Malam semakin larut, suasana dingin mulai menyelimuti, namun Serena masih harus berkutat dengan pekerjaan. Ini adalah hari pertama ia bekerja sebagai seorang pelayan.
Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya dan Serena tetap tak akan menyerah walau itu sangat menyiksa. Ia harus mendapatkan uang demi pengobatan sang suami yang lumpuh setelah terserang stroke. Tak ada pilihan lain, kini Serena harus melakukan apa saja demi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ditengah-tengah kegiatannya mengepel, salah seorang pelayan menepuk bahunya. "Serena, masuklah ke kamar itu dan bersihkan semua kotoran yang ada di sana!" ujarnya dengan nada serius. "Iya baiklah," sahut Serena tanpa berpikir panjang, membuat teman seprofesinya menyeringai tipis saat melihatnya langsung melakukan apa yang sudah ia minta. Serena pun bergegas melangkah memasuki kamar yang sudah ditunjukkan. Begitu masuk ke dalam, tubuh Serena sempat mematung beberapa detik. Aroma therapy yang menguar dari sudut-sudut ruangan terasa menenangkan saat dinikmati. Di dalam kamar luas bernuansa maskulin itu juga tak terlihat ada kotoran sama sekali, hanya tempat tidur saja yang terlihat berantakan. Tanpa mengulur waktu, Serena segera melakukan tugasnya. Dirapikannya bed cover yang sedikit menjuntai, sebelum akhirnya beralih merapikan bantal, tetapi ditengah-tengah kegiatan yang ia lakukan tiba-tiba seseorang mendorongnya dengan kasar. "Akhhh!!" pekik Serena spontan. Tubuhnya kini terlempar ke atas ranjang, namun tak lama pergelangan tangannya ditarik agar ia berada dalam posisi duduk dan berhadapan dengan pria yang telah mendorongnya. Tampan, itulah satu kata yang cocok untuk menggambarkan visual pria di hadapannya. Rahang tegas dihiasi alis tebal melintang dan sorot mata setajam elang, sungguh membuatnya tampak begitu sempurna. Tanpa sadar, mata teduh Serena sibuk mengagumi sosok di hadapannya. Ia baru tersadar saat tubuhnya kembali diguncang dengan kuat. "Siapa kau?" tanya Serena kemudian dengan degupan jantung yang berpacu cepat. "Aku pemilik rumah ini, beraninya kau masuk kemari?" Ditanya seperti itu, rasa takut seketika menjalar ke sekujur tubuh Serena. Ia tentu sudah mendengar rumor kekejaman seorang Morgan Calister, sang pemilik rumah, dan kini pria itu tepat berada di hadapannya, meremas kedua bahunya sebelum menurunkan paksa pakaian yang menutupinya. "Tuan apa yang anda _ hmphhhh .... " Serena tak diberi kesempatan untuk bicara. Bibirnya kini sudah dilahap habis-habisan oleh pria bernama Morgan tersebut. Tak cukup sampai di situ, tubuhnya mulai disentuh dengan cara yang tak biasa, membuat Serena semakin meronta-ronta. "Menurutlah jika tak ingin kesakitan," desis Morgan di telinga Serena. Membuat wanita itu kembali memohon dengan nada pilu. Sayangnya, seorang Morgan Calister bukanlah pria yang mudah tersentuh oleh rengekan seperti itu. Dengan sentakan kuat ia berhasil menyingkirkan semua yang membalut tubuh pelayan di hadapannya. Benar apa yang Morgan duga. Serena memiliki tubuh yang sangat indah. Dengan keahliannya ia segera menyentuh bagian-bagian tersensitif milik wanita itu, hingga membuat Serena semakin merasa kehilangan dirinya sendiri. Tanpa sadar tubuhnya telah menerima apa yang Morgan lakukan. Tak mudah bagi Serena untuk menolak semua sentuhan yang akhir-akhir ini hanya mampu bermain dalam imajinasinya saja. Bagaimana tidak, beberapa bulan sudah sang suami tidak menyentuhnya sama sekali. Mereka kerap terlibat percekcokan semenjak usaha penjualan parfum milik Serena mengalami kebangkrutan. Puncaknya adalah saat pria itu jatuh sakit hingga menderita kelumpuhan. Sedangkan sekarang ia diperlakukan seperti itu. Serena merasa dirinya bagai menemukan oase di tengah padang pasir, tubuhnya begitu menikmati adegan demi adegan yang terjadi. Bibirnya pun tak mampu menyembunyikan kenikmatan yang ia rasakan. "Ohhh ... you're so damn hot Baby!!" pekik Morgan saat miliknya sudah dimanjakan oleh milik Serena. Ia sungguh tak menyangka ada seorang pelayan senikmat itu di rumahnya. Tak peduli pada bibir Serena yang sesekali meminta ampun, Morgan tetap melakukan apa yang ia suka. Istirahat sebentar lalu melakukannya kembali, lagi dan lagi. Di permainan ketiga mereka, Serena sampai kewalahan. Pria bernama Morgan itu sungguh seperti singa kelaparan yang sangat buas, tapi tak bisa dipungkiri. Serena merasakan kepuasan bertubi-tubi meski ia akhirnya pingsan karena tak sanggup lagi mengimbangi. Ia baru terbangun saat mencium aroma minyak penghangat di ujung hidungnya. Serta-merta Serena bangkit dari tempatnya, namun sepasang tangan kembali menarik tubuhnya. "Kumohon lepaskan aku Tuan, aku harus pulang," lirih Serena. "Hmm ... pulang ya," sahut Morgan dengan senyum miring menghiasi bibirnya. "Jangan pernah keluar dari sini kecuali kau ingin mati!!" ujar Morgan lagi sambil mendekap erat tubuh Serena, tapi ternyata itu tak membuat Serena pasrah begitu saja. Sekuat tenaga ia berusaha mendorong tubuh Morgan dan ternyata pria itu melepaskannya. "Untuk apa kau pulang? tetaplah di sini bersamaku dan akan kuberikan apapun yang kau mau, asalkan kau bersedia menghangatkan ranjangku kapanpun aku mau." Serena tersentak mendengar tawaran itu. Sudah pasti ia menolak karena dirinya bukanlah seorang jalang yang berkeliaran. Ia adalah seorang wanita bersuami. Morgan sendiri tak menyangka ada wanita yang berani menolaknya. Ini adalah kali pertama ia mengalami hal seperti itu. "Apa yang membuatmu menolakku? bukankah tadi kau sangat menikmatinya?" tanya Morgan lagi. Pria itu masih duduk dengan santai di atas ranjang sambil memperhatikan semua yang Serena lakukan. Bagian dada wanita itu sepertinya akan menjadi favoritnya saat berada di rumah. "Pelayan!! jawab pertanyaanku barusan! Apa yang membuatmu berani menolakku?!" Kali ini suara Morgan terdengar meninggi namun Serena berusaha untuk berani menghadapi pria itu. "Maaf Tuan, saya memiliki seorang suami. Jadi tolong, apa yang terjadi hari ini biarlah berlalu begitu saja, saya permisi!!" ucap Serena tegas sambil berlalu pergi, dan itu membuat Morgan merasa begitu terhina. "Beraninya kau menolakku pelayan bodoh!! Baiklah jika ini maumu. Kau punya suami kan, jadi mari kita bermain-main Sayang," cerocos Morgan seorang diri setelah Serena benar-benar berlalu dari hadapannya.Dengan langkah tertatih Serena melangkah menyusuri jalanan yang dipenuhi dedaunan kering karena saat ini memang tengah musim gugur. Matanya terpejam beberapa saat sebelum akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah. Rumah kecil yang ia tinggali bersama suami dan ibu mertuanya. "Darimana saja? kukira kau sudah tak ingat pulang?" Itulah kata sambutan yang Sean layangkan begitu melihat kehadiran istrinya. "Apa maksudmu Sean? aku baru saja bekerja, kau tak lupa tentang itu kan?" sahut Serena sambil menuangkan air minum ke dalam gelas yang ia genggam lalu meneguknya perlahan. "Apa saja yang kau kerjakan sampai pulang selarut ini?!" pertanyaan itu sekarang muncul dari bibir Lucy, ibu mertua Serena. Ditanya seperti itu Serena justru tersenyum sinis. "Kenapa Ibu harus bertanya? bukankah Ibu sendiri yang memaksaku bekerja di rumah itu. Harusnya Ibu lebih tahu segalanya daripada aku," ujarnya sambil melenggang pergi, tapi ternyata jawaban yang baru saja ia berikan membuat Lucy tak terim
Ditengah-tengah rasa takut yang mendera, Serena merasakan seseorang menarik tubuhnya dengan kuat. Membawanya ke dalam dekapan yang hangat dan ia tahu siapa yang melakukan itu, Morgan. Tatapan mata mereka sempat beradu beberapa saat sebelum Morgan kembali menatap lurus ke depan. Memberikan perintah pada anak buahnya untuk menyingkirkan orang-orang Aroon. Belum sempat Serena bertanya, Morgan sudah membawanya masuk ke salah satu kamar hotel. Sampai di sana tubuh Serena di tekan ke dinding. "Apa yang kau lakukan di sini hmm?" tanya Morgan dengan mendekatkan bibir ke telinga Serena. "Seseorang ... menangkap ... saya Tuan," jawab Serena tergagap. "Begitu ya? jadi hari ini aku sudah menjadi pahlawan untukmu?" "Iya Tuan, karena itu saya ucapkan banyak-banyak terimakasih. Sekarang tolong biarkan saya pergi." Ucapan Serena kali ini membuat Morgan tertawa menggelegar. "Beraninya kau menyuruhku. Aku tak akan melepaskanmu sebelum mendapatkan imbalan darimu. Buat aku melayang seperti malam
Apa yang Serena lakukan ternyata membuat Morgan penasaran. Tangan pria itu perlahan menurunkan apa yang semula ia arahkan pada keningnya, membuat wanita itu membuka mata karena penasaran dengan apa yang terjadi. "Kenapa?" lirih Serena dengan sorot mata sendu. "Jadilah wanitaku dan kau bisa melampiaskan semua amarahmu pada orang-orang yang telah menyakitimu!" Serena terdiam, ia tahu pria di hadapannya tidak mencintainya, mungkin yang dibutuhkan hanya tubuhnya, tapi tawaran yang diberikan terdengar cukup menarik. Lagipula ia sudah muak. Semakin hari Serena juga semakin menyadari kalau suami yang selama ini ia cintai hingga membuatnya rela bersimpuh di hadapan almarhum kedua orangtuanya demi mendapatkan restu, kini tak lagi mencintainya. Sean telah berubah semenjak dirinya kehilangan kekayaan dan orangtua. Apa yang pria itu lakukan bersama dengan ibunya membuat Serena hampir gila. Ia dipaksa melakukan hal-hal yang menurutnya sangat berat dan diluar kemampuannya. Tak ada diantar
Saat Morgan masih di kamar mandi, Serena menatap ke sana kemari, mencoba mencari pakaian yang katanya disediakan untuknya, tapi ternyata memang belum ada. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu sambil duduk di tepi ranjang hanya dengan berbalut handuk kimono saja. Tak lama pintu kamar mandi terdengar dibuka. Morgan nampak keluar dari sana dengan rambut yang masih sedikit basah dan handuk yang melilit di pinggangnya. Serena sangat terkejut mendapati beberapa luka goresan di punggung pria itu. Bukan luka baru namun masih jelas terlihat. Tak bisa membendung rasa penasaran akhirnya Serena memutuskan untuk bertanya. "Kenapa punggungmu terluka?" Morgan yang tengah berdiri di depan cermin sambil mengusap-usap rambutnya langsung berhenti bergerak begitu mendengar pertanyaan Serena. Didekatinya wanita itu lalu berkata, "bukankah ini hasil perbuatanmu?" Kedua mata Serena membulat sempurna mendengarnya. Ia mendadak salah tingkah apalagi saat Morgan meraih kedua bahunya dan membuatnya berdi
Serena masih berada di kamar mandi, mematut penampilannya di depan cermin yang ada di sana. "Bagaimana jika Morgan melihatku dengan pakaian seperti ini?" Serena menggigit bibir bawahnya saat membayangkan tatapan liar Morgan. Yang Serena kenakan saat ini adalah pakaian yang menurutnya paling tertutup. Sehelai gaun tipis berwarna krem dengan dada tertutup rapat, namun bagian belakanya sangat terbuka. Hanya ada tali-tali kecil yang menjadi penahannya, untuk gaun yang lain malah jauh lebih parah dari itu. Jelas Morgan sengaja memberikan pakaian-pakaian tersebut. Ia yakin Serena akan tampak sangat cantik saat mengenakannya. Belum juga Serena merasa yakin untuk keluar, pintu kamar mandi sudah diketuk dari luar. "Serena!! kau tidur?!" seru Morgan yang merasa tak tahan karena terlalu lama menunggu. "Sebentar, aku baru selesai." "Cepatlah aku lapar!" sahut Morgan sambil mendengus kesal. Setelah menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan Serena akhirnya keluar dar
Sudah tiga hari lamanya Serena tak melihat Morgan. Malam ini hujan kembali mengguyur bumi. Ada sebuah rasa aneh yang terselip di hatinya. Rasa yang membuatnya sakit karena merasa kesepian dan sendirian. Ia juga merasa dibohongi karena sampai saat ini Morgan tak memberikan kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya terhadap Sean. Hingga tengah malam Serena tak bisa memejamkan mata. Ia hanya terus menatap hujan dari balik jendela sampai tiba-tiba pintu di belakangnya terbuka. Secepat kilat wanita itu menoleh, menatap ke arah orang yang baru datang. Orang tersebut ternyata adalah Morgan. Ia bahkan tak tahu kapan pria itu tiba di mansion. Serena sempat ingin bertanya, tapi ekspresi dingin menakutkan yang Morgan tunjukkan membuatnya urung melakukannya. Tak ada sepatah katapun yang pria itu ucapkan, bahkan ia tak menatap Serena sama sekali. Hanya sibuk melepas jas dari tubuhnya lalu masuk ke kamar mandi. Hati Serena semakin tertekan diperlakukan seperti itu, namun ia berusaha agar
Tatapan mata Morgan seketika berkilat karena amarah. Tangannya beralih mencengkeram leher Serena. "Jadi kau ingin mati?!" Diperlakukan seperti itu Serena sama sekali tak melawan meski rasa sakit mulai datang menghampiri. Hanya lelehan bening dari sudut matanya yang mewakili kehancurannya saat ini. Ia sedih karena tak bisa bertemu dengan orang-orang yang baik seperti saat kedua orangtuanya masih hidup. Ia lelah selalu ditindas oleh orang lain. Menurutnya kematian adalah yang paling bisa menyelamatkannya saat ini. Wajah Serena semakin pucat. Ia pikir Morgan akan benar-benar menghabisinya malam ini, tapi ternyata dirinya salah. Dengan tiba-tiba kedua tangan Morgan justru beralih merengkuh tubuhnya dan mendekapnya dengan erat. Tak ada apapun yang dikatakan pria itu, namun pelukannya terasa hangat. Kedua tangan Serena pun perlahan terangkat, membalas apa yang Morgan lakukan terhadapnya. Saat ini ia memang sangat membutuhkan perlakuan seperti itu. Tak lama tubuhnya pun diangkat m
"Sial, kenapa aku malah memikirkannya," gerutu Morgan sambil meremas gelas di tangannya. Ini adalah pertama kalinya ia merasa gelisah hanya karena seorang wanita. Morgan tentu tak ingin mengakui hal itu. Ia masih yakin dan berpegang teguh pada keyakinannya. Serena hanya tempat ia menyalurkan hasrat, tidak lebih. Berharap kegelisahannya bisa hilang, Morgan pun memilih menunju ke shooting range pribadi miliknya. Ruangan tempat ia melampiaskan segala emosi yang menyesakkan dengan mengarahkan tembakan pada target di depan sana. Cukup lama ia berada di tempat itu, namun saat kembali terdiam ingatannya masih saja tertuju pada Serena. "Sial," umpat Morgan yang kemudian menyerah. Pada akhirnya ia memutuskan untuk pulang setelah kembali memeriksa sang ibu di kamarnya. Maxime yang baru saja memejamkan mata sampai terlonjak saat Morgan menepuk bahunya. "I _ iya Tuan .... " "Antar aku pulang sekarang!" titah Morgan tak terbantahkan. Meski merasa heran, Maxime hanya bergegas mengikuti
Serena duduk di kamar seorang diri. Ia sengaja tak mengunci pintu, berharap Morgan segera masuk ke sana tapi ternyata hasilnya nihil. Pria itu sama sekali tak menampakkan batang hidungnya, membuat hati Serena kian kesal."Bukannya dia pernah bilang kalau akan membantuku mencaritahu apakah Sean terlibat dalam peristiwa yang terjadi pada ayah dan ibu, tapi apa ... sekarang yang ada aku malah disuruh melupakan semuanya. Dasar pembohooonggg!!""Siapa yang kau sebut pembohong. Aku tidak berbohong, aku hanya tak ingin melibatkanmu," sahut Morgan yang tiba-tiba saja sudah duduk di belakang Serena."Kenapa kau kemari?" tanya Serena ketus."Untuk menenangkan kelinci manisku yang sedang marah. Kemarilah Serena, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu!"Morgan menyentuh tangan Serena. Awalnya Serena ingin menepis sentuhan itu, namun dengan cepat tangan Morgan menangkap jemarinya dan meremasnya lembut."Apa yang ingin kau tunjukkan?" tanya Serena pada akhirnya."Sean Anderson, sebelum bersamamu dia
Keesokan harinya Morgan membawa Serena keluar dari mansion. Mereka menuju ke suatu tempat yang indah. Melihat Serena nampak begitu senang ternyata menumbuhkan kebahagiaan di hati Morgan. Ia terus memandangi Serena yang berlarian ke sana kemari menikmati sapuan ombak yang mengenai kakinya. Pantai tempat mereka saat ini begitu tenang. Tak ada siapapun di sana karena saat ini mereka berada di pulau pribadi milik Morgan. Disaat Serena berhenti, barulah Morgan mendekat. Memeluk pinggang wanita itu dari belakang dan menyingkap rambut panjangnya lalu menciumi tengkuknya dengan lembut. "More ... jangan lakukan itu," ucap Serena saat tubuhnya mulai meremang karena apa yang Morgan lakukan. "Kenapa tak boleh melakukannya hmm?" sahut Morgan masih sambil menikmati kelembutan kulit leher Serena. "Ini di luar," jawab Serena yang mulai kesulitan mengontrol diri karena sesuatu di dadanya juga mulai disentuh dengan lembut. "Tapi tempat ini adalah milikku, tak ada yang berani masuk kemari kec
Mendengar pintu diketuk membuat Serena menghentikan aktivitas yang tengah ia lakukan. Tangannya membuka pintu perlahan lalu tersenyum ke arah pria yang sudah berdiri di ambang pintu. "Hei, kau sudah pulang?" sambut Serena sambil beringsut mundur, memberikan jalan agar Morgan ikut masuk ke ruangannya yang dipenuhi botol-botol parfum dengan berbagai bentuk, tapi ternyata Morgan tidak nampak senang, bibirnya justru cemberut. "Apa hanya begitu?" tanya Morgan saat sudah sampai di dalam. Ia duduk di atas meja dengan kedua tangan bersedekap di dada, sementara matanya menatap dalam ke arah Serena, membuat wanita itu menjadi kebingungan. "Apanya yang hanya begitu?" tanya Serena kemudian. Matanya membalas sorot mata setajam elang milik pria beralis tebal yang saat ini memperlihatkan kekecewaannya. Morgan memang tengah merasa kecewa lantaran mengira Serena akan menyambut kedatangannya dengan cara mencium dan mencumbunya dengan mesra. "Oh ayolah Morgan ... apa yang kau pikirkan?" Serena
Tepat saat Amber tiba di sana, Vincent baru keluar dari kamar Lucia. Tak mampu lagi menahan emosi, wanita itu langsung memukuli dada suaminya dan memberinya tamparan cukup keras. "Kendalikan dirimu Amber!!" seru Vincent sambil menahan kedua tangan istrinya. "Apa hah?! kau bilang dia hanya wanita tua yang tak menarik bagimu, tapi ternyata kau masih bisa melakukan itu padanya!!" balas Amber dengan tatapan tajam. "Melakukan apa maksudmu?" Vincent masih berakting dan pura-pura bodoh, membuat Amber semakin muak melihatnya. "Kau ... masih bisa berkata begitu?! Wanita itu mengirimkan rekaman vidio kalian ke ponselku. Anakmu masih kedinginan di luar sana, tapi hasratmu masih saja tak bisa kau tahan, dasar binatang!!" Amber kembali memaki sebelum akhirnya ia menerobos masuk ke kamar Lucia dan mengarahkan senjata api ke arah wanita itu. Beruntung saat jari Amber menarik pelatuknya, Vincent berhasil menahan dan mengarahkan bidikan ke tempat lain. Satu bingkai lukisan berukuran besar
"Emm ... maksudku ... kenapa kau harus bekerja juga di malam hari?" tanya Serena gugup. "Karena aku diminta menghabisi seseorang." Serena hampir tak bisa bernapas begitu mendengar jawaban pria yang masih menatapnya dengan tatapan dingin di depan sana. "Menghabisi seseorang? i _ itu kenapa harus dilakukan?" Bukannya memberikan jawaban lagi-lagi Morgan malah menertawakan. "Aku bercanda, kenapa kau selalu menanggapi ucapanku dengan serius begitu?" celetuk Morgan yang membuat Serena bersungut-sungut kesal. Tak ingin wanitanya semakin marah akhirnya Morgan mendekat. Memeluk pinggang Serena dari belakang lalu meminta maaf. "Apa harga diri seorang Morgan Calister tak akan runtuh jika meminta maaf seperti ini?" Serena sengaja menyindir, mengingat sikap Morgan di awal yang tak memiliki perasaan sama sekali. Tapi ternyata Morgan tak bergeming. Sambil menenggelamkan wajahnya di cetuk leher Serena pria itu memberikan jawaban, "asalkan orang itu adalah kau, jangankan harga diri,
"Serena, apa kau tak merasakan adanya kejanggalan pada peristiwa itu?" "Maksudmu?" sahut Serena. "Sean ... apa kau tak pernah berpikir jika apa yang terjadi pada orang tuamu ada hubungannya dengan Sean?" Serena terdiam. Ia sungguh tak pernah berpikir sampai ke sana. Entah karena perasaannya terhadap Sean atau karena dia memang benar-benar bodoh setelah terus menerus menerima doktrin dari ibu mertuanya. Melihat Serena nampak berpikir keras, Morgan merasa tak tega. "Hei ... apa yang kau pikirkan? lupakan saja, mungkin aku terlalu berlebihan karena sangat cemburu pada Sean," ucap Morgan pada akhirnya. Tangannya kembali mengusap lembut pipi Serena. "Apa yang kau cemburukan darinya?" sahut Serena. "Kau pernah mencintai pria itu dengan begitu dalam. Jujur saja, aku belum pernah diperlakukan seperti itu oleh wanita." "Sekarang kau sudah merasakannya. Aku mencintamu Morgan, meski memang masih membatasi diri, hatiku sungguh untukmu. Aku hanya takut kembali merasakan sakit yang m
Tak ada yang Morgan katakan, ia hanya menatap dalam-dalam wajah cantik Serena sebelum membawa wanita itu ke dinding, membalik tubuhnya agar menghadap ke sana lalu menciumi punggung semulus porselen yang memang dibiarkan terbuka. "Morgan .... " Lenguhan itu menjadi pertanda bahwa Serena menikmati apa yang Morgan lakukan terhadapnya saat ini. Disusul gigitan kecil di telinga dan lehernya, yang membuat tubuh Serena mulai meliuk. Menggoda pria di belakangnya agar berbuat lebih. Gaun satin berwarna maroon yang melilit tubuh seksi Serena kini sudah tersingkap ke atas. Tanpa diminta, kaki jenjang berbalut high heels hitam itu sudah terbuka, memberikan akses pada Morgan untuk kembali menyentuhnya. Satu hal yang Serena tak pernah tahu. Selama ini Morgan selalu membubuhkan serbuk pil anti kehamilan yang sudah dicampur ke dalam minumannya, tapi mulai hari ini hal itu tak lagi dilakukan. Suara hati Morgan mulai bermain di tengah ambisinya. Ia ingin memiliki Serena seutuhnya meski belum b
Jatuh cinta, itulah yang Morgan rasakan saat ini. Membuat semua orang bertanya-tanya karena raut wajahnya yang sangat berbeda. "Morgan, kau mendengarku!!" bentak Vincent de Calister yang merupakan ayah kandung Morgan. "Hmm .... " Hanya itu jawaban yang Morgan berikan. Membuat sang ayah semakin penasaran. "Sebenarnya apa yang membuatmu senang hari ini? apa Ibumu kembali bisa melihat dengan jelas?" Mendengar itu, bibir kemerahan alami yang semula tersenyum tipis kini berubah.Ekspresinya pun menjadi dingin. "Asal Ayah tahu, ibu mungkin tak bisa melihat dengan jelas. Tapi ia jauh lebih cerdas dari Ayah, jika tidak, Ayah pasti sudah berhasil menceraikannya." "Tutup mulutmu bedebah kecil!! ingatlah, keselamatan wanita itu ada di tanganmu!!" bentak Vincent yang sama sekali tak mempedulikan perasaan Morgan. Seolah-olah ia tak pernah menganggap anak lelakinya itu ada. Hanya anak istri mudanya yang ia pedulikan, Rainer. Sayangnya Rainer yang polos justru sangat peduli pada Morgan
Dua hari lamanya Serena dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Morgan selalu berada di sisinya. Membuat Serena merasa senang. Hari pertama berada di mansion, Morgan juga melakukan sesuatu yang tak biasa. Saat Serena keluar dari kamar mandi, pria itu sudah membawa nampan berisi sarapan yang ia letakkan di atas nakas. "Ini sarapanku?" tanya Serena memastikan. "Hmm .... " jawab pria yang kini tengah sibuk dengan tab di tangannya. "Padahal aku bisa makan di meja makan, tak perlu diantar kemari." Mendengar ucapan Serena kali ini barulah Morgan mengalihkan pandangannya ke arah wanita itu. Tatapannya tajam, tak ada senyum sama sekali di bibirnya. "A _ ada apa? kau jangan selalu menatapku seperti itu, kau membuatku takut." Serena berucap lirih di tengah degupan jantungnya. "Kalau begitu bisakah kau mengucapkan terimakasih?! hargailah apa yang kulakukan padamu!!" "Ah iya maaf, terimakasih untuk sarapannya," sahut Serena cepat. Tapi ternyata Morgan tak membiarkannya begitu