Serena masih berada di kamar mandi, mematut penampilannya di depan cermin yang ada di sana.
"Bagaimana jika Morgan melihatku dengan pakaian seperti ini?" Serena menggigit bibir bawahnya saat membayangkan tatapan liar Morgan. Yang Serena kenakan saat ini adalah pakaian yang menurutnya paling tertutup. Sehelai gaun tipis berwarna krem dengan dada tertutup rapat, namun bagian belakanya sangat terbuka. Hanya ada tali-tali kecil yang menjadi penahannya, untuk gaun yang lain malah jauh lebih parah dari itu. Jelas Morgan sengaja memberikan pakaian-pakaian tersebut. Ia yakin Serena akan tampak sangat cantik saat mengenakannya. Belum juga Serena merasa yakin untuk keluar, pintu kamar mandi sudah diketuk dari luar. "Serena!! kau tidur?!" seru Morgan yang merasa tak tahan karena terlalu lama menunggu. "Sebentar, aku baru selesai." "Cepatlah aku lapar!" sahut Morgan sambil mendengus kesal. Setelah menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan Serena akhirnya keluar dari kamar mandi. Mata Morgan hampir tak berkedip melihat penampilan wanita di hadapannya. "Duduklah! di sini!" Morgan menepuk pahanya sendiri, mengisyaratkan agar Serena duduk di atasnya. "Kenapa ... aku harus duduk di sana?" Ditanya seperti itu Morgan berdecak kesal dan mengalihkan pandangan. Hasratnya sudah naik ke ubun-ubun, tapi wanita di hadapannya masih saja berlagak bodoh. "Aku menginginkanmu Serena ... apa lagi?" "Tapi aku lapar," ujar Serena sambil mendekat perlahan. "Ya aku tahu, kau bisa makan dari pangkuanku." "Oh God apalagi ini," ucap Serena dalam hati. Ia tak menyangka akan bisa menjadi wanita murahan seperti sekarang. Cara mendidik kedua orangtuanya yang penuh kebaikan dan kesopanan sama sekali tak berlaku saat dirinya harus berhadapan dengan seorang pria bernama Morgan Calister. Kini tubuhnya sudah berada di dalam kekuasaan pria itu. Pelukan serta sentuhan yang lembut membuat Serena mulai terhanyut dan gagal mengontrol diri. Bibirnya mendesah lembut saat bibir Morgan menelusuri leher jenjangnya. Tangannya turut menjambak pelan rambut tebal pria itu, terlebih saat sesuatu yang menjulang tinggi di dadanya dimanjakan, Serena menggila. Ia mulai lupa siapa yang tengah menyentuhnya saat ini. "Jangan menahannya Sayang, aku tahu kau menyukainya," bisik Morgan sebelum memberikan gigitan lembut di telinga Serena. Membuat wanita itu semakin berani, kini justru Serenalah yang merengkuh tengkuk Morgan untuk bisa menikmati bibirnya yang seksi khas seorang pria. Mengetahui wanitanya sudah sangat terpancing, Morgan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dibawanya Serena ke atas ranjang lalu menekan kedua tangan wanita itu ke atas kepalanya sebelum ia menikmati semua yang ia inginkan. Serena hanya bisa meracau dan menggelinjang menikmati setiap sentuhan memabukkan yang Morgan berikan. Saat kedua tangannya terlepas, Morgan lantas menyingkirkan setiap helai kain yang melekat di tubuh mereka sebelum kembali membuat Serena tunduk di bawah permainan menggelora yang ia ciptakan. Suara merdu dan peluh yang bercucuran menjadi pertanda betapa panasnya permainan mereka saat ini hingga akhirnya Morgan mengerang dengan sekujur tubuh yang kaku. Memenuhi rahim Serena dengan benih yang ia miliki. Permainan pun berakhir. Morgan mencium kening Serena cukup lama sebelum ia menjatuhkan tubuhnya ke samping wanita itu lalu memeluknya. "Terimakasih Sayang, kau hebat sekali," puji Morgan sambil kembali menciumi seluruh wajah Serena lalu menatapnya sambil tersenyum. Seolah-olah pria itu memiliki cinta yang luar biasa, namun Serena tak ingin berharap lebih. Ia tahu Morgan bukan miliknya. Hanya saja Serena tak bisa menepis rasa nyaman yang mulai merasuk ke hatinya. Ia menyukai cara Morgan memperlakukannya setelah apa yang mereka lakukan tadi. Sebagai seorang suami, tak pernah Sean bersikap selembut itu setelah bercinta. Jangankan memuji ataupun berterimakasih. Pria itu bahkan tak peduli apakah dirinya sudah mendapatkan kepuasan atau belum. Jika Morgan sudah mulai terlelap, lain halnya dengan Serena. Pikirannya masih tertuju pada Sean. Ia masih tak mengerti kenapa suaminya itu tega berbuat demikian. Besar kemungkinan alasan Sean membiarkan Aroon membawanya adalah karena uang, tapi bukankah selama ini mereka saling mencintai. Memikirkan semua itu membuat mata Serena kembali memanas, namun ia segera menahan diri agar tak menangis. Untuk menghilangkan gundah gulana di hatinya Serena menatap wajah Morgan. Siapapun pasti akan mengakui keindahan paras pria itu, termasuk Serena. "Sebenarnya kau itu siapa? apa tujuanmu datang dalam hidupku? jika saja kau belum ada yang memiliki, mungkin aku akan _ " "Akan apa?" sela Morgan yang membuat Serena terkejut setengah mati. "Kau belum tidur?" tanyanya lagi. "Aku sudah mengantuk tapi kau berisik sekali," jawab Morgan yang semakin mengeratkan pelukannya pada Serena. "Jangan terus memikirkan sesuatu yang tidak baik, tidurlah!" Akhirnya Serena ikut terlelap dalam kehangatan dada bidang Morgan, sementara itu, di tempat lain Aroon tengah menuntut Sean agar mengembalikan uangnya karena rentenir itu gagal meniduri Serena. "Cepat kembalikan Sean!! atau aku akan menghabisimu!!" teriak Aroon, namun dengan santainya Sean justru mengambil sesuatu dari laci mejanya. Tanpa aba-aba dan tanpa diduga oleh siapapun, satu peluru ia hadiahkan ke kepala Aroon. Pria itu seketika jatuh tersungkur dan kehilangan nyawa. Tak sampai disitu, gerakan cepat Sean juga berhasil melumpuhkan semua anak buah Aroon yang datang ke rumahnya. Ia lalu kabur dari kediamannya setelah merampas kunci mobil milik Aroon. Waktu yang terus bergulir seolah semakin berpihak pada Sean. Atas bantuan seseorang, pria itu akhirnya mendapatkan kehidupan yang selama ini memang ia inginkan. Bebas dan banyak uang. Satu hal yang ia yakini, Serena pasti sudah mati di tangan Morgan. Pria kejam dan berdarah dingin yang merupakan putra pertama keluarga Calister. Menurut anak buah Aroon, pria itulah yang mengambil alih Serena. Membayangkan nasib istrinya, Sean berdecih sinis. Sudah lama ia ingin terlepas dari wanita itu, namun ide gila baru ia dapatkan setelah ia mengenal Julie, istri Aroon. Wanita kaya raya yang telah berhasil mendapatkan seluruh harta warisan suaminya. Setelah peristiwa malam berdarah itu Sean dan ibunya telah pindah ke sebuah rumah mewah dan mendapatkan perlindungan khusus karena uang yang ia miliki. Tak butuh waktu lama, tanpa ada yang menuntut, kasus kematian Aroon pun bisa ditutup dengan mudah. Sean kini hidup dengan bergelimang harta dengan melanjutkan bisnis yang Aroon lakukan bersama istrinya. Mau tidak mau, semua orang-orang Aroon kini beralih tunduk pada Sean demi tetap mendapatkan bayaran. Jika Sean merasa hidupnya sudah di atas angin, lain halnya dengan Serena. Meski kini ia tinggal di sebuah mansion mewah, hidupnya bagai burung di dalam sangkar emas. Kehadirannya disembunyikan. Di satu sisi, Morgan memang memberikan semua yang ia butuhkan, tapi ia tetap tak tahu apapun tentang pria itu. Morgan sendiri belum tentu setiap hari akan datang dan mengajaknya untuk bicara. Tak jarang ia hanya datang di tengah malam. Menyentuh Serena sepuasnya lalu pergi lagi.Sudah tiga hari lamanya Serena tak melihat Morgan. Malam ini hujan kembali mengguyur bumi. Ada sebuah rasa aneh yang terselip di hatinya. Rasa yang membuatnya sakit karena merasa kesepian dan sendirian. Ia juga merasa dibohongi karena sampai saat ini Morgan tak memberikan kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya terhadap Sean. Hingga tengah malam Serena tak bisa memejamkan mata. Ia hanya terus menatap hujan dari balik jendela sampai tiba-tiba pintu di belakangnya terbuka. Secepat kilat wanita itu menoleh, menatap ke arah orang yang baru datang. Orang tersebut ternyata adalah Morgan. Ia bahkan tak tahu kapan pria itu tiba di mansion. Serena sempat ingin bertanya, tapi ekspresi dingin menakutkan yang Morgan tunjukkan membuatnya urung melakukannya. Tak ada sepatah katapun yang pria itu ucapkan, bahkan ia tak menatap Serena sama sekali. Hanya sibuk melepas jas dari tubuhnya lalu masuk ke kamar mandi. Hati Serena semakin tertekan diperlakukan seperti itu, namun ia berusaha agar tak
"Lepaskan ... sakkiitt .... " rintih Serena sambil memegangi tangan kokoh Morgan yang menampakkan otot-ototnya karena cengkeraman yang dilakukan cukup kuat."Kalau begitu diamlah Serena!!""Jika kau tak lagi menginginkanku, habisi aku saja. Aku menyerah .... " ujar Serena setengah merintih.Tatapan mata Morgan seketika berkilat karena amarah. Tangannya beralih mencengkeram leher Serena."Jadi kau ingin mati?!"Diperlakukan seperti itu Serena sama sekali tak melawan meski rasa sakit mulai datang menghampiri. Hanya lelehan bening dari sudut matanya yang mewakili kehancurannya saat ini.Ia sedih karena tak bisa bertemu dengan orang-orang yang baik seperti saat kedua orangtuanya masih hidup. Ia lelah selalu ditindas oleh orang lain. Menurutnya kematian adalah yang paling bisa menyelamatkannya saat ini.Wajah Serena semakin pucat. Ia pikir Morgan akan benar-benar menghabisinya malam ini, tapi ternyata dirinya salah. Dengan tiba-tiba kedua tangan Morgan justru beralih merengkuh tubuhnya dan
Malam semakin larut, suasana dingin mulai menyelimuti, namun Serena masih harus berkutat dengan pekerjaan. Ini adalah hari pertama ia bekerja sebagai seorang pelayan. Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya dan Serena tetap tak akan menyerah walau itu sangat menyiksa. Ia harus mendapatkan uang demi pengobatan sang suami yang lumpuh setelah terserang stroke. Tak ada pilihan lain, kini Serena harus melakukan apa saja demi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ditengah-tengah kegiatannya mengepel, salah seorang pelayan menepuk bahunya. "Serena, masuklah ke kamar itu dan bersihkan semua kotoran yang ada di sana!" ujarnya dengan nada serius. "Iya baiklah," sahut Serena tanpa berpikir panjang, membuat teman seprofesinya menyeringai tipis saat melihatnya langsung melakukan apa yang sudah ia minta. Serena pun bergegas melangkah memasuki kamar yang sudah ditunjukkan. Begitu masuk ke dalam, tubuh Serena sempat mematung beberapa detik. Aroma therapy yang menguar dari sudut-sudut ruang
Dengan langkah tertatih Serena melangkah menyusuri jalanan yang dipenuhi dedaunan kering karena saat ini memang tengah musim gugur. Matanya terpejam beberapa saat sebelum akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah. Rumah kecil yang ia tinggali bersama suami dan ibu mertuanya. "Darimana saja? kukira kau sudah tak ingat pulang?" Itulah kata sambutan yang Sean layangkan begitu melihat kehadiran istrinya. "Apa maksudmu Sean? aku baru saja bekerja, kau tak lupa tentang itu kan?" sahut Serena sambil menuangkan air minum ke dalam gelas yang ia genggam lalu meneguknya perlahan. "Apa saja yang kau kerjakan sampai pulang selarut ini?!" pertanyaan itu sekarang muncul dari bibir Lucy, ibu mertua Serena. Ditanya seperti itu Serena justru tersenyum sinis. "Kenapa Ibu harus bertanya? bukankah Ibu sendiri yang memaksaku bekerja di rumah itu. Harusnya Ibu lebih tahu segalanya daripada aku," ujarnya sambil melenggang pergi, tapi ternyata jawaban yang baru saja ia berikan membuat Lucy tak terim
Ditengah-tengah rasa takut yang mendera, Serena merasakan seseorang menarik tubuhnya dengan kuat. Membawanya ke dalam dekapan yang hangat dan ia tahu siapa yang melakukan itu, Morgan. Tatapan mata mereka sempat beradu beberapa saat sebelum Morgan kembali menatap lurus ke depan. Memberikan perintah pada anak buahnya untuk menyingkirkan orang-orang Aroon. Belum sempat Serena bertanya, Morgan sudah membawanya masuk ke salah satu kamar hotel. Sampai di sana tubuh Serena di tekan ke dinding. "Apa yang kau lakukan di sini hmm?" tanya Morgan dengan mendekatkan bibir ke telinga Serena. "Seseorang ... menangkap ... saya Tuan," jawab Serena tergagap. "Begitu ya? jadi hari ini aku sudah menjadi pahlawan untukmu?" "Iya Tuan, karena itu saya ucapkan banyak-banyak terimakasih. Sekarang tolong biarkan saya pergi." Ucapan Serena kali ini membuat Morgan tertawa menggelegar. "Beraninya kau menyuruhku. Aku tak akan melepaskanmu sebelum mendapatkan imbalan darimu. Buat aku melayang seperti malam
Apa yang Serena lakukan ternyata membuat Morgan penasaran. Tangan pria itu perlahan menurunkan apa yang semula ia arahkan pada keningnya, membuat wanita itu membuka mata karena penasaran dengan apa yang terjadi. "Kenapa?" lirih Serena dengan sorot mata sendu. "Jadilah wanitaku dan kau bisa melampiaskan semua amarahmu pada orang-orang yang telah menyakitimu!" Serena terdiam, ia tahu pria di hadapannya tidak mencintainya, mungkin yang dibutuhkan hanya tubuhnya, tapi tawaran yang diberikan terdengar cukup menarik. Lagipula ia sudah muak. Semakin hari Serena juga semakin menyadari kalau suami yang selama ini ia cintai hingga membuatnya rela bersimpuh di hadapan almarhum kedua orangtuanya demi mendapatkan restu, kini tak lagi mencintainya. Sean telah berubah semenjak dirinya kehilangan kekayaan dan orangtua. Apa yang pria itu lakukan bersama dengan ibunya membuat Serena hampir gila. Ia dipaksa melakukan hal-hal yang menurutnya sangat berat dan diluar kemampuannya. Tak ada diantar
Saat Morgan masih di kamar mandi, Serena menatap ke sana kemari, mencoba mencari pakaian yang katanya disediakan untuknya, tapi ternyata memang belum ada. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu sambil duduk di tepi ranjang hanya dengan berbalut handuk kimono saja. Tak lama pintu kamar mandi terdengar dibuka. Morgan nampak keluar dari sana dengan rambut yang masih sedikit basah dan handuk yang melilit di pinggangnya. Serena sangat terkejut mendapati beberapa luka goresan di punggung pria itu. Bukan luka baru namun masih jelas terlihat. Tak bisa membendung rasa penasaran akhirnya Serena memutuskan untuk bertanya. "Kenapa punggungmu terluka?" Morgan yang tengah berdiri di depan cermin sambil mengusap-usap rambutnya langsung berhenti bergerak begitu mendengar pertanyaan Serena. Didekatinya wanita itu lalu berkata, "bukankah ini hasil perbuatanmu?" Kedua mata Serena membulat sempurna mendengarnya. Ia mendadak salah tingkah apalagi saat Morgan meraih kedua bahunya dan membuatnya berdi
"Lepaskan ... sakkiitt .... " rintih Serena sambil memegangi tangan kokoh Morgan yang menampakkan otot-ototnya karena cengkeraman yang dilakukan cukup kuat."Kalau begitu diamlah Serena!!""Jika kau tak lagi menginginkanku, habisi aku saja. Aku menyerah .... " ujar Serena setengah merintih.Tatapan mata Morgan seketika berkilat karena amarah. Tangannya beralih mencengkeram leher Serena."Jadi kau ingin mati?!"Diperlakukan seperti itu Serena sama sekali tak melawan meski rasa sakit mulai datang menghampiri. Hanya lelehan bening dari sudut matanya yang mewakili kehancurannya saat ini.Ia sedih karena tak bisa bertemu dengan orang-orang yang baik seperti saat kedua orangtuanya masih hidup. Ia lelah selalu ditindas oleh orang lain. Menurutnya kematian adalah yang paling bisa menyelamatkannya saat ini.Wajah Serena semakin pucat. Ia pikir Morgan akan benar-benar menghabisinya malam ini, tapi ternyata dirinya salah. Dengan tiba-tiba kedua tangan Morgan justru beralih merengkuh tubuhnya dan
Sudah tiga hari lamanya Serena tak melihat Morgan. Malam ini hujan kembali mengguyur bumi. Ada sebuah rasa aneh yang terselip di hatinya. Rasa yang membuatnya sakit karena merasa kesepian dan sendirian. Ia juga merasa dibohongi karena sampai saat ini Morgan tak memberikan kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya terhadap Sean. Hingga tengah malam Serena tak bisa memejamkan mata. Ia hanya terus menatap hujan dari balik jendela sampai tiba-tiba pintu di belakangnya terbuka. Secepat kilat wanita itu menoleh, menatap ke arah orang yang baru datang. Orang tersebut ternyata adalah Morgan. Ia bahkan tak tahu kapan pria itu tiba di mansion. Serena sempat ingin bertanya, tapi ekspresi dingin menakutkan yang Morgan tunjukkan membuatnya urung melakukannya. Tak ada sepatah katapun yang pria itu ucapkan, bahkan ia tak menatap Serena sama sekali. Hanya sibuk melepas jas dari tubuhnya lalu masuk ke kamar mandi. Hati Serena semakin tertekan diperlakukan seperti itu, namun ia berusaha agar tak
Serena masih berada di kamar mandi, mematut penampilannya di depan cermin yang ada di sana. "Bagaimana jika Morgan melihatku dengan pakaian seperti ini?" Serena menggigit bibir bawahnya saat membayangkan tatapan liar Morgan. Yang Serena kenakan saat ini adalah pakaian yang menurutnya paling tertutup. Sehelai gaun tipis berwarna krem dengan dada tertutup rapat, namun bagian belakanya sangat terbuka. Hanya ada tali-tali kecil yang menjadi penahannya, untuk gaun yang lain malah jauh lebih parah dari itu. Jelas Morgan sengaja memberikan pakaian-pakaian tersebut. Ia yakin Serena akan tampak sangat cantik saat mengenakannya. Belum juga Serena merasa yakin untuk keluar, pintu kamar mandi sudah diketuk dari luar. "Serena!! kau tidur?!" seru Morgan yang merasa tak tahan karena terlalu lama menunggu. "Sebentar, aku baru selesai." "Cepatlah aku lapar!" sahut Morgan sambil mendengus kesal. Setelah menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan Serena akhirnya keluar dar
Saat Morgan masih di kamar mandi, Serena menatap ke sana kemari, mencoba mencari pakaian yang katanya disediakan untuknya, tapi ternyata memang belum ada. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu sambil duduk di tepi ranjang hanya dengan berbalut handuk kimono saja. Tak lama pintu kamar mandi terdengar dibuka. Morgan nampak keluar dari sana dengan rambut yang masih sedikit basah dan handuk yang melilit di pinggangnya. Serena sangat terkejut mendapati beberapa luka goresan di punggung pria itu. Bukan luka baru namun masih jelas terlihat. Tak bisa membendung rasa penasaran akhirnya Serena memutuskan untuk bertanya. "Kenapa punggungmu terluka?" Morgan yang tengah berdiri di depan cermin sambil mengusap-usap rambutnya langsung berhenti bergerak begitu mendengar pertanyaan Serena. Didekatinya wanita itu lalu berkata, "bukankah ini hasil perbuatanmu?" Kedua mata Serena membulat sempurna mendengarnya. Ia mendadak salah tingkah apalagi saat Morgan meraih kedua bahunya dan membuatnya berdi
Apa yang Serena lakukan ternyata membuat Morgan penasaran. Tangan pria itu perlahan menurunkan apa yang semula ia arahkan pada keningnya, membuat wanita itu membuka mata karena penasaran dengan apa yang terjadi. "Kenapa?" lirih Serena dengan sorot mata sendu. "Jadilah wanitaku dan kau bisa melampiaskan semua amarahmu pada orang-orang yang telah menyakitimu!" Serena terdiam, ia tahu pria di hadapannya tidak mencintainya, mungkin yang dibutuhkan hanya tubuhnya, tapi tawaran yang diberikan terdengar cukup menarik. Lagipula ia sudah muak. Semakin hari Serena juga semakin menyadari kalau suami yang selama ini ia cintai hingga membuatnya rela bersimpuh di hadapan almarhum kedua orangtuanya demi mendapatkan restu, kini tak lagi mencintainya. Sean telah berubah semenjak dirinya kehilangan kekayaan dan orangtua. Apa yang pria itu lakukan bersama dengan ibunya membuat Serena hampir gila. Ia dipaksa melakukan hal-hal yang menurutnya sangat berat dan diluar kemampuannya. Tak ada diantar
Ditengah-tengah rasa takut yang mendera, Serena merasakan seseorang menarik tubuhnya dengan kuat. Membawanya ke dalam dekapan yang hangat dan ia tahu siapa yang melakukan itu, Morgan. Tatapan mata mereka sempat beradu beberapa saat sebelum Morgan kembali menatap lurus ke depan. Memberikan perintah pada anak buahnya untuk menyingkirkan orang-orang Aroon. Belum sempat Serena bertanya, Morgan sudah membawanya masuk ke salah satu kamar hotel. Sampai di sana tubuh Serena di tekan ke dinding. "Apa yang kau lakukan di sini hmm?" tanya Morgan dengan mendekatkan bibir ke telinga Serena. "Seseorang ... menangkap ... saya Tuan," jawab Serena tergagap. "Begitu ya? jadi hari ini aku sudah menjadi pahlawan untukmu?" "Iya Tuan, karena itu saya ucapkan banyak-banyak terimakasih. Sekarang tolong biarkan saya pergi." Ucapan Serena kali ini membuat Morgan tertawa menggelegar. "Beraninya kau menyuruhku. Aku tak akan melepaskanmu sebelum mendapatkan imbalan darimu. Buat aku melayang seperti malam
Dengan langkah tertatih Serena melangkah menyusuri jalanan yang dipenuhi dedaunan kering karena saat ini memang tengah musim gugur. Matanya terpejam beberapa saat sebelum akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah. Rumah kecil yang ia tinggali bersama suami dan ibu mertuanya. "Darimana saja? kukira kau sudah tak ingat pulang?" Itulah kata sambutan yang Sean layangkan begitu melihat kehadiran istrinya. "Apa maksudmu Sean? aku baru saja bekerja, kau tak lupa tentang itu kan?" sahut Serena sambil menuangkan air minum ke dalam gelas yang ia genggam lalu meneguknya perlahan. "Apa saja yang kau kerjakan sampai pulang selarut ini?!" pertanyaan itu sekarang muncul dari bibir Lucy, ibu mertua Serena. Ditanya seperti itu Serena justru tersenyum sinis. "Kenapa Ibu harus bertanya? bukankah Ibu sendiri yang memaksaku bekerja di rumah itu. Harusnya Ibu lebih tahu segalanya daripada aku," ujarnya sambil melenggang pergi, tapi ternyata jawaban yang baru saja ia berikan membuat Lucy tak terim
Malam semakin larut, suasana dingin mulai menyelimuti, namun Serena masih harus berkutat dengan pekerjaan. Ini adalah hari pertama ia bekerja sebagai seorang pelayan. Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya dan Serena tetap tak akan menyerah walau itu sangat menyiksa. Ia harus mendapatkan uang demi pengobatan sang suami yang lumpuh setelah terserang stroke. Tak ada pilihan lain, kini Serena harus melakukan apa saja demi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ditengah-tengah kegiatannya mengepel, salah seorang pelayan menepuk bahunya. "Serena, masuklah ke kamar itu dan bersihkan semua kotoran yang ada di sana!" ujarnya dengan nada serius. "Iya baiklah," sahut Serena tanpa berpikir panjang, membuat teman seprofesinya menyeringai tipis saat melihatnya langsung melakukan apa yang sudah ia minta. Serena pun bergegas melangkah memasuki kamar yang sudah ditunjukkan. Begitu masuk ke dalam, tubuh Serena sempat mematung beberapa detik. Aroma therapy yang menguar dari sudut-sudut ruang