Beranda / Romansa / Tawanan Kastil Putih / Dua Puluh Tahun yang Tertinggal

Share

Dua Puluh Tahun yang Tertinggal

Penulis: Rin Ririn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

                Putih.

                Di setiap mata terbuka yang tampak hanyalah warna putih, dinding-dinding bangunan megah berwarna putih. Jenuh? Iya, namun keluar dari sana akan membahayakan lebih banyak orang lagi. Dan Aaron Theodore Johansson tidak mau melakukannya. Lagi. Tidak lagi.

                Lalu, dua puluh tahun ini dia habiskan di kastil megah dengan nuansa warna putih itu. Setidaknya dengan cara ini akan ada banyak orang terlindungi, termasuk orang tuanya sendiri. Dalam alam bawah sadarnya, dia paham bahwa dunia tetap harus berputar meskipun seorang pewaris kaya sepertinya mati membusuk dengan kondisi mengenaskan.

                Namun, semenjak para perawat khusus itu datang, hidupnya menjadi berbeda. Dia tidak lagi sendirian setiap hari. Bagi Raanana itu adalah hal baik, namun pasiennya ini merasa rencananya akan gagal. Dia menjadi kesulitan untuk bertemu dengan Athena, Alex, Jade, dan juga Kale.

                Dari balik kaca jendela ini, setiap hari bayangan keempat bocah kecil itu selalu tampak nyata. Berlari-lari riang sebelum sebuah mesin pembunuh menemukan mereka juga Gael dan seorang pewaris kaya. Pria gila itu memegang pisau di tangannya dan mulai mengambil nyawa satu per satu teman si pewaris kaya. Hanya Gael kecil yang berhasil pergi sebelum semua orang mati.

                Dan setelah semua terjadi, kini sudah dua puluh tahun lamanya. Seorang Aaron Theodore Johansson tetap belum bisa menebus kesalahannya hingga yang menyelimutinya setiap hari hanya penyesalan.

                “Mereka semua pergi dan aku juga akan segera menyusul mereka!”

                Bisikan itu datang setiap saat bagaimanapun juga ditahannya. Dan hari ini, bisikan itu terdengar lebih lantang dari biasanya. Pecahan kaca di mana-mana, juga vas yang berserakan di lantai yang bersanding dengan semua benda hancur yang mampu mencabut nyawa. Rasa-rasanya penantian dua puluh tahun itu akan segera sirna. Wanita bernama Aurora itu telah dia peringatkan, namun tidak pergi juga. Jadi, bukan salahnya jika sampai terjadi apa-apa. Benar begitu, bukan?

                “Jangan!” teriak sebuah suara dan pecahan tajam yang ada di tangan pasien itu terlepas juga.

                Terdengar suara rintihan yang membuat kegilaan itu berhenti sesaat. Ada darah di tangan Aurora yang terkena pecahan benda bening itu. Namun, perawat itu pantas menerimanya. Perawat lain telah mengakui kesulitan ini, salah siapa wanita satu ini begitu berani?

                Dengan bisikan-bisikan lainnya, sebuah benda tajam lain ditemukan. Tidak terhentikan lagi, semua akan berakhir kali ini!

                “Jangan!” terdengar larangan, tidak terlalu keras dan hampir mirip sebuah alunan suara putus asa. “Aku mohon jangan lakukan itu!”

                Itu suara Aurora yang berlinangan air mata, putus asa dengan luka di tubuhnya.

                “Kamu tau, hidupmu berharga bagi banyak orang,” kata perawat itu.

                Pasiennya masih memegang erat maut di tangannya.

                “Jika kamu mati sekarang, para perawat dan dokter di sini akan kehilangan pekerjaannya bahkan akan mendapat konsekuensi yang lebih berat lagi.”

                Kalimat itu terdengar seperti permohonan.

                “Pikirkan orang tuamu yang seumur hidup mempertahankanmu.”

                Ini benar-benar kalimat putus asa. Aurora bahkan tidak yakin bahwa pria yang berdiri di depannya itu mendengarkannya. Mungkin saja, pasiennya itu akan mati sebelum dia menyelesaikan kalimat tidak berartinya atau justru pecahan tajam itu akan menghabisi Aurora terlebih dulu. Si Theo itu gila dan Aurora mungkin juga. Bicara pada pria ini dan membujuknya? Jika bukan gila lalu apalagi?

                “Orang yang mendonorkan ginjalnya untukmu juga akan hidup dengan kesia-siaan.”

                Dalam bayangan perawat dan pasien itu tergambar wajah yang sama, pria tua dengan senyum maklumnya. Pria yang sanggup melakukan apa saja demi hidup orang lain, terutama anak-anaknya.

                Aurora mulai terisak, “Dan teman-temanmu, mereka telah mengulur waktu demi kehidupanmu. Apa kamu setega itu mengkhianati pengorbanan mereka? Apa sampai detik ini, kamu belum sadar betapa berharganya hidupmu ini, Aaron?”

                Ada memori yang berputar-putar. Tawa-tawa riang anak-anak kecil juga kerindangan pohon-pohon. Suasana yang hangat yang paling pasien itu rindukan. Apa benar yang perawat ini katakan tanya si pasien itu dalam hatinya.

                Aurora tidak peduli. Dia telah kehabisan kata-katanya yang gila. Darah yang mengalir dari lengannya membuatnya terbaring di lantai. Dia tidak berharap banyak pada pria yang masih berdiri tegak di depannya. Dia tadi hanya menyuarakan isi hati di tengah keputusasaan diri.

                Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi. Kaki-kaki panjang itu melangkah. Bersama dengannya jatuh juga sesuatu dari tangannya. Benda tajam yang sedari tadi mengancam nyawa. Aurora hanya bisa menahan napasnya. Dia pikir, inilah detik-detik di mana dia menyaksikan pasiennya itu mengakhiri hidup.

                ***

                “Theo?” panggil sebuah suara. Itu suara yang familiar, Raanana.

                Theo menengok ke wajah itu, “Dia baik-baik saja?” tanyanya.

                Raanana menelan ludahnya. Dia mungkin telah berkali-kali melihat kesadaran pasiennya, namun kali ini terasa sedikit berbeda. Theo bertanya dengan cara yang belum pernah Raanana lihat sebelumnya.

                “Perawat itu, apa dia baik-baik saja?”

                Raanana terkesiap, “Ya,” jawabnya dengan nada bahagia. “Dia baik.”

                Theo kembali memalingkan wajahnya menuju ke arah jendela. Namun, dari sudut matanya dia melirik semua benda di kamarnya. Seperti biasa, semua telah rapi seolah tidak terjadi apa-apa.

                “Apa dia akan pergi seperti yang lain, Raa?”

                “Soal itu aku belum tahu, tapi kamu bisa menanyakannya sendiri.”

                Theo menarik napas diam-diam dan mengeluarkannya dengan cara yang sama. Dia pernah ada di saat-saat seperti ini sebelumnya meskipun dia telah lupa kapan tepatnya itu. Saat di mana dunia terlihat sama seperti orang lain melihatnya.

                “Theo … .”

                “Aaron.”

                “Apa?” tanya Raanana dengan terkejut.

                “Mulai hari ini aku ingin dipanggil dengan Aaron.”

                “Tentu. Boleh saja,” jawab Raanana dengan ringannya.

                “Jika wanita itu ingin pergi, biarkan saja. Tapi, aku harap dia menetap.”

                Raanana tertunduk lemah dengan hati lega. Sepuluh tahun berlalu dengan semua usahanya. Bukan hanya orang-orang yang meragukan dirinya, kadang dia sendiri juga mulai kehilangan kepercayaan diri. Sejauh ini dia mencari seseorang yang cukup berani dan siapa sangka orang itu datang dari pertemuannya yang tidak disengaja dengan kawan lama.

                “Kamu mungkin akan terkena komplikasi, Can.”

                “Hanya kumpulan beberapa penyakit, aku masih bisa menahannya,” jawab pria sebaya Raanana itu.

                “Kamu masih seperti yang dulu. Keras kepala.”

                “Tidak ada yang mengalahkan keras kepalamu. Buktinya aku telah menikah.”

                Raanana tertawa kecil dengan kalimat ejekan itu.

                “Lain kali, kamu harus bertemu ketiga putriku. Mereka cantik-cantik juga pintar, terutama Aurora. Dia adalah aku versi wanita.”

                Candra Akarsana, pria yang bertekad sekuat karang. Jika sudah berkeinginan, Tuhan pun dia lawan jika mampu. Raanana awalnya ragu, namun tidak dia sangka bahwa tekad kuat itu menurun juga pada Aurora.

                “Apa sekarang kamu bisa bernapas lega, Raa?” tanya Theo atau sekarang harus dipanggil dengan Aaron.

                Raanana terbangun dari lamunannya, “Melihat dari ejekanmu itu, aku pikir dua puluh tahun yang berat ini sudah mulai kamu tinggalkan.”

                “Aku harap begitu,” sahut Aaron.

                ****

Bab terkait

  • Tawanan Kastil Putih   Orang-orang yang Peduli

    Usianya masih muda, namun tahun ini dia akan berulang tahun untuk yang ke dua puluh lima kalinya. Tidak terasa sudah dua puluh tahun berlalu. “Gael!” Ya, Gael. Dia adalah Gael, model pria berbakat yang belakangan menjadi ikon di mana-mana. Wajahnya terpampang di banyak sampul majalah ternama. Sebenarnya, ini bukan soal uang sebab pria ini telah kaya sejak lahir di dunia. Hanya saja, pria tampan sepertinya jika tidak populer, apa gunanya? “Dia kumat lagi?” tanya Gael pada orang yang baru datang itu. Io yan

  • Tawanan Kastil Putih   Perubahan

    Pelan. Namun, ketika matanya terpejam Aaron merasakan indera pendengarannya semakin tajam. Dengan cepat dia membuka matanya. Dia mencoba menerka, siapa gerangan yang masuk itu. Dan betapa leganya dia ketika menyadari bahwa itu adalah perawatnya. Sejujurnya, Aaron ingin melihat keadaan wanita itu secara langsung. Namun, mungkin saja Aurora masih ketakutan. Oleh sebab itu, Aaron hanya menunggu hingga waktu minum obat tiba. Tadinya, Aurora juga ingin melihat keadaan pasiennya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangannya. Namun, ekor matanya menangkap suasana yang sedikit berbeda. Sepertinya pria itu sedang

  • Tawanan Kastil Putih   Mungkin Mereka Bisa Berteman

    Aaron membuka matanya. Semalam adalah malam yang sedikit berbeda, terutama tentang bagaimana caranya melihat dunia. Tadinya Aaron pikir pagi ini semua akan kembali seperti semula, namun ternyata tidak. Dia masih melihat dunia sebagaimana orang lain di sekitarnya. Bisikan-bisikan itu memang masih terdengar di waktu-waktu sepi. Namun, setiap bisikan itu muncul suara perawatnya selalu mengimbangi. “Kamu tau, hidupmu berharga bagi banyak orang.” Aaron menghembuskan napasnya lalu dengan satu tangan dia menyibakkan tirai jendela besar yang sejauh ini masih menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Dia kembali te

  • Tawanan Kastil Putih   Kilau Cahaya Kutub Bumi

    “Jadi, yang tinggal di kastil itu manusia?” “Ck!” terdengar bunyi decakan kesal dari mulut wanita berambut keriting itu, Kaira. “Seriusan ini aku!” “Gosh!” seru Kaira seraya menatap temannya. “Kamu gampang banget sih kemakan cerita-cerita ‘halu’ kayak begitu. Vampir dan semua yang ada kaitannya dengan itu cuma mitos, Tita! Do you understand what I mean?” Tita, wanita yang memang dasarnya penakut itu meringis.  

  • Tawanan Kastil Putih   Malam yang Berat

    Wajah yang sejak tadi tampak lelap dalam tidur itu tiba-tiba berubah airnya. Ada kerutan yang dalam di dahinya pertanda datangnya mimpi buruk yang beberapa hari berusaha ditekan mati-matian. Dan Aaron mencengkeram erat selimut yang memeluk tubuhnya berharap mendapat kekuatan dari sana. Namun, bayangan anak-anak kecil terus berlarian memenuhi kepalanya dan rasanya semakin lama semakin sesak saja. “Arggh!” Bak mendengar suara petir yang tidak tahu dari mana, Aurora terbangun juga dari tidurnya yang sebenarnya tidak begitu dalam itu. Dia selalu ingat bahwa jam kerjanya adalah dua puluh empat jam. Oleh karena itu selama waktu dinasnya ini dia tidak boleh lengah sedikit pun. Aurora bangkit dari r

  • Tawanan Kastil Putih   Rahasia Keluarga

    “Semua baik-baik aja?” tanya Maria pada pria yang sedang duduk diam di sebelahnya. “Apa maksudmu?” tanya balik pria itu. “Sikapmu sedikit grusa-grusu seharian ini.” Ken menghela napasnya. Dia dan Maria sudah kenal sejak lama bahkan jauh sebelum keduanya bekerja di kastil ini. Selain itu mereka juga masih ada hubungan sepupu, jadi rasanya percuma menyembunyikan sesuatu. “Kamu suka sama dia?” tanya Maria tiba-tiba. &

  • Tawanan Kastil Putih   Ketakutan yang Terjadi Juga

    “Habis melacur yach semalam?” Pedas. Namun, Aurora sangat enggan menanggapinya. Dia berusaha menembus tubuh-tubuh pelayan yang menghalangi langkahnya. “Senikmat itu sampai nggak bisa berkata-kata?” Kali ini tangan Agatha menahan lengannya. “Lepas!” “Tambah berani sekarang karena udah jadi wanitanya Tuan Muda!” kata Agatha lagi disertai tawa sinis.  

  • Tawanan Kastil Putih   Sikap Berbeda

    “Udahlah, kamu istirahat aja!” kata Thea. Aurora tersenyum, “Aku di sini digaji untuk bekerja bukan untuk berbaring seharian di ruang perawatan.” “Tapi, kan kamu masih sakit,” lanjut Thea. Dia tahu bahwa beberapa pasang mata melihatnya dengan cara yang sama dengan bagaimana mereka memandang Aurora, namun dia kini tidak lagi peduli. “Klo kamu terus berada di dekatku, mereka pikir kamu membelaku,” ujar Aurora. “Nggak masalah, memang itu maksudku,” kata Thea mantap. &nbs

Bab terbaru

  • Tawanan Kastil Putih   Merajut Asa

    “Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K

  • Tawanan Kastil Putih   Layani Aku Malam Ini!

    Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&

  • Tawanan Kastil Putih   Bertemu Kembali

    “Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula

  • Tawanan Kastil Putih   Kerelaan Aurora

    Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua

  • Tawanan Kastil Putih   Melepaskan Apa yang Sudah Menjadi Milik Orang

    Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n

  • Tawanan Kastil Putih   Menggali Harapan yang Terkubur

    “Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k

  • Tawanan Kastil Putih   Wujud Rasa Kecewa

    Brakh! Pria paruh baya itu terkejut mendengar suara meja yang sengaja digebrak oleh atasannya. “Hei, Pak Tua!” kata Aaron. “Aku dianggap gila selama puluhan tahun. Tapi, aku lebih cerdas darimu! Aku bahkan bisa membuat laporan semacam itu hanya dengan mata tertutup! Jadi, selama ini apa kerjamu?” teriaknya bertubi-tubi. Baron melirik pengawal yang berdiri tegap di sebelahnya, sesama rekan abdi setia yang berpindah haluan seiring tahta yang beralih dari sang ayah ke putra tunggalnya. Dia tidak sedang bermain mata, melainkan memberikan kode pada rekannya itu bahwa malam ini mereka be

  • Tawanan Kastil Putih   Mencari Wanita yang Tepat

    Gael datang menemui Alice seusai sidang yang menjatuhkan vonis pada wanita itu bahwa dia sedang ada dalam gangguan jiwa. Kondisi Alice tidak banyak berubah, kecuali rambut yang tampak kusut dan tatapan kosongnya. Gael menggeleng lemah. Seperti itulah akhir untuk orang yang terlalu mengikuti ambisi dalam diri. “Bisa buka aja borgolnya?” pintanya pada salah seorang petugas yang mendampingi Alice. Gael merasa iba pada wanita itu. “Untuk apa kamu datang? Mau menertawakan aku?” Tidak Gael sangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan itu dari Alice yang sudah lesu dan layu.&n

  • Tawanan Kastil Putih   Pergi. Mungkin selamanya ...

    Dua sepupu itu datang hampir bersamaan dan bertemu di perempatan sebuah lorong. Mereka itu Gael dan Ken yang kemudian melihat apa yang Nick lakukan pada Aurora. Mereka juga menjadi saksi bagaimana bibi mereka membela wanita itu. Tentu saja itu di luar dugaan, namun melihat dari yang terjadi sepertinya memang hati seorang ibu lebih mudah luluh daripada seorang ayah. “Aku lelah,” tutur Amanda. Nick diam menatap istrinya. Cinta pertamanya itu terlihat berbeda dari wanita yang dikenalnya selama ini. “Nyonya Johansson, Anda tidak perlu … .”&n

DMCA.com Protection Status