“Kastil?” tanya Tita seraya mengernyitkan kening.
Kaira mengangguk, “Klo nggak percaya, tanya aja sama dia,” ucap wanita berambut keriting itu sambil menunjuk teman satunya.
“Beneran, Ro?” tanya Tita lagi memastikan.
Aurora mengangguk tidak berselera. Matanya masih sibuk dengan layar laptop dan tugas kuliah yang harus selesai secepatnya. Dia tidak seperti dua temannya yang sejak tadi santai-santai.
“Ada yang tinggal di sana?” tanya Tita semakin penasaran saja.
Aurora mengangguk.
“Apa aku bilang,” ujar Kaira dengan senyum. Dia cukup puas dengan rasa keingintahuan Tita yang meluap-luap itu.
“Siapa yang tinggal di sana, Ro? Manusia? Eh, manusia, kan?” berondong Tita kemudian.
“Drakula!” kata Aurora hampir berseru.
Sontak dua orang yang sedari tadi mengganggu konsentrasinya itu terkejut.
“Drakula! Vampir! Werewolf! Ada di sana semua! Puas?”
Kaira yang tadi niatnya hanya bercanda, kini ikut takut juga. Bukan dengan jawaban Aurora, melainkan mimik wajahnya.
“Kamu serius, Ro?” tanya Tita dengan ciutnya.
“Astaga!” seru Aurora hampir frustasi. “Ya, nggaklah, Tita! Mana ada makhluk begituan di dunia ini! Itu cuma mitos! Kalaupun ada, tuh di sana! Di rak perpustakaan, dalam buku-buku fiksi!”
“Santai, donk!” pinta Tita.
“Santai gimana? Dari tadi aku tuh berusaha fokus ngegarap tugas, tapi kalian berdua ribut terus!” gerutu Aurora pada dua teman sekamar kosnya itu.
Kaira terbahak.
“Ini lagi, kurang kerjaan! Inget tuh revisi numpuk!”
“Biarin!” balas Kaira.
Aurora menggelengkan kepalanya, percuma ribut dengan dua orang itu. Mereka terlalu dekat satu sama lain hingga kejadian semacam ini dianggap hanya sekedar intermezo belaka.
“Jadi, yang tinggal di sana manusia kan, Ro?” lanjut Tita pada keingintahuannya.
“Bodo amat!”
***
Aurora menarik napasnya sesaat setelah pikirannya kembali pada masa-masa di mana dia baru menjalani awal-awal kuliah keperawatannya, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Dia dan dua sahabat karibnya, Kaira dan Tita yang sama-sama memutuskan untuk mendedikasikan diri sebagai perawat saat itu sedang asyik-asyiknya menjalani kuliah D3. Alih-alih mengenang jatuh bangun ketiganya di tempat yang jauh dari orang tua, Aurora justru lebih teringat pada percakapan ketiganya tentang sebuah bangunan megah di pinggir kota tempat asalnya, kota ini.
Hari itu mereka hanya bergurau tentang bangunan megah itu, namun tidak pernah Aurora bayangkan sebelumnya bahwa hari ini dia akan menginjakkan kakinya di sana, sebuah kastil yang banyak menarik sorotan mata. Semasa kecil, Aurora pikir itu hanyalah kastil peninggalan penjajah yang pernah menguasai negara ini. Namun, setelah dewasa Aurora baru tahu bahwa kastil itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah negara, hanya sekedar bangunan milik orang kaya yang sengaja membangun kastil untuk tempat huniannya. Namun, mengapa mereka membangunnya? Aurora tidak pernah ingin tahu mengapa sampai hari ini datang.
“Silahkan duduk, Nona!” salah seorang pelayan mempersilahkan Aurora duduk.
Pemilik kastil ini adalah orang kaya sudah pasti memiliki banyak pelayan di dalamnya batin Aurora sembari mengangguk pelan. Sejujurnya, dia lebih memusatkan diri pada arsitektur bangunan megah yang baru saja dimasukinya itu.
“Tiffany Aurora?”
Aurora terkejut saat tiba-tiba seseorang memanggil namanya, dengan lengkap pula. Sontak dia menoleh ke arah sumber suara. Dan dia menemukan seorang wanita yang seusia ibunya, namun memiliki postur lebih tinggi.
“Namaku Raanana,” ujar wanita paruh baya itu seraya menyodorkan tangannya.
Aurora dengan sigap menjabatnya dan duduk kembali bersamaan dengan duduknya wanita yang baru datang itu.
“Kamu putrinya Candra?” tanya Raanana dengan santai menyebut nama orang tua Aurora.
“Iya,” angguk Aurora. “Anda mengenal ayah saya?”
Raanana mengangguk pasti, “Kami teman semasa SMA,” ujarnya.
Aurora menundukkan kepalanya untuk berpikir sejenak.
“Bagaimana ners-mu?”
Aurora terkejut lalu mendongak, “Sudah selesai,” jawabnya pendek.
“Candra mengatakan kamu ingin melanjutkan S2.”
“Iya.”
“Dia juga cerita tentang beasiswa yang kamu dapat itu.”
Aurora tidak menjawab dan kembali menunduk.
“Sayang sekali bukan kalau sampai dilewatkan?”
Ruangan itu sejenak hening.
Lalu, Raanana berkata, “Kamu yakin dengan pilihanmu yang sekarang, Rora?”
Aurora mendongak. Dari sekian banyak orang yang dia temui, hanya beberapa orang yang memanggilnya dengan nama pendek itu. Sepertinya orang yang duduk di seberang meja dengannya itu mengenal betul dirinya.
“Aku mengenal benar ayahmu. Dan dari semua putrinya, kamulah yang paling mirip dengannya.”
Aurora menghela napas pendek, “Lalu, kenapa Anda masih terus bertanya?”
Raanana menatap lekat Aurora yang menghadap lurus ke arahnya itu.
“Apa Tuan Kendrick belum menjelaskannya?”
“Dia sudah mengatakan semua. Aku hanya ingin memastikan saja,” sahut Raanana.
“Memastikan apa?”
“Memastikan apakah tekadmu cukup kuat untuk mengambil pekerjaan ini. Ditambah lagi dalam hal ini, kita akan banyak berinteraksi. Jujur saja, aku tidak mau bekerja dengan orang yang tidak kuat pendiriannya. Pekerjaan yang akan kamu kerjakan ini telah diisi banyak orang sebelumnya, paling lama mereka hanya bertahan satu atau dua bulan saja.”
Aurora merasakan tenggorokannya mulai kering melihat tatapan mata wanita di depannya yang mendadak serius.
“Kamu seorang perawat, aku yakin kamu sudah sangat paham apa arti kata ‘merawat’ . Benar, bukan?”
Aurora menatap mata Raanana dengan seribu tanya. Perlahan-lahan dia mulai menerka-nerka, sepertinya ada alasan khusus yang membuat seorang keluarga kaya membangun kastil megah di pinggir kota.
“Jadi, sebenarnya siapa yang harus saya rawat?”
Raanana mengalihkan mata, dari Aurora menuju ke jendela. Diam-diam dia mengambil napas lalu katanya, “Namanya Theo, usianya sebayamu.”
“Dia sakit apa?”
“Fisiknya normal, hanya jiwanya yang terguncang akibat trauma masa lalu.”
“Dia tidak … .”
“Hampir,” potong Raanana. “Jika dia terlambat meminum obatnya dia akan kehilangan batasnya.”
Aurora meneguk ludahnya sendiri. Sebelumnya tidak ada satu pun yang mengatakan tentang apa yang akan dia kerjakan di tempat ini. Pria bernama Kendrick itu hanya menyanggupi perkataan Aurora lalu menelepon seseorang dan membawa Aurora ke sini.
“Dia sudah lama menderita gangguan jiwa?”
“Sejak usianya sepuluh tahun.”
Terjawab sudah mengapa kastil ini harus dibangun. Keluarga kaya ini memiliki aib yang cukup fatal bila diceritakan. Jadi, mereka menjadikan kastil ini sebagai sejenis topeng untuk menutupi kenyataan.
“Apa yang harus saya kerjakan sebagai perawatnya?” tanya Aurora dengan segenap keberanian yang dimilikinya. Dia sudah masuk dalam sebuah ruangan di mana dia harus bertanggungjawab atas apa yang dia katakan sebelumnya.
Raanana menatap kembali Aurora. Untuk sesaat, wanita itu memperhatikan wajahnya. Sekali lagi ingin memastikan apa yang ingin dia pastikan sejak awal. Lalu dengan wajah semakin serius saja dia berkata, “Sederhana. Sama seperti merawat pasien jiwa lainnya. Pastikan dia meminum resep untuk pengobatannya. Dan satu lagi jika bisa, jadilah temannya!”
Aurora mengernyitkan keningnya. Menjadi teman seorang pasien dengan gangguan jiwa? Maksudnya?
****
“Pekerjaannya adalah merawat seorang tawanan, apa Nona Aurora bersedia?” Aurora menatap Ken dengan mata bulatnya. Pria jangkung itu pun tidak memalingkan wajah darinya. “Nona?” “Panggil Aurora aja!” pinta Aurora. “Ok,” angguk Ken. “Jadi, kamu bersedia?” Aurora tidak kunjung menjawab pertanyaan yang diberikan Ken, melainkan sekali lagi menatap berkeliling. Dia masih cukup takjub dengan dekorasi dan segala orn
“Daging segar!” celetuk sebuah suara. “Cantik, sih! Tapi, tahan berapa lama?” timpal lainnya. “Dipikir wanita penghibur,” sahut yang satunya lagi. Dan setelahnya, Aurora selalu mendengar suara tawa yang amat merendahkan dari para pelayan itu. Awalnya Aurora berusaha biasa saja, namun saling lempar kalimat cibiran itu semakin lantang mereka cuitkan setiap harinya. Seakan-akan mereka menganggap pekerjaan Aurora ini adalah pekerjaan yang paling rendah di kastil ini. Aurora menyeruput minumannya. Ini adalah i
Raanana sedang termenung di depan jendela ruangannya saat Aurora masuk bersama Ken. Dia segera berbalik dan begitu terlihat khawatir saat melihat kondisi anak teman SMA-nya itu. “Mereka sudah mendapat peringatan. Jika terjadi lagi, otomatis akan diberhentikan,” ujar Ken. Raanana mengangguk, “Lanjutkan tugasmu,” katanya pada Ken. Aurora diam seraya menatap pria tinggi yang beberapa saat lalu menolongnya dari amukan para pelayan gila itu. Andai Ken terlambat, mungkin saja dirinya telah menjadi kue pie atau bahkan sup. &
Putih. Di setiap mata terbuka yang tampak hanyalah warna putih, dinding-dinding bangunan megah berwarna putih. Jenuh? Iya, namun keluar dari sana akan membahayakan lebih banyak orang lagi. Dan Aaron Theodore Johansson tidak mau melakukannya. Lagi. Tidak lagi. Lalu, dua puluh tahun ini dia habiskan di kastil megah dengan nuansa warna putih itu. Setidaknya dengan cara ini akan ada banyak orang terlindungi, termasuk orang tuanya sendiri. Dalam alam bawah sadarnya, dia paham bahwa dunia tetap harus berputar meskipun seorang pewaris kaya sepertinya mati membusuk dengan kondisi mengenaskan. Namun, semenjak p
Usianya masih muda, namun tahun ini dia akan berulang tahun untuk yang ke dua puluh lima kalinya. Tidak terasa sudah dua puluh tahun berlalu. “Gael!” Ya, Gael. Dia adalah Gael, model pria berbakat yang belakangan menjadi ikon di mana-mana. Wajahnya terpampang di banyak sampul majalah ternama. Sebenarnya, ini bukan soal uang sebab pria ini telah kaya sejak lahir di dunia. Hanya saja, pria tampan sepertinya jika tidak populer, apa gunanya? “Dia kumat lagi?” tanya Gael pada orang yang baru datang itu. Io yan
Pelan. Namun, ketika matanya terpejam Aaron merasakan indera pendengarannya semakin tajam. Dengan cepat dia membuka matanya. Dia mencoba menerka, siapa gerangan yang masuk itu. Dan betapa leganya dia ketika menyadari bahwa itu adalah perawatnya. Sejujurnya, Aaron ingin melihat keadaan wanita itu secara langsung. Namun, mungkin saja Aurora masih ketakutan. Oleh sebab itu, Aaron hanya menunggu hingga waktu minum obat tiba. Tadinya, Aurora juga ingin melihat keadaan pasiennya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangannya. Namun, ekor matanya menangkap suasana yang sedikit berbeda. Sepertinya pria itu sedang
Aaron membuka matanya. Semalam adalah malam yang sedikit berbeda, terutama tentang bagaimana caranya melihat dunia. Tadinya Aaron pikir pagi ini semua akan kembali seperti semula, namun ternyata tidak. Dia masih melihat dunia sebagaimana orang lain di sekitarnya. Bisikan-bisikan itu memang masih terdengar di waktu-waktu sepi. Namun, setiap bisikan itu muncul suara perawatnya selalu mengimbangi. “Kamu tau, hidupmu berharga bagi banyak orang.” Aaron menghembuskan napasnya lalu dengan satu tangan dia menyibakkan tirai jendela besar yang sejauh ini masih menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Dia kembali te
“Jadi, yang tinggal di kastil itu manusia?” “Ck!” terdengar bunyi decakan kesal dari mulut wanita berambut keriting itu, Kaira. “Seriusan ini aku!” “Gosh!” seru Kaira seraya menatap temannya. “Kamu gampang banget sih kemakan cerita-cerita ‘halu’ kayak begitu. Vampir dan semua yang ada kaitannya dengan itu cuma mitos, Tita! Do you understand what I mean?” Tita, wanita yang memang dasarnya penakut itu meringis.  
“Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K
Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&
“Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula
Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua
Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n
“Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k
Brakh! Pria paruh baya itu terkejut mendengar suara meja yang sengaja digebrak oleh atasannya. “Hei, Pak Tua!” kata Aaron. “Aku dianggap gila selama puluhan tahun. Tapi, aku lebih cerdas darimu! Aku bahkan bisa membuat laporan semacam itu hanya dengan mata tertutup! Jadi, selama ini apa kerjamu?” teriaknya bertubi-tubi. Baron melirik pengawal yang berdiri tegap di sebelahnya, sesama rekan abdi setia yang berpindah haluan seiring tahta yang beralih dari sang ayah ke putra tunggalnya. Dia tidak sedang bermain mata, melainkan memberikan kode pada rekannya itu bahwa malam ini mereka be
Gael datang menemui Alice seusai sidang yang menjatuhkan vonis pada wanita itu bahwa dia sedang ada dalam gangguan jiwa. Kondisi Alice tidak banyak berubah, kecuali rambut yang tampak kusut dan tatapan kosongnya. Gael menggeleng lemah. Seperti itulah akhir untuk orang yang terlalu mengikuti ambisi dalam diri. “Bisa buka aja borgolnya?” pintanya pada salah seorang petugas yang mendampingi Alice. Gael merasa iba pada wanita itu. “Untuk apa kamu datang? Mau menertawakan aku?” Tidak Gael sangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan itu dari Alice yang sudah lesu dan layu.&n
Dua sepupu itu datang hampir bersamaan dan bertemu di perempatan sebuah lorong. Mereka itu Gael dan Ken yang kemudian melihat apa yang Nick lakukan pada Aurora. Mereka juga menjadi saksi bagaimana bibi mereka membela wanita itu. Tentu saja itu di luar dugaan, namun melihat dari yang terjadi sepertinya memang hati seorang ibu lebih mudah luluh daripada seorang ayah. “Aku lelah,” tutur Amanda. Nick diam menatap istrinya. Cinta pertamanya itu terlihat berbeda dari wanita yang dikenalnya selama ini. “Nyonya Johansson, Anda tidak perlu … .”&n