"Serena, apa kau tak merasakan adanya kejanggalan pada peristiwa itu?" "Maksudmu?" sahut Serena. "Sean ... apa kau tak pernah berpikir jika apa yang terjadi pada orang tuamu ada hubungannya dengan Sean?" Serena terdiam. Ia sungguh tak pernah berpikir sampai ke sana. Entah karena perasaannya terhadap Sean atau karena dia memang benar-benar bodoh setelah terus menerus menerima doktrin dari ibu mertuanya. Melihat Serena nampak berpikir keras, Morgan merasa tak tega. "Hei ... apa yang kau pikirkan? lupakan saja, mungkin aku terlalu berlebihan karena sangat cemburu pada Sean," ucap Morgan pada akhirnya. Tangannya kembali mengusap lembut pipi Serena. "Apa yang kau cemburukan darinya?" sahut Serena. "Kau pernah mencintai pria itu dengan begitu dalam. Jujur saja, aku belum pernah diperlakukan seperti itu oleh wanita." "Sekarang kau sudah merasakannya. Aku mencintamu Morgan, meski memang masih membatasi diri, hatiku sungguh untukmu. Aku hanya takut kembali merasakan sakit yang m
"Emm ... maksudku ... kenapa kau harus bekerja juga di malam hari?" tanya Serena gugup. "Karena aku diminta menghabisi seseorang." Serena hampir tak bisa bernapas begitu mendengar jawaban pria yang masih menatapnya dengan tatapan dingin di depan sana. "Menghabisi seseorang? i _ itu kenapa harus dilakukan?" Bukannya memberikan jawaban lagi-lagi Morgan malah menertawakan. "Aku bercanda, kenapa kau selalu menanggapi ucapanku dengan serius begitu?" celetuk Morgan yang membuat Serena bersungut-sungut kesal. Tak ingin wanitanya semakin marah akhirnya Morgan mendekat. Memeluk pinggang Serena dari belakang lalu meminta maaf. "Apa harga diri seorang Morgan Calister tak akan runtuh jika meminta maaf seperti ini?" Serena sengaja menyindir, mengingat sikap Morgan di awal yang tak memiliki perasaan sama sekali. Tapi ternyata Morgan tak bergeming. Sambil menenggelamkan wajahnya di cetuk leher Serena pria itu memberikan jawaban, "asalkan orang itu adalah kau, jangankan harga diri,
Tepat saat Amber tiba di sana, Vincent baru keluar dari kamar Lucia. Tak mampu lagi menahan emosi, wanita itu langsung memukuli dada suaminya dan memberinya tamparan cukup keras. "Kendalikan dirimu Amber!!" seru Vincent sambil menahan kedua tangan istrinya. "Apa hah?! kau bilang dia hanya wanita tua yang tak menarik bagimu, tapi ternyata kau masih bisa melakukan itu padanya!!" balas Amber dengan tatapan tajam. "Melakukan apa maksudmu?" Vincent masih berakting dan pura-pura bodoh, membuat Amber semakin muak melihatnya. "Kau ... masih bisa berkata begitu?! Wanita itu mengirimkan rekaman vidio kalian ke ponselku. Anakmu masih kedinginan di luar sana, tapi hasratmu masih saja tak bisa kau tahan, dasar binatang!!" Amber kembali memaki sebelum akhirnya ia menerobos masuk ke kamar Lucia dan mengarahkan senjata api ke arah wanita itu. Beruntung saat jari Amber menarik pelatuknya, Vincent berhasil menahan dan mengarahkan bidikan ke tempat lain. Satu bingkai lukisan berukuran besar
Mendengar pintu diketuk membuat Serena menghentikan aktivitas yang tengah ia lakukan. Tangannya membuka pintu perlahan lalu tersenyum ke arah pria yang sudah berdiri di ambang pintu. "Hei, kau sudah pulang?" sambut Serena sambil beringsut mundur, memberikan jalan agar Morgan ikut masuk ke ruangannya yang dipenuhi botol-botol parfum dengan berbagai bentuk, tapi ternyata Morgan tidak nampak senang, bibirnya justru cemberut. "Apa hanya begitu?" tanya Morgan saat sudah sampai di dalam. Ia duduk di atas meja dengan kedua tangan bersedekap di dada, sementara matanya menatap dalam ke arah Serena, membuat wanita itu menjadi kebingungan. "Apanya yang hanya begitu?" tanya Serena kemudian. Matanya membalas sorot mata setajam elang milik pria beralis tebal yang saat ini memperlihatkan kekecewaannya. Morgan memang tengah merasa kecewa lantaran mengira Serena akan menyambut kedatangannya dengan cara mencium dan mencumbunya dengan mesra. "Oh ayolah Morgan ... apa yang kau pikirkan?" Serena
Keesokan harinya Morgan membawa Serena keluar dari mansion. Mereka menuju ke suatu tempat yang indah. Melihat Serena nampak begitu senang ternyata menumbuhkan kebahagiaan di hati Morgan. Ia terus memandangi Serena yang berlarian ke sana kemari menikmati sapuan ombak yang mengenai kakinya. Pantai tempat mereka saat ini begitu tenang. Tak ada siapapun di sana karena saat ini mereka berada di pulau pribadi milik Morgan. Disaat Serena berhenti, barulah Morgan mendekat. Memeluk pinggang wanita itu dari belakang dan menyingkap rambut panjangnya lalu menciumi tengkuknya dengan lembut. "More ... jangan lakukan itu," ucap Serena saat tubuhnya mulai meremang karena apa yang Morgan lakukan. "Kenapa tak boleh melakukannya hmm?" sahut Morgan masih sambil menikmati kelembutan kulit leher Serena. "Ini di luar," jawab Serena yang mulai kesulitan mengontrol diri karena sesuatu di dadanya juga mulai disentuh dengan lembut. "Tapi tempat ini adalah milikku, tak ada yang berani masuk kemari kec
Serena duduk di kamar seorang diri. Ia sengaja tak mengunci pintu, berharap Morgan segera masuk ke sana tapi ternyata hasilnya nihil. Pria itu sama sekali tak menampakkan batang hidungnya, membuat hati Serena kian kesal."Bukannya dia pernah bilang kalau akan membantuku mencaritahu apakah Sean terlibat dalam peristiwa yang terjadi pada ayah dan ibu, tapi apa ... sekarang yang ada aku malah disuruh melupakan semuanya. Dasar pembohooonggg!!""Siapa yang kau sebut pembohong. Aku tidak berbohong, aku hanya tak ingin melibatkanmu," sahut Morgan yang tiba-tiba saja sudah duduk di belakang Serena."Kenapa kau kemari?" tanya Serena ketus."Untuk menenangkan kelinci manisku yang sedang marah. Kemarilah Serena, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu!"Morgan menyentuh tangan Serena. Awalnya Serena ingin menepis sentuhan itu, namun dengan cepat tangan Morgan menangkap jemarinya dan meremasnya lembut."Apa yang ingin kau tunjukkan?" tanya Serena pada akhirnya."Sean Anderson, sebelum bersamamu dia
Malam semakin larut, suasana dingin mulai menyelimuti, namun Serena masih harus berkutat dengan pekerjaan. Ini adalah hari pertama ia bekerja sebagai seorang pelayan. Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya dan Serena tetap tak akan menyerah walau itu sangat menyiksa. Ia harus mendapatkan uang demi pengobatan sang suami yang lumpuh setelah terserang stroke. Tak ada pilihan lain, kini Serena harus melakukan apa saja demi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ditengah-tengah kegiatannya mengepel, salah seorang pelayan menepuk bahunya. "Serena, masuklah ke kamar itu dan bersihkan semua kotoran yang ada di sana!" ujarnya dengan nada serius. "Iya baiklah," sahut Serena tanpa berpikir panjang, membuat teman seprofesinya menyeringai tipis saat melihatnya langsung melakukan apa yang sudah ia minta. Serena pun bergegas melangkah memasuki kamar yang sudah ditunjukkan. Begitu masuk ke dalam, tubuh Serena sempat mematung beberapa detik. Aroma therapy yang menguar dari sudut-sudut ruang
Dengan langkah tertatih Serena melangkah menyusuri jalanan yang dipenuhi dedaunan kering karena saat ini memang tengah musim gugur. Matanya terpejam beberapa saat sebelum akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah. Rumah kecil yang ia tinggali bersama suami dan ibu mertuanya. "Darimana saja? kukira kau sudah tak ingat pulang?" Itulah kata sambutan yang Sean layangkan begitu melihat kehadiran istrinya. "Apa maksudmu Sean? aku baru saja bekerja, kau tak lupa tentang itu kan?" sahut Serena sambil menuangkan air minum ke dalam gelas yang ia genggam lalu meneguknya perlahan. "Apa saja yang kau kerjakan sampai pulang selarut ini?!" pertanyaan itu sekarang muncul dari bibir Lucy, ibu mertua Serena. Ditanya seperti itu Serena justru tersenyum sinis. "Kenapa Ibu harus bertanya? bukankah Ibu sendiri yang memaksaku bekerja di rumah itu. Harusnya Ibu lebih tahu segalanya daripada aku," ujarnya sambil melenggang pergi, tapi ternyata jawaban yang baru saja ia berikan membuat Lucy tak terim
Serena duduk di kamar seorang diri. Ia sengaja tak mengunci pintu, berharap Morgan segera masuk ke sana tapi ternyata hasilnya nihil. Pria itu sama sekali tak menampakkan batang hidungnya, membuat hati Serena kian kesal."Bukannya dia pernah bilang kalau akan membantuku mencaritahu apakah Sean terlibat dalam peristiwa yang terjadi pada ayah dan ibu, tapi apa ... sekarang yang ada aku malah disuruh melupakan semuanya. Dasar pembohooonggg!!""Siapa yang kau sebut pembohong. Aku tidak berbohong, aku hanya tak ingin melibatkanmu," sahut Morgan yang tiba-tiba saja sudah duduk di belakang Serena."Kenapa kau kemari?" tanya Serena ketus."Untuk menenangkan kelinci manisku yang sedang marah. Kemarilah Serena, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu!"Morgan menyentuh tangan Serena. Awalnya Serena ingin menepis sentuhan itu, namun dengan cepat tangan Morgan menangkap jemarinya dan meremasnya lembut."Apa yang ingin kau tunjukkan?" tanya Serena pada akhirnya."Sean Anderson, sebelum bersamamu dia
Keesokan harinya Morgan membawa Serena keluar dari mansion. Mereka menuju ke suatu tempat yang indah. Melihat Serena nampak begitu senang ternyata menumbuhkan kebahagiaan di hati Morgan. Ia terus memandangi Serena yang berlarian ke sana kemari menikmati sapuan ombak yang mengenai kakinya. Pantai tempat mereka saat ini begitu tenang. Tak ada siapapun di sana karena saat ini mereka berada di pulau pribadi milik Morgan. Disaat Serena berhenti, barulah Morgan mendekat. Memeluk pinggang wanita itu dari belakang dan menyingkap rambut panjangnya lalu menciumi tengkuknya dengan lembut. "More ... jangan lakukan itu," ucap Serena saat tubuhnya mulai meremang karena apa yang Morgan lakukan. "Kenapa tak boleh melakukannya hmm?" sahut Morgan masih sambil menikmati kelembutan kulit leher Serena. "Ini di luar," jawab Serena yang mulai kesulitan mengontrol diri karena sesuatu di dadanya juga mulai disentuh dengan lembut. "Tapi tempat ini adalah milikku, tak ada yang berani masuk kemari kec
Mendengar pintu diketuk membuat Serena menghentikan aktivitas yang tengah ia lakukan. Tangannya membuka pintu perlahan lalu tersenyum ke arah pria yang sudah berdiri di ambang pintu. "Hei, kau sudah pulang?" sambut Serena sambil beringsut mundur, memberikan jalan agar Morgan ikut masuk ke ruangannya yang dipenuhi botol-botol parfum dengan berbagai bentuk, tapi ternyata Morgan tidak nampak senang, bibirnya justru cemberut. "Apa hanya begitu?" tanya Morgan saat sudah sampai di dalam. Ia duduk di atas meja dengan kedua tangan bersedekap di dada, sementara matanya menatap dalam ke arah Serena, membuat wanita itu menjadi kebingungan. "Apanya yang hanya begitu?" tanya Serena kemudian. Matanya membalas sorot mata setajam elang milik pria beralis tebal yang saat ini memperlihatkan kekecewaannya. Morgan memang tengah merasa kecewa lantaran mengira Serena akan menyambut kedatangannya dengan cara mencium dan mencumbunya dengan mesra. "Oh ayolah Morgan ... apa yang kau pikirkan?" Serena
Tepat saat Amber tiba di sana, Vincent baru keluar dari kamar Lucia. Tak mampu lagi menahan emosi, wanita itu langsung memukuli dada suaminya dan memberinya tamparan cukup keras. "Kendalikan dirimu Amber!!" seru Vincent sambil menahan kedua tangan istrinya. "Apa hah?! kau bilang dia hanya wanita tua yang tak menarik bagimu, tapi ternyata kau masih bisa melakukan itu padanya!!" balas Amber dengan tatapan tajam. "Melakukan apa maksudmu?" Vincent masih berakting dan pura-pura bodoh, membuat Amber semakin muak melihatnya. "Kau ... masih bisa berkata begitu?! Wanita itu mengirimkan rekaman vidio kalian ke ponselku. Anakmu masih kedinginan di luar sana, tapi hasratmu masih saja tak bisa kau tahan, dasar binatang!!" Amber kembali memaki sebelum akhirnya ia menerobos masuk ke kamar Lucia dan mengarahkan senjata api ke arah wanita itu. Beruntung saat jari Amber menarik pelatuknya, Vincent berhasil menahan dan mengarahkan bidikan ke tempat lain. Satu bingkai lukisan berukuran besar
"Emm ... maksudku ... kenapa kau harus bekerja juga di malam hari?" tanya Serena gugup. "Karena aku diminta menghabisi seseorang." Serena hampir tak bisa bernapas begitu mendengar jawaban pria yang masih menatapnya dengan tatapan dingin di depan sana. "Menghabisi seseorang? i _ itu kenapa harus dilakukan?" Bukannya memberikan jawaban lagi-lagi Morgan malah menertawakan. "Aku bercanda, kenapa kau selalu menanggapi ucapanku dengan serius begitu?" celetuk Morgan yang membuat Serena bersungut-sungut kesal. Tak ingin wanitanya semakin marah akhirnya Morgan mendekat. Memeluk pinggang Serena dari belakang lalu meminta maaf. "Apa harga diri seorang Morgan Calister tak akan runtuh jika meminta maaf seperti ini?" Serena sengaja menyindir, mengingat sikap Morgan di awal yang tak memiliki perasaan sama sekali. Tapi ternyata Morgan tak bergeming. Sambil menenggelamkan wajahnya di cetuk leher Serena pria itu memberikan jawaban, "asalkan orang itu adalah kau, jangankan harga diri,
"Serena, apa kau tak merasakan adanya kejanggalan pada peristiwa itu?" "Maksudmu?" sahut Serena. "Sean ... apa kau tak pernah berpikir jika apa yang terjadi pada orang tuamu ada hubungannya dengan Sean?" Serena terdiam. Ia sungguh tak pernah berpikir sampai ke sana. Entah karena perasaannya terhadap Sean atau karena dia memang benar-benar bodoh setelah terus menerus menerima doktrin dari ibu mertuanya. Melihat Serena nampak berpikir keras, Morgan merasa tak tega. "Hei ... apa yang kau pikirkan? lupakan saja, mungkin aku terlalu berlebihan karena sangat cemburu pada Sean," ucap Morgan pada akhirnya. Tangannya kembali mengusap lembut pipi Serena. "Apa yang kau cemburukan darinya?" sahut Serena. "Kau pernah mencintai pria itu dengan begitu dalam. Jujur saja, aku belum pernah diperlakukan seperti itu oleh wanita." "Sekarang kau sudah merasakannya. Aku mencintamu Morgan, meski memang masih membatasi diri, hatiku sungguh untukmu. Aku hanya takut kembali merasakan sakit yang m
Tak ada yang Morgan katakan, ia hanya menatap dalam-dalam wajah cantik Serena sebelum membawa wanita itu ke dinding, membalik tubuhnya agar menghadap ke sana lalu menciumi punggung semulus porselen yang memang dibiarkan terbuka. "Morgan .... " Lenguhan itu menjadi pertanda bahwa Serena menikmati apa yang Morgan lakukan terhadapnya saat ini. Disusul gigitan kecil di telinga dan lehernya, yang membuat tubuh Serena mulai meliuk. Menggoda pria di belakangnya agar berbuat lebih. Gaun satin berwarna maroon yang melilit tubuh seksi Serena kini sudah tersingkap ke atas. Tanpa diminta, kaki jenjang berbalut high heels hitam itu sudah terbuka, memberikan akses pada Morgan untuk kembali menyentuhnya. Satu hal yang Serena tak pernah tahu. Selama ini Morgan selalu membubuhkan serbuk pil anti kehamilan yang sudah dicampur ke dalam minumannya, tapi mulai hari ini hal itu tak lagi dilakukan. Suara hati Morgan mulai bermain di tengah ambisinya. Ia ingin memiliki Serena seutuhnya meski belum b
Jatuh cinta, itulah yang Morgan rasakan saat ini. Membuat semua orang bertanya-tanya karena raut wajahnya yang sangat berbeda. "Morgan, kau mendengarku!!" bentak Vincent de Calister yang merupakan ayah kandung Morgan. "Hmm .... " Hanya itu jawaban yang Morgan berikan. Membuat sang ayah semakin penasaran. "Sebenarnya apa yang membuatmu senang hari ini? apa Ibumu kembali bisa melihat dengan jelas?" Mendengar itu, bibir kemerahan alami yang semula tersenyum tipis kini berubah.Ekspresinya pun menjadi dingin. "Asal Ayah tahu, ibu mungkin tak bisa melihat dengan jelas. Tapi ia jauh lebih cerdas dari Ayah, jika tidak, Ayah pasti sudah berhasil menceraikannya." "Tutup mulutmu bedebah kecil!! ingatlah, keselamatan wanita itu ada di tanganmu!!" bentak Vincent yang sama sekali tak mempedulikan perasaan Morgan. Seolah-olah ia tak pernah menganggap anak lelakinya itu ada. Hanya anak istri mudanya yang ia pedulikan, Rainer. Sayangnya Rainer yang polos justru sangat peduli pada Morgan
Dua hari lamanya Serena dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Morgan selalu berada di sisinya. Membuat Serena merasa senang. Hari pertama berada di mansion, Morgan juga melakukan sesuatu yang tak biasa. Saat Serena keluar dari kamar mandi, pria itu sudah membawa nampan berisi sarapan yang ia letakkan di atas nakas. "Ini sarapanku?" tanya Serena memastikan. "Hmm .... " jawab pria yang kini tengah sibuk dengan tab di tangannya. "Padahal aku bisa makan di meja makan, tak perlu diantar kemari." Mendengar ucapan Serena kali ini barulah Morgan mengalihkan pandangannya ke arah wanita itu. Tatapannya tajam, tak ada senyum sama sekali di bibirnya. "A _ ada apa? kau jangan selalu menatapku seperti itu, kau membuatku takut." Serena berucap lirih di tengah degupan jantungnya. "Kalau begitu bisakah kau mengucapkan terimakasih?! hargailah apa yang kulakukan padamu!!" "Ah iya maaf, terimakasih untuk sarapannya," sahut Serena cepat. Tapi ternyata Morgan tak membiarkannya begitu