Apa aman membiarkannya ada di taman?” tanya Aurora.
“Ada banyak mata yang mengamati kalian. Setidaknya di tempat terbuka kamu akan lebih mudah diselamatkan,” gurau Raanana.
Aurora menjadi sedikit tenang dengan gurauan yang dokter jiwa itu ucapkan. Dia pun kembali ke mana pasiennya duduk sendirian. Dia tahu Ken dan pengawal lainnya akan selalu mengawasi meskipun mereka tidak terlihat dengan pasti. Namun, jika semua orang melihat maka Agatha dan teman-temannya pun juga melihat ini semua.
“Kamu terlihat khawatir,” ucap Aaron tiba-tiba.
Aurora terkejut sampai tidak tahu harus menjawab apa.
“Dia bilang apa?”
“Siapa?” tanya Aurora.
“Raanana.”
“Dia bilang, ini pertama kalinya kamu keluar dari kamarmu setelah dua puluh tahun.”
“Itu membuatmu takut?”
Aurora diam.
“Jujur aja!”
“Iya,” jawab Aurora pelan.
Tidak terdengar sahutan dari mulut Aaron untuk beberapa saat. Kemudian, “Boleh aku tanya sesuatu?”
“Tentu,” jawab Aurora.
“Siapa kamu sebenarnya? Apa aku mengenal salah satu anggota keluargamu?”
Aurora menelan ludah. Dia mulai berpikir apakah tepat apabila dia harus memberitahukan siapa dirinya sebenarnya? Apa boleh dia memberitahu Aaron soal ayahnya? Namun, jika Aurora tidak mengatakannya, apakah tidak menutup kemungkinan pasiennya itu akan tahu dari orang lain?
“Aurora?”
“Iya?”
“Kenapa kamu diam?” tanya Aaron seraya mendekati wanita itu. Kini dia dan Aurora berdiri saling berhadap-hadapan layaknya dua orang biasa yang saling bercakap-cakap. “Apa aku mengenal salah seorang anggota keluargamu?”
Aurora terpaksa membuka dua belah bibirnya yang terkatup itu. “Iya,” jawabnya.
“Siapa?”
“Ayahkulah yang mendonorkan ginjal untukmu.”
Aaron tidak bisa berbohong bahwa meskipun mulutnya diam saja dan tubuhnya tidak menunjukkan gerakan apapun, namun dirinya sedang terkejut. Dia telah menerka sebelumnya. hanya saja mendengar langsung dari mulut Aurora sendiri ternyata rasanya berbeda. Pantas saja wanita itu begitu berani. Kini Aaron tahu keberanian itu menurun dari pria yang menemaninya di ruang operasi.
Di taman cantik itu tidak ada orang lain yang terlihat, kecuali Aurora dan Aaron. Meskipun akan datang dengan sigap para pengawal yang akan menolongnya jika pasiennya itu mengamuk sekarang, namun sebagai orang yang pertama kali menemani seorang dengan gangguan jiwa keluar dari persembunyiannya selama dua puluh tahun Aurora tetap khawatir. Apalagi luka yang dia derita juga belum sembuh benar. Dia sudah waspada kalau-kalau setelah ini Agatha datang memarahinya lagi. Semua pikiran itu membuat fokusnya tidak berfungsi. Sampai pasien itu tiba-tiba melangkah pergi dalam diam.
Aurora tidak tahu harus apa, kecuali mengikuti langkah Aaron masuk ke dalam kamarnya. Sesampainya di kamar, pria itu langsung menemui ranjang dan berbaring miring membiarkan Aurora dengan sejumlah tanya yang mengisi kepala. Dengan tanpa suara pula Aurora kembali ke ruangannya. Namun, dia masih tidak tahu harus berbuat apa.
Hingga tiba waktu minum obat lagi dan Aaron masih bersikap sama, diam dan langsung meminum obatnya. Tidak ada gerak mencurigakan yang tampak sehingga membuat Aurora harus waspada. Wajah Aaron terlihat biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, Aurora tidak tahan juga.
“Apa kamu sedang marah?” tanyanya dengan takut-takut malam itu di jadwal terakhir Aaron harus meminum obatnya hari ini. Dia tahu bahwa secara tidak langsung dia telah memposisikan pria itu layaknya orang biasa lainnya.
Aaron tidak kunjung menjawab pertanyaan Aurora sampai wanita itu berpikir bahwa mungkin dia tidak perlu melanjutkan keingintahuannya. Dia memutuskan untuk melangkah pergi.
“Aurora!” panggil Aaron.
Aurora menghentikan langkah, “Iya?”
“Apa ayahmu yang memintamu untuk bekerja di sini?”
Diam-diam Aurora menahan napas. Dia masih tidak tahu apakah percakapan-percakapan ini perlu atau tidak. Dia bukan Raanana, Aurora hanya seorang perawat. Oleh karena itu dia masih khawatir dengan semua sikap ini, apakah akan memperbaiki kondisi pasiennya ataukah justru akan memperburuknya lagi? Sedangkan mereka hanya berdua di ruangan ini. Hanya ada alarm yang mampu memisahkan keduanya dari segala sesuatu yang tidak diharapkan. Namun, di sisi lain Aurora telah berjanji pada diri sendiri untuk berusaha mempermudah pekerjaan ini, jadi … .
“Nggak,” jawab Aurora.
“Klo gitu kamu nggak keberatan kan klo besok menemaniku ke taman lagi?”
Dengan harapan bahwa ini adalah jawaban atas tekadnya, Aurora pun menganggukkan kepala. Setelahnya tidak ada percakapan apapun lagi dan Aurora kembali ke ruangannya. Sementara itu Aaron diam-diam menyimpan sesuatu di dalam hatinya. Sesuatu yang belum pernah lagi dia rasakan selama dua puluh tahun terakhir. Sepertinya, dia dan Aurora mungkin saja bisa berteman.
Malam semakin beranjak larut. Dua orang itu beku sendiri di masing-masing ranjangnya. Aurora tidak tahu apakah esok akan semakin membaik atau kembali memburuk yang jelas dia akan mengikuti saja kemauan pasiennya. Lagipula ada Raanana yang bisa dijadikannya tempat percaya dan Ken beserta pengawal lainnya juga akan siap menolongnya kapan saja. Jadi, rasanya tidak ada lagi yang perlu Aurora khawatirkan.
****
“Jadi, yang tinggal di kastil itu manusia?” “Ck!” terdengar bunyi decakan kesal dari mulut wanita berambut keriting itu, Kaira. “Seriusan ini aku!” “Gosh!” seru Kaira seraya menatap temannya. “Kamu gampang banget sih kemakan cerita-cerita ‘halu’ kayak begitu. Vampir dan semua yang ada kaitannya dengan itu cuma mitos, Tita! Do you understand what I mean?” Tita, wanita yang memang dasarnya penakut itu meringis.  
Wajah yang sejak tadi tampak lelap dalam tidur itu tiba-tiba berubah airnya. Ada kerutan yang dalam di dahinya pertanda datangnya mimpi buruk yang beberapa hari berusaha ditekan mati-matian. Dan Aaron mencengkeram erat selimut yang memeluk tubuhnya berharap mendapat kekuatan dari sana. Namun, bayangan anak-anak kecil terus berlarian memenuhi kepalanya dan rasanya semakin lama semakin sesak saja. “Arggh!” Bak mendengar suara petir yang tidak tahu dari mana, Aurora terbangun juga dari tidurnya yang sebenarnya tidak begitu dalam itu. Dia selalu ingat bahwa jam kerjanya adalah dua puluh empat jam. Oleh karena itu selama waktu dinasnya ini dia tidak boleh lengah sedikit pun. Aurora bangkit dari r
“Semua baik-baik aja?” tanya Maria pada pria yang sedang duduk diam di sebelahnya. “Apa maksudmu?” tanya balik pria itu. “Sikapmu sedikit grusa-grusu seharian ini.” Ken menghela napasnya. Dia dan Maria sudah kenal sejak lama bahkan jauh sebelum keduanya bekerja di kastil ini. Selain itu mereka juga masih ada hubungan sepupu, jadi rasanya percuma menyembunyikan sesuatu. “Kamu suka sama dia?” tanya Maria tiba-tiba. &
“Habis melacur yach semalam?” Pedas. Namun, Aurora sangat enggan menanggapinya. Dia berusaha menembus tubuh-tubuh pelayan yang menghalangi langkahnya. “Senikmat itu sampai nggak bisa berkata-kata?” Kali ini tangan Agatha menahan lengannya. “Lepas!” “Tambah berani sekarang karena udah jadi wanitanya Tuan Muda!” kata Agatha lagi disertai tawa sinis.  
“Udahlah, kamu istirahat aja!” kata Thea. Aurora tersenyum, “Aku di sini digaji untuk bekerja bukan untuk berbaring seharian di ruang perawatan.” “Tapi, kan kamu masih sakit,” lanjut Thea. Dia tahu bahwa beberapa pasang mata melihatnya dengan cara yang sama dengan bagaimana mereka memandang Aurora, namun dia kini tidak lagi peduli. “Klo kamu terus berada di dekatku, mereka pikir kamu membelaku,” ujar Aurora. “Nggak masalah, memang itu maksudku,” kata Thea mantap. &nbs
“Apa aku terlihat sakit?” tanya Aaron. Mulut Aurora semakin menganga. Ada saat di mana dia memiliki pasien yang sedikit nyeleneh saat masih bekerja di rumah sakit dulu. Namun, dia merasa tidak ada yang seunik pasiennya satu ini. Ya, dia memang terhitung sebagai salah satu perawat yang banyak digoda paisennya, terutama jika pasien itu seorang pria dan masih muda. Jadi, apa kali ini dia juga sedang digoda? Plug! Aurora merasakan sesuatu yang asin-asin gurih memasuki mulutnya. “Enak?” tanya Aaron lagi.
Masih jendela yang sama. Juga pemandangan yang serupa. Hanya saja, akhir-akhir ini Aaron lebih sering mendatangi langsung taman indah yang selama dua puluh tahun dia pandangi dari balik jendela. Perlahan, Aaron menghela napas. Seminggu dengan kestabilan sudah dilaluinya dengan baik. Tetap saja masih ada suara-suara yang mengganggunya, namun begitu dia memalingkan fokusnya pada Aurora dan apa yang telah terjadi selama wanita itu hadir dalam hidupnya maka suara-suara itu perlahan mulai terdengar menjauh. Hanya sayup-sayup. Semua orang di kasti ini mengetahui keadaan Aaron sebagai seorang ‘psycho’ dengan ‘self-injuiry’ , namun hanya dia sendiri yang paling memahami sejauh mana kea
Meskipun tersamar, namun praktik aristokrasi tetaplah ada. Di abad ini mungkin tidak banyak orang yang berpikir bahwa hanya para bangsawan alias keturunan ningratlah yang mampu memerintah sebuah negara. Namun, pada kenyataannya para kaum yang dianggap elit itu masih tetap ada di tingkatan yang sama, paling atas. Masih tidak jauh dari orang-orang aristokratis, bergaya ‘classy’ juga merupakan bagian dari sebuah eksistensi yang menjelaskan keadaan seorang lahir dari golongan kaya atau bukan. Banyak orang berlomba-lomba untuk tampil berkelas dengan ‘budget’ terbatas. Semua itu mereka lakukan agar terlihat lebih bernilai dari lainnya. Bahkan tidak jarang ada orang yang sengaja berbuat curang demi tampil di depan sebagai bagian dari kaum kaya. 
“Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K
Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&
“Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula
Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua
Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n
“Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k
Brakh! Pria paruh baya itu terkejut mendengar suara meja yang sengaja digebrak oleh atasannya. “Hei, Pak Tua!” kata Aaron. “Aku dianggap gila selama puluhan tahun. Tapi, aku lebih cerdas darimu! Aku bahkan bisa membuat laporan semacam itu hanya dengan mata tertutup! Jadi, selama ini apa kerjamu?” teriaknya bertubi-tubi. Baron melirik pengawal yang berdiri tegap di sebelahnya, sesama rekan abdi setia yang berpindah haluan seiring tahta yang beralih dari sang ayah ke putra tunggalnya. Dia tidak sedang bermain mata, melainkan memberikan kode pada rekannya itu bahwa malam ini mereka be
Gael datang menemui Alice seusai sidang yang menjatuhkan vonis pada wanita itu bahwa dia sedang ada dalam gangguan jiwa. Kondisi Alice tidak banyak berubah, kecuali rambut yang tampak kusut dan tatapan kosongnya. Gael menggeleng lemah. Seperti itulah akhir untuk orang yang terlalu mengikuti ambisi dalam diri. “Bisa buka aja borgolnya?” pintanya pada salah seorang petugas yang mendampingi Alice. Gael merasa iba pada wanita itu. “Untuk apa kamu datang? Mau menertawakan aku?” Tidak Gael sangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan itu dari Alice yang sudah lesu dan layu.&n
Dua sepupu itu datang hampir bersamaan dan bertemu di perempatan sebuah lorong. Mereka itu Gael dan Ken yang kemudian melihat apa yang Nick lakukan pada Aurora. Mereka juga menjadi saksi bagaimana bibi mereka membela wanita itu. Tentu saja itu di luar dugaan, namun melihat dari yang terjadi sepertinya memang hati seorang ibu lebih mudah luluh daripada seorang ayah. “Aku lelah,” tutur Amanda. Nick diam menatap istrinya. Cinta pertamanya itu terlihat berbeda dari wanita yang dikenalnya selama ini. “Nyonya Johansson, Anda tidak perlu … .”&n