Dengan langkah tertatih Serena melangkah menyusuri jalanan yang dipenuhi dedaunan kering karena saat ini memang tengah musim gugur. Matanya terpejam beberapa saat sebelum akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah. Rumah kecil yang ia tinggali bersama suami dan ibu mertuanya.
"Darimana saja? kukira kau sudah tak ingat pulang?" Itulah kata sambutan yang Sean layangkan begitu melihat kehadiran istrinya. "Apa maksudmu Sean? aku baru saja bekerja, kau tak lupa tentang itu kan?" sahut Serena sambil menuangkan air minum ke dalam gelas yang ia genggam lalu meneguknya perlahan. "Apa saja yang kau kerjakan sampai pulang selarut ini?!" pertanyaan itu sekarang muncul dari bibir Lucy, ibu mertua Serena. Ditanya seperti itu Serena justru tersenyum sinis. "Kenapa Ibu harus bertanya? bukankah Ibu sendiri yang memaksaku bekerja di rumah itu. Harusnya Ibu lebih tahu segalanya daripada aku," ujarnya sambil melenggang pergi, tapi ternyata jawaban yang baru saja ia berikan membuat Lucy tak terima. Wanita itu kembali berteriak, mengungkit-ungkit semua kebaikan yang sudah diberikan pada keluarga Serena. Ia juga terus memaki-maki anak menantunya tanpa ampun. Sean sendiri sampai tak berhasil memenangkan ibunya, pada akhirnya ia membawa kursi rodanya menuju ke kamar tempat Serena berada. "Serena, aku tahu kau belum tidur," ucap Sean saat melihat tubuh istrinya sudah bergelung di balik selimut dengan posisi membelakanginya. "Mintal maaflah pada ibu, kau sudah berbicara kasar padanya dan sekarang dia sangat marah, kepalaku pusing mendengarnya." Serena memang belum tertidur. Mendengar apa yang Sean katakan amarah semakin menguasai hatinya. Sebenarnya ia mulai muak pada sikap Sean yang secara tak langsung seolah hanya peduli pada perasaan sang ibu. Hanya saja Serena memilih diam. Ia sudah malas berdebat dengan pria itu. Rasanya percuma, karena apapun yang akan ia katakan tetap saja salah. Meski sudah tak ada lagi pertikaian, Serena hampir tak bisa tidur semalaman. Otaknya melanglangbuana kemana-mana. Matanya baru bisa terpejam setelah lewat dini hari, hingga saat matahari sudah terbit Serena masih terlelap dengan nyaman, namun suara mengejutkan membuatnya terpaksa membuka mata. Di waktu yang bersamaan, pintu kamarnya dibuka dengan keras hingga menimbulkan suara dentuman nyaring karena benda berbahan kayu tersebut menabrak dinding. Benturan yang membuat Serena tersentak, terlebih saat tangannya ditarik paksa oleh seorang pria bertubuh besar dengan ekspresi garang menakutkan. Tak hanya itu, setelah tubuhnya berhasil ditarik keluar dari kamar, ia lantas dilempar ke hadapan seorang pria. Melihat siapa pria itu seketika membuat Serena ketakutan. "Apa yang kau inginkan?! kenapa kau datang lagi kemari?!" teriak Serena pada pria yang kerap kali menagih hutang pada suami dan mertuanya. Mendengar apa yang Serena tanyakan, pria berprofesi sebagai rentenir tersebut justru menyeringai. "Bawa dia!!" titahnya pada para pengawal. Tubuh Serena yang masih berbalut pakaian tidur langsung diangkat paksa. Sudah pasti wanita itu menjerit dan meronta, sayangnya tak ada yang peduli, bahkan saat bibir Serena terus memanggil pilu nama sang suami. Sean justru mengalihkan pandangan. Mau bagaimana lagi, hutang-hutangnya akan dianggap lunas jika rentenir tua bernama Aroon tersebut diizinkan untuk menyentuh Serena. Tak ada lagi yang bisa wanita itu lakukan selain hanya menangis meratapi nasib. Bibirnya kini bahkan ditutup menggunakan lakban. Membuatnya tak mampu lagi mengeluarkan suara. Tetesan demi tetesan dari sudut matanya mewakili betapa hancur dan kecewa perasaannya saat ini. Sebuah kamar hotel kini menyambut kedatangan Serena. Tubuhnya dilempar ke atas ranjang sebelum akhirnya pria bernama Aroon tersebut mendekat dan berusaha menyentuhnya. Serena mencoba mengiba dengan menampakkan sorot mata sesedih mungkin saat pria itu mendekat, dan berhasil. Setelah menyingkirkan kemeja dari tubuhnya, Aroon lantas melepaskan lakban dari bibir pucat Serena. Seketika wanita itu bisa bernafas dengan lebih leluasa. Nafasnya masih sedikit tersengal-sengal karena kelelahan setelah meronta-ronta tiada henti. Momen itu langsung dimanfaatkan oleh Serena untuk mencoba merayu. "Tuan Aroon ... tolong aku, tanganku sangat sakit," desis Serena dengan sedikit membusungkan dada, memperlihatkan keindahan aset berharganya yang memang tak bisa dipandang sebelah mata. "Apa Sayang, kau mau apa? biarkan aku menyentuhmu, aku sangat menginginkanmu," balas Aroon yang mulai membelai lembut rambut Serena, membuat wanita itu jijik setengah mati namun tetap berusaha terlihat tenang. "Aku tahu Tuan, tapi tolong lepaskan ikatan di tanganku! ini sungguh sakit .... " Saat berkata demikian, Serena memperlihatkan ekspresi kesakitan yang teramat sangat. "Baiklah, aku akan melepaskannya tapi jangan coba-coba untuk kabur. Anak buahku berjaga di luar," sahut Aroon yang membuat Serena bersorak senang di dalam hati. "Iya Tuan," jawab Serena yang seolah masih merasakan ketakutan yang teramat sangat, padahal ia sedang merencanakan sesuatu dalam benaknya. Matanya kini kembali tertuju pada sebuah patung ikan keramik yang terletak di atas nakas. Degupan jantung Serena semakin berpacu cepat saat Aroon benar-benar mulai mengurai simpul tali yang sejak tadi menahan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, begitu tangannya bisa bergerak bebas, secepat kilat Serena meraih benda yang sudah menjadi targetnya sejak tadi. Satu pukulan di area wajah berhasil membuat bos rentenir itu ambruk, dan Serena tak langsung berhenti begitu saja. Sekali lagi ia kembali melakukan pukulan di tempat yang berbeda. Kini Aroon benar-benar pingsan. Menyadari itu Serena buru-buru membuka kunci pintu dan berlari kencang keluar dari sana, tak peduli pada orang-orang Aroon yang berusaha mengejar. Dengan kaki telanjang Serena terus berlari menelusuri lorong hotel yang ternyata begitu sepi. Ia semakin ketakutan saat mereka hampir berhasil mendekat. Tetapi Serena tak menyerah. Ia terus berusaha mencapai pintu lift. "Berhenti kau jalang!!" teriak salah satu dari mereka yang semakin membuat Serena lari terbirit-birit. Di saat langkah kakinya hampir berhasil sampai di tempat tujuan, seseorang terlihat keluar dari sana. Seseorang yang cukup Serena kenal. Pria berjas hitam rapi dengan sejuta pesona yang ada di depan sana adalah Morgan, namun sayang, tubuh Serena telah berhasil ditarik dari arah belakang, hanya saja ia masih bisa menjerit meminta tolong pada pria di depan sana. "Tolong aku Tuaannn!!" jerit Serena yang membuat Morgan menatapnya dan benar-benar melakukan sesuatu.Ditengah-tengah rasa takut yang mendera, Serena merasakan seseorang menarik tubuhnya dengan kuat. Membawanya ke dalam dekapan yang hangat dan ia tahu siapa yang melakukan itu, Morgan. Tatapan mata mereka sempat beradu beberapa saat sebelum Morgan kembali menatap lurus ke depan. Memberikan perintah pada anak buahnya untuk menyingkirkan orang-orang Aroon. Belum sempat Serena bertanya, Morgan sudah membawanya masuk ke salah satu kamar hotel. Sampai di sana tubuh Serena di tekan ke dinding. "Apa yang kau lakukan di sini hmm?" tanya Morgan dengan mendekatkan bibir ke telinga Serena. "Seseorang ... menangkap ... saya Tuan," jawab Serena tergagap. "Begitu ya? jadi hari ini aku sudah menjadi pahlawan untukmu?" "Iya Tuan, karena itu saya ucapkan banyak-banyak terimakasih. Sekarang tolong biarkan saya pergi." Ucapan Serena kali ini membuat Morgan tertawa menggelegar. "Beraninya kau menyuruhku. Aku tak akan melepaskanmu sebelum mendapatkan imbalan darimu. Buat aku melayang seperti malam
Apa yang Serena lakukan ternyata membuat Morgan penasaran. Tangan pria itu perlahan menurunkan apa yang semula ia arahkan pada keningnya, membuat wanita itu membuka mata karena penasaran dengan apa yang terjadi. "Kenapa?" lirih Serena dengan sorot mata sendu. "Jadilah wanitaku dan kau bisa melampiaskan semua amarahmu pada orang-orang yang telah menyakitimu!" Serena terdiam, ia tahu pria di hadapannya tidak mencintainya, mungkin yang dibutuhkan hanya tubuhnya, tapi tawaran yang diberikan terdengar cukup menarik. Lagipula ia sudah muak. Semakin hari Serena juga semakin menyadari kalau suami yang selama ini ia cintai hingga membuatnya rela bersimpuh di hadapan almarhum kedua orangtuanya demi mendapatkan restu, kini tak lagi mencintainya. Sean telah berubah semenjak dirinya kehilangan kekayaan dan orangtua. Apa yang pria itu lakukan bersama dengan ibunya membuat Serena hampir gila. Ia dipaksa melakukan hal-hal yang menurutnya sangat berat dan diluar kemampuannya. Tak ada diantar
Saat Morgan masih di kamar mandi, Serena menatap ke sana kemari, mencoba mencari pakaian yang katanya disediakan untuknya, tapi ternyata memang belum ada. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu sambil duduk di tepi ranjang hanya dengan berbalut handuk kimono saja. Tak lama pintu kamar mandi terdengar dibuka. Morgan nampak keluar dari sana dengan rambut yang masih sedikit basah dan handuk yang melilit di pinggangnya. Serena sangat terkejut mendapati beberapa luka goresan di punggung pria itu. Bukan luka baru namun masih jelas terlihat. Tak bisa membendung rasa penasaran akhirnya Serena memutuskan untuk bertanya. "Kenapa punggungmu terluka?" Morgan yang tengah berdiri di depan cermin sambil mengusap-usap rambutnya langsung berhenti bergerak begitu mendengar pertanyaan Serena. Didekatinya wanita itu lalu berkata, "bukankah ini hasil perbuatanmu?" Kedua mata Serena membulat sempurna mendengarnya. Ia mendadak salah tingkah apalagi saat Morgan meraih kedua bahunya dan membuatnya berdi
Serena masih berada di kamar mandi, mematut penampilannya di depan cermin yang ada di sana. "Bagaimana jika Morgan melihatku dengan pakaian seperti ini?" Serena menggigit bibir bawahnya saat membayangkan tatapan liar Morgan. Yang Serena kenakan saat ini adalah pakaian yang menurutnya paling tertutup. Sehelai gaun tipis berwarna krem dengan dada tertutup rapat, namun bagian belakanya sangat terbuka. Hanya ada tali-tali kecil yang menjadi penahannya, untuk gaun yang lain malah jauh lebih parah dari itu. Jelas Morgan sengaja memberikan pakaian-pakaian tersebut. Ia yakin Serena akan tampak sangat cantik saat mengenakannya. Belum juga Serena merasa yakin untuk keluar, pintu kamar mandi sudah diketuk dari luar. "Serena!! kau tidur?!" seru Morgan yang merasa tak tahan karena terlalu lama menunggu. "Sebentar, aku baru selesai." "Cepatlah aku lapar!" sahut Morgan sambil mendengus kesal. Setelah menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan Serena akhirnya keluar dar
Sudah tiga hari lamanya Serena tak melihat Morgan. Malam ini hujan kembali mengguyur bumi. Ada sebuah rasa aneh yang terselip di hatinya. Rasa yang membuatnya sakit karena merasa kesepian dan sendirian. Ia juga merasa dibohongi karena sampai saat ini Morgan tak memberikan kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya terhadap Sean. Hingga tengah malam Serena tak bisa memejamkan mata. Ia hanya terus menatap hujan dari balik jendela sampai tiba-tiba pintu di belakangnya terbuka. Secepat kilat wanita itu menoleh, menatap ke arah orang yang baru datang. Orang tersebut ternyata adalah Morgan. Ia bahkan tak tahu kapan pria itu tiba di mansion. Serena sempat ingin bertanya, tapi ekspresi dingin menakutkan yang Morgan tunjukkan membuatnya urung melakukannya. Tak ada sepatah katapun yang pria itu ucapkan, bahkan ia tak menatap Serena sama sekali. Hanya sibuk melepas jas dari tubuhnya lalu masuk ke kamar mandi. Hati Serena semakin tertekan diperlakukan seperti itu, namun ia berusaha agar tak
"Lepaskan ... sakkiitt .... " rintih Serena sambil memegangi tangan kokoh Morgan yang menampakkan otot-ototnya karena cengkeraman yang dilakukan cukup kuat."Kalau begitu diamlah Serena!!""Jika kau tak lagi menginginkanku, habisi aku saja. Aku menyerah .... " ujar Serena setengah merintih.Tatapan mata Morgan seketika berkilat karena amarah. Tangannya beralih mencengkeram leher Serena."Jadi kau ingin mati?!"Diperlakukan seperti itu Serena sama sekali tak melawan meski rasa sakit mulai datang menghampiri. Hanya lelehan bening dari sudut matanya yang mewakili kehancurannya saat ini.Ia sedih karena tak bisa bertemu dengan orang-orang yang baik seperti saat kedua orangtuanya masih hidup. Ia lelah selalu ditindas oleh orang lain. Menurutnya kematian adalah yang paling bisa menyelamatkannya saat ini.Wajah Serena semakin pucat. Ia pikir Morgan akan benar-benar menghabisinya malam ini, tapi ternyata dirinya salah. Dengan tiba-tiba kedua tangan Morgan justru beralih merengkuh tubuhnya dan
Awalnya Morgan ingin tak peduli dan membiarkan Maxime pergi begitu saja, namun saat lewat tengah malam dan Morgan keluar dari kamar untuk meminum anggur, angin dingin bertiup menerpa wajahnya. Membuat Morgan mendadak gelisah karena bayangan wajah cantik Serena melintas di benaknya."Sial, kenapa aku malah memikirkannya," gerutu Morgan sambil meremas gelas di tangannya. Ini adalah pertama kalinya ia merasa gelisah hanya karena seorang wanita. Morgan tentu tak ingin mengakui hal itu.Ia masih yakin dan berpegang teguh pada keyakinannya. Serena hanya tempat ia menyalurkan hasrat, tidak lebih. Berharap kegelisahannya bisa hilang, Morgan pun memilih menunju ke shooting range pribadi miliknya.Ruangan tempat ia melampiaskan segala emosi yang menyesakkan dengan mengarahkan tembakan pada target di depan sana. Cukup lama ia berada di tempat itu, namun saat kembali terdiam ingatannya masih saja tertuju pada Serena."Sial," umpat Morgan yang kemudian menyerah. Pada akhirnya ia memutuskan untuk p
Malam semakin larut, suasana dingin mulai menyelimuti, namun Serena masih harus berkutat dengan pekerjaan. Ini adalah hari pertama ia bekerja sebagai seorang pelayan. Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya dan Serena tetap tak akan menyerah walau itu sangat menyiksa. Ia harus mendapatkan uang demi pengobatan sang suami yang lumpuh setelah terserang stroke. Tak ada pilihan lain, kini Serena harus melakukan apa saja demi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ditengah-tengah kegiatannya mengepel, salah seorang pelayan menepuk bahunya. "Serena, masuklah ke kamar itu dan bersihkan semua kotoran yang ada di sana!" ujarnya dengan nada serius. "Iya baiklah," sahut Serena tanpa berpikir panjang, membuat teman seprofesinya menyeringai tipis saat melihatnya langsung melakukan apa yang sudah ia minta. Serena pun bergegas melangkah memasuki kamar yang sudah ditunjukkan. Begitu masuk ke dalam, tubuh Serena sempat mematung beberapa detik. Aroma therapy yang menguar dari sudut-sudut ruang
Awalnya Morgan ingin tak peduli dan membiarkan Maxime pergi begitu saja, namun saat lewat tengah malam dan Morgan keluar dari kamar untuk meminum anggur, angin dingin bertiup menerpa wajahnya. Membuat Morgan mendadak gelisah karena bayangan wajah cantik Serena melintas di benaknya."Sial, kenapa aku malah memikirkannya," gerutu Morgan sambil meremas gelas di tangannya. Ini adalah pertama kalinya ia merasa gelisah hanya karena seorang wanita. Morgan tentu tak ingin mengakui hal itu.Ia masih yakin dan berpegang teguh pada keyakinannya. Serena hanya tempat ia menyalurkan hasrat, tidak lebih. Berharap kegelisahannya bisa hilang, Morgan pun memilih menunju ke shooting range pribadi miliknya.Ruangan tempat ia melampiaskan segala emosi yang menyesakkan dengan mengarahkan tembakan pada target di depan sana. Cukup lama ia berada di tempat itu, namun saat kembali terdiam ingatannya masih saja tertuju pada Serena."Sial," umpat Morgan yang kemudian menyerah. Pada akhirnya ia memutuskan untuk p
"Lepaskan ... sakkiitt .... " rintih Serena sambil memegangi tangan kokoh Morgan yang menampakkan otot-ototnya karena cengkeraman yang dilakukan cukup kuat."Kalau begitu diamlah Serena!!""Jika kau tak lagi menginginkanku, habisi aku saja. Aku menyerah .... " ujar Serena setengah merintih.Tatapan mata Morgan seketika berkilat karena amarah. Tangannya beralih mencengkeram leher Serena."Jadi kau ingin mati?!"Diperlakukan seperti itu Serena sama sekali tak melawan meski rasa sakit mulai datang menghampiri. Hanya lelehan bening dari sudut matanya yang mewakili kehancurannya saat ini.Ia sedih karena tak bisa bertemu dengan orang-orang yang baik seperti saat kedua orangtuanya masih hidup. Ia lelah selalu ditindas oleh orang lain. Menurutnya kematian adalah yang paling bisa menyelamatkannya saat ini.Wajah Serena semakin pucat. Ia pikir Morgan akan benar-benar menghabisinya malam ini, tapi ternyata dirinya salah. Dengan tiba-tiba kedua tangan Morgan justru beralih merengkuh tubuhnya dan
Sudah tiga hari lamanya Serena tak melihat Morgan. Malam ini hujan kembali mengguyur bumi. Ada sebuah rasa aneh yang terselip di hatinya. Rasa yang membuatnya sakit karena merasa kesepian dan sendirian. Ia juga merasa dibohongi karena sampai saat ini Morgan tak memberikan kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya terhadap Sean. Hingga tengah malam Serena tak bisa memejamkan mata. Ia hanya terus menatap hujan dari balik jendela sampai tiba-tiba pintu di belakangnya terbuka. Secepat kilat wanita itu menoleh, menatap ke arah orang yang baru datang. Orang tersebut ternyata adalah Morgan. Ia bahkan tak tahu kapan pria itu tiba di mansion. Serena sempat ingin bertanya, tapi ekspresi dingin menakutkan yang Morgan tunjukkan membuatnya urung melakukannya. Tak ada sepatah katapun yang pria itu ucapkan, bahkan ia tak menatap Serena sama sekali. Hanya sibuk melepas jas dari tubuhnya lalu masuk ke kamar mandi. Hati Serena semakin tertekan diperlakukan seperti itu, namun ia berusaha agar tak
Serena masih berada di kamar mandi, mematut penampilannya di depan cermin yang ada di sana. "Bagaimana jika Morgan melihatku dengan pakaian seperti ini?" Serena menggigit bibir bawahnya saat membayangkan tatapan liar Morgan. Yang Serena kenakan saat ini adalah pakaian yang menurutnya paling tertutup. Sehelai gaun tipis berwarna krem dengan dada tertutup rapat, namun bagian belakanya sangat terbuka. Hanya ada tali-tali kecil yang menjadi penahannya, untuk gaun yang lain malah jauh lebih parah dari itu. Jelas Morgan sengaja memberikan pakaian-pakaian tersebut. Ia yakin Serena akan tampak sangat cantik saat mengenakannya. Belum juga Serena merasa yakin untuk keluar, pintu kamar mandi sudah diketuk dari luar. "Serena!! kau tidur?!" seru Morgan yang merasa tak tahan karena terlalu lama menunggu. "Sebentar, aku baru selesai." "Cepatlah aku lapar!" sahut Morgan sambil mendengus kesal. Setelah menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan Serena akhirnya keluar dar
Saat Morgan masih di kamar mandi, Serena menatap ke sana kemari, mencoba mencari pakaian yang katanya disediakan untuknya, tapi ternyata memang belum ada. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu sambil duduk di tepi ranjang hanya dengan berbalut handuk kimono saja. Tak lama pintu kamar mandi terdengar dibuka. Morgan nampak keluar dari sana dengan rambut yang masih sedikit basah dan handuk yang melilit di pinggangnya. Serena sangat terkejut mendapati beberapa luka goresan di punggung pria itu. Bukan luka baru namun masih jelas terlihat. Tak bisa membendung rasa penasaran akhirnya Serena memutuskan untuk bertanya. "Kenapa punggungmu terluka?" Morgan yang tengah berdiri di depan cermin sambil mengusap-usap rambutnya langsung berhenti bergerak begitu mendengar pertanyaan Serena. Didekatinya wanita itu lalu berkata, "bukankah ini hasil perbuatanmu?" Kedua mata Serena membulat sempurna mendengarnya. Ia mendadak salah tingkah apalagi saat Morgan meraih kedua bahunya dan membuatnya berdi
Apa yang Serena lakukan ternyata membuat Morgan penasaran. Tangan pria itu perlahan menurunkan apa yang semula ia arahkan pada keningnya, membuat wanita itu membuka mata karena penasaran dengan apa yang terjadi. "Kenapa?" lirih Serena dengan sorot mata sendu. "Jadilah wanitaku dan kau bisa melampiaskan semua amarahmu pada orang-orang yang telah menyakitimu!" Serena terdiam, ia tahu pria di hadapannya tidak mencintainya, mungkin yang dibutuhkan hanya tubuhnya, tapi tawaran yang diberikan terdengar cukup menarik. Lagipula ia sudah muak. Semakin hari Serena juga semakin menyadari kalau suami yang selama ini ia cintai hingga membuatnya rela bersimpuh di hadapan almarhum kedua orangtuanya demi mendapatkan restu, kini tak lagi mencintainya. Sean telah berubah semenjak dirinya kehilangan kekayaan dan orangtua. Apa yang pria itu lakukan bersama dengan ibunya membuat Serena hampir gila. Ia dipaksa melakukan hal-hal yang menurutnya sangat berat dan diluar kemampuannya. Tak ada diantar
Ditengah-tengah rasa takut yang mendera, Serena merasakan seseorang menarik tubuhnya dengan kuat. Membawanya ke dalam dekapan yang hangat dan ia tahu siapa yang melakukan itu, Morgan. Tatapan mata mereka sempat beradu beberapa saat sebelum Morgan kembali menatap lurus ke depan. Memberikan perintah pada anak buahnya untuk menyingkirkan orang-orang Aroon. Belum sempat Serena bertanya, Morgan sudah membawanya masuk ke salah satu kamar hotel. Sampai di sana tubuh Serena di tekan ke dinding. "Apa yang kau lakukan di sini hmm?" tanya Morgan dengan mendekatkan bibir ke telinga Serena. "Seseorang ... menangkap ... saya Tuan," jawab Serena tergagap. "Begitu ya? jadi hari ini aku sudah menjadi pahlawan untukmu?" "Iya Tuan, karena itu saya ucapkan banyak-banyak terimakasih. Sekarang tolong biarkan saya pergi." Ucapan Serena kali ini membuat Morgan tertawa menggelegar. "Beraninya kau menyuruhku. Aku tak akan melepaskanmu sebelum mendapatkan imbalan darimu. Buat aku melayang seperti malam
Dengan langkah tertatih Serena melangkah menyusuri jalanan yang dipenuhi dedaunan kering karena saat ini memang tengah musim gugur. Matanya terpejam beberapa saat sebelum akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah. Rumah kecil yang ia tinggali bersama suami dan ibu mertuanya. "Darimana saja? kukira kau sudah tak ingat pulang?" Itulah kata sambutan yang Sean layangkan begitu melihat kehadiran istrinya. "Apa maksudmu Sean? aku baru saja bekerja, kau tak lupa tentang itu kan?" sahut Serena sambil menuangkan air minum ke dalam gelas yang ia genggam lalu meneguknya perlahan. "Apa saja yang kau kerjakan sampai pulang selarut ini?!" pertanyaan itu sekarang muncul dari bibir Lucy, ibu mertua Serena. Ditanya seperti itu Serena justru tersenyum sinis. "Kenapa Ibu harus bertanya? bukankah Ibu sendiri yang memaksaku bekerja di rumah itu. Harusnya Ibu lebih tahu segalanya daripada aku," ujarnya sambil melenggang pergi, tapi ternyata jawaban yang baru saja ia berikan membuat Lucy tak terim
Malam semakin larut, suasana dingin mulai menyelimuti, namun Serena masih harus berkutat dengan pekerjaan. Ini adalah hari pertama ia bekerja sebagai seorang pelayan. Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya dan Serena tetap tak akan menyerah walau itu sangat menyiksa. Ia harus mendapatkan uang demi pengobatan sang suami yang lumpuh setelah terserang stroke. Tak ada pilihan lain, kini Serena harus melakukan apa saja demi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ditengah-tengah kegiatannya mengepel, salah seorang pelayan menepuk bahunya. "Serena, masuklah ke kamar itu dan bersihkan semua kotoran yang ada di sana!" ujarnya dengan nada serius. "Iya baiklah," sahut Serena tanpa berpikir panjang, membuat teman seprofesinya menyeringai tipis saat melihatnya langsung melakukan apa yang sudah ia minta. Serena pun bergegas melangkah memasuki kamar yang sudah ditunjukkan. Begitu masuk ke dalam, tubuh Serena sempat mematung beberapa detik. Aroma therapy yang menguar dari sudut-sudut ruang