Usianya masih muda, namun tahun ini dia akan berulang tahun untuk yang ke dua puluh lima kalinya. Tidak terasa sudah dua puluh tahun berlalu.
“Gael!”
Ya, Gael. Dia adalah Gael, model pria berbakat yang belakangan menjadi ikon di mana-mana. Wajahnya terpampang di banyak sampul majalah ternama. Sebenarnya, ini bukan soal uang sebab pria ini telah kaya sejak lahir di dunia. Hanya saja, pria tampan sepertinya jika tidak populer, apa gunanya?
“Dia kumat lagi?” tanya Gael pada orang yang baru datang itu.
Io yang masih berusaha mengatur napasnya itu mengangguk.
“Huffft!” Gael meniupkan napas ke rambutnya yang asli pirang. Sebentar lagi ada pemotretan penting, namun ‘mood’ –nya tiba-tiba berubah.
“Kita ke sana?” tanya Io.
“Apa kata Raanana?”
“Dia melukai seorang perawat lagi,” jawab Io.
“Dokter itu kenapa masih belum menyerah juga? Mau berapa perawat yang dia mau sodorkan ke Aaron? Dia pikir ini perjodohan apa?”
“Bukannya terakhir kali kamu setuju?” tanya Io dengan mimik heran.
“Iya,” sahut Gael. “Tapi, setelah aku pikir-pikir, kenapa dia nggak bawa aja Aaron ke tempat pelacuran. Ada banyak wanita cantik dan seksi yang lebih lihai di sana daripada para perawat itu,” celoteh Gael kesal sendiri.
Io mengernyitkan keningnya. Sejenak dia berpikir bahwa Gael menyamakan sepupunya sendiri dengan pria hidung belang. Namun, Io bekerja dengan Gael bukan hanya sehari dua hari. Tabiat modelnya itu memang kadang membuat dia jengah sendiri.
“Apa?” sungut Gael.
Io menaikkan kedua pundaknya.
Gael tidak peduli pada asistennya itu. Dia terus menuju pintu sambil berkata, “Batalkan jadwalku hari ini! Aku harus menjenguk sepupu tercintaku!”
Sudah Io duga akan begini jadinya. Gael memang berengsek dan suka seenaknya mentang-mentang sudah ada di titik yang tinggi sekarang. Namun, begitu pria muda yang masih keturunan Polandia berkat sang ayah itu memiliki satu hal yang Io kagumi. Gael sangat mencintai keluarganya, tidak terkecuali sepupunya yang bernama Aaron itu. Atau mungkin bisa dikatakan dari sekian banyak keluarga yang dia miliki, Aaronlah yang paling dia sayangi.
***
Sudah senja saat Ken mengetuk ruangan di mana Aurora beristirahat seharian ini.
“Masuk!”
Ken membuka pintu dan berjalan mendekati Aurora yang sedang termangu di depan jendela.
“Kamu udah baikan?” tanya pria tinggi yang selalu rapi itu.
Aurora mengangguk, namun tidak merubah posisinya.
Ken tidak mengucapkan apa-apa, melainkan hanya berdiri menatap wanita yang sekujur badannya hampir dipenuhi dengan plester dan krim penghilang bekas luka di depannya.
“Pasti jenuh, ya?”
“Apa?”
“Jenuh terus-terusan ada di tempat yang sama selama bertahun-tahun.”
Aurora memang tidak menyebut nama, namun Ken jelas paham siapa orang yang perawat itu maksud. “Tapi, dia paham kenapa dia harus ada di tempat ini,” katanya kemudian.
Aurora menghela napasnya. Dia telah berpikir lama seharian ini.
“Aku harus kembali ke ruanganku.”
Ken sejak tadi memang menunggu pernyataan itu sebab dia datang juga dengan maksud untuk memastikan hal ini. Namun, tidak dia sangka Aurora lagi-lagi mengejutkannya.
“Kenapa diam? Kamu datang buat memastikan itu, kan?”
“Iya,” jawab Ken seraya memalingkan wajah.
“Aku perawatnya bukan pasiennya. Harusnya aku nggak berada di ruangan ini terlalu lama.”
Diam-diam Ken menelan ludah. Tenggorokannya sedikit kering.
Aurora tidak menunggu pengawal si tuan muda yang hampir menghabisi nyawanya itu. Dia cukup ingat jalan kembali ke ruangan yang dia maksud tadi. Kemarin sore hingga malam, Aurora tidak sadarkan diri, pendarahan di tangannya cukup hebat. Seharian ini dia diberi cuti, namun Aurora pikir dia sedang diberi waktu untuk memutuskan sesuatu.
Namun, apa yang harus dipertimbangkan?
Masih teringat dengan jelas akhir dari adegan menegangkan dia dan pasiennya yang mengamuk itu. Aurora pikir salah satu dari mereka akan mati kemarin, namun lihat! Dia masih bisa berjalan menyusuri lorong kastil megah ini. Dan pasiennya, Raanana mengatakan bahwa dia juga masih baik-baik saja. Jadi, Aurora putuskan untuk tidak memikirkan apa-apa, kecuali cara agar pekerjaan ini menjadi lebih mudah saja. Dan setelah seharian bersantai di ranjang empuk tanpa bekerja, akhirnya Aurora memahami juga jalan pikiran Raanana. Berteman dengan pasiennya, hanya itu.
Ken menutup pintu ruangan yang baru saja dia kunjungi. Perlahan dia menarik napas. Ekor matanya menatap langkah wanita yang baru saja pergi itu. Langkahnya ringan, seperti sudah ada tujuan. Ken tidak tahu mengapa, sejak awal berjumpa dia merasa Aurora memang memiliki aura berbeda dari sekian banyak wanita lainnya.
Tiba-tiba, ada yang berdebar kencang dari dada kirinya. Tentu saja itu jantungnya. Namun, mengapa benda itu bertindak di luar kebiasaannya. Organ vitalnya itu memompa darah lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Ken merasa rongga dadanya bergejolak.
“Cantik,” gumam seseorang entah dari mana.
Namun, tanpa harus melihat wajahnya, Ken tahu persis suara siapa itu.
“Dia perawat barunya?”
Ken bergegas mengajak kakinya melangkah.
“Heh …,” tahan si empunya suara. “Sombong amat jadi orang!”
“Apa maumu? Pergilah!” usir Ken.
“Aku mau mengunjungi sepupuku.”
“Kamarnya ada di sana. Kamu lupa?” ucap Ken seraya menunjuk sebuah bangunan megah yang Aurora tuju.
“Sebelum menemui Tuan Muda, tentu aku harus izin pada pengawalnya dulu. Bukannya gitu?”
Ken malas berbasa-basi. Namun, ke mana langkahnya pergi orang itu mengikutinya.
“Siapa namanya? Seistimewa itukah sampai mata seorang Ethan Kendrick Oetomo meliriknya?”
Ken menghentikan langkah. Dia tatap pengikut langkahnya itu dengan kesal.
“Easy!”
“Bocah Berengsek, apa maumu?”
“That’s what I mean! Tanyalah dulu sebelum mengusir.”
“Gael cukup!” pinta Ken.
“It’s okay! It’s okay!”
Ken kembali melangkahkah kakinya. Namun, ‘it’s okay’ yang tadi dia dengar seolah hanya angin lalu belaka. Gael tetap mengikuti langkah Ken juga.
“Katakan siapa namanya? Kamu suka dia?”
“Bukan urusanmu!”
“Ayolah … jujur aja, Ken … .”
“Cukup atau kupukul mulutmu!”
Gael mengangkat tangannya. Wajahnya sangat berharga dan pukulan pria seperti Ken mungkin akan membuatnya harus mundur dari dunia gemerlapnya untuk waktu yang cukup lama.
“Pergi!”
“Katakan dulu, apa kamu akan jadi sainganku atau nggak?”
Sregh!
Ken menarik kerah jaket yang Gael kenakan.
“Be carefull! Ini koleksi musim dingin yang paling baru, oke? Belum ada di pasaran!” kata Gael masih cengengesan juga.
“Namanya Aurora. Dia wanita baik, jadi jangan pernah berharap untuk mempermainkan dia. Paham?” gertak Ken dengan wajah serius.
“Oke … oke … . Aku tadi cuma bercanda,” ucap Gael.
Segera Ken melepaskan cengkeramannya dan pergi sebelum Gael mengucapkan kata-kata yang akan membuat darahnya mendidih lagi.
Namun, bukan Gael namanya jika dia bisa diancam. Dia sadar bahwa anak bibinya itu tidak akan memukulnya.
“Bocah Berengsek! Kamu ini, kenapa harus menggoda Ken seperti itu?”
Gael terperanjat. Dia ada dalam masalah sekarang.
****
Pelan. Namun, ketika matanya terpejam Aaron merasakan indera pendengarannya semakin tajam. Dengan cepat dia membuka matanya. Dia mencoba menerka, siapa gerangan yang masuk itu. Dan betapa leganya dia ketika menyadari bahwa itu adalah perawatnya. Sejujurnya, Aaron ingin melihat keadaan wanita itu secara langsung. Namun, mungkin saja Aurora masih ketakutan. Oleh sebab itu, Aaron hanya menunggu hingga waktu minum obat tiba. Tadinya, Aurora juga ingin melihat keadaan pasiennya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangannya. Namun, ekor matanya menangkap suasana yang sedikit berbeda. Sepertinya pria itu sedang
Aaron membuka matanya. Semalam adalah malam yang sedikit berbeda, terutama tentang bagaimana caranya melihat dunia. Tadinya Aaron pikir pagi ini semua akan kembali seperti semula, namun ternyata tidak. Dia masih melihat dunia sebagaimana orang lain di sekitarnya. Bisikan-bisikan itu memang masih terdengar di waktu-waktu sepi. Namun, setiap bisikan itu muncul suara perawatnya selalu mengimbangi. “Kamu tau, hidupmu berharga bagi banyak orang.” Aaron menghembuskan napasnya lalu dengan satu tangan dia menyibakkan tirai jendela besar yang sejauh ini masih menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Dia kembali te
“Jadi, yang tinggal di kastil itu manusia?” “Ck!” terdengar bunyi decakan kesal dari mulut wanita berambut keriting itu, Kaira. “Seriusan ini aku!” “Gosh!” seru Kaira seraya menatap temannya. “Kamu gampang banget sih kemakan cerita-cerita ‘halu’ kayak begitu. Vampir dan semua yang ada kaitannya dengan itu cuma mitos, Tita! Do you understand what I mean?” Tita, wanita yang memang dasarnya penakut itu meringis.  
Wajah yang sejak tadi tampak lelap dalam tidur itu tiba-tiba berubah airnya. Ada kerutan yang dalam di dahinya pertanda datangnya mimpi buruk yang beberapa hari berusaha ditekan mati-matian. Dan Aaron mencengkeram erat selimut yang memeluk tubuhnya berharap mendapat kekuatan dari sana. Namun, bayangan anak-anak kecil terus berlarian memenuhi kepalanya dan rasanya semakin lama semakin sesak saja. “Arggh!” Bak mendengar suara petir yang tidak tahu dari mana, Aurora terbangun juga dari tidurnya yang sebenarnya tidak begitu dalam itu. Dia selalu ingat bahwa jam kerjanya adalah dua puluh empat jam. Oleh karena itu selama waktu dinasnya ini dia tidak boleh lengah sedikit pun. Aurora bangkit dari r
“Semua baik-baik aja?” tanya Maria pada pria yang sedang duduk diam di sebelahnya. “Apa maksudmu?” tanya balik pria itu. “Sikapmu sedikit grusa-grusu seharian ini.” Ken menghela napasnya. Dia dan Maria sudah kenal sejak lama bahkan jauh sebelum keduanya bekerja di kastil ini. Selain itu mereka juga masih ada hubungan sepupu, jadi rasanya percuma menyembunyikan sesuatu. “Kamu suka sama dia?” tanya Maria tiba-tiba. &
“Habis melacur yach semalam?” Pedas. Namun, Aurora sangat enggan menanggapinya. Dia berusaha menembus tubuh-tubuh pelayan yang menghalangi langkahnya. “Senikmat itu sampai nggak bisa berkata-kata?” Kali ini tangan Agatha menahan lengannya. “Lepas!” “Tambah berani sekarang karena udah jadi wanitanya Tuan Muda!” kata Agatha lagi disertai tawa sinis.  
“Udahlah, kamu istirahat aja!” kata Thea. Aurora tersenyum, “Aku di sini digaji untuk bekerja bukan untuk berbaring seharian di ruang perawatan.” “Tapi, kan kamu masih sakit,” lanjut Thea. Dia tahu bahwa beberapa pasang mata melihatnya dengan cara yang sama dengan bagaimana mereka memandang Aurora, namun dia kini tidak lagi peduli. “Klo kamu terus berada di dekatku, mereka pikir kamu membelaku,” ujar Aurora. “Nggak masalah, memang itu maksudku,” kata Thea mantap. &nbs
“Apa aku terlihat sakit?” tanya Aaron. Mulut Aurora semakin menganga. Ada saat di mana dia memiliki pasien yang sedikit nyeleneh saat masih bekerja di rumah sakit dulu. Namun, dia merasa tidak ada yang seunik pasiennya satu ini. Ya, dia memang terhitung sebagai salah satu perawat yang banyak digoda paisennya, terutama jika pasien itu seorang pria dan masih muda. Jadi, apa kali ini dia juga sedang digoda? Plug! Aurora merasakan sesuatu yang asin-asin gurih memasuki mulutnya. “Enak?” tanya Aaron lagi.
“Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K
Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&
“Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula
Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua
Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n
“Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k
Brakh! Pria paruh baya itu terkejut mendengar suara meja yang sengaja digebrak oleh atasannya. “Hei, Pak Tua!” kata Aaron. “Aku dianggap gila selama puluhan tahun. Tapi, aku lebih cerdas darimu! Aku bahkan bisa membuat laporan semacam itu hanya dengan mata tertutup! Jadi, selama ini apa kerjamu?” teriaknya bertubi-tubi. Baron melirik pengawal yang berdiri tegap di sebelahnya, sesama rekan abdi setia yang berpindah haluan seiring tahta yang beralih dari sang ayah ke putra tunggalnya. Dia tidak sedang bermain mata, melainkan memberikan kode pada rekannya itu bahwa malam ini mereka be
Gael datang menemui Alice seusai sidang yang menjatuhkan vonis pada wanita itu bahwa dia sedang ada dalam gangguan jiwa. Kondisi Alice tidak banyak berubah, kecuali rambut yang tampak kusut dan tatapan kosongnya. Gael menggeleng lemah. Seperti itulah akhir untuk orang yang terlalu mengikuti ambisi dalam diri. “Bisa buka aja borgolnya?” pintanya pada salah seorang petugas yang mendampingi Alice. Gael merasa iba pada wanita itu. “Untuk apa kamu datang? Mau menertawakan aku?” Tidak Gael sangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan itu dari Alice yang sudah lesu dan layu.&n
Dua sepupu itu datang hampir bersamaan dan bertemu di perempatan sebuah lorong. Mereka itu Gael dan Ken yang kemudian melihat apa yang Nick lakukan pada Aurora. Mereka juga menjadi saksi bagaimana bibi mereka membela wanita itu. Tentu saja itu di luar dugaan, namun melihat dari yang terjadi sepertinya memang hati seorang ibu lebih mudah luluh daripada seorang ayah. “Aku lelah,” tutur Amanda. Nick diam menatap istrinya. Cinta pertamanya itu terlihat berbeda dari wanita yang dikenalnya selama ini. “Nyonya Johansson, Anda tidak perlu … .”&n